Fungsi Dewan Pengawas Syariah Pada Bank Sumut Syariah

83 melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan dokumen-dokumen produk pembiayaan, apakah produk tersebut sudah sesuai dengan syariat Islam atau belum. Bapak Amiur Nuruddin selaku anggota Dewan Pengawas Syariah Sumut menambahkan, sesuai syariat Islam dalam pinjam meminjam tidak diperbolehkan ada tambahan dalam bentuk keuntungan bagi pihak yang memiliki uang. Namun dalam peminjaman dana talangan haji yang menggunakan dua akad sekaligus yaitu akad qard pinjaman dan akad ijarah jasa, maka Bank Sumut Syariah berhak mendapatkan ujroh terhadap jasa yang telah diberikan kepada para nasabah. 86

3. Fungsi Dewan Pengawas Syariah Pada Bank Sumut Syariah

Pengembangan lembaga-lembaga keuangan terutama lembaga keuangan syariah juga mengalami kemajuan-kemajuan yang pesat, dan ada pada saatnya untuk melakukan pemantauan, pengawasan dan arahan yang memungkinkan pengembangan lembaga-lembaga keuangan tersebut. Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang membahas pandangan syariah tentang Reksadana dan rekomendasi lokakarya yang antara lain mengusulkan agar dibentuk DSN untuk mengawasi dan mengarahkan lembaga-lembaga keuangan syariah. Oleh sebab itu, dipandang perlu adanya pedoman dasar mengenai DSN tersebut. Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan syariah di tanah air akhir-akhir ini dan adanya DSN pada setiap lembaga keuangan, dipandang perlu 86 http:www.waspada.co.id, Bank Sumut luncurkan Produk pinjaman Bank Syariah, diakses pada 5 Juni 2012. Universitas Sumatera Utara 84 didirikan DSN yang akan menampung berbagai masalah kasus yang memerlukan fatwa agar diperoleh kesamaan dalam penanganannya dari masing-masing Dewan Pengawas Syariah DPS yang ada di lembaga keuangan syariah. Pembentukan DSN merupakan langkah efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomikeuangan. DSN diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. DSN berperan secara pro-aktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan. Peranan Dewan Pengawas Syariah DPS sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Menurut Surat Keputusan DSN MUI No.Kep-98MUIIII2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk : 87 1. Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah. 2. Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN 3. Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran. 4. Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN. 87 Peran Dewan Syariah Nasional, http:zonakies.com, diakses pada 5 April 2012. Universitas Sumatera Utara 85 Untuk melakukan pengawasan tersebut, anggota DPS harus memiliki kualifikasi keilmuan yang integral, yaitu ilmu fiqh muamalah dan ilmu ekonomi keuangan Islam modern. Kesalahan besar perbankan syari’ah saat ini adalah mengangkat DPS karena kharisma dan kepopulerannya di tengah masyarakat, bukan karena keilmuannya di bidang ekonomi dan perbankan syari’ah. Masih banyak anggota DPS yang belum mengerti tentang teknis perbankan dan LKS, apalagi ilmu ekonomi keuangan Islam seperti akuntansi, akibatnya pengawasan dan peran-peran strategis lainnya sangat tidak optimal. Dewan Pengawas Syariah DPS juga harus memahami ilmu yang terkait dengan perbankan syariah seperti ilmu ekonomi moneter misalnya, dampak bunga terhadap investasi, produksi, unemployment pengangguran. Dampak bunga terhadap inflasi dan volatilitas currency perubahan mata uang, dengan memahami ini, maka tidak ada lagi ulama yang menyamakan margin batas jual beli murabahah dengan bunga. Tetapi faktanya, masih banyak ulama yang tidak bisa membedakan margin murabahah dengan bunga, karena minimnya ilmu yang mereka miliki. 88 Karena pengangkatan Dewan Pengawas Syariah DPS bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi pengawasan Dewan Pengawas Syariah DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi. Harus diakui, bahwa perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syari’ah. 88 Ibid. Universitas Sumatera Utara 86 Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja pada setiap cabang bank syari’ah, yang masih dominan didasarkan atas kinerja keuangan, akan dapat mendorong praktisi untuk melanggar ketentuan syari’ah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syari’ah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak heran, jika masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syari’ah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah, yang juga mengherankan lagi adalah, sering sekali kasus-kasus yang menyimpang dari syari’ah Islam di bank syari’ah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia daripada oleh Dewan Pengawas Syariah DPS, sehingga DPS baru mengetahui adanya penyimpangan syari’ah setelah mendapat informasi dari Bank Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan Dewan Pengawas Syariah DPS di bank-bank syari’ah. Bank syariah harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan prinsip syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi reputation-risk yang bermuara pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan syari’ah. Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek operasionalnya. Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim mengatakan, dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang dilaporkan Bank Indonesia, masih ditemui Universitas Sumatera Utara 87 berbagai sistem operasional bank syariah yang belum sesuai dengan prinsip kepatuhan pada nilai-nilai syariah. Hal itu diungkapkannya dalam seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca-Fatwa MUI di Jakarta, 10 Pebruari 2004. Melihat fenomena tidak syari’ahnya bank syari’ah tersebut, sampai-sampai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia Asbisindo, Wahyu Dwi Agung mengatakan Bank Indonesia BI seharusnya segera meluruskan pihak manajemen bank syariah terkait. Peringatan serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim, dalam Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang. Deputi Gubernur BI itu dalam orasinya menuliskan, sejak dini DPS dan pengawas bank syari’ah, harus meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syari’ah. Hal ini penting agar bank syari’ah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap prinsip-prinsip syari’ah, bankir syari’ah harus sepenuhnya konsisten terhadap penerapan prinsip-prinsip syari’ah, karena umumnya di dunia ini kegagalan bank syari’ah dapat terjadi, karena ketidak-konsistenan dalam menjalankan prinsip syari’ah. Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran DPS sangat menentukan dalam mengawasi operasi bank syari’ah agar tetap memenuhi prinsip-prinsip syari’ah. DPS harus secara aktif dan rutin melakukan pengawasan terhadap bank syari’ah. 89 89 Purwanto Hadi, Dewan Pengawas Syariah, http:purwantohadi.multiply.com, diakses pada 21 April 2012. Universitas Sumatera Utara 88 Kelangkaan ulama integratif sebagaimana disebut di atas, bahwa DPS harus menguasai fiqh mumalah bersama perangkatnya ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tafsir dan hadist ekonomi, juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan perbankan Islam modern. Tapi kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit diwujudkan, karena kita kekurangan ulama yang memahami kedua disiplin keilmuan tersebut sekaligus. Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa lebih optimal dan mereka bisa merumuskan menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syari’ah di Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di berbagai Perguruan Tinggi. Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan mereka memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu pertama, fiqih mumalah, ushul fiqh, qawaid fiqh serta ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai bekal ilmu ekonomi keuangan modern, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dengan baik, bukan sekedar pajangan kharisma. Berdasarkan keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia N0.01 Tahun 2000, tentang Pedoman Dasar Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia PD DSN-MUI, menetapkan bahwa : 90 Kedudukan dan status anggota DPS, yaitu : 1. Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia. 90 Ibid. Universitas Sumatera Utara 89 2. Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait, seperti Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturanketentuan untuk lembaga keuangan syariah. 3. Anggota Dewan Syariah Nasional terdiri dari para ulama, praktisi dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan muamalah syariah. 4. Anggota Dewan Syariah Nasional ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 empat tahun. Dewan Syariah Nasional bertugas : 1. Menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya. 2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan. 3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. 4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Dewan Syariah Nasional berwenang : 1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah dimasing- masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. 2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuanperaturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. 3. Memberikan rekomendasi danatau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu lembaga keuangan syariah. 4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneterlembaga keuangan dalam maupun luar negeri. 5. Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. 6. Mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan. Mekanisme kerja DPS, yaitu : 1. Dewan Syariah Nasional mensahkan rancangan fatwa yang diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN. 2. Dewan Syariah Nasional melakukan rapat pleno paling tidak satu kali dalam tiga bulan, atau bilamana diperlukan. 3. Setiap tahunnya membuat suatu pernyataan yang dimuat dalam laporan tahunan annual report bahwa lembaga keuangan syariah yang Universitas Sumatera Utara 90 bersangkutan telahtidak memenuhi segenap ketentuan syariah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. Badan Pelaksana Harian 1. Badan Pelaksana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syariah. Usulan ataupun pertanyaan ditujukan kepada sekretariat Badan Pelaksana Harian. 2. Sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris paling lambat 1 satu hari kerja setelah menerima usulan pertanyaan harus menyampaikan permasalahan kepada Ketua. 3. Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat- lambatnya 20 hari kerja harus membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan terhadap suatu pertanyaanusulan. 4. Ketua Badan Pelaksana Harian selanjutnya membawa hasil pembahasan ke dalam Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional untuk mendapat pengesahan. 5. Fatwa atau memorandum Dewan Syariah Nasional ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris Dewan Syariah Nasional. Tugas Dewan Pengawas Syariah adalah : 1. Dewan Pengawas Syariah melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya. 2. Dewan Pengawas Syariah berkewajiban mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syraiah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada Dewan Syariah Nasional. 3. Dewan Pengawas Syariah melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada Dewan Syariah Nasional sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran. 4. Dewan Pengawas Syariah merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan Dewan Syariah Nasional. Pembiayaan DPS, yaitu : 1. Dewan Syariah Nasional memperoleh dana operasional dari bantuan Pemerintah Depkeu, Bank Indonesia, dan sumbangan masyarakat. 2. Dewan Syariah Nasional menerima dana iuran bulanan dari setiap lembaga keuangan syariah yang ada. 3. Dewan Syariah Nasional mempertanggung-jawabkan keuangansumbangan tersebut kepada Majelis Ulama Indonesia. Sehingga semua produk-produk yang ada pada bank syariah, termasuk produk pembiayaan talangan haji, yang mengawasinya adalah DPS yang dipilih dan ditetapkan oleh MUI. Universitas Sumatera Utara 91

C. Hukum Kontrak Syariah

Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau simpulan baik ikatan yang nampak hissyy maupun tidak nampak ma’nawy. Kamus al- Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement kontrak dan perjanjian. Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikat untuk melaksanakannya. 91 Subhi Mahmasaniy mengartikan kontrak sebagai ikatan atau hubungan di antara ijab dan qabul yang memiliki akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakkan 92 . Terdapat juga pakar yang mendefinisikan sebagai satu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan kesepakatan atau kerelaan bersama. Dalam hukum Islam istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identik dan disebut akad. Sehingga dalam hal ini akad didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut syarak yang tampak akibat hukumnya pada obyeknya. 93 Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kontrak merupakan kesepakatan bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih melalui ijab dan qabul yang 91 Muhammad Salam Madkur, al-Madkhal al-fiqh al –Islamiyy. ttp: Dar al-Nahdah al- ‘Arabiyyah, 1963 hal.506. 92 Subhiyy Mahmasaniy, al-Nazariyyat al-‘Ammah li al-Mujibat wa al-‘Uqud fi al-Shari’ah al-Islamiyyah. Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1948, hal. 210. Universitas Sumatera Utara 92 memiliki ikatan hukum bagi semua pihak yang terlibat untuk melaksanakan apa yang menjadi kesepakatan tersebut. Sehubungan dengan pengertian Hukum Kontrak dalam literatur Ilmu Hukum, terdapat berbagai istilah yang sering dipakai sebagai rujukan di samping istilah hukum perikatan untuk menggambarkan ketentuan hukum yang mengatur transaksi dalam masyarakat. Ada yang menggunakan istilah hukum perutangan, hukum perjanjian ataupun hukum kontrak. Masing-masing istilah tersebut mempunyai artikulasi yang berbeda satu dengan lainnya. 94 Istilah hukum perutangan biasanya diambil karena suatu transaksi mengakibatkan adanya konsekuensi yang berupa suatu peristiwa tuntut-menuntut. 95 Hukum perjanjian digunakan apabila melihat bentuk nyata dari adanya transaksi. Hal ini mengacu kepada pengertian perjanjian menurut Subekti, yaitu suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Apabila pengaturan hukum tersebut mengenai perjanjian dalam bentuk tertulis sering disebut Hukum Kontrak. Sedangkan digunakan hukum perikatan untuk menggambarkan bentuk abstrak dari terjadinya keterikatan para pihak yang mengadakan transaksi tersebut, yang tidak hanya timbul dari adanya perjanjian antara para pihak, namun juga dari ketentuan yang berlaku di luar perjanjian tersebut yang 94 Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cetakan ke-2, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal. 1. 95 Bandingkan dengan pengertian perikatan menurut Subekti yaitu, suatu pehubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,berdasarkan atas pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu, lihat Subekti 2001, Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, hal.1. Universitas Sumatera Utara 93 menyebabkan terikatnya para pihak untuk melaksanakan tindakan hukum tertentu. Di sini tampak bahwa hukum perikatan memiliki pengertian yang lebih luas dari sekadar hukum perjanjian. 96 Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenscomstrecht. 97 Lebih lengkap lagi Salim.H.S mengartikan hukum kontrak sebagai “Keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Definisi tersebut didasarkan kepada pendapat Van Dunne, yang tidak hanya mengkaji kontrak pada tahap kontraktual semata-mata, tetapi juga harus diperhatikan perbuatan sebelumnya yang mencakup tahap pracontractual dan post contractual. Pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan, sedangkan post contractual adalah pelaksanaan perjanjian. Dari definisi hukum kontrak di atas dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak yaitu: 98 a. Adanya kaidah hukum b. Adanya subyek Hukum c. Adanya prestasi d. Adanya kata sepakat e. Adanya akibat hukum 96 I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak: Teori dan Praktik, Kesaint Blanc, Jakarta, 2003, hal. 3. 97 Salim H. S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cetakan ke-4, Sinar Grafika, Jakarta,,2006, hal. 3. 98 Ibid, hal.4-5. Universitas Sumatera Utara 94 Adapun yang dimaksud dengan istilah hukum kontrak syari’ah disini adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum di bidang mu’amalah khususnya perilaku dalam menjalankan hubungan ekonomi antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum secara tertulis berdasarkan hukum Islam. 99 Kaidah-kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan konsep hukum kontrak syari’ah di sini, adalah yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadist maupun hasil interpretasi terhadap keduanya, serta kaidah- kaidah fiqih. Dalam hal ini dapat digunakan juga kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam Qanun yaitu peraturan perundang-undangan yang telah diundangkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dan yurisprudensi, serta peraturan-peraturan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Tahap pracontractual dalam hukum kontrak syari’ah adalah perbuatan sebelum terjadi kontrak yaitu tahap bertemunya ijab dan qabul, sedangkan tahap post contractual adalah pelaksanaan perjanjian termasuk timbulnya akibat hukum dari kontrak tersebut. 1 . Asas-asas Perjanjian Akad Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis dan fondasi. Secara terminologi asas adalah dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. 100 Istilah lain yang memiliki arti sama dengan kata asas adalah prinsip yaitu dasar atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan 99 Gemala Dewi, Opcit, hal.3. 100 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Balai Pustaka, Jakarta, 2002 hlm. 70. Universitas Sumatera Utara 95 sebagainya. Mohammad Daud Ali mengartikan asas apabila dihubungkan dengan kata hukum adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. 101 Dari definisi tersebut apabila dikaitkan dengan perjanjian dalam hukum kontrak syariah adalah, kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan pendapat tentang perjanjian terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum kontrak syari’ah. Pada hukum kontrak syari’ah terdapat asas-asas perjanjian yang melandasi penegakan dan pelaksanaannya. Asas-asas perjanjian tersebut diklasifikasikan menjadi asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum dan asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus. Adapun asas-asas perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya umum adalah: a. Asas Ilahiah atau Asas Tauhid Setiap tingkah laku dan perbuatan manusia tidak akan luput dari ketentuan Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam QS.Al-hadid 57: 4 yang artinya : ”Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah maha melihat apa yang kamu kerjakan”. Kegiatan mu’amalah termasuk perbuatan perjanjian, tidak pernah akan lepas dari nilai-nilai ketauhidan. Dengan demikian manusia memiliki tanggung jawab akan hal itu. Tanggung jawab kepada masyarakat, tanggung jawab kepada pihak kedua,tanggung jawab kepada diri sendiri, dan tanggung jawab kepada Allah Swt. 101 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cetakan ke-8, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 50-52. Universitas Sumatera Utara 96 Akibat dari penerapan asas ini, manusia tidak akan berbuat sekehendak hatinya karena segala perbuatannya akan mendapat balasan dari Allah Swt. 102 b. Asas Kebolehan Mabda al-Ibahah Terdapat kaidah fiqhiyah yang artinya,”Pada asasnya segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang melarang”. 103 Kaidah fiqih tersebut bersumber pada dua hadis berikut ini: Hadis riwayat al Bazar dan at-Thabrani yang artinya: “Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan Allah adalah haram, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan. Maka terimalah dari Allah pemaaf-Nya. Sungguh Allah itu tidak melupakan sesuatupun” Hadis riwayat Daruquthni, dihasankan oleh an-Nawawi yang artinya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka janganlah kamu langgar dia, dan Allah telah mengharamkan sesuatu maka janganlah kamu pertengkarkan dia,dan Allah telah mendiamkan beberapa hal, maka janganlah kamu perbincangkan dia. 104 Kedua hadist di atas menunjukkan bahwa segala sesuatunya adalah boleh atau mubah dilakukan. Kebolehan ini dibatasi sampai ada dasar hukum yang melarangnya. Hal ini berarti bahwa Islam memberi kesempatan luas kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam transaksi baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. c. Asas Keadilan Al ‘Adalah 102 Muhammad Syakir Aula, Asuransi Syari’ah Life and General: Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hal. 723-727 103 Imam Musbikin, Qawa’id Al-Fiqhiyah, cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.58. 104 Ibid, hal.59. Universitas Sumatera Utara 97 Dalam QS. Al-Hadid 57: 25 disebutkan bahwa Allah berfirman yang artinya ”Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan Neraca keadilan supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. Selain itu disebutkan pula dalam QS.Al A’raf 7: 29 yang artinya “Tuhanku menyuruh supaya berlaku adil”. Dalam asas ini para pihak yang melakukan kontrak dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya. d. Asas Persamaan Atau Kesetaraan Hubungan mu’amalah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seringkali terjadi bahwa seseorang memiliki kelebihan dari yang lainnya. Oleh karena itu sesama manusia masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Maka antara manusia yang satu dengan yang lain, hendaknya saling melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Dalam melakukan kontrak para pihak menentukan hak dan kewajiban masing- masing didasarkan pada asas persamaan dan kesetaraan. 105 Tidak diperbolehkan terdapat kezaliman yang dilakukan dalam kontrak tersebut. Sehingga tidak diperbolehkan membeda-bedakan manusia berdasar perbedaan warna kulit, agama, adat dan ras. Dalam ayat Al-qur’an disebutkan yang artinya : “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal” 106 105 Gemala Dewi, Op.Cit, hal.32-33. 106 Al-qur’an, Surat Al-Hujurat 49: 13 Universitas Sumatera Utara 98 e. Asas Kejujuran dan Kebenaran Ash Shidiq Jika kejujuran ini tidak diterapkan dalam kontrak, maka akan merusak legalitas kontrak dan menimbulkan perselisihan diantara para pihak. 107 Selanjutnya dalam surat Al-qur’an juga disebutkan yang artinya : ”Hai orang –orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”. 108 Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memiliki manfaat bagi para pihak yang melakukan perjanjian dan bagi masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan perjanjian yang mendatangkan mudharat dilarang. f. Asas Tertulis Al Kitabah Suatu perjanjian hendaknya dilakukan secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti apabila di kemudian hari terjadi persengketaan. Dalam QS.Al- Baqarah 2; 282- 283 dapat dipahami bahwa Allah SWT menganjurkan kepada manusia agar suatu perjanjian dilakukan secara tertulis, dihadiri para saksi dan diberikan tanggung jawab individu yang melakukan perjanjian dan yang menjadi saksi tersebut. Selain itu dianjurkan pula jika suatu perjanjian dilaksanakan tidak secara tunai maka dapat dipegang suatu benda sebagai jaminannya. g. Asas Iktikad baik Asas Kepercayaan Asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang berbunyi, ”Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas ini mengandung 107 Mohammad Daud Ali, Op.Cit, hal. 124. 108 Al-qur’an, Surat Al-Ahzab 33: 70 Universitas Sumatera Utara 99 pengertian bahwa para pihak dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi kontrak atau prestasi berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh serta kemauan baik dari para pihak agar tercapai tujuan perjanjian. h. Asas Kemanfaatan dan Kemaslahatan Asas ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk perjanjian yang dilakukan harus mendatangkan kemanfaatan dan kemaslahatan baik bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian maupun bagi masyarakat sekitar meskipun tidak terdapat ketentuannya dalam Al Qur’an dan Al Hadis. 109 Asas kemanfaatan dan kemaslahatan ini sangat relevan dengan tujuan hukum Islam secara universal. Selain asas-asas yang disebut diatas, ada lagi asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan bersifat khusus. Asas-asas yang bersifat khusus tersebut adalah:

2. Kriteria dan sifat asas secara khusus