Perbandingan Metode SuspensiCrushing Suspension Method dan Simple Suspension Methodterhadap Penurunan Kadar Spironolakton

(1)

PERBANDINGAN METODE SUSPENSI

CRUSHING

SUSPENSION METHOD

DAN

SIMPLE SUSPENSION

METHOD

TERHADAP PENURUNAN KADAR

SPIRONOLAKTON

SKRIPSI

Silvia Aryani

1111102000039

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2015


(2)

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERBANDINGAN METODE SUSPENSI

CRUSHING

SUSPENSION METHOD

DAN

SIMPLE SUSPENSION

METHOD

TERHADAP PENURUNAN KADAR

SPIRONOLAKTON

SKRIPSI

Silvia Aryani

1111102000039

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2015


(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber yang dikutip saya maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Silvia Aryani NIM : 1111102000039 Tanda Tangan :


(4)

iv

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Nama : Silvia Aryani NIM : 1111102000039 Program Studi : Farmasi

Judul : Perbandingan Metode Suspensi Crushing Suspension Method dan Simple Suspension Methodterhadap Penurunan Kadar Spironolakton

Disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Nelly Suryani , Ph.D., Apt. Yardi, Ph.D.,Apt NIP. 196510242005012001 NIP.197411232008011014

Mengetahui,

Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Yardi, Ph.D.,Apt NIP. 197411232008011014


(5)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Silvia Aryani NIM : 1111102000039 Program Studi : Farmasi

Judul : Perbandingan Metode Suspensi Crushing Suspension Method dan Simple Suspension Methodterhadap Penurunan Kadar Spironolakton

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterimasebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran danIlmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing 1 : Nelly Suryani, Ph.D., Apt ( ) Pembimbing 2 : Yardi, Ph.D., Apt ( ) Penguji 1 : Supandi, M.Si., Apt ( ) Penguji 2 : Umar Mansur, M.Sc.,Apt ( )

Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 3 Juli 2015


(6)

vi

ABSTRAK Nama : Silvia Aryani

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Perbandingan Metode SuspensiCrushing Suspension Method dan Simple Suspension Methodterhadap Penurunan Kadar Spironolakton

Spironolakton adalah obat golongan antagonis aldosteron untuk terapi hipertensi yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau terapi kombinasi dengan obat antihipertensi lainnya. Salah satu kasus di rumah sakit, ditemukannya kombinasi obat spironolakton dengan 10 obat, diantaranya obat Losartan, Aspirin, Paracetamol dan lain-lain. Hal ini tentunya akan menyulitkan pasien geriatri dan pasien dalam keadaan koma untuk menelan obat-obatan tersebut. Oleh karena itu, obat harus diberikan dalam bentuk formulasi suspensi melalui enteral feeding tubeyaitu dengan Crushing Suspension Method dan Simple Suspension Method.Pengubahan bentuk sediaan pada kedua metode suspensi kemungkinan

dapat terjadinya interaksi farmasetik sehingga obat tidak stabil dan terdegradasi. Terjadinya degradasi obat dapat disebabkan oleh reaksi hidrolisis. Hal ini dapat terjadi karena terdapatnya gugus cincin lakton (ester siklik) dan gugus tioester yang mudah diserang untuk terjadinya reaksi hidrolisis pada spironolakton. Pada penelitian ini dilakukan penentuan kadar spironolakton pada kedua metode suspensi dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi pada waktu 5, 15, 30, 45, dan 60 menit. Dari hasil pengujian, pada Simple Suspension Method

diperoleh persen kadar yaitu 97,2743% - 95,1559% sedangkan pada Crushing Suspension Method 93,9505% - 89,2399%. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa Simple Suspension MethodlebihbaikdaripadaCrushing Suspension Method karena

dapatmemberikankadar yang memenuhipersyaratandalammonografi kadar Spironolakton yaitu 95% - 105%.

Kata Kunci : Spironolakton, crushing suspension method, simple suspension method, persen kadar.


(7)

ABSTRACT Nama : Silvia Aryani

Program Studi : Pharmacy

Judul Skripsi : Comparing Methods CrushingSuspension Method and Simple Suspension Methodto Decreased contents of

Spironoctone

Spironolactone is an aldosterone antagonist class of drugs for the treatment of hypertension that can be used as single or combination therapy with other antihypertensive drugs. One of the cases in the hospital, the discovery of a combination of drugs spironolactone with 10 drugs, including drug Losartan, Aspirin, Paracetamol and others.This will certainly make it difficult for geriatric patients and patients in coma for swallowing the drugs.Therefore, the drug should be administered in the form of a suspension formulation via the enteral feeding tube with Crushing Suspension Method and Simple Suspension Method.Changing the dosage form of both suspensions method could potentially pharmaceutical interaction so that the drug is unstable and degraded. Drug degradation can be caused by a hydrolysis reaction. This can occur because of the presenceof ring lactone (cyclic ester) group and a thioester group that isvulnerableto hydrolysis reaction in spironolactone. In this research, determination ofspironolactone on both suspensions method using High Performance Liquid Chromatography at times 5, 15, 30, 45, and 60 minutes. Test results, the SimpleSuspension Method obtained percent content is 97.2743%-95.1559% while the Crushing Suspension Method 93.9505%-89.2399%.From this, it can be concluded that the Simple Suspension Method isbetter than the Crushing SuspensionMethod becauseit can provide content that meets the requirements of the monograph Spironolactone content is 95% -105%.

Keywords: Spironolactone, crushing suspension method, simple suspension method, percent content.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil „Alamin, atas segala nikmat iman, islam,

kesempatan, serta kekuatan yang telah diberikan Allah Subhanahuwata‟ala

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai tauladan umat manusia, semoga kita dapat menjunjung nilai-nilai Islam yang beliau ajarkan dan semoga kita mendapatkan syafaat beliau.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana farmasi dari Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Judul skripsi ini adalah

“Perbandingan Metode Suspensi Crushing Suspension Method dan Simple Suspension Method Terhadap Penurunan Kadar Spironolakton”.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan tugas akhir ini adalah atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada :

1. Kedua orangtua tercinta, AyahandaDalisman Darsah, IbundaMisyelli Rosba serta adik tercinta Syifa Fauziah atas kasih sayang, perhatian, semangat, doa yang tiada henti serta dukungan baik moral maupun materil. Semoga selalu dalam lindungan Allah swt.

2. Ibu Nelly Suryani P.hD., Apt. dan bapak Yardi P.hD., Apt. selaku pembimbing yang senantiasa sabar dan ikhlas dalam memberikan ilmu, waktu, nasehat, arahan serta semangat selama proses penyelesaian penelitian dan skripsi ini.

3. Bapak Dr. H. Arif Soemantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

5. Ibu Puteri Amelia M.Farm., Apt sebagai pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberikan dukungan dalam meghadapi permasalahan-permasalahan akademik kampus.

6. Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Kakak bimbingan penelitian Kak Adina dan Mba Rani atas ilmu, tenaga, nasehat, serta kerjasamanya selama penelitian berlangsung.

8. Para laboran yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini Kak Liken, Kak Anis, Kak Eris, Kak Tiwi, Kak Rahmadi, serta Kak Lisna. 9. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian Tiara dan Ririn; teman-teman

terdekat Sumiati, Qadryna, Karimah, Ella, Evi, dan Athiyah serta

teman-teman Farmasi β011 “effervescent” yang dengan sabar menemani,

mendukung, membantu serta sebagai tempat berbagi keluh kesah.

10.Teman-teman seperantauan Nanda dan Andam serta sahabat-sahabat tersayang Faiza, Wiwi, Mimi, Ranti, Anis, dan Puput yang senantiasa menjadi keluarga, berbagi keluh kesah, dan saling mendukung untuk kesuksesan bersama.

11.Semua pihak yang turut membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pengetahuan khususnya di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan pembaca pada umumnya.


(10)

x

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Silvia Aryai NIM : 1111102000039 Program studi : Farmasi

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya dengan judul :

PERBANDINGAN METODE SUSPENSI CRUSHING SUSPENSION METHOD DAN SIMPLE SUSPENSION METHOD TERHADAP

PENURUNAN KADAR SPIRONOLAKTON

Untuk dapat diakses melalui Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Dengan demikian persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : 3 Juli 2015 Yang menyatakan,


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Hasil Penelitian ... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Antihipertensi Golongan Diuretik ... 4

2.2 Spironolakton ... 4

2.2.1 Monografi Obat ... 4

2.2.2 Pengertian Umum... 5

2.2.3 Stabilitas Spironolakton ... 6

2.3 Stabilitas Obat ... 7

2.3.1 Dekomposisi Kimia dari Obat Akibat Hidrolisis ... 8

2.3.2 Permasalahan dalam sediaan suspensi tanpa persiapan (Extemporaneous suspensions) ... 9

2.4 Crushing suspension method ... 11

2.5 Simple suspension method ... 15

2.6 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ... 19

2.7 Verifikasi Metode... 23

2.8 Penentuan Kadar Spironolakton ... 25

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 26

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

3.2 Alat dan Bahan ... 26

3.2.1 Alat ... 26

3.2.2 Bahan... 26

3.3 Prosedur Penelitian... 26

3.3.1 Pembuatan Larutan Induk Bahan Baku Standar ... 26

3.3.2 Penetapan Panjang Gelombang Maksimum dari Larutan Standar . 26 3.3.3 Penetapan Kondisi Optimum ... 27


(12)

xii

3.3.5 Uji Linieritas ... 27

3.3.6 Uji Akurasi ... 28

3.3.7 Uji Presisi ... 28

3.3.8 Penyiapan Sampel ... 28

3.3.9 Analisa Kadar Sampel... 29

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Optimasi Metode Analisis Kadar Spironolakton ... 30

4.1.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum ... 30

4.1.2 Pemilihan Fase Gerak dan Kondisi Optimum ... 30

4.1.3 Uji Kesesuaian Sistem ... 31

4.2 Verifikasi Metode Analisis Kadar Spironolakton ... 32

4.2.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linieritas ... 32

4.2.2 Pengukuran Limit Deteksi (LOD) dan Limit Kuantifikasi (LOQ) . 34 4.2.3 Uji Akurasi ... 34

4.2.4 Uji Presisi ... 35

4.3 Pengukuran Kadar Spironolakton dalam Sampel ... 36

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

LAMPIRAN ... 48


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1Keseluruhan Biotransformasi Spironolakton ... 6

Gambar 2.2Contoh gugus kimia yang rentan terhadap hidrolisis ... 8

Gambar 2.3Metode simple suspension method dengan botol ... 16

Gambar 2.4Metode simple suspension method dengan jarum suntik ... 16

Gambar 2.5Diagram Alat Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 20

Gambar 4.1Kurva Kalibrasi Standar Spironolakton ... 33

Gambar 4.2Grafik Penurunan Konsentrasi Spironolakton dengan Crushing Suspension Method dan Simple Suspension Method ... 38


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Potensi risiko yang terkait dengan memodifikasi bentuk sediaan padat

oral ... 11

Tabel 2.2 Tabel perbandingan Crushing suspension method dan Simple suspension method ... 17

Tabel 4.1 Parameter Uji Kesesuaian Sistem ... 32

Tabel 4.2 Konsentrasi standar spironolakton dan luas area ... 33

Tabel 4.3 Hasil Uji LOD dan LOQ ... 34

Tabel 4.4 Hasil Uji Akurasi ... 35

Tabel 4.5 Hasil Uji Presisi ... 36

Tabel 4.6 Persentase Kadar Spironolakton dengan Crushing Suspension Method dan Simple Suspension Method ... 37

Tabel 4.7 Analisis Statistik Independent Sample Test Data Presentasi Kadar Spironolakton pada Crushing Suspension Method dan Simple Suspension Method ... 40

Table 4.8 Persentase Tingkat Degradasi Kadar Spironolakton pada Crushing Suspension Method dan Simple Suspension Method ... 41


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Bagan Alur Penelitian ... 48

Lampiran 2 Spektrum serapan Spironolakton pada spektrofotometer ... 49

Lampiran 3 Kromatogram Standar Spironolakton ... 49

Lampiran 4 Kromatogram sampel Spironolakton dengan Crushing Suspension Method... 50

Lampiran 5 Kromatogram sampel Spironolakton dengan Simple Suspension Method... 50

Lampiran 6 Hasil Uji Kesesuaian Sistem ... 51

Lampiran 7 Perhitungan Kurva Kalibrasi ... 52

Lampiran 8 Uji LOD dan LOQ ... 53

Lampiran 9 Uji Akurasi ... 54

Lampiran 10 Uji Presisi ... 55

Lampiran 11 Perhitungan Preparasi Sampel... 56

Lampiran 12 Cara Perhitungan Konsentrasi Akhir Spironolakton ... 56

Lampiran 13 Hasil Perhitungan Konsentrasi Akhir Spironolakton ... 57

Lampiran 14 Hasil Uji Statistik Kadar Spironolakton pada masing-masing suspensi ... 58


(16)

(17)

1.1Latar Belakang

Spironolakton adalah obat golongan antagonis aldosteron untuk terapi hipertensi eksresi aldosteron yang berlebihan, gagal jantung kongestif, hiperaldosteronisme primer, hipokalemia, sirosis hati disertai dengan edema atau asitesis (Drug Information Handbook ed. 17, 2008). Obat ini dapat digunakan sebagai terapi tunggal atau terapi kombinasi dengan obat antihipertensi lainnya. Pada kasus di rumah sakit, ditemukannya kombinasi obat spironolakton dengan 10 obat, diantaranya obat Losartan, Aspirin, Paracetamol, dan obat lainnya.

Adanya keterbatasan yang dimiliki oleh seorang pasien geriatri dalam menelan obat seperti pada pasien dengan disfagia (rasa nyeri, tidak nyaman dan atau kesulitan dalam memulai atau menyelesaikan prosespenelanan) dan pada pasien hipertensi yang mengalami koma, adapun pemberian obat diberikan dalam bentuk formulasi suspensi melalui enteral feeding tube dimana bentuk tablet atau

kapsul dapat dihancurkan atau dibuka dan dicampur dengan air untuk selanjutnya dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam enteral feeding tube (Nutrisi Enteral).

Adapun jenis suspensi ini yang selanjutnya disebut dengan crushing suspension method atau metode suspensi dengan penggerusan ( White et al., 2007).

Selain dengan metode suspensi yang telah dijelaskan sebelumnya, pada tahun

β006 terdapat penambahan suatu metode suspensi baru yaitu “ simple suspension

method” (metode suspensi sederhana)yang hingga saat ini telah diakui dan dilaksanakan secara luas di beberapa fasilitas rumah sakit di Jepang. Perbedaannya dengan metode suspensi sebelumnya adalah pada suspensi ini obat tidak dilakukan penggerusan namun langsung disuspensikan dengan pembawa air yang bersuhu 550 C(Kurataet al., 2006).

Kedua metode suspensi ini sama-sama memiliki keuntungan dalam penyiapan sediaan dan biaya yang digunakan juga murah(White et al., 2007). Namun,

penggunaan crushing suspension method(metode suspensi dengan penggerusan)

memiliki kerugian yaitu terjadinya penurunan bobot obat yang diakibatkan oleh proses penggerusan pada mortal dan alu, mesin penggerus, atau penggerusan yang


(18)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dilakukan dalam kemasan. Dari hal ini tentu saja akan menyebabkan penurunan kadar obat dalam tubuh. Berdasarkan penelitian dari Zamami (2014) dijelaskan bahwa bobot obat dari 5 obat yang diuji yaitu Ace Call® (Temocapril), warfarin®, Renivace® (Enalapril Maleat), Folli Amina®(Asam Folat), dan Lendormin®

(Brotizolam) mengalami penurunan sebesar 70 – 90 % dengan menggunakan metode crushing suspension method(metode suspensi dengan penggerusan).

Selain itu, jika dilihat dari hasil % perolehan kembali, pada salah satu obat yaitu warfarin®, mengalami ketidakstabilan dengan menggunakan metode crushing suspension method(metode suspensi dengan penggerusan) dengan nilai hampir

50%, sedangkan jika dibandingkan dengan simple suspension method(metode

suspensi sederhana), didapatkan nilai % perolehan kembali yaitu hampir 100%

(Zamami et al., 2014).Dari hal ini, metode suspensi Simple Suspension Method

lebih baik dibandingkan dengan metode Crushing Suspension Method namun

dengan metode Simple Suspension Method (metode suspensi sederhana) tidak

semua obat yang dapat menggunakan metode ini dan diperlakukan penelitian lebih lanjut dari setiap obat sebagai contoh pada obat antidepresan oral, hanya 59 dari 354 obat (16,7%) yang disetujui di Jepang pada April 2013 dan telah diperiksa dengan metode ini (Hichiya et al., 2014).

Penggunaan kedua metode suspensi dapat merubah bentuk sediaan yang kemungkinan dapat terjadinya interaksi farmasetik sehingga obat tidak stabil dan terdegradasi. (Nissen et al., 2009).Terjadinya degradasi obat dapat disebabkan

oleh reaksi hidrolisis. Hal ini dapat terjadi karena terdapatnya gugus cincin lakton (ester siklik) dan gugus tioester yang mudah diserang untuk terjadinya reaksi hidrolisis pada spironolakton (Basusaskar, 2013).

Berdasarkan hal tersebut, dilakukannya penelitian untuk dapat membandingkan antar kedua metode tersebut terhadap penurunan kadar spironolakton dengan menggunakan alat instrumen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).


(19)

1.2Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan kadar dari metode Crushing Suspension Method

(metode suspensi dengan penggerusan)dan Simple Suspension Method(metode

suspensi dengan sederhana).

1.3Tujuan Penelitian

Membandingkan kedua metode suspensi yaitu Crushing Suspension Method(metode suspensi dengan penggerusan)dan Simple Suspension Method(metode suspensi dengan sederhana) manakah yang dapat memberikan

penurunan kadar lebih sedikit akibat adanya pengubahan bentuk sediaan obat ataupun terjadinya degradasi obat akibat adanya reaksi hidrolisis.

1.4Manfaat Penelitian

Sebagai referensi kepada dokter, apoteker, dan tenaga kesehatan lainnya dalam memilih metode suspensi yang tidak banyak terjadinya penurunan kadar obat akibat pengubahan bentuk sediaan obat.


(20)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antihipertensi Golongan Diuretik

Hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan kenaikan tekanan diastolik, tekanan sistolik, atau kedua-duanya secara terus menerus ( Hull, 1996).

Adapun lima golongan obat primer yang digunakan sebagai agen

antihipertensi yaitu diuretik, -bloker, ACE inhibitor, reseptor bloker angiotensin

II, bloker kanal kalsium. Pada obat golongan diuretik, terdapat beberapa jenis yang digunakan yaitu tiazid, diuretik hemat kalium, antagonis aldosteron, dan diuretik kuat (Dipiro et al., 2006).

2.2 Spironolakton

2.2.1 Monografi Obat

Nama : Spironolactone

Nama Kimia :17-hydroxy-7α-mercapto-3-oxo17α- pregn-4-ene-21-carboxylic acid- – lactone acetate

Struktur Formula : C24H32O4S

Berat Molekul : 416,59

Struktur Formula :

Bentuk Fisik : Sintetik, kekuningan, kristal padat dan termasuk senyawa kimia kelas steroid.


(21)

Kelarutan : Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam sebagian besar pelarut organik (Metanol, Asetonitril)

pH : 4,5

Titik Leleh : 134,50C

Golongan Obat : Antagonis Aldosteron

Indikasi :Edema, Hipertensi, hirsutisme, hipokalemia

Bentuk Sediaan : Tablet salut selaput 25 mg, 50 mg, dan 100 mg

Sediaan Beredar : Aldactone, Aldazide, Carpiaton, Letonal, Spirola, Spirolactocton

(Drug Information Handbook ed. 17, 2008; The United State Pharmacopeial. 2007).

2.2.2 Pengertian Umum

Spironolakton merupakan antagonis farmakologis spesifik aldosteron, yang bertindak terutama melalui pengikatan secara kompetitif pada reseptor yang berkaitan dengan aldosteron, tempat pertukaran natrium-kalium di distal tubulus ginjal. Spironolakton menyebabkan peningkatan jumlah natrium dan air untuk disekresi, sedangkan kehilangan kalium diminimalkan (Drug Information Handbook ed. 17, 2008).

Waktu paruh plasma pada obat ini lebih kurang 1,4 jam, meskipun pada pasien gagal jantung koroner dengan kongesti hati, durasi ini dapat meningkatkan 5 kali lipat. Sebuah respon obat maksimal terlihat 48 jam setelah dosis pertama. Dosis spironolakton antara 25 dan 200 mg/hari untuk gagal jantung koroner serta 50 dan 100 mg/hari untukhipertensi, dengan dosis titrasi dianjurkan pada 4 sampai interval 6 minggu sampai efek klinis yang diinginkan tercapai (Maron, 2010).


(22)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.3 Stabilitas Spironolakton

Spironolakton memiliki guguf fungsi yang dapat mudah terhodrilis, yaitu gugus cinci lakton (ester siklik) dan gugus tioester (Basusaskar, 2013).

Lakton adalah ester siklik yang merupakan produk kondensasi dari alkohol-OH dan asam karboksilat-COOH dalam senyawa yang sama. Ciri khas dari lakton adalah sebuah cincin yang menutup yang terdiri dari 2 atau lebih karbon yang memiliki carbonyl dan atom oksigen yang bersebelahan. Lakton yang dibentuk oleh esterifikasi intramolekul asam hidroksikarboksilat yang sesuai, akan berlangsung secara spontan ketika cincin yang terbentuk adalah lima atau enam anggota (Francis A, Carey dan Robert M, Giuliano. 2011).

Gambar 2.1Keseluruhan biotransformasi spironolakton (Cashman, 1988).

Daftar Singkatan μ 7α-tiometilspironolakton (7α-TMSL), 7α-tiospironolakton

(7α-ThSL), 7α tiometilspironolakton S-oksida (7α-TMSL S-oksida), 6β

-hidroksi-7α-tiometilspironolakton (6β-OH-7 TMSL) dan Karenon (C)

Pada Spironolakton, reaksi hidrolisis pada gugus tioester membentuk

7α-tiometilspironolakto dengan zat perantara 7α-tiospironolakton. Selanjutnya dengan metilasi-S sehingga terbentuk 7α-tiometilspironolakton.Gugus


(23)

cincinɣlakton pada 7α-tiometilspironolakton mengalami hidrolisis untuk membentuk kanrenon (WHO, 2001).

Bedasarkan penelitian Alexander (1997), formulasi suspensi dari tablet spironolakton yang digerus dapat stabil dalam jangka waktu 3 bulan dengan suhu penyimpanan 50 C, 300 C, 500 C, dan 600 C dimana terjadi degradasi kurang dari 10% ( Alexander K.Set al.,1997).

2.3 Stabilitas Obat

Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi kimia. Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama penyimpanan ( Connors,1986).

Degradasi kimia konstituen dalam sebuah produk obat sering menyebabkan kerugian dalam potensi, misalnya, hidrolisis cincin b-laktam hasil benzilpenisilin dalam aktivitas antimikroba yang lebih rendah. dalam contoh beberapa produk degradasi dari obat mungkin degradasi beracun suatu eksipien dapat menimbulkan masalah stabilitas fisik atau mikrobiologis. Pada umumnya, reaksi kimia berlangsung lebih mudah dalam keadaan cair daripada dalam keadaan padat sehingga masalah stabilitas serius lebih umum ditemui dalam obat cair (Walter,1994).

Stabilitas farmasi harus diketahui untuk memastikan bahwa pasien menerima dosis obat yang diresepkan dan bukan hasil ditemukan degradasi efek terapi aktif. farmasi diproduksi bertanggung jawab untuk memastikan ia merupakan produk yang stabil yang dipasarkan dalam batas-batas tanggal kedaluwarsa. apoteker komunitas memerlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas bahwa ia benar dapat menyimpan obat-obatan, pemilihan wadah yang tepat untuk mengeluarkan obat tersebut, mengantisipasi interaksi ketika pencampuran beberapa bahan obat, persiapan, dan menginformasikan kepada pasien setiap perubahan yang mungkin terjadi setelah obat telah diberikan (Parrot, 1978).

Ada dua hal yang menyebabkan ketidakstabilan obat, yang pertama adalah labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu, termasuk struktur kimia masing-masing bahan dan sifat kimia fisika dari masing-masing-masing-masing bahan. Yang keduaadalah


(24)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

faktor-faktor luar, seperti suhu, cahaya, kelembaban, dan udara, yang mampu menginduksi atau mempercepat reaksi degradasi bahan. Skala kualitas yang penting untuk menilai kestabilan suatu bahan obat adalah kandungan bahan aktif, keadaan galenik, termasuk sifat yang terlihat secara sensorik, secara miktobiologis, toksikologis, dan aktivitas terapetis bahan itu sendiri. Skala perubahan yang diijinkan ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope. Kandungan bahan aktif yang bersangkutan secara internasional ditolerir suatu penurunan sebanyak 10% dari kandungan sebenarnya (Voight,1994).

2.3.1 Dekomposisi kimia dari obatakibat Hidrolisis

Berikut terdapat beberapa gugus kimia yang rentan terhadap hidrolisis.

Gambar 2.2Contoh gugus kimia yang rentan terhadap hidrolisis (T Florence et al., 2006)

Obat yang yang mengandung ikatan ester diantaranya adalah asam asetilsalisilat (aspirin), physostigmine, methyldopate, tetrakain dan prokain. Hidrolisis ester biasanya reaksi biomolekuler yang melibatkan pemecahan asil-oksigen.

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk dapat mengontrol hidrolisis obat dalam larutan(T Florence et al., 2006)

a. Optimalisasi Formulasi

Hidrolisis sering dikatalisis oleh ion hidrogen (katalis asam tertentu) atau ion hidroksil (katalis basa tertentu) dan juga dengan jenis asam


(25)

atau basa lainnya yang biasa ditemui sebagai komponen buffer. Beberapa metode tersedia untuk menstabilkan larutan obat yang rentan terhadap hidrolisis katalis asam basa. Metode yang biasa digunakan adalah menentukan pH stabilitas maksimum dari percobaan kinetik pada rentang nilai pH dan memformulasikannya pada pH tersebut. Perubahan konstanta dielektrik dengan penambahan pelarut bukan air seperti alkohol, gliserin atau propilen glikol dalam banyak kasus dapat mengurangi hidrolisis. Karena hanya bagian dari obat yang dalam larutan akan dihidrolisis, untuk menekan degradasi dapat dilakukan dengan membuat obat kurang larut. Stabilitas penisilin prokain dalam suspensi penisilin meningkat secara signifikan dengan mengurangi kelarutan dan menggunakan aditif seperti sitrat, dekstrosa, sorbitol dan glukonat. Menambahkan senyawa yang membentuk kompleks dengan obat dapat meningkatkan stabilitas. Penambahan kafein untuk larutan air dari benzokain, prokain dan tetrakain telah terbukti menurunkan hidrolisis yang dikatalisis oleh basa dari anestesi lokal dengan cara ini. Dalam banyak kasus kelarutan obat dengan surfaktan dapat melindungi dari hidrolisis.

b. Modifikasi struktur kimia obat

Kontrol stabilitas obat dengan memodifikasi struktur kimia menggunakan substituen yang tepat telah disarankan untuk obat yang dengan adanya modifikasi tersebut tidak mengurangi efikasi terapetik. Konsep ini telah digunakan, misalnya, dalam produksi substituen terbaik untuk asam alilbarbiturat untuk mendapatkan stabilitas yang optimal.

2.3.2 Permasalahan dalam sediaan suspensi tanpa persiapan (Extemporaneous suspensions)

Pembuatan yang dilakukan tanpa persiapan dari suspensi obat yang tersedia secara komersial hanya dalam bentuk dosis lain, secara luas dipraktekkan di farmasi rumah sakit, terutama untuk digunakan pada anak.


(26)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Contohnya pada obat-obatan seperti asetazolamid, amiodaron dan merkaptopurin (T Florence et al., 2006).

Metode yang paling sering digunakan adalah menggerus sejumlah tablet yang diperlukan menjadi bubuk halus dalam mortar dan membentuk bubur dengan menambahkan air dengan volume yang kecil. Eksipien seperti pengawet antimikroba, agen pensuspensi dan agen perasa ditambahkan untuk membuat produk akhir. (Martin et al., 1993).

Secara sederhana, formulasi tersebut tentunya dapat menjadi kompleks yang terdiri dari campuran basis dan suspensi atau larutan (biasanya kombinasi keduanya) eksipien dari tablet dan bahan aktif obat. Jika obat ini larut dalam air, timbul suatu keharusan untuk menyaring eksipien tablet yang tidak larut agar larutan menjadi jernih tetapi filtrasi dapat menghilangkan sejumlah besar bahan aktif obat jika ekstraksi dari tablet tidak sempurna (G. H Ahmed, 1987; D. J Woods, 1994).

Eksipien tablet yang tidak larut dalam suspensi dapat membahayakan penampilan produk sedangkan eksipien yang larut dapat mengurangi stabilitas obat, misalnya, dengan mengubah pH sediaan. Jadi mungkin ada beberapa keuntungan dalam menggunakan bubuk obat murni, bukan tablet, tapi serbuk tersebut mungkin tidak mudah didapat (Taketomo C.K, 1990).

Akhirnya, ketika memutuskan formulasi yang digunakan, penting untuk mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi dari komponen yang tidak aktif pada sediaan. Contohnya sukrosa (dalam sirup) dapat meningkatkan pembentukan karies gigi, etanol dapat menyebabkan hipoglikemia dan para-hidroksibenzoat dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas dan memperburuk gejala asma (L.K Golightly, 1988).

Dari hal ini juga telah disarankan bahwa benzoat dan para-hidroksibenzoat dapat memperburuk hiperbilirubinemia neonatal dengan menggantikan bilirubin yang terikat pada protein plasma, tetapi efek ini belum dibuktikan secara in vivo dan jumlah hadir dalam formulasi oral tidak mungkin menimbulkan risiko apapun (L.K Golightly, 1988; D.J Woods, 1996). Batas untuk penyertaan etanol dalam formulasi pediatrik telah diusulkan oleh American Academy of Pediatrics (Anon, 1984).


(27)

Berikut terdapat tabel mengenai potensi risiko yang terkait dengan memodifikasi bentuk sediaan padat oral.

Tabel 2.1Potensi risiko yang terkait dengan memodifikasi bentuk sediaan padat oral (S.C Sweetman, 2007)

Bentuk sediaan yang tidak boleh

digerus Potensi resiko Pelepasan diperpanjang atau

berkelanjutan Peningkatan toksisitas, efek samping Lapisan enterik melindungi bahan

aktif asam yang labil

Khasiat menurun, penyerapan obat diubah

Lapisan film melindungi bahan aktif yang sensitif terhadap cahaya

Khasiat menurun, penyerapan obat diubah

Lapisan untuk pelepasan yang tertunda dirancang untuk melepaskan

bahan aktif di tempat yang didefinisikan dalam saluran

pencernaan

Khasiat menurun, penyerapan obat diubah

Lapisan enterik yang melindungi saluran pencernaan bagian atas dari

bahan aktif

Peningkatan efek iritasi lokal

Gula atau lapisan film yang menyamarkan rasa pahit pada bahan

aktif

Rasa tidak dapat diterima, kepatuhan berkurang

Sitotoksik atau teratogenik Potensi bahaya pada pekerja kesehatan

2.4 Crushing Suspension Method(Metode suspensi dengan penggerusan)

Metode suspensi ini biasa digunakan untuk sediaan padat(tablet) yang tidak dapat terdisentigrasi jika ditempatkan dalam air. Berikut metode pemberian yang dilakukan :

a. Menggunakan mortar dan alu 1. Hentikan enteralfeed.


(28)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bersihkan enteralfeed dengan volume air yang disarankan sekitar

15-30 ml.

3. Periksa monografi obat yang diberikan relevan dengan enteralfeed,

atau berdasarkan interval waktu tertentu yang diperbolehkan sebelum pemberian obat.

4. Pastikan bahwa pakaian pelindung yang sesuai telah dikenakan. 5. Tempatkan tablet dalam mortar.

6. Menghancurkan tablet sampai menjadi serbuk halus, pastikan bahwa serbuk terkandung dalam mortir.

7. Tambahkan 5 mL air dan hancurkan lebih lanjut untuk membentuk pasta.

8. Tambahkan lanjut 5 - 10 ml air dan terus menghancurkan dan bercampur dengan pasta, iniharus membentuk suspensi yang baik. Pastikan bahwa tidak ada potongan yang terlihat lapisan ataupartikel tablet besar.

9. Menarik suspensi ini ke ukuran dan jenis jarum suntik yang sesuai dan mengelolanya melalui enteral feeding tube.

10. Selanjutnya 10 - 20 mL air harus ditambahkan ke mortar dan diaduk dengan alu untuk memastikan bahwa setiap obat yang tersisa di mortar atau di alu tercampur dengan air.

11. Menarik air ini ke jarum suntik dan membilaskannya ke dalam

enteral feeding tube. Dapat diulang untuk memastikan bahwa semua

serbuk yang diberikan.

12. Tabung kemudian akhirnya harus dibilas dengan air untuk memastikan bahwa seluruh dosis telah diberikan.

13. Memulai kembali eternal feeding tube, kecuali interval waktu

tertentu diperlukan setelah pemberian obat.

Catatan : Perawatan harus diambil ketika menggunakan metode ini pada pasien yang penggunaan cairan dibatasi. Lumpang dan alu harus dibersihkan dengan air sabun panas setelah digunakan untuk menghindari kontaminasi silang.

(White et al., 2007).


(29)

1. Hentikan enteralfeed.

2. Bersihkan enteralfeed dengan volume air yang disarankan sekitar

15-30 ml.

3. Periksa monografi obat yang diberikan relevan dengan enteralfeed,

atau berdasarkan interval waktu tertentu yang diperbolehkan sebelum pemberian obat.

4. Tempatkan tablet dalam tabung dari jarum suntik untuk menghancurkan dan mendorong plunger ke dalam tabung.

5. Pasang tutup pada jarum suntik pada saat penghancuran dan memutar tabung pada jarum suntik untuk menghancurkan tablet. 6. Lepaskan tutup dan menarik 10 - 15 mL air ke dalam jarum suntik

penghancur.

7. Pasang tutup dan kocok jarum suntik untuk memastikan bahwa serbuk tercampur dengan baik.

8. Periksa isi jarum suntik untuk memastikan bahwa tidak ada partikel besar yang mungkin memblokir tabung.

9. Memasukkan suspensi ini kedalam enteral feeding tube.

10.Selanjutnya menarik 10 - 30 mL air ke dalam jarum suntik penghancur dan kocok sebelum dibilas kedalam enteral feeding tube

untuk memastikan bahwa seluruh dosis telah diberikan. 11.Akhirnya, bilas dengan volume air sekitar 15-30 ml.

12.Memulai kembali eternal feeding tube, kecuali interval waktu

tertentu diperlukan setelah pemberian obat.

(White et al., 2007).

Sistem yang tertutup ini lebih dipilih untuk sitotoksik atau hormon yang tidak tersedia dalam formulasi cair, untuk menghindari kontaminasi lingkungan dan paparan dari obat ke perawat. Pada tablet yang diberi lapisan enterik berfungsi untuk melindungi obat dari degradasi oleh kondisi asam lambung atau untuk mengurangi timbulnya efek samping lambung. Penghancuran tablet berlapis enterik dan pemberiannya enteral feeding tube sangat mungkin menyebabkan

penyumbatan pada tabung (White et al., 2007).Pemberian tablet enterik berlapis


(30)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

memerlukan penghancuran atau menghapus lapisan enterik sebelum pemberian; Oleh karena itu, obat ini kemungkinan akan terdegradasi dalam lambung. Tingkat degradasi obat tidak dapat diprediksi dan praktisi harus mencari terapi atau rute alternatif sebelum memutuskan untuk mengelola enterik tabel dilapisi melalui tabung makanan enteral ditempatkan di perut. Jika memutuskan untuk mengelola obat dengan metode ini, teknik di atas berlaku tetapi akan menghasilkan jumlah penurunan obat yang tersedia untuk penyerapan dan respon pasien terhadap terapi harus dipantau secara hati-hati. Jika pasien memiliki tabung pengisi dengan akhir dalam usus kecil (duodenum atau jejunum), kemudian penghancuran atau menghapus lapisan enterik sebelum pemberian bawah tabung makanan enteral tidak menjadi masalah (White et al., 2007).

Penghancuran (Crushing) tablet dalam wadah terbuka seperti mortir atau pot obat-obatan, atau membuka kapsul untuk mendapatkan obat puyer yang terkandung di dalamnya, akan meningkatkan risiko inhalasi oleh operator. Hal ini tentunya berpotensi menyebabkan sensitisasi, alergi, absorbsi dan efek samping yang mungkin. Ada juga bahaya pada tingkat lingkungan, paparan ke staf lain dan pasien untuk obat puyer yang dihasilkan dari manipulasi tersebut. Jika metode ini tetap harus dilakukan, metode ini harus dilakukan di sebuah ruangan dengan pintu yang tertutup dan lalu lintas melalui ruangan harus dibatasi selama manipulasi. Hal ini penting bahwa peralatan secara menyeluruh harus dibersihkan setelah manipulasi tersebut untuk menghilangkan residu obat dan untuk menjamin keamanan orang lain.Obat-obatan seperti kortikosteroid, hormon, antibiotik, imunosupresan, sitotoksik dan fenotiazin yang iritasi atau sangat kuat dan perlindungan ekstra harus diambil ketika menyerahkan obat ini. Paparan zat-zat tersebut sangat berbahaya. Oleh karena itu, kontak dengan kulit dan menghirup debu harus dihindari dan peralatan pelindung harus digunakan, misalnya jarum suntik penghancur(White et al., 2007).

Penghancuran (Crushing) tablet yang diberikan melalui enteral feeding tube

tidak hanya meningkatkan kejadian penyumbatan tabung tetapi juga meningkatkan risiko efek samping. Ada banyak formulasi dengan pelepasan yang dimodifikasi dipasarkan untuk kenyamanan sehari-hari. Penghancuran (Crushing) tablet dengan pemberian pelepasan segerapada feeding tube dapat berakibat fatal


(31)

ketika seluruh dosis harian diberikan sebagai bolus dengan pelepasan segera. Sebisa mungkin, profesional kesehatan harus mempertimbangkan formulasi alternatif obat yang sama atau obat yang berbeda yang dapat diberikan melalui

enteral feeding tube yang memiliki efek terapi yang sama (White et al., 2007).

Pada suatu penelitian, didapatkan suatu hasil yang menunjukkan bahwa terjadinya kehilangan kandungan bobot obat selama menggunakan metode ini. Dalam penelitian tersebut dilakukan penghancuran lima jenis obat, dimana masing–masing dari obat tersebut telah mengalami penurunan massa/ kandungan obat sekitar 70 – 90%. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor penghancuran pada mortir atau alat penghancur lainnya sehingga terjadi pengurangan jumlah obat (Zamami et al., 2014).

2.5 Simple Suspension Method(Metode suspensi dengan sederhana)

Simple Suspension Method adalah metode suspensi yang digunakan untuk

pemberian obat melalui enteral feeding tube dimana membiarkan tablet atau

kapsul yang akan hancur dan tersuspensi dalam air hangat di 55 tanpa perlu adanya penghancuran ( Suryani et al., 2013).

Sejak tahun 2001 dirilis "oral medicine through tube administration Handbook" yang menerbitkan daftar obat yang berlaku bersama dengan

pengenalan metode formulasi, metode simple suspension method di sejumlah

fasilitas telah dilaksanakan. Selain "kedua belas revisi pedoman dispensing" dimana adanya revisi pada bulan April 2006, telah ditambahkan metode ini "metode suspensi sederhana" dan hingga sekarang telah diakui dan dilaksanakan secara luas (Kurata et al., 2006).

Adapun prosedur pemberian dengan metode ini adalah sebagai berikut : a. Metode dengan botol


(32)

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2.3Metode simple suspension method dengan botol (Kurata et al., 2006)

b. Metode dengan jarum suntik

Gambar 2.4 Metode simple suspension method dengan jarum suntik (Kurata et al., 2006)

Crushing suspension method dan Simple suspension method merupakan

metode suspensi yang sering digunakan untuk pemberian yang menggunakan

enteral feeding tube. Diantara keduanya tentu memiliki keuntungan dan kerugian


(33)

Tabel 2.2Tabel perbandingan Crushing suspension method dan Simple suspension method(Kurata et al., 2006)

No Permasalahan saat dispensing

Penghancuran tablet Pembukaan Kapsul Membiarkan tablet Membiarkan Kapsul Perusakan lapisan Pembukaan kapsul 1. Dampak terhadap

stabilitas fisik dan kimia

Pengaruh

cahaya X O Δ

Suhu dan

kelembapan X O Δ Perubahan

Warna X O Δ

2.

Dampak terhadap

Farmakokinetik, efikasi, dan efek samping

Enterik, pelepasan berkelanjutan

X X X

Perubahan absorbsi dan bioavaibilitas

X Δ X

3.

Dampak terhadap sensorik

Pengaruh rasa

dan bau O O O iritasi, mati

rasa, zat keras O O O

4. Masalah dispensing Penggerusan, kerugian karena adanya pembagian ke pembungkus

X X O

Pencampuran, terjadinya perubahan

X Δ Δ


(34)

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

terhadap obat pasien

lainnya

5. Dampak Pada dispensing

Kontak, dan kerusakan kesehatan yang disebabkan oleh inhalasi

X O Δ

6. Usaha

Pemberian Obat

Rumit X O Δ

Peningkatan waktu dispensing

X O Δ

Penemuan kesalahan dalam dispensing

X O Δ

Keterangan : X = bermasalah O = tidal bermasalah Δ =Sedikit bermasalah

Manfaat dari penggunaan metode simple suspension method adalah sebagai

berikut (Kurata et al., 2006).

a. Merupakan suatu solusi dalam permasalahan yang terjadi pada dispensing

b. Menghindari sumbatan pada tabung pengisi.

c. Penurunan resiko terjadinya perubahan pada formulasi : setelah pemberian dalam periode hari dari penggerusan dan pencampuran, terdapat resiko perubahan formulasi.

d. Hanya diperlukan waktu 10 menit yang ditempatkan dalam air untuk nantinya tersuspensi dengan sendirinya.

e. Penghindaran resiko dapat dilakukan pada saat pemberian.

f. Dapat meningkatkan kualitas hidup pasien yang selalu menggunakan

enteral feeding tube.


(35)

Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah tidak semua obat yang dapat menggunakan metode simple suspension method dan diperlakukan penelitian

lebih lanjut dari setiap obat sebagai contoh pada obat antidepresan oral, hanya 59 dari 354 obat (16,7%) yang disetujui di Jepang pada April 2013 dan telah diperiksa dengan metode ini ( Hichiya et al., 2014).

Selain itu, penggunaan metode ini tidak dapat digunakan pada tablet yang tidak dapat terdispersi dalam air dan pada tablet selaput enterik, dimana diperlukan suatu penghancuran atau penggerusan agar dapat tersuspensi dalam air (White et al., 2007).

2.6 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dikembangkan pada akhir tahun 1960 dan 1970. Saat ini, sudah sangat luas digunakan sebagai teknik pemisahan baik untuk analisis sampel dan pemurnian dalam variasi sampel baik dalam bidang farmasi, bioteknologi, lingkungan, polimer dan industri makanan (Settle. 1997). Hakekatnya kromatografi merupakan metode pemisahan dimana komponen yang akan dipisahkan terdistribusi diantara dua fase yang tidak saling bercampur yaitu fase diam dan fase gerak (Wellings, 2006).

Pada KCKT , fase diam berupa kolom modern dengan partikel yang sangat kecil (ditempatkan dalam kolom tertutup), sedangkan fase gerak berupa cairan yang dialirkan ke kolom menggunakan bantuan pompa dan terdapat detektor yang sensitif (McMaster, 2007). Berdasarkan mekanisme pemisahannya, diklasifikasikan berdasarkan adsorpsi, partisi, pertukaran ion dan berdasarkan eksklusi ukuran. Pada Partisi dibedakan lagi menjadi kromatografi fase normal dan fase terbalik (Moffat, 2005).

Kromatografi adsorpsi, terjadi interaksi antara solut pada permukaan fase diam, dimana fase diam berupa adsorben polar padat (silika, alumina). Kromatografi partisi berdasarkan partisi analit dalam fase gerak cair dan fase diam cair yang tidak saling bercampur dan terikat pada penyangga kolom karena adanya perbedaan kelarutan komponen sampel dalam kedua fase. Kromatografi pertukaran ion, berdasarkan pertukaran anion atau kation pada fase diam dengan solut. Sedangkan kromatografi eksklusi ukuran, solut dipisahkan berdasarkan


(36)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ukuran molekul, molekul dengan ukuran besar akan terelusi pertama dari kolom tersebut ( Moffat, 2005).

Pada kromatografi partisi, terdapat perbedaan berdasarkan polaritas dari fase diam dan fase gerak yaitu (Harvey, 2000):

1. Fase normal

Pada Kromatografi fase normal, fase diam polar sedangkan fase geraknya adalah non polar. Campuran senyawa polar akan tertahan lebih lama di dalam kolom dibandingkan dengan senyawa non polar. Sehingga senyawa non polar akan keluar dari kolom lebih cepat dibandingkan dengan senyawa polar. Fase diam dapat mengandung gugus siano, diol atau amino.

2. Fase terbalik

Kromatografi fase terbalik, yang umumnya digunakan untuk analisi. Fase diam pada fase terbalik bersifat non polar, sedangkan fase gerak bersifat polar. Fase diam umumnya mengandung senyawa non polar yang mempunyai rantai karbon yang panjang, umumnya gugus n-octyl (C8) or n-octyldecyl

(C18). Sehingga senyawa polar akan keluar lebih cepat dari kolom.

Pada dasarnya peralatan pokok yang selalu (harus) ada di dalam suatu sistem KCKT adalah sebagai berikut, Reservoir untuk fase gerak, Pompa, Injektor,

Kolom, Detektor, Sistem pengolah data ( Recorder / Integrator / PC-Based Software(Kantasubrata, 2004).

Sumber : www.intechopen.com


(37)

a. Solvent Resevoir

Sesuai dengan namanya, fungsi solvent reservoir adalah untuk

menampung fase gerak yang akan dialirkan ke dalam kolom dengan bantuan pompa. Solvent reservoir biasanya terbuat dari gelas dengan volume yang

bervariasi bergantung dari jumlah / volume fase gerak yang dibutuhkan (Kantasubrata, 2004).

b. Pompa

Fungsi pompa di dalam sistem KCKT adalah untuk mendorong fase gerak masuk ke dalam kolom. Tekanan pompa yang diperlukan harus cukup tinggi karena kolom KCKT berisi partikel-partikel yang sangat kecil. Pada dasarnya pompa KCKT harus memenuhi persyaratan sebagai berikut (Kantasubrata, 2004).

1. Dapat memompakan fase gerak secara konstan

2. Mempunyai batas tekanan maksimum yang cukup tinggi (400 psi) 3. Inert terhadap pelarut-pelarut organik (tahan terhadap fase gerak) 4. Mempunyai noise yang rendah

5. Cara kerja sederhana

6. Mempunyai fluktuasi tekanan yang minimal c. Injektor

Fungsi injektor pada sistem KCKT adalah tempat untuk memasukkan cuplikan dengan bantuan syringe. Jenis injektor yang sering digunakan adalah

injector dengan system loop, yaitu jenis injektor yang menggunakan katup

dan loop (Kantasubrata, 2004).

d. Kolom

Kolom pada sistem KCKT merupakan jantung dari sistem tersebut, karena di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen cuplikan. Jadi berhasil tidaknya suatu analisis atau pemisahan komponen-komponen sangat bergantung pada kolom yang digunakan. Pemisahan dapat terjadi karena fase diam yang terdapat di dalam kolom dapat mengadakan interaksi dengan berbagai komponen dengan kekuatan yang berbeda satu sama lain, sehingga masing - masing komponen akan keluar dari kolom dengan waktu retensi ( tR ) yang juga berbeda (Kantasubrata, 2004).


(38)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

e. Detektor

Fungsi detektor dalam KCKT adalah untuk mendeteksi komponen-komponen cuplikan hasil pemisahan kolom secara kualitatif dan kuantitatif bergantung pada kebutuhan analisis. Detektor KCKT yang baik harus mempunyai sensitifitas yang cukup tinggi atau mempunyai limit deteksi yang sangat kecil, sehingga dapat memberikan perubahan sinyal yang besar pada perubahan konsentrasi komponen cuplikan yang kecil. Detektor yang sensitif akan sangat membantu analisis kualitatif maupun kuantitatif, terutama untuk

trace analysis (Kantasubrata, 2004).

Dua jenis detektor yang dikenal didalam KCKT adalah (Kantasubrata, 2004) :

1. Detektor universal

Yaitu detektor yang bisa langsung digabungkan ke dalam instrument KCKT tanpa memerlukan tambahan sistem khusus. Contoh: detektor UV-Vis, detektor indeks refraksi, detektor fluorescence, detektor diode array dan detektor hantaran.

2. Detektor khusus

Yaitu detektor yang memerlukan sistem khusus agar bisa digunakan sebagai detektor dalam KCKT, contoh : FTIR ( Fourier Transform Infrared Spectroscopy), MS ( Mass Spectrometer), dan sebagainya.

f. Sistem Pengolah Data (Recorder / Integrator / Komputer)

Sistem KCKT memerlukan recorder (pencatat) sebagai sistem

pencatat yang berkualitas baik dan mampu menampilkan kromatogram dengan jelas, tepat dan cukup peka.

Keuntungan KCKT antara lain (Harmita, 2006): 1. Waktu analisis cepat

Waktu yang diperlukan biasanya kurang dari satu jam, seringkali hanya 15 menit hingga 30 menit. Untuk analisis yang mudah waktu yang diperlukan kurang dari 5 menit.


(39)

3. Peka

Kepekaannya sangat tergantung pada jenis detektor dan eluen yang digunakan.

4. Pemilihan kolom dan eluen sangat bervariasi 5. Kolom dapat dipakai kembali.

6. Dapat digunakan untuk molekul besar dan kecil 7. Mudah untuk memperoleh kembali cuplikan

8. Tidak seperti kebanyakan detektor dalam kromatografi gas, detektor tidak merusak komponen zat yang dianalisis, sehingga zat yang telah dielusi dapat dikumpulkan dengan mudah setelah melewati detektor.

9. Dapat menghitung sampel dengan kadar yang sangat rendah (bergantung kepada detektor yang digunakan)

2.7 Verifikasi Metode

Verifikasi metode pada dasarnya berbeda dengan validasi metode. Verifikasi metode dilakukan pada semua metode standar (metode baku) atau metode yang telah divalidasi pada waktu mula-mula digunakan dan pada jarak waktu tertentu secara berkala (Gandjar & Rohman, 2006).

Tujuan verifikasi metode antara lain (Gandjar & Rohman, 2006) :

a. Untuk memastikan bahwa analisis dapat menerapkan metode analisis dengan baik.

b. Untuk menjamin mutu hasil uji.

Verifikasi dilakukan dengan menetapkan presisi, akurasi, dan batas deteksi pada suatu metode analisis (Gandjar & Rohman, 2006).

1. Akurasi (Kecermatan)

Kecermatan atau akurasi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan biasanya dinyatakan sebagai persen perolehan kembali atau recovery

(Harmita, 2006). Akurasi atau kecermatan dapat ditetapkan dengan metode (Joseph, 1997):


(40)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a. Recovery analit

Terhadap contoh produk dengan analit pada rentangkonsentrasi yang sesuai, untuk contoh yang diketahui komposisinya (analisis formulasi buatan/sintetis).

b. Metode standard adisi

Teknik penambahan senyawa baku pembanding (spiked sample) pada

rentang konsentrasi yang sesuai ke dalam produk sampel yang akan dianalisis. Teknik ini digunakan untuk sampel yang tidak diketahui komposisinya.

c. Pembandingan hasil pengujian

Membandingkan hasil pengujian metode analisis yang sedang divalidasi dengan metode analisis yang telah valid (metode baku/metode resmi). Cara yang umum digunakan untuk menentukan kecermatan adalah berdasarkan persentase yang didapat dari kurva linier standar. Persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil kadar yang diperoleh dengan kadar yang sebenarnya. Kriteria cermat diberikan jika hasil analisis memberikan rasio antara 80%-120% (Harmita, 2006). 2. Presisi atau Keseksamaan

Presisi didefinisikan sebagai derajat kesesuaian dari sekelompok hasil uji secara individual dan independen jika suatu metode analisis digunakan secara berulang terhadap beberapa sampel yang homogen, dibawah kondisi yang ditetapkan (USP, 2009).

Ada 2 ukuran presisi (USP,2009):

a. Presisi Sistem (Replikabilitas) : Merupakan penilaian terhadap keberulangan sistem untuk mengetahui kesalahan karena sistem, yang tidak bergantung pada penyiapan sampel.

b. Presisi Metode (Repeatabilitas) : Merupakan ukuran dari variabilitas intrinsik, termasuk kesalahan yang disebabkan oleh penyiapan sampel.

Cara penetapan :

Presisi pada prosedur analisis ditetapkan dengan penetapan sejumlah larutan dari sampel yang homogen, kemudian dihitung standar deviasi


(41)

dan koefisien variasi dari larutan tersebut. Pada prosedur menurut ICH direkomendasikan pengulangan seharusnya dilakukan melalui sembilan (9) kali pengulangan dengan 3 konsentrasi berbeda yang masing-masing konsentrasi dibuat tiga (3) replikasi atau dilakukan enam (6) kali penetapan terhadap larutan dengan konsentrasi sama.

3. Linieritas

Linieritas menggambarkan hubungan antara respon detektor dengan konsentrasi analit yang diketahui. Linieritas dapat diperoleh dengan mengukur beberapa (minimal 5) konsentrasi standar yang berbeda antara 50-150% dari kadar analit dalam sampel kemudian data diproses dengan menggunakan regresi linier, sehingga dapat diperoleh nilai slope, intersept

dan koefisien korelasi. Koefisien korelasi di atas 0,999 sangat diharapkan untuk suatu metode analisis yang baik (Harmita, 2006).

4. Batas deteksi dan batas kuantitasi (LOD dan LOQ)

Batas deteksi (LOD) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih memberikan respon yang cukup bermakna atau dapat diukur dibandingkan dengan blangko. Batas kuantitasi (LOQ) merupakan kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memberikan respon yang memenuhi kriteria cermat dan saksama. Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi (Harmita, 2006).

2.8 Penentuan Kadar Spironolakton

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dilengkapi dengan detektor 254 nm dan kolom 4mm x 15 cm berisi bahan pengisis Silika C18. Laju alir 1 mL per menit. Fase gerak yang digunakan adalah Metanol : Akuades yaitu 60 : 40 dengan

volume penyuntikan sejumlah β0 l. Kromatografi terhadap larutan baku

dilakukan dan direkam respon puncak seperti yang tertera pada prosedur yaitu faktor taliing tidak lebih dari 2,0; efisiensi kolom tidak kurang dari 5600 lempeng

teoritis; dan simpangan baku relatif tidak lebih dari 2,0%(The United States Pharmacopeial Convention, 2007).


(42)

26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini akan dilakukan di laboratorium Farmasi yaitu Labolatorium Penelitian II dan Labolatorium Farmakognosi dan Fitokimia Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta. Penelitian akan dimulai bulan Maret hingga Mei.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

KCKT (Dionex Ultimate 3000) yang terdiri dari: pompa (Dionex Ultimate 3000 pump), kolom (AcclaimTM 1200 C18 5µm 120Å 4,6x250mm), autosampler, detektor DAD (Diode Array Detector), program komputer PC (Chromeleon). Spektrofotometer Ultraviolet-Visibel (Hitachi U-2910), Ultrasonic Bath (Branson 5510), pH meter (Horiba), magnetic stirer (Wiggen Hauser), vorteks, sentrifugator dan tabung sentrifugasi (Eppendorf Centrifuge 5417 R), timbangan analitik, alat-alat gelas, mikropipet, lumpang dan alu dan lemari pendingin.

3.2.2 Bahan

Bahan baku Standar Analitik Spironolakton (Sigma-Aldrich), tablet Spironolakton dengan merek dagang Letonal® 25 mg, Metanol Grade HPLC

(Merck), Aquabidest, Aquadest, KH2PO4.

3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pembuatan Larutan Induk Bahan Baku Standar Spironolakton. Larutan induk yang dibuat adalah larutan standar denngan konsentrasi 1000 ppm, dimana 50 mg dari standar spironolakton dilarutkan dalam 50 ml metanol.

3.3.2 Penetapan panjang gelombang maksimum dari bahan baku standar. Pada larutan induk diambil 100 μL untuk diencerkan dengan metanol pada labu ukur 10 ml sehingga didapatkan konsentrasi 10 ppm. Larutan ini kemudian


(43)

dianalisis dengan sprektrofotometer UV-VIS dengan rentang spektrum serapan 200 nm-400 nm. Kemudian ditentukan panjang gelombang maksimumnya.

3.3.3 Penetapan Kondisi Optimum

Dilakukan verifikasi metode yang berdasarkan pada United States Pharmacopeia 30 dengan menginjeksikan 20 µL larutan standar 100µg/mL

dengan fase gerak yaitu campuran metanol dan air dengan perbandingan 60 : 40. Dideteksi pada panjang gelombang yang telah didapatkan sebelumnya dengan laju alir 1ml/menit,dan temperatur kolom 250C. Kemudian dicatat waktu retensi, luas puncak, tailing factor (tidak boleh lebih dari 2), %RSD (Relative Standard

Deviation) yang tidak boleh lebih dari 1,5%. 3.3.4 Uji Kesesuaian Sistem

Larutan standar Spironolakton pada konsentrasi 100µg/mL diinjeksikan sejumlah 20µL ke alat KCKT sesuai dengan kondisi optimum yang telah ditetapkan, sebanyak lima kali. Kemudian dicatat waktu retensi, luas puncak,

tailing factor (tidak boleh lebih dari 2), %RSD (Relative Standard Deviation)

yang tidak boleh lebih dari 1,5%(The United States Pharmacopeial Convention, 2007).

3.3.5 Uji Linieritas

Uji ini dilakukan untuk dapat membuat kurva kalibrasi dari masing-masing larutan induk, persamaan garis linier, nilai koefisien korelasi (r), Limit deteksi (LOD), dan Limit (LOQ).

Uji ini diawali dengan pembuatan kurva kalibrasi yaitu dengan menggunakan rentang konsentrasi larutan standar spironolakton 25, 50, 75, 100, 125, 150 ppm. Masing-masing konsentrasi diinjeksikan sebanyak 20 µL dengan menggunakan panjang gelombang maksimum yang telah didapatkan sebelumnya. Dari nilai luas area puncak kromatogram, dibuat kurva kalibrasi yang dilengkapi dengan persamaan garis linier, nilai koefisien korelasi, LOD, dan LOQ.

LOD dihitung melalui persamaan garis regresi linier dari kurva kalibrasi dengan rumus:

LOQ=10(� )


(44)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

LOD=3(

)

Dimana (Sy/x) adalah simpangan baku residual, b adalah slope dari persamaan regresi.

3.3.6 Uji Akurasi

Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan 3 konsentrasi larutan standar dari nilai presentasi berat sampel masing-masing obat yang digunakan oleh pasien yaitu 80%, 100%, dan 120%.

Untuk larutan standar spironolakton, adapun konsentasi yang digunakan adalah 80 ppm, 100 ppm, dan 120 ppm yang mewakili nilai persentrasi 80%, 100%, dan 120% dari konsentrasi obat yang digunakan dalam uji linieritas yaitu 100 ppm.

Uji dilakukan dengan menyuntikkan20,0 µL masing-masing konsentrasi sebanyak 3 kali. Dari uji ini dihitung nilai % perolehan kembali (% recovery) dan koefisien variasinya (KV).

3.3.7 Uji Presisi

Uji ini dilakukan dari perlakuan serta data yang sama dari uji akurasi. Namun, pada uji ini dilkakukan penambahan perlakuan yaitu adanya perlakuan berupa penyuntikan secara intra day dan penyuntikan secara inter day.

Penyuntikan secaraintra daydilakukakan pada jam ke 0, 8, dan 24. Sedangkan

penyuntikan secara inter day dilakukan pada hari ke-1 dan ke-2. Dari uji ini dapat

ditentukan standar deviasi relatif (SDR) dan SD (Standar Deviasi).

3.3.8 Penyiapan Sampel

a. Pembuatan Reagen Dapar Fosfat

Untuk Dapar Fosfat, pH yang digunakan adalah 4,5. Adapun prosedurnya adalah dengan menimbang 0,36 gram Na2HPO4 yang

kemudian dilarutkan dengan 40 ml aquadest. Setelah terlarut sempurna,

adjust larutan dengan asam ortofosfat hingga pH 4,5. Kemudian larutan


(45)

b. Penyiapan Sampel dengan cara Crushing Suspension Method Sampel obat tablet spironolakton dengan merek dagang Letonal® 25 mg dibuat dengan menggerus tablet pada lumpang alu. Hasil gerusan diambil menggunakan sudip hingga tidak ada serbuk yang tertinggalkemudian dimasukkan kedalam tube berukuran 50 ml kemudian disuspensikan dengan aquadest hingga 50 ml.

c. Penyiapan Sampel dengan cara Simple Suspension Method

Sampel obat tablet spironolakton dengan merek dagang Letonal® 25 mg dibuat dengan mensuspensikannya dalam aquadest hangat (550 C) sebanyak 50 ml pada tube berukuran 50 ml. Diamkan kira-kira 2-5 menit agar obat terdispersi secara menyeluruh.

3.3.9 Analisa Kadar

Masing-masing sampel obat yang telah disuspensikan, dilakukan rangkaian pengujian berdasarkan waktu yaitu pada menit ke 5, 15,30, 45, dan 60. Pada waktu ke 5 menit, cuplikan dari masing – masing obat diambil sebanyak 300 µL yang kemudian dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah berisi 150

µL Dapar Fosfat dan 1050 µL Metanol Grade HPLC. Menuju ke menit 15, masing-masing sampel obat dilakukan pengocokan sebanyak 20 kali dengan tujuan untuk mendispersi obat yang kemudian 1 menit sebelum menuju waktu pengambilan cuplikan, dilakukan sonikasi. Kemudian dilakukan pengambilan cuplikan sama halnya dengan menit yang ke – 0. Begitu selanjutnya hingga menit ke-60. Masing – masing sampel obat yang terdapat dalam larutan campuran di tabung eppendorf, kemudian divortex selama 5 menit dan disentrifugasi selama 5

menit pada suhu kamar dan dengan kecepatan 5000 rpm. Selanjutnya masing –

masing cuplikan dalam tabung eppendorf dimasukkan ke dalam tabung injeksi HPLC. Setelah dimasukkan ke dalam tabung HPLC, larutan siap untuk diinjeksikan. Larutan disuntikkan sebanyak 20 µL ke dalam alat HPLC, yang kemudian diamati terbentuknya puncak kromatogram dengan waktu retensi dan nilai luas area tertentu (Area Under Curvel / AUC). Setiap sampel diinjeksikan

sebanyak tiga kali (triplo). AUC pada kromatogram dimasukkan ke dalam persamaan kurva kalibrasi larutan bahan baku standar Spironolakton untuk menentukan kadar zat aktifnya.


(46)

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Optimasi Metode Analisis Kadar Spironolakton 4.1.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Pada penenlitian ini, penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer Uv-Vis. Panjang gelombang optimum yang terpilih untuk analisis spironolakton yaitu pada panjang gelombang 237,5 nm, karena pada panjang gelombang ini sampel dapat memberikan serapan yang baik dan menghasilkan luas puncak yang besar. Berdasarkan literatur dari USP 30, adapun panjang gelombang maksimum spironolakton adalah 238 nm.

4.1.2 Pemilihan Fase Gerak dan Kondisi Optimum HPLC

Pemilihan fase gerak awalnya berdasarkan literatur USP 30 yaitu Metanol

μ Air (60 μ 40) dengan laju alir 1 ml/menit, volume injeksi β0 L, dan pada

panjang gelombang 237,5 nm. Namun, dari hasil penggunaan kondisi ini, tidak munculnya peak dari spironolakton. Hal ini dapat dikarenakan kondisi optimum tersebut digunakan pada kolom C-18 dengan panjang 15 cm. Sedangakan kolom yang tersedia adalah kolom dengan panjang 30 cm. Dengan volume injek yang kecil sedangkan digunakan kolom yang panjang hal ini tentunya tidak dapat memunculkan peak karena semakin panjang kolom akan membutuhkan volume yang besar untuk dapat dideteksi dan munculnya peak. Oleh karena itu dilakukan perubahan volume injek untuk dapat memunculkan peak dari spironolakton. Selain itu, dilakukan perubahan fase gerak karena pada fase gerak Metanol : Air (60 : 40) tidak memberikan bentuk peak yang baik pada standar dan sampel.Dari hal ini, setelah dilakukan uji pendahuluan didapatkan bentuk peak yang baik dengan fase gerak Metanol : Air (65 : 35).

Dari hasil optimasi ini, maka diperoleh suatu kondisi analisis Spironolakton dengan ketentuan sebagai berikut :

Spesifikasi alat : HPLC merk Dionex, auto sampler, detektor ultraviolet


(47)

Fase Gerak : Metanol : Air dengan perbandingan (65 : 35) Laju alir : 1 mL/menit

Teknik : Isokratik Panjang Gelombang : 237,5 nm Volume Injeksi μ 50 L

Suhu Kolom : Ambient

Waktu akuisisi : 15 menit

4.1.3 Uji Kesesuaian Sistem

Sebelum dilakukan validasi metode analisis, terlebih dahulu dilakukan uji kesesuain sistem untuk memberikan jaminan bahwa sistem kromatografi yang digunakan akan bekerja dengan baik selama analisis berlangsung (FDA, 1994). Hal ini dilakukan karena adanya variasi dalam peralatan dan teknik analisis. Uji kesesuaian sistem dilakukan sebanyak 5 kali penyuntikan pada konsentrasi 100

g/mL.

Berdasarkan literatur dari Farmakope Indonesia edisi IV, suatu parameter yang berguna dalam uji ini adalah keberulangan dari penyuntikan ulang larutan baku yang paling dinyatakan dalam simpangan baku relatif. Penyuntikan ulang larutan baku umumnya tertera dalam masing-masing monografi dan bila tidak dinyatakan, untuk perhitungan digunakan data kromatogram lima kali hasil penyuntikan ulang, jika dinyatakan batas simpangan baku relatif 2,0 % atau kurang, dan digunakan data kromatogram penyuntikan ulang enam kali, jika dinyatakan batas simpangan baku relatif lebih dari 2,0 %.

Berdasarkan USP 30, beberapa parameter yang digunakan dalam menetapkan kesesuaian sistem yaitu bilangan lempeng teori (N), faktor tailing, kapasitas (k‟ atau α) dan nilai standar deviasi relatif (RSD) tinggi puncak dan luas

puncak dari serangkaian injeksi. Pada umumnya, paling tidak ada 2 kriteria yang biasanya dipersyaratkan untuk menunjukkan kesesuaian sistem suatu metode.

Berikut hasil uji keseuaian sistem pada tabel 4.1 dan hasil rinciannya tercantum dalam lampiran 6.


(48)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.1Parameter Uji Kesesuaian Sistem

Parameter Uji Persyaratan (USP 30) Hasil Uji Efisiensi kolom >2000 theoritical plates 2630

Peak Asimetri <2 0,914 Simpangan Baku (RSD)

Peak Retention Peak Areas

<1,5% 0,0704% 0,1978%

Berdasarkan hasil yang tertera pada tabel, hasil uji kesesuaian sistem telah memenuhi persyaratan yang menyatakan bahwa serangkaian metode kerja yang dilakukan dapat menghasilkan akurasi dan presisi yang dapat diterima.

4.2 Verifikasi Metode Analisis Kadar Spironolakton 4.2.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linieritas

Kurva kalibrasi menggambarkan hubungan antara respon detektor dengan konsentrasi analit yang diketahui. Kurva kalibrasi didapat dengan menyuntikkan seri konsentrasi standar kemudian dibuat persamaan regresi linier antara konsentrasi dengan respon detektor. Adapun rentang konsentrasi yang digunakan untuk uji linieritas adalah 0 – 200% dari target konsentrasi pada sampel dan minimal menggunakan 5 titik konsentrasi dari rentan konsentrasi tersebut (Harmita, 2006; ICH guidline, 2005). Pada penelitian ini, kurva kalibrasi dibuat pada rentang konsentrasi 25 ppm – 150 ppm dengan dipilihnya 6 titik konsentrasi yaitu 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm, 100 ppm, 125 ppm, dan 150 ppm. Berikut hasil uji rata-rata yang dapat dilihat pada tabel 4.2 dan hasil rinciannya tercantum dalam lampiran 7.


(49)

Tabel 4.2Konsentrasi standar spironolakton dan luas area

x ( g/mL) Y (luas area mAU*min)

25 47,2483 50 91,3069 75 138,0929 100 179,1575 125 226,1239 150 270,6301

Gambar 4.1Kurva Kalibrasi Standar Spironolakton

Dari pembuatan kurva kalibrasi tersebut, diperoleh nilai r 0,9998 dengan menggunakan persamaan linier y= 2,5175 + 1,7856x dengan nilai standar deviasi yaitu 1,176023%. Nilai r merupakan nilai koefisien korelasi. Hubungan linier yang ideal dicapai jika r = 1 atau r = -1 maka terjadi hubungan yang proporsional antara konsentrasi dan luas area tergantung pada arah garis (Harmita, 2004). Ini berarti bahwa nilai r mendekati ideal dan persamaan yang dihasilkan dapat digunakan untuk analisis kadar spironolakton.

y = 1.7856x + 2.5175 R² = 0.9998

0 50 100 150 200 250 300

0 50 100 150 200

Kurva Kalibrasi Standar Spironolakton

Konsentrasi (μg/mL)

L

uas

A

re

a

(m

A

U

*m


(50)

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2.2 Pengukuran Limit Deteksi (LOD) dan Limit Kuantifikasi (LOQ) Dengan menggunakan data kalibrasi diatas, dihitung nilai LOD dan LOQ. LOD (Limit of Detection) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih

memberikan respon secara signifikan oleh instrumen analisisnya. LOQ (Limit of Quantification) adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih dapat

dianalisis secara akurat dan presisi (Harmita, 2004). Nilai LOD yang diperoleh adalah 2,174γ g/mL dan nilai LOQ yang diperoleh adalah 6,586β g/mL. Nilai LOD dan LOQ yang diperoleh menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk analisis spironolakton untuk konsentrasi diatas 6,586β g/mL.Berikut hasil

uji rata-rata yang dapat dilihat pada tabel 4.3 dan hasil rinciannya tercantum dalam lampiran 8.

Tabel 4.3Hasil Uji LOD dan LOQ

Parameter Nilai

Simpangan baku (Sb) 1,7856 Limit Deteksi (LOD) 2,174γ g/mL Limit Kuantitasi (LOQ) 6,586β g/mL

4.2.3. Uji Akurasi

Akurasi adalah ukuran yang menyatakan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analisis sendiri

tergantung kepada sebaran kesalahan sistematis didalam keseluruhan tahapan analisis. Untuk meningkatkan kecermatan maka harus diperhatikan dalam menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pelarut yang baik, dan pelaksanaan yang cermat sesuai prosedur (Harmita, 2004).Adapun rentang konsentrasi yang digunakan pada uji akurasi adalah 80 – 120 % dari target konsentrasi dengan 3 kali penyuntikan (ICH guidline, 2005). Pada penelitian ini, dilakukan uji akurasi dengan menggunakan 3 titik konsentrasi yaitu 80 ppm, 100 ppm, dan 120 ppm dengan masing – masing konsentrasi dilakukan 3 kali penyuntikan.


(51)

Dari uji ini, secara berurutan diperoleh nilai % Recovery dari konsentrasi

80 ppm, 100 ppm, dan 120 ppm yaitu 95,4928%, 103,0484% dan 100,1112%. Adapun rata – rata % Recovery dari 3 titik konsentrasi ini adalah 99,5508.

Berdasarkan literatur, adapun % Recovery untuk analisis sediaan farmasi yaitu 90

- 110% (McPolin, 2009). Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dibandingkan dengan persyaratan yang telah disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa metode telah memenuhi persyaratan uji akurasi. Berikut hasil uji rata-rata yang dapat dilihat pada tabel 4.4 dan hasil rinciannya tercantum dalam lampiran 9.

Tabel 4.4Hasil Uji Akurasi Konsentrasi

(μg/mL) % Recovery

Syarat % Recovery 80 95,4928

90 – 110% (McPolin, 2009) 100 103,0484

120 100,1112

Mean Recovery 99,5508

4.2.4 Uji Presisi

Presisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dan rata – rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel – sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Adapun presisi diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (RSD). Pada pengujian dengan KCKT, persyaratan nilai RSD adalah antara ≤ 2% yang biasanya dipersyaratkan untuk senyawa-senyawa aktif dalam jumlah yang banyak (ICH guidline, 2005).

Pada penelitian ini, dilakukan uji presisi sesuai dengan ICH yaitu menggunakan 3 titik konsentrasi ( 80, 100, 120 ppm) dengan masing – masing konsentrasi dilakukan 3 kali penyuntikan. Perlakuan ini dilakukan dengan uji presisi antara (intermediate precision). Presisi antara yaitu keseksamaan pada

kondisi percobaan yang berbeda, baik orangnya, perlatannya, tempatya, maupun waktunya (Gandjar, 2012). Adapun presisi antara yang digunakan adalah presisi intra hari yaitu dilakukan analisa masing-masing konsentrasi pada hari yang sama


(52)

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dengan rentang waktu 0, 8, dan 24 jam dan presisi antar hari yaitu dilakukan analisa masing – masing konsentrasi pada hari ke-1 dan ke-2.

Dari penelitian ini, diperoleh nilai RSD untuk masing – masing presisi yang telah dilakukan adalah < 2%. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa metode telah memenuhi persyaratan uji presisi. Hasil uji presisi dapat dilihat pada tabel 4.4 dan hasil penelitian selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10.

Tabel 4.5Hasil Uji Presisi Konsentrasi

(µg/mL) SD (%) RSD (%) Syarat RSD 80 ppm Intrahari 0,4401 0,3184

≤ 2% (ICH guidline,

2005). Interhari 0,0905 0,0634

100 ppm

Intrahari 0,3868 0,2048 Interhari 1,0441 0,5502 120

ppm

Intrahari 0,8960 0,4122 Interhari 0,7411 0,3413

4.3 Pengukuran Kadar Spironolakton dalam Sampel

Pengukuran kadar spironolakton dilakukan pada 2 jenis sampel suspensi yaitu sampel spironolakton dengan Crushing Suspension Method dan sampel

spironolakton dengan Simple Suspension Method. Kedua jenis sampel

spironolakton ini dilakukan pengujian dalam waktu jam ke - 5, 15, 30, 45, 60. Berikut adalah hasil analisa kadar spironolakton dengan Crushing Suspension Methoddan Simple Suspension Method. Untuk selengkapanya dapat dilihat pada


(53)

Tabel 4.6Persentase Kadar Spironolakton dengan Crushing Suspension Method

dan Simple Suspension Method

Metode Suspensi Menit ke - SD (< 2%) Konsentrasi Awal (μg/mL) Konsentrasi akhir (μg/mL) % Kadar

Rata – Rata

Crushing Suspension

Method

5 0,615 100 93,7069 93,7069 93,9505 100 94,1941 94,1941

15 0,181 100 92,8006 92,8006 92,8724 100 92,9441 92,9441

30 0,761 100 91,0861 91,0861 90,7848 100 90,4835 90,4835

45 0,073 100 89,7841 89,7841 89,7550 100 89,7260 89,7260

60 0,141 100 89,2959 89,2959 89,2399 100 89,1840 89,1840

Simple Suspension

Method

5 0,531 100 97,0641 97,0641 97,2743 100 97,4844 97,4844

15 1,631 100 97,5975 97,5975 96,9515 100 96,3056 96,3056

30 0,987 100 96,6989 96,6989 96,3080 100 95,9171 95,9171

45 0,670 100 95,5111 95,5111 95,2458 100 94,9805 94,9805

60 1,221 100 94,6725 94,6725 95,1559 100 95,6394 95,6394


(1)

Lampiran 9. Uji Akurasi

Konsentrasi (µg/mL)

Luas Area (MaU)

Uji

Perolehan Kembali (%)

Rata-rata Uji

Perolehan Kembali (%)

%diff Rata-rata %diff

80 137,7063 94,7311 95,4928 -5,2689 -4,5072

137,0563 94,2839 -5,7161

141,6781 97,4634 -2,5366

100 188,6883 104,2031 103,0484 4,2031 3,0484

183,0111 101,0678 1,0678

188,0929 103,8743 3,8743

120 217,4890 100,3227 100,1112 0,3227 0,1112

217,9314 100,5267 0,5267

215,6712 99,4842 -0,5158


(2)

Lampiran 10. Uji Presisi

Konsentrasi ( g/mL) Area Terukur (mAu) SD (%) RSD (%)

80

Intrahari

Jam ke-0

137,7063

0,4401 0,3184 137,0563 137,9539 Jam ke-9 137,9380 137,2320 139,4135 Interhari Hari ke-1 142,7564

0,0905 0,0634 141,6631 143,8523 Hari ke-2 143,2192 141,2514 144,1854 100 Intrahari Jam ke-0 188,6883

0,3868 0,2048 188,0929 188,8325 Jam ke-9 190,3298 188,5502 188,3746 Interhari Hari ke-1 189,1421

1,0441 0,5502 188,8550 189,0180 Hari ke-2 190,0256 190,8484 190,5707 120 Intrahari Jam ke-0 217,4890

0,8960 0,4122 218,6431 217,9314 Jam ke-9 216,7765 217,4779 216,0077 Interhari Hari ke-1 217,5930

0,7411 0,3413 218,1100 217,2847 Hari ke-2 216,1244 216,9025 216,8165 Cara Perhitungan :

SD = �( − ′)2

−1 RSD =

��


(3)

Lampiran 11. Perhitungan Preparasi Sampel

Tablet Spironolakton 25 mg pada masing-masing metode suspensi terdispersi dalam 50 mL akuades → 500 ppm → ambil 300 µL Spironolakton + 150 µL dapat fosfat dengan pH 4,5 → genapkan hingga 1,5 mL dengan metanol → 100 ppm yang diinjeksikan ke HPLC.

Lampiran 12. Cara Perhitungan Konsentrasi Akhir Spironolakton Diketahui : y = 1,7856x + 2,5175

Luas area C0 = 169,8406 ; 170,7104

Ditanya : a. Nilai konsentrasi akhir C0

b. Persen Kadar c. Rata-rata Kadar d. Persen Degradasi a. Mencari Nilai Konsentrasi Akhir C0

y = 1,7856x + 2,5175 169,8406 = 1,7856x + 2,5175

x = 93,7069

y = 1,7856x + 2,5175 170,7104 = 1,7856x + 2,5175

x = 94,1941

b. Mencari Persen Kadar

93,7069��

100�� × 100% = 93,7069%

94,1941��

100�� × 100% = 94,1941%

c. Mencari Persen Kadar Rata-rata

93,7069+94,1941

2 = 93,9505%

d. Persen Degradasi

Dihitung dari konsentrasi awal yaitu 100 ppm

100−100

100 × 100% = 0,0000%

*Misal :

Kadar spironolakton menit ke-5 93,9505%, maka persen degradasinya adalah

100−93,9505


(4)

Lampiran 13. Hasil Perhitungan Konsentrasi Akhir Spironolakton

Crushing Suspension Method Menit

ke - Area

RSD (< 2%)

Konsentrasi akhir

( g/mL)

% Kadar Rata – Rata

% Degradasi

5 169,8406 0,615 93,7069 93,7069 93,9505 6,0495%

170,7104 94,1941 94,1941

15 168,2223 0,181 92,8006 92,8006 92,8724 7,1276%

168,4785 92,9441 92,9441

30 165,1609 0,761 91,0861 91,0861 90,7848 9,2152%

164,0849 90,4835 90,4835

45 162,8359 0,073 89,7841 89,7841 89,7550 10,2450%

162,7322 89,7260 89,7260

60 161,9643 0,141 89,2959 89,2959 89,2399 10,7601%

161,7644 89,1840 89,1840

Simple Suspension Method

5 175,8352 0,531 97,0641 97,0641 97,2743 2,7257%

176,5857 97,4844 97,4844

15 176,7876 1,631 97,5975 97,5975 96,9515 3,0485%

174,4807 96,3056 96,3056

30 175,1831 0,987 96,6989 96,6989 96,3080 3,6920%

173,7871 95,9171 95,9171

45 173,0621 0,670 95,5111 95,5111 95,2458 4,7542%

172,1146 94,9805 94,9805

60 171,5647 1,221 94,6725 94,6725 95,1559 4,8441%


(5)

Lampiran 14. Hasil Uji Statistik Kadar Spironolakton pada masing-masing suspensi

Uji Independent Sample T-Test

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan nyata nilai rata-rata kadar Spironolakton pada kedua metode suspensi yaitu Crushing Susoension Method dan Simple Suspension Method.

Hipotesis :

 Ho : data nilai rata-rata kadar Spironolakton pada kedua metode suspensi tidak berbeda secara nyata

 Ha : data nilai rata-rata kadar Spironolakton pada kedua metode suspensi berbeda secara nyata

Keputusan :

 Jika nilai signifikansi > 0,05 maka Ho diterima

 Jika nilai signifikansi < 0,05 maka Ho ditolak

Keputusan : Data nilai rata-rata kadar Spironolakton berbeda secara nyata

Dari hasil uji analisa statistik dengan Independent Samples Test diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan nilai rata- rata secara nyata dari kedua metode suspensi. Dari nilai t yang diperoleh, nilai negatif menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar Spironolakton pada Simple Suspension Method lebih tinggi jika dibandingkan dengan Crushing Suspension Method.


(6)