PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA

47

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA

PEMBAKARAN LAHAN A. Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan Manusia merupakan makhluk yang tidak akan dapat hidup sendiri, dan tidak akan terlepas dari orang lain. setiap manusia, pasti akan berinteraksi atau berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia yang merupakan subjek hukum pidana, juga tidak akan terlepas dari peristiwa hukum, yang merupakan hasil interaksi antar subjek hukum. Akibat berbagai faktor, manusia yang merupakan subjek hukum, tidak sedikit yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana tersebut dilakukan. Salah satu perbuatan pidana yang dilakukan adalah pembakaran hutan, yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas. Moeljatno berpendapat, bahwa perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan tersebut disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 42 R. Tresna dalam buku Adami Chazawi mendefinisikan perbuatan pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tidakan penghukuman. 43 Selain itu, syarat-syarat yang 42 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002, h. 54. 43 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Batas Ber;akunua Hukum Pidana Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h. 73. Universitas Sumatera Utara disebutkan oleh R. Tresna terkait peristiwa pidana adalah sebagai berikut : 44 1. Harus ada perbuatan manusia. 2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum. 3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan. 4. Perbuatan tersebut harus berlawanan dengan hukum. 5. Terhadap perbuatan itu, harus tersedua ancaman hukumannya dalam undang-undang. Sudikno Mertokusumo mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 45 Pelaku yang dimaksud oleh Sudikno adalah subjek hukum pidana, baik orang perseorangan, maupun korporasi. Dalam doktrin hukum pidana, konsep tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana terbagi menjadi dua bentuk doktrin, yaitu ajaran yang memasukan pengertian pertanggungjawaban pidana ke dalam pengertian tindak pidana atau yang dikenal dengan doktrin ajaran monoisme, dan ajaran yang mengeluarkan secara tegas pengertian pertanggungjawaban pidana dari pengertian tindak pidana atau yang dikenal dengan doktrin dualisme. 46 Dalam ajaran monoisme, frasa kesengajaan, kealpaan, kemampuan bertanggungjawab, pembuat bersalah, dapat dipersalahkan, dan dapat 44 Ibid 45 Sudkno Mertokusumo, Mengenal Hukum Yogyakarta: Liberty, 1999, h. 91. 46 Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana : Perkembangan dan Penerapa Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2015 h. 12 Universitas Sumatera Utara dipertanggungjawabkan dimasukan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. 47 Manusia sebagai subjek hukum harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya secara hukum. Apabila subjek hukum melakukan sebuah perbuatan pidana, maka subjek hukum tersebut harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya secara hukum. Moeljatno mengatakan bahwa hubungan antara perbuatan pidana dan kesalahan dinyatakan dengan hubungan antara sifat melawan hukumnya. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana, apabila dia tidak melakukan perbuatan pidana. Orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu perbuatan pidana tidak mungkin dikenakan pidana, sekalipun banyak orang mengerti. 48 Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela. Perbuatan tersebut juga tentunya akan dapat diketahui apakah perbuatan tersebut merupakan sebuah kesengajaan, ataupun kealpaan. Tindak pidana pembakaran lahan merupakan tindak pidana yang berdampak langsung kepada kehidupan masyarakat. Problem utama tiap masyarakat modern adalah bukan menginginkan perusahaan yang besar, melainkan apa yang dapat diharapkan terhadap perusahaan besar tersebut. 49 Menurut Erman Rajagukguk, pembangunan yang komprehensif harus memperhatikan hak-hak asasi manusia. Keduanya tidak dalam posisi yang 47 Ibid. h. 13 48 Moeljatno, Op.cit. h. 155. 49 Alvi Syahrin, Op.cit. h. 58. Universitas Sumatera Utara berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi masyarakat. 50 Beranjak pada argumen dari Erman Rajagukguk, tindak pidana merupakan salah satu perbuatan yang tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia. Bahkan perbuatan tersebut dapat merugikan masyarakat sekitar. Sehingga, perbuatan tersebut seharusnya diminta pertanggungjawabannya kepada pelaku pembakaran lahan, baik pembakaran lahan karena kesengajaan, maupun karena kealpaan seseorang. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, tidak hanya orang perorangan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan pidana yang dilakukan. Korporasi merupakan salah satu subjek hukum, yang juga sama halnya dengan orang perorangan. Korporasi yang memiliki sturktur organisasi yang jelas, serta melakukan perbuatan hukum, apabila dalam tindakan yang dilakukan oleh orang yang berada dalam struktur organisasi tersebut dan mengatas namakan korporasi tersebut melakukan sebuah perbuatan pidana, maka korporasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya. Korporasi dalam ruang geraknya dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas. Korporasi dapat melakukan suatu tindak pidana melalui pejabat seniornya yang memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak dari korporasi. Pejabat senior tersebut adalah mereka yang mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan pejabat 50 Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi : Implikasi Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997. h. 7. Dalam Alvi Syahrin, Ibid. Universitas Sumatera Utara senior yang lain, yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari korporasi. 51 Berbeda dengan orang perseorangan dalam hal pertanggungjawaban pidana. Korporasi tidak hanya menerima sanksi yang bersifat administratif terhadap korporasi tersebut. akan tetapi, direksi dari sebuah korporasi yang melakukan tindak pidana juga harus diminta pertanggungjawabannya. Pasal 98 ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, menjadi sebuah dasar hukum yang jelas bahwa direksi dari suatu perusahaan akan dapat bertindak atas nama perusahaan atau korporasi, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Hal tersebut membuktikan, bahwa direksi yang harus bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Sama halnya dengan tindak pidana pembakaran lahan, baik lahan perkebunan, lahan kehutanan, dan bentuk tindak pidana pengerusakan lingkungan hidup lainnya, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah orang perorangan dan korporasi atau badan usaha yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan tersebut. Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan : 1 Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada : a. Badan usaha; danatau b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut 2 Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan 51 Alvi Syahrin, Op.cit. h. 57. Universitas Sumatera Utara usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama Dalam Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, perbedaan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup, maupun korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup seperti pembakaran lahan, adalah bahwa korporasi dapat menerima sanksi pidana tambahan. Berbeda dengan orang perseorangan yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan, yang hanya menerima sanksi berupa pidana penjara, kurungan danatau denda. Pidana tambahan menurut Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas berupa : 1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana 2. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha danatau kegiatan 3. Perbaikan akibat tindak pidana 4. Perwajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak danatau 5. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tiga tahun. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur tentang larangan perbuatan membakar lahan, serta mengatur bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pembakaran lahan, yang merupakan manifestasi dari bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku pembakaran hutan. Universitas Sumatera Utara Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, pada Pasal 50 ayat 3 huruf d berbunyi “setiap orang dilarang membakar hutan”. Kata setiap orang dalam Pasal 50 ayat 3 tersebut, diartikan sebagai subjek hukum, baik perseorangan maupun korporasi yang melakukan pembakaran hutan. Apabila perbuatan tersebut dikarenakan adanya unsur kesengajaan dari pelaku, maka berdasarkan Pasal 78 ayat 3 mengancam perbuatan tersebut dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 5 Milyar Rupiah. Sedangkan apabila kebakaran lahan tersebut terjadi akibat kelalaian dari subjek hukum, maka perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 78 ayat 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mengancam pelaku tersebut dengan pidana penjara paling lama 5 tahun, dan denda paling besar 1 Milyar 5 Ratus Juta Rupiah. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 ayat 1 huruf h berbunyi : ”setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. pelaku pembukaan lahan dengan cara membakar lahan tersebut berdasarkan pasal 108 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun. Dan pidana denda paling sedikit 3 Milyar Rupiah, paling banyak 10 Milyar Rupiah. Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan pada Pasal 56 ayat 1 memuat larangan bagi setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka danatau mengelola lahan dengan cara membakar. Pada pasal 108 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014, mengancam perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 56 ayat 1 dengan pidana 10 tahun dan denda paling banyak Universitas Sumatera Utara 10 Milyar Rupiah. KUHP mengklasifikasikan tindakan yang menimbulkan kebakaran kedalam bab kejahatan. Pasal 187 berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjur, diancam : 1. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang 2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain 3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati” Berbagai bentuk aturan, larangan dan sanksi pidana terhadap tindak pidana pembakaran lahan dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana mengenai tindak pidana pembakaran lahan. Peraturan Perundang-undangan tersebut dibentuk oleh pemerintah, sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan khususnya di bidang pembakaran lahan, dengan memberikan sanksi-sanksi dan larangan yang tegas.

B. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana