Paradigma Kajian .1 Paradigma Konstruktivisme

7 Universitas Sumatera Utara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian 2.1.1 Paradigma Konstruktivisme Vardiansyah 2008 mengartikan paradigma sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir kognitif, bersikap afektif, dan bertingkah laku konatif. Oleh karena itu, paradigma sangat menentukan cara seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya. Sementara itu dalam literatur yang berbeda, Nyoman Naya Sujana menjelaskan bahwa paradigma sebagai sebuah konsep yang paling umum dan terdalam untuk melihat dan memahami realitas Suyanto, 2008: 9. Konsep tersebut memandang realitas yang tercipta dapat dipahami oleh manusia. Seorang ahli filsafat ilmu pengetahuan, Thomas Kuhn 1972 mengembangkan konsep paradigmatik sebagai upaya untuk mempelajari anomali- anomali dalam sejarah ilmu pengetahuan. Melalui bukunya, The Structure of Scientific Revolution Kuhn menggunakan istilah paradigma dalam dua dimensi yang berbeda. Pertama, paradigma berarti keseluruhan perangkat –Kuhn menyebutnya dengan istilah „konstelasi‟–keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat. Kedua, paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki, yang digunakan sebagai model atau contoh, yang dapat menggantikan model atau cara lain sebagai landasan bagi pemecahan atas teka- teki dalam ilmu pengetahuan normal Saifuddin, 2005: 53. Penting bagi seorang peneliti untuk mengingat benar atau tidaknya suatu paradigma yang digunakan itu tidak dapat dibuktikan. Yang terpenting adalah apakah paradigma tersebut mampu mendukung argumentasi-argumentasi dengan bukti yang sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Sendjaja 2005 menyebutkan ilmu komunikasi pada dasarnya merupakan salah satu ilmu pengetahuan sosial yang bercirikan „multiperspektif‟ dan Universitas Sumatera Utara 8 Universitas Sumatera Utara „multiparadigma‟. Sendjaja juga menjelaskan bahwa berdasarkan basis keilmuan, terdapat berbagai perspektif dan paradigma yang diterapkan dalam ilmu komunikasi Bungin, 2008: 11. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis framing dan menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasi pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum klasik dan positivis. Paradigma konstruktivisme menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam. Hal ini dikarenakan manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku di kalangan mereka sendiri. Paradigma konstruktivisme berpendapat bahwa secara epistemologi, semesta merupakan hasil dari konstruksi sosial. Pengetahuan yang dimiliki manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan, bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian, tidak ada pengetahuan yang koheren, transparan secara keseluruhan dan independen dari subjek sebagai pengamat. Manusia ikut berperan, menentukan pilihan perencanaan yang lengkap, dan menuntaskan sebuah tujuan. Pilihan- pilihan yang dibuat lebih sering didasarkan pada pengalaman sebelumnya, bukan pada prediksi secara ilmiah-teoritis. Ardiyanto 2007 menjelaskan bahwa bagi kaum konstruktivis, semesta adalah suatu konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan tetapi dikonstruksi secara sosial, dan karenanya plural. Konstruktivisme menolak pengertian ilmu sebagai yang „terberi‟ dari objek pada subjek yang mengetahui. Unsur subjek dan objek sama-sama berperan dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Konstruksi membuat cakrawala baru dengan mengakui adanya hubungan antara pikiran, yang membentuk ilmu pengetahuan dengan objek atau eksistensi manusia. Dengan demikian, paradigma konstruktivis mencoba menjembatani dualisme, objektivisme-subjektivisme dengan mengafirmasi peran subjek dan objek dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Universitas Sumatera Utara 9 Universitas Sumatera Utara Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Subjek tersebutlah yang merupakan faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan pembentukan diri, serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi Ardiyanto, 2007: 151. Menurut Von Glaserfeld, konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi bentukan kita sendiri. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Melalui proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka Ardiyanto, 2007: 156-157. Von Glaseferld dan Kitchener 987 juga merangkum gagasan konstruktivisme menurut pengetahuan, sebagai berikut: 3. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 4. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan stuktur yang perlu untuk pengetahuan. 5. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. Kaitan dengan kajian komunikasi, Robyn Pennman yang dikutip oleh Ardiyanto 2007: 158 merangkum kaitan konstruktivisme sebagai berikut: 1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikatif dianggap sebagai tindakan sukarela berdasarkan pilihan subjeknya. Universitas Sumatera Utara 10 Universitas Sumatera Utara 2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi tercipta. 3. Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang dan waktu, serta dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu. 4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah „segala sesuatu yang ada‟, melainkan „segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia ‟. Dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya. Sebagai konsekuensinya, dapat dilihat bahwa pandangan konstruktivisme menganggap tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskriptif yang murni objektif. Kita tidak dapat melihat secara kasat mata „apa yang ada di sana‟ atau „yang di sini‟ tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual, atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta di hadapan kita bukan sesuatu yang ditemukan melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai. Apabila dikaitkan dengan pemberitaan, pendekatan konstruksionis menegaskan berita sesungguhnya adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan ideologi, nilai-nilai dari jurnalis, atau media. Menurut pendekatan konstruksionis, hasil kerja seorang jurnalis tidak dapat dinilai dengan standar yang kaku. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai juga akan mewarnai pemberitaan, karena hal-hal itu merupakan bagian yang integral dalam diri jurnalis. Menurut pandangan ini, junalis bukanlah robot yang dapat diprogram untuk senantiasa melaporkan fakta apa adanya. Menurut Eriyanto 2001, pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri seperti apa media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu: Universitas Sumatera Utara 11 Universitas Sumatera Utara 1. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas bersifat objektif. Realitas dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. 2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan dan pemihakannya. 3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah buku jurnalistik. 4. Berita bersifat subjektif atau konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan. Ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. 5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial. 6. Etika, pilihan, moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dari produksi berita. Etika dan moral termasuk keberpihakan satu kelompok adalah bagian yang tak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. 7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek pasif, yang mempunyai penafsiran sendiri dan bisa jadi berbeda dari pembuat berita Zamroni, 2009: 95.

2.2 Uraian Teoritis