Sahetapy, J. E., Victimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Salim, Emil, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, Cetakan 10, 1995.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: PT Aksara Baru, 1983.
, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Alumni, 1996.
Sudarto. Hukum Pidana I, Semarang: FH UNDIP, 1988. Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia : Sebuah Pengantar, Palu: Sinar Grafika,
2005. Sutrisna, I Gusti Bagus, Peranan Keterangan Ahili Dalam Perkara Pidana
TinjauanTerhadap Pasal 44 KUHP, 1986. Syahrin, Alvi, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Jakarta: PT.Soft
Medi, 2009. Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru,
1983.
B. Majalah Hukum
Hanafi, Jurnal Hukum, “Reformasi Sistem Pertanggungjawaban
Pidana”, Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
Syahrin, Alvi, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pencemaran dan atau Kerusaka
n Lingkungan”, Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum PidanaLingkungan pada Fakultas Hukum
USU, Medan, 2003. Rajagukguk, Erman, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era
Globalisasi : Implikasi Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997. Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3,
Jakarta: Balai Pustaka, 2007. C. Internet
Artikel, “Pengertian, Unsur-unsur Dan Jenis-jenis Tindak Pidana” http: materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id201501pengertianuns
urdan-jenis-jenis-tindak.html, Fabian Januarius Kuwado, Berita,
“Total Ada 218 Kasus Kebakaran Hutan dengan 204 Orang Tersangka”, http:nasional.kompas.comread2015
092909543371Total.Ada.218.Kasus.Kebakaran.Hutan.dengan.204.Or ang.Tersangka, 2015.
Indra Nugraha, Berita, “Walhi: Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan itu
”, http:www.mongabay.co.id20151006berikut- korporasi-korporasi-di-balik-kebakaran-hutan-dan-lahan-itu,
Jakarta, 2015.
Universitas Sumatera Utara
Sri Lestari, Berita, “Dampak Kabut Asap Diperkirakan Capai Rp 200 Trilliun”, www.bbc.comIndonesiaberita_indonesia201510151026_indonesia-k
abutasap, 2015. WALHI Jambi, Berita, Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan, 22 Januari 2016
www.walhi-jambi.com201601pelaku-pembakaran-hutan-dan-lahan-st op.html?m=1.
Wikipedia, Artikel, Modus Operandi, id.m.wikipedia.orgwikiModus_operandi. Diakses pada tanggal 12 April 2016 Pukul 02:23 WIB.
Wikipedia, Artikel, Kerusakan Lingkungan, id.m.wikipedia.orgwikiKerusakan _lingkungan. Diakses pada tanggal 10 April 2016 Pukul 13:13 WIB.
D. Putusan
Putusan Pengadilan Negeri Pelalawan Nomor 118Pid.sus2014Pn.Plw
Universitas Sumatera Utara
47
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA
PEMBAKARAN LAHAN A. Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran
Lahan
Manusia merupakan makhluk yang tidak akan dapat hidup sendiri, dan tidak akan terlepas dari orang lain. setiap manusia, pasti akan berinteraksi atau
berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia yang merupakan subjek hukum pidana, juga tidak akan terlepas dari peristiwa hukum, yang merupakan hasil
interaksi antar subjek hukum. Akibat berbagai faktor, manusia yang merupakan subjek hukum, tidak sedikit yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana
tersebut dilakukan. Salah satu perbuatan pidana yang dilakukan adalah pembakaran hutan, yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
Moeljatno berpendapat, bahwa perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan tersebut disertai
ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
42
R. Tresna dalam buku Adami Chazawi mendefinisikan perbuatan pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tidakan penghukuman.
43
Selain itu, syarat-syarat yang
42
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002, h. 54.
43
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Batas Ber;akunua Hukum Pidana Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, h.
73.
Universitas Sumatera Utara
disebutkan oleh R. Tresna terkait peristiwa pidana adalah sebagai berikut :
44
1. Harus ada perbuatan manusia. 2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum. 3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya
harus dapat dipertanggungjawabkan. 4. Perbuatan tersebut harus berlawanan dengan hukum.
5. Terhadap perbuatan itu, harus tersedua ancaman hukumannya dalam undang-undang.
Sudikno Mertokusumo mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
45
Pelaku yang dimaksud oleh Sudikno adalah subjek hukum pidana, baik orang perseorangan,
maupun korporasi. Dalam
doktrin hukum
pidana, konsep
tindak pidana
dan pertanggungjawaban pidana terbagi menjadi dua bentuk doktrin, yaitu ajaran yang
memasukan pengertian pertanggungjawaban pidana ke dalam pengertian tindak pidana atau yang dikenal dengan doktrin ajaran monoisme, dan ajaran yang
mengeluarkan secara tegas pengertian pertanggungjawaban pidana dari pengertian tindak pidana atau yang dikenal dengan doktrin dualisme.
46
Dalam ajaran monoisme, frasa kesengajaan, kealpaan, kemampuan bertanggungjawab, pembuat bersalah, dapat dipersalahkan, dan dapat
44
Ibid
45
Sudkno Mertokusumo, Mengenal Hukum Yogyakarta: Liberty, 1999, h. 91.
46
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana : Perkembangan dan Penerapa Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta, 2015 h. 12
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan dimasukan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana.
47
Manusia sebagai subjek hukum harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya secara hukum. Apabila subjek hukum melakukan sebuah
perbuatan pidana, maka subjek hukum tersebut harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya secara hukum. Moeljatno mengatakan bahwa
hubungan antara perbuatan pidana dan kesalahan dinyatakan dengan hubungan antara sifat melawan hukumnya.
Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dijatuhi pidana, apabila dia tidak melakukan perbuatan pidana. Orang yang tidak dapat dipersalahkan
melanggar sesuatu perbuatan pidana tidak mungkin dikenakan pidana, sekalipun banyak orang mengerti.
48
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela. Perbuatan
tersebut juga tentunya akan dapat diketahui apakah perbuatan tersebut merupakan sebuah kesengajaan, ataupun kealpaan.
Tindak pidana pembakaran lahan merupakan tindak pidana yang berdampak langsung kepada kehidupan masyarakat. Problem utama tiap
masyarakat modern adalah bukan menginginkan perusahaan yang besar, melainkan apa yang dapat diharapkan terhadap perusahaan besar tersebut.
49
Menurut Erman Rajagukguk, pembangunan yang komprehensif harus memperhatikan hak-hak asasi manusia. Keduanya tidak dalam posisi yang
47
Ibid. h. 13
48
Moeljatno, Op.cit. h. 155.
49
Alvi Syahrin, Op.cit. h. 58.
Universitas Sumatera Utara
berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi masyarakat.
50
Beranjak pada argumen dari Erman Rajagukguk, tindak pidana merupakan salah satu perbuatan yang tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia. Bahkan
perbuatan tersebut dapat merugikan masyarakat sekitar. Sehingga, perbuatan tersebut seharusnya diminta pertanggungjawabannya kepada pelaku pembakaran
lahan, baik pembakaran lahan karena kesengajaan, maupun karena kealpaan seseorang.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, tidak hanya orang perorangan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan pidana yang
dilakukan. Korporasi merupakan salah satu subjek hukum, yang juga sama halnya dengan orang perorangan. Korporasi yang memiliki sturktur organisasi yang jelas,
serta melakukan perbuatan hukum, apabila dalam tindakan yang dilakukan oleh orang yang berada dalam struktur organisasi tersebut dan mengatas namakan
korporasi tersebut melakukan sebuah perbuatan pidana, maka korporasi tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Korporasi dalam ruang geraknya dimaksudkan untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat luas. Korporasi dapat melakukan suatu tindak
pidana melalui pejabat seniornya yang memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk berperan sebagai otak dari korporasi. Pejabat senior tersebut adalah mereka yang
mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan pejabat
50
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi : Implikasi Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997. h. 7. Dalam Alvi Syahrin, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
senior yang lain, yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari korporasi.
51
Berbeda dengan orang perseorangan dalam hal pertanggungjawaban pidana. Korporasi tidak hanya menerima sanksi yang bersifat administratif
terhadap korporasi tersebut. akan tetapi, direksi dari sebuah korporasi yang melakukan tindak pidana juga harus diminta pertanggungjawabannya. Pasal 98
ayat 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, menjadi sebuah dasar hukum yang jelas bahwa direksi dari suatu perusahaan akan
dapat bertindak atas nama perusahaan atau korporasi, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Hal tersebut membuktikan, bahwa direksi yang harus
bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Sama halnya dengan tindak pidana pembakaran lahan, baik lahan
perkebunan, lahan kehutanan, dan bentuk tindak pidana pengerusakan lingkungan hidup lainnya, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah orang
perorangan dan korporasi atau badan usaha yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan tersebut. Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan : 1
Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada : a.
Badan usaha; danatau b.
Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut 2
Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan
51
Alvi Syahrin, Op.cit. h. 57.
Universitas Sumatera Utara
usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak
pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama
Dalam Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, perbedaan pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana
lingkungan hidup, maupun korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup seperti pembakaran lahan, adalah bahwa korporasi dapat menerima sanksi
pidana tambahan. Berbeda dengan orang perseorangan yang melakukan tindak pidana pembakaran lahan, yang hanya menerima sanksi berupa pidana penjara,
kurungan danatau denda. Pidana tambahan menurut Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud di atas berupa : 1.
Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana 2.
Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha danatau kegiatan 3.
Perbaikan akibat tindak pidana 4.
Perwajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak danatau 5.
Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 tiga tahun. Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur tentang larangan perbuatan membakar lahan, serta mengatur bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak
pidana pembakaran lahan, yang merupakan manifestasi dari bentuk pertanggungjawaban pidana pelaku pembakaran hutan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, pada Pasal 50 ayat 3 huruf d berbunyi “setiap orang dilarang membakar hutan”. Kata setiap orang
dalam Pasal 50 ayat 3 tersebut, diartikan sebagai subjek hukum, baik perseorangan maupun korporasi yang melakukan pembakaran hutan. Apabila
perbuatan tersebut dikarenakan adanya unsur kesengajaan dari pelaku, maka berdasarkan Pasal 78 ayat 3 mengancam perbuatan tersebut dengan pidana
penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 5 Milyar Rupiah. Sedangkan apabila kebakaran lahan tersebut terjadi akibat kelalaian dari subjek
hukum, maka perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 78 ayat 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mengancam pelaku tersebut dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun, dan denda paling besar 1 Milyar 5 Ratus Juta Rupiah. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 ayat 1 huruf h berbunyi : ”setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. pelaku
pembukaan lahan dengan cara membakar lahan tersebut berdasarkan pasal 108 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 diancam dengan pidana penjara paling
singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun. Dan pidana denda paling sedikit 3 Milyar Rupiah, paling banyak 10 Milyar Rupiah.
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan pada Pasal 56 ayat 1 memuat larangan bagi setiap pelaku usaha perkebunan dilarang
membuka danatau mengelola lahan dengan cara membakar. Pada pasal 108 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014, mengancam perbuatan sebagaimana yang
dimaksud pada pasal 56 ayat 1 dengan pidana 10 tahun dan denda paling banyak
Universitas Sumatera Utara
10 Milyar Rupiah. KUHP mengklasifikasikan tindakan yang menimbulkan kebakaran
kedalam bab kejahatan. Pasal 187 berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau
banjur, diancam : 1.
Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang
2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena
perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain 3.
Dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul
bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati” Berbagai bentuk aturan, larangan dan sanksi pidana terhadap tindak pidana
pembakaran lahan dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana mengenai tindak pidana pembakaran lahan.
Peraturan Perundang-undangan tersebut dibentuk oleh pemerintah, sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan khususnya di bidang pembakaran lahan, dengan
memberikan sanksi-sanksi dan larangan yang tegas.
B. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana
Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaan hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut
perbuatan melawan hukum. Dengan kata lain, pelanggaran hukum itu terkhusus dalam hukum pidana memuat anasir melawan hukum.
52
Terkadang, perbuatan yang dilakukan secara konkrit tidak dipandang sebagai suatu perbuatan melawan
hukum. Walaupun peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana telah mengatur dan penyebutkan perbuatan tersebut merupakan suatu delik pidana.
52
E.Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia Jakarta: PT. Ichtiar Baru, 1983, h. 390.
Universitas Sumatera Utara
Aparat penegak hukum juga harus memperhatikan bagaimana bentuk kejadian dalam peristiwa hukum tersebut, dan harus memperhatikan siapa yang
melakukan perbuatan tersebut. Tidak semua subjek hukum yang melakukan tindak pidana dapat dijatuhi pidana, atau dimintakan pertanggungjawabannya. Sehingga,
untuk mengetahui siapa yang dapat dijatuhi pidana ataupun tidak dijatuhi pidana, untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi psikis dari pelaku, apakah
pelaku tersebut merupakan orang yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak, dan sebagainya, aparat penegak hukum harus
memperhatikan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :
1. Unsur Kesalahan
Pertanggungjawaban pidana tindak pidana tidak akan tercipta jika pada diri orang yang melakukan tindak pidana tidak terdapat kesalahan. Kesalahan
merupakan titik sentral dari konsep pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, menurut Cynthia H. Finn dalam buku
“The Responsible Corporate Officer, Criminal Liability, and Mens Rea, menyatakan bahwa kesalahan merupakan salah
satu karakter hukum pidana yang tidak mungkin dapat dihapus.
53
Begitu sentralnya unsur kesalahan ini, sehingga meresap dan menggema dalam hamoour semua ajaran dalam hukum pidana, sebagaimana yang dimaksud
oleh Remmelink dalam buku Hukum “Pidana Komentar atau Pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana Indonesia” yang dikutip oleh Hanafi
53
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Op.cit. h 22-23
Universitas Sumatera Utara
Amrani dan Mahrus Ali sebagai berikut :
54
“Bagaimanapun juga, kita tidak rela membebankan derita kepada orang lain, sekedar karena orang itu melakukan tindak pidana, kecuali jika kita
yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena itu, dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi tidak
terlalu abnormal, sepanjang ia memang menginginkannya, muncul sebagai makhluk yang memiliki akal budi serta sanggup dan mampu mentaati
norma-nprma masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai jaminan kehidupannya. Karena itu, kesalahan adalah pencelaan yang
ditunjukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu, terhadapt manusia yang melakukan perilaku
menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.” Hukum pidana, selalu berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Teori
hukum pidana memandang, apakah pelaku atau subjek hukum tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan pidana yang dilakukan
subjek hukum tersebut, baik orang perorangan ataupun korporasi. Dalam sistem hukum pidana Inggris, dikenal doktrin mens rea yang secara lengkap berbunyi
“actus non facit reum nisi men sit rea”. Dotktrin tersebut berari bahwa suatu perbuatan tidak dapat membuat orang menjadi bersalah kecuali dilakukan dengan
niat jahat.
55
Berdasarkan doktrin tersebut, dapat ditarik keseimpulan bahwa suatu perbuatan akan dinilai menjadi perbuatan yang salah, apabila perbuatan tersebut
mengandung unsur-unsur : a.
Perbuatan tersebut merupakan perumusan dari kehendak b.
Adanya kondisi jiwa, dan itikad jahat yang melandasi perbuatan tersebut.
Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa dalam doktrin mens rea tersebut
54
Ibid.
55
Mustafa Abdulah dan Ruben Achmad, Intisari Pidana Jakarta: Ghia Indonesia, 1983, h. 40.
Universitas Sumatera Utara
terdapat unsur subjektif atau unsur yang mengacu kepada pelaku kejahatan. Doktrin mens rea tersebut ternyata diadopsi dalam hukum pidana Indonesia.
Dalam hukum pidana, dikenal dengan asas legalitas. Asas ini mengintisarikan bahwa seseorang atau subjek hukum tidak dapat dihukum apabila tidak ada
hukum yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Artinya, apabila tidak ada suatu hukum atau aturan yang mengatur mengenai kesalahan sebelumnya, maka
subjek hukum yang melakukan tindak pidana tersebut tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan, secara umum tidak dapat diperhatikan, mengapa si pelaku kejahatan melakukan kejahatan. S.R Sianturi mendefiniskan kesalah sebagai :
a. Mengatakan tidak benar
b. Menyatakan ketercelaan
c. Melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak dengan suatu kehendak
mengenai elanjutan perbuatannya atau akibatnya. d.
Melakukan suatu tindakan atau perbuatan terlarang sesuai dengan kehendaknya da akibatnya itu diikutinya.
Kesalahan dalam
arti luas
dapat dikatakan
pula sebagai
pertanggungjawaban pidana. Kesalahan dalam arti luas terdiri dari 3 unsur, yaitu :
56
a. Karena kurang sempurna berfikirnya atau sakit sehingga
menyebabkan berubah daya fikirnya Toerekeningsvatbaaheid b.
Kesalahan dalam arti sempit yang terdiri dari kekhilafan atau
56
E. Utrecht, Op.cit. h. 392.
Universitas Sumatera Utara
kelalaian, dan kesengajaan. c.
Perbuatan dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat Terdapat tiga teori kesalahan dalam arti luas, yaitu :
57
a. Teori Determinisme
Teori ini berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak menentukan kehendaknya secara bebas. Kehendak manusia untuk membuat sesuatu itu terlebih
dahulu ditentukan oleh beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor lingkungan dan faktor diri sendiri. Dalam menentukan kehendaknya, maka manusia tunduk
pada hukum kausalitas. b.
Teori Indeterminisme Teori ini beranggapan bahwa manusia menentukan kehendaknya secara
bebas. Teori ini juga berpandangan, bahwa kehendak manusia tersebut ditentukan oleh faktor terpenting yaitu faktor lingkungan dan faktor kehendak sendiri.
c. Teori Moderrn
Teori ini beranggapan bahwa untuk mengetahui berbagai hal kehendak manusia, ditentukan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan dan faktor
kepribadian, dan juga beranggapan bahwa kesalahan merupakan dasar dari hukum pidana.
Dalam hukum pidana, unsur-unsur kesalahan terbagi menjadi 2, yaitu : a.
Kesengajaan Dolus KUHP tidak mendefinisikan pengertian kesengajaan. Akan tetapi, dalam
Memorie van Toelichting MvT mengartikan kesengajaan merupakan sifat yang
57
Ibid. h. 392-393.
Universitas Sumatera Utara
menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan dan beserta akibatnya
58
. Orang dapat mengatakan bahwa pelanggar hukum melakukan peristiwa pidana
yang bersangkutan dengan sengaja. Apabila akibat perbuatannya dikehendakinya. Kesengajaan yang merupakan sebagai salah satu bentuk kesalahan pidana
memiliki 3 unsur yaitu : 1
Berupa tindakan yang dilarang 2
Adanya akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya larangan tersebut
3 Bahwa tindakan tersebut telah melanggar ketentuan yang ada.
Dalam hukum pidana, terdapat 3 tingkatan kesengajaan atau 3 degradasi kesengajaan, yaitu :
1 Kesengajaan dengan maksud,
Pelaku memang menginginkan akibat dari perbuatan tersebut. dengan kata lain, pelaku telah mengetahui akan perbuatan yang dilakukannya, dan dengan
perbuatannya tersebut bermaksud untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya. Apabila dikaitkan dengan tindak pidana pembakaran lahan, pelaku telah
mengetahui apa yang menjadi akibat dari perbuatan pembakaran lahan tersebut, dan dengan akibat tersebut pelaku dengan mudah melancarkan tujuan ataupun
maksud dari perbuatan tersebut. Misalkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan pada Pasal 56 ayat 1 memuat larangan bagi
setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka danatau mengelola lahan dengan cara membakar lahan. Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan
58
Mustafah Abdulah. Op.cit. h. 41.
Universitas Sumatera Utara
bahwa pelaku pembakaran lahan membakar lahan dengan maksud untuk membuka lahan baru, agar pelaku mendapatkan keuntungan dari lahan baru
tersebut. 2
Kesengajaan dengan kepastian Pelaku mengetahui selain dari akibat yang diinginkan dengan melakukan
perbuatan tersebut, kemungkinan akan muncul akibat-akibat lainnya dengan perbuatan yang sama. Apabila dikaitkan dengan tindak pidana pembakaran lahan,
pelaku pembakaran lahan sengaja membakar lahan dan telah mengetahui akan muncul akibat lain dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, pelaku pembakaran
lahan membakar lahan untuk membuka lahan baru, dengan maksud agar dapat memanfaatkan lahan baru tersebut demi kepentingannya. Dengan perbuatan
tersebut, pelaku mengetahui bahwa pembakaran lahan tersebut akan menimbulkan kabut asap yang tebal, dan merugikan masyarakat sekitar.
3 Kesengajaan dengan kemungkinan terjadi
Pelaku telah mengetahui, dengan perbuatan yang dilakukannya, kemungkinan akan terjadi akibat lain yang belum tentu terjadi. Sebagai contoh,
pelaku pembakaran lahan telah mengetahui bahwa perbuatan mmembakar lahan akan menimbulkan kabut asap yang tebal, dan kemungkinan akan merugikan
perusahaaan lain yang bergerak di bidang transportasi udara. Lamintang menyebetukan kesengajaan dalam bentuk kemungkinan ini
dengan istilah dolus eventualis, yang berarti bahwa pelaku untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan
akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki. Jika
Universitas Sumatera Utara
kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia katakan mempunyai suatu kesengajaan.
59
b. Kelalaian Culpa Kelalaian merupakan salah satu unsur kesalahan dalam arti sempit. Tidak
semua akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum merupakan sebuah kehendak dari pelaku tersebut. Akan tetapi, delik pidana secara objektif,
melihat apa yang menjadi akibat dari perbuatan tersebut. Apabila akibat dari suatu perbuatan
tersebut walaupun
bukan kehendaknya
tetap dimintakan
pertanggungjawabannya, maka dapat dikatakan bahwa pelaku tersebut telah lalai atau khilaf.
60
Peraturan perundang-undangan di bidang pembakaran lahan, juga memberikan hukuman terhadap kelalaian yang dilakukan oleh subjek hukum,
yang mengakibatkan suatu keadaan yang merugikan dan harus dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Salah satu contoh adalah Pasal 78 ayat 4
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang memberikan hukuman kepada akibat dari kelalaiannya menyebabkan hutan terbakar, akan
dipidana penjara 5 lima tahun dan denda 1 Milyar 5 Ratus Juta Rupiah.
2. Kemampuan Bertanggungjawab
Simons berpendapat bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsafan itu
menentukan kehendak. Sutrisna berpendapat bahwa untuk kemampuan
59
P.A.F Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Sinar Baru, 1984 h 301
60
E. Utrecht, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
bertanggungjawab maka harus ada dua unsur, yaitu :
61
a Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik
dan buruk yang sesua dengan hukum dan yang melawan hukum. b
Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan dua faktor terpenting, yaitu :
a Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum b
Faktor perasaan atau kehendak uang menentukan kehendaknya dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
Telah dimaklumi, bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka setidaknya, ada dua alasan
untuk mengenal kejahatan, yaitu :
62
a Pendekatan yang melihat sebagai dosa atau perbuatan yang tidak
senonoh yang dilakukan oleh manusia. b
Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.
Dalam hal kemampuan bertanggungjawab, apabila dilihat dari keadaan batin orang yang akan melakukan perbuatan pidana merupakan maslah
kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk
61
Sutrisna, I Gusti Bagus, Peranan Keterangan Ahili Dalam Perkara Pidana TinjauanTerhadap Pasal 44 KUHP. Dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan
Acara Pidana Jakarta: Ghia Indonesia, 1986, h.83.
62
J. E. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, h. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
menentukan adanya kesalahan. Keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dikatakan normal. Orang yang normal
dan sehat ini dapat mengatur tingkah lakunya.
63
Sebaliknya, orang yang tidak normal atau memiliki sakit fikiran, tidak akan mampu mengatur tingkah lakunya. Ketika orang yang tidak mampu untuk
mengatur tingkah lakunya sebagai manusia, tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya, walaupun secara hukum perbuatan tersebut merupakan
tindak pidana atau perbuatan pidana. Pasal 44 KUHP, menegaskan bahwa orang yang tidak sempurna akalnya
atau karena sakit berubah akal, tidak dapat diminta pertanggungjawaban dan tidak dapat dijatuhi pidana kepadanya. Akan tetapi, Jonkers memiliki pendapat yang
lebih luas.
Menurut Jonkers,
orang yang
tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya orang dengan memiliki pertumbuhan
akal yang tidak sehat atau orang cacat, akan tetapi manusia yang belum dewasa juga tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Karena orang yang belum
dewasa belum memiliki kematangan dalam berfikir. Perkembangan ide, ego dan super ego dari orang yang belum dewasa belum berkembang dengan baik.
3. Tidak Ada Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf adalah salah satu bagian dari alasan penghapus pidana. Pada dasarnya alasan penghapus pidana tersebut terbagi atas alasan pembenar dan
alasan pemaaf.
Yang merupakan
bagian dari
pembahasan tentang
pertanggungjawaban pidana adalah terkait dengan tidak adanya alasan pemaaf.
63
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana Jakarta: Ghia Indonesia, 1986, h. 78.
Universitas Sumatera Utara
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menteapkan dalam keadaan apa seorang pelaku yang telah
memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakan
telah terdapat keadaan khisis seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana. Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik, tetapi tidak dipidana.
Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat dalam Buku I Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan dan memberatkan
pengenaan pidana. Alasan penghapus pidana dapat dikatakan alasan untuk membebaskan seseorang dari pindana walaupun orang tersebut telah melakukan
tindak pidana, atau melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang ada. Untuk dimintakan suatu pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
pidana, selain harus memiliki kemampuan bertanggung jawab, terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan penghapus pidana.
Alasan penghapus pidana pada umumnya merupakan suatu bentuk atau keadaan yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak dapat dipidana. Alasan Penghapus
pidana terbagi menjadi 2 jenis, yaitu: a.
Alasan Pemaaf Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan
yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan. Maka
Universitas Sumatera Utara
hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat memaafkannya. Jenis-jenis alasan pemaaf adalah sebagai berikut :
1 Tidak mampu bertanggungjawab
Orang yang memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab adalah orang yang normal dan memiliki akal sehat. Pasal 44 KUHP menjadi dasar bagi alasan
pemaaf tersebut. Dalam pasal 44 KUHP, orang yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatannya adalah orang yang memiliki
cacat dalam pertumbuhan, gangguan dalam kejiwaan dan berubah akal. Dalam pasal 44 KUHP ini, tampaknya pembentuk undang-undang
membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawab kan perbuatannya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat
perbuatan itu dilakukan. Berdasarkan Pasal 44 ayat 3 KUHP, kewenangan untuk tidak
menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa hanya diberikan kepada hakim. Akan tetapi, dalam menentukan apakah pelaku memang benar memiliki penyakit jiwa
atau sakit berubah akal, hakim harus merujuk terhadap keterangan saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan. Meskipun hakim harus merujuk terhadap keterangan
saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan psikiatri, hakim dalam memberikan putusannya tidak terkait dengan keterangan yang diberikan oleh saksi ahli tersebut.
penerumaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus diuji berdasarkan kepatutan atau kepantasan.
2 Daya Paksa
Daya paksa merupakan setiap daya, dorongan atau setiap paksaan yang
Universitas Sumatera Utara
tidak dapat dilawan. Titik tolak dari daya paksa ini adalah adanya keadaan- keadaan yang eksposional yang secara mendadak menyerang pembuat atau pelaku,
buka ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan pidana untuk mencapai tujuan yang adil. Alasan pemaaf karena daya paksa diatur dalam pasal
48 KUHP. Setiap paksaan dapat dijadikan alasan penghapus pidana. Akan tetapi,
hanya paksaan yang benar-benar tidak dapat dilawan atau di elakkan lagi oleh pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakukan tindak pidana.
Paksaan yang dimaksud adalah paksaan absolut. 3
Pembelaan Terpaksa Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a Harus ada situasi pembelaan terpaksa yang berarti suatu situasi
dimana pembelaan raga, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi
keharusan. b
Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa hebat dapat mencakup
berbagai jenis emosi, Yaitu takut, marah, dan panik. Kebencian yang sudah ada terlebih dahulu yang tidak disebabkan oleh
serangan, tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Selain itu, guncangan jiwa yang hebat itu tidak disebabkan oleh serangan,
tetapi karena pengaruh alcohol atau narkotika. Perbuatan yang melampaui batas ini, diatur dalam pasal 49 ayat 2 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
Maksud perbuatan yang melampaui batas adalah perbuatan dengan sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada
saat itu juga. Perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana. Dalam hal ini, hakim berperan dalam menentukan apakah benar terdapat
hubungan sebab akibat antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas,
sedangkan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Dengan alasan tersebut, pelaku tetap melakukan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi kesalahan dalam
perbuatan tersebut dihapuskan, sehingga tidak dapat dijatuhi pidana. 4
Melakukan perintah jabatan yang tidak sah dianggap sah Pelaku yang melakukan perintah yang tidak sah namun di anggap sah
dapat dihapuskan pidanannya apabila memenuhi syarat sebagai berikut : a
Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang sah b
Dilakukan dengan itikad baik c
Pelaksanaannya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya. Jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia
lakukan, maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu diragukan. Jadi, dalam hal ini pembuat undang-
undang menjaga “kepatutan buta” dari orang yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa
akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri. b.
Alasan Pembenar Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan
yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal tersebut sebagai alasan pembenar. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai
perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipadnang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru. Salah satu contoh
alasan pembenar adalah : 1
Keadaan Darurat Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat apabila seseorang
dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau merusak kepentingan yang lebih besar. Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak
pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu perbenturan
antara dua kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang
sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula sebaliknya perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban. Dalam hal ini pelaku
dihadapkan pada keadaan apakan harus melindungi kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum
tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu pula sebaliknya. Dalam keadaan tersebut di atas, tindak pidana yang
dilakukan hanya dibenarkan jika : a
Tidak ada jalan lain b
Kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi dari pada kepentingan yang dikorbankan
Universitas Sumatera Utara
2 Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa, dimuat dalam pasal 49 ayat 1 KUHP. Dalam pasal 49 ayat 1 KUHP, yang diisyaratkan sebagai pembelaan terpaksa adalah :
a Adanya serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga,
kehormatan, kesusilaan atau harta benda b
Serangan itu bersifat melawan hukum c
Pembelaan merupakan keharusan d
Cara pembelaan adalah patut 3
Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana, akan tetapi
perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perintah atau ketentuan undang-undang, maka pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
terhadap perbuatan tersebut. karena, kesalahan terhadap perbuatan tersebut telah dihapuskan. Dalam hal ini, terdapat perbenturan antara kewajiban hukum dengan
kewajiban hukum lainnya. Artinya, bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya, seseorang harus melanggar kewajan hukum lainnya. Dalam melaksanakan
ketentuan undang-undang tersebut, kewajiban yang terbesar harus diutamakan. Alasan pembenar tentang melaksanakan ketentuan undang-undang ini diatur
dalam pasal 50 KUHP. Dalam penjelasan ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan
suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana. Akan tetapi karena dilakukan berdasarkan perintah undang-undang, maka pelaku tidak boleh
Universitas Sumatera Utara
dihukum, walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Selain itu, perbuatan tersebut harus mementingkan kepentingan umum, dan bukan
kepentingan pribadi. 4
Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah Seorang bawahan melakukan suatu perbuatan, apabila perbuatan tersebut
merupakan perintah dari jabatan yang diberikan oleh atasannya, maka walaupun perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, pelaku yang
melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Hal tersebut diatur dalam pasal 51ayat 1 KUHP.
Dengan kata lain, yang memberikan perintah adalah orang yang berwenang, dan yang diperintahkan harus sesuai dengan atau berhubungan dengan
pekerjaannya. Suatu hal yang tidak boleh di lupakan bahwa dalam hal melaksanakan ooeruntah jabatan, harus diperhatikan asas keseimbangan,
kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang yang memerintah.
C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Pelalawan Nomor 118 Pid. Sus 2014 PN Plw