Dasar Hukum LANDASAN TEORI

Islam tetap elastis dan dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Adapun hadist yang menerangkan jual beli adalah: a. Hadis Jabir bin Abdullah: Artinya: dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah mengasihi orang yang murah hati ketika menjual, ketika membeli dan ketika menagih”. H.R. Bukhari. b. Hadis dari „Adbullah bin „Umar: Artinya: hadis „Abdullah bin „Umar ra., bahwasannya Rasulullah Saw bersabda: “dua pihak yang saling berjual beli, salah satunya menggunakan hak memilih khiyar terhadap pihak lain, selama keduanya belum berpisah kecuali mengenai jual beli dengan khiyar. H.R Bukhari c. Hadis dari Bukhari bin Musa 35 Zainuddin, Dkk, Terjemahan Hadits Shahih Bukhari, Jilid I-IV, Jakarta: Widjaya, 1992, h. 255, Hadits No: 1020 36 Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan, Koleksi Hadis yang Disepakati Oleh Al-Bukhari dan Muslim, Penerjemah Muslich Shabir Semarang: 1993. H. 328, Hadis no. 1039 Artinya: mewartakan Ibrahim bin Musa, bercerita „Isa bin Yunus dari Tsaur, dari Khalid bin Ma‟dan r.a. Rasulullah Saw, bersabda: tidak ada maknan yang dimakan seseorang, sekali-kali tidak, yang lebih baik daripada makanan-makanan hasil usaha tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Allah Daud a.s., maka dari hasil usaha tangannya beliau sendiri H.R Bukhari Muslim. 3. Ijma‟ Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. 38 Ummat sepakat bahwa jual beli dan penekunannya sudah berlaku dibenarkan sejak zaman Rasulullah hingga hari ini. 39 Terakhir, dalil dari ijma‟ bahwa umat Islam sepakat bila jual beli itu hukumnya boleh dan terdapat hikmah di dalamnya. Pasalnya, manusia bergantung pada barang yang ada di orang lain dan tentu orang tersebut tidak akan memberinya tanpa ada imbalan balik. Oleh karena itu, dengan diperbolehkannya jual beli maka dapat membantu terpenuhinya kebutuhan setiap orang dan 37 Abu Abdullah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim Bin Al-Mughirah Al- Ja‟fai, Shahih Bukhari, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004, h. 373. Hadist No. 2072 38 Rachmat Syafe‟I, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 75 39 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Bandung: Al- Ma‟arif, 1997, h.48 membayar atas kebutuhannya itu. Manusia itu sendiri adalah mahluk sosial, sehingga tidak bisa hidup tanpa adanya kerja sama dengan yang lain. Pada prinsipnya, dasar hukum jual beli adalah boleh. Imam Syafi‟i mengatakan, “semua jenis jual beli hukumnya boleh kalau di lakukan oleh dua pihak yang masing-masing mempunyai kelayakan untuk melakukan transaksi, kecuali jual beli yang dilarang atau diharamkan dengan izin-Nya maka termasuk dalam kategori yang dilarang. Adapun selain itu maka jual beli boleh hukumnya selama berada pada bentuk yang ditetapkan oleh Allah. 40

C. Rukun Dam Syarat Jual Beli

1. Rukun Jual Beli Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad ijab kabul, orang-orang yang berakad penjual dan pembeli, dan ma‟kud alaih objek akad. Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan Kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan keridhaan. Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul. Adanya kerelaan tidak dapat dilihat sebab kerelaan berhubungan dengan hati, kerelaan dapat diketahui melalui tanda-tanda lahirnya, tanda yang jelas menunjukkan kerelaan adalah ijab dan kabul. 41 40 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011, h. 27 41 Hendi Suhendi, Op.Cit, h. 70 Menurut Hanafi, rukun jual beli adalah ijab-qabul yang menunjukkan adanya maksud untuk saling menukar atau sejenisnya mu‟athaa. Dengan kata lain, rukunnya adalah tindakan berupa kata atau gerakan yang menunjukan kerelaan dengan berpindahnya harga dan barang. Inilah hal pernyataan ulama Hanafi dalam hal transaksi. Adapun mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa jual beli memiliki empat rukun yaitu penjual, pembeli, pernyataan kata ijab-qabul, dan barang. Pendapat mereka ini berlaku pada semua transaksi. Ijab menurut Hanafi, adalah menetapkan perbuatan khusus yang menunjukkan kerelaan yang terucap pertama kali dari perkataan salah satu pihak, baik dari penjual seperti kata bi‟tu saya menjual maupun dari pembeli seperti pembeli mendahului menyatakan kalimat, “saya ingin membelinya dengan harga sekian.” Sedangkan qabul adalah apa yang dikatakan kali kedua dari salah satu pihak. Dengan demikian, ucapan yang dijadikan sandaran hukum adalah siapa yang memulai pernyataan dan menyusulinya saja, baik itu dari penjual maupun dari pembeli. Namun, ijab menurut mayoritas ulama adalah pernyataan yang keluar dari orang yang memiliki barang meskipun dinyatakannya di akhir. Sementara qabul adalah pernyataan dari orang yang akan memiliki barang meskipun dinyatakan lebih awal. Adapun rukun jual beli menurut mayoritas ulama selain Hanafi ada tiga atau empat: pelaku transaksi penjualpembeli, objek transaksi barangharga, pernyataan ijabqabul. 42 42 Wahbah Az-Zuhaili, Op Cit, h. 28 2. Syarat jual beli a. Penjual dan pembeli Syaratnya adalah: 1 Berakal, agar tidak terkecoh Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya. Sebagaimana firman Allah Swt, dalam surat An-Nisa ayat 5: 43            Artinya: dan janganlah kamu serakah kepada orang-orang yang bodoh, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan Allah untukmu sebagai pokok kehidupan. 2 Dengan kehendak sendiri bukan dipaksa Pada dasarnya jual beli itu hendaknya dilakukan atas kemauan sendiri adanya kerelaan atau tidak ada paksaan dari masing-masing pihak. Karena kerelaan itu adalah perkara yang tersembunyi dan tergantung pada qarinah diantara ijab dan qabul, seperti suka sama suka dalam ucapan, penyerahan dan penerimaan. 3 Tidak mubazir pemboros orang yang pemboros apabila melakukan jual beli, maka jual belinya tidak sah. Sebab orang yang pemboros itu suka 43 Departemen Agama RI, Op Cit, h. 61