25 garis jelas mengenai wargakaula kerajaan sebagaimana halnya di daerah
Gubernemen lainnya; 6 Membuka kesempatan timbulnya hak kebendaan atas tanah untuk tempat tinggal di ibukota kerajaan perlahan-lahan hak ulayat tanak dihapus.
38
Sehingga lambat laun, kerajaan-kerajaan dengan Politik Kontrak diubah menjadi kerajaan-kerajaan dengan “Korte Velarking”
39
Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah Belanda bersama-sama menimbulkan perubahan drastis terhadap masyarakat
Sumatera Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu.Kekuasaan kolonial Belanda dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir
berisi: Pengakuan atas kedaulatan Hindia Belanda. Tidak mengadakan hubungan dengan negara asing,
mengikuti sembarang perintah yang disampaikan melalui pamongpraja Belanda. Untuk mempermudah memahami konteks profil Keresidenan Sumatera
Timur, maka akan diklasifikasikan menjadi kondisi sosial ekonomi dan kondisi sosial politik. Sesuai dengan definisi gerakan sosial menurut Ritzer, gerakan sosial dapat
berkembang meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat.Gerakan ini dapat disisipkan dalam aktivitas ekonomi, sosial, kebudayaan hingga politik. Hal ini akan
mempermudah menganalisis gerakan sosial politik yang terjadi di Sumatera Timur dengan teori yang akan dipakai.
2.1.1. Kondisi Sosial Ekonomi
38
Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Ibid. Hal. 252-253.
39
Korte Velarking adalah bahasa Belanda dari Pernyataan Pendek, sebuah politik Belanda memperpendek jalur birokrasi.Misalnya yang terjadi pada Indragiri, dalam hal ini rajanya haruslah tunduk kepada sembarang perintah
dari pembesar Belanda secara tak terbatas. Baca Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Ibid. Hal 255.
26 semua raja-raja di Sumatera Timur.Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat
keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Perjanjian Politik Kontrak dengan Pemerintah Belanda, masih membolehkan mereka
menjalankan kekuasaan hukum adat mereka, antara lain yang terpenting adalah tanah. Imbalan honorarium dari perusahaan perkebunan terus-menerus mengalir ke kantong
pribadi para sultan dan datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pada tahun 1915, 39,2 persen penghasilan pajak di Deli, 37,9 persen di Langkat, dan 51,9 persen di
Serdang masuk ke kantong pribadi sultan dan datuk-datuknya. Keuntungan dari pajak itu masih ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium.
40
Di Simalungun dan Tanah Karo, raja-rajanya yang diikat dengan Korte Verklaring, masing-masing memperoleh 16,1 persen dan 10,9 persen. Sultan
Machmoed dari Kerajaan Langkat adalah yang paling kaya di antara mereka.Dengan hasil honorarium dari perusahaan minyak di Pangkalan Brandan, pendapatannya pada
tahun 1931 mencapai f.184.568.Sultan Amaloedin dari Deli mendapat f. 472.094 dan Sultan Soelaiman dari Serdang memperoleh f.103.346.Raja-raja Simalungun,
meskipun tidak sehebat Sultan-sultan Melayu juga menerima keuntungan yang besar dari perkebunan itu.Di samping gaji mereka sebanyak f.6.720 setahun, dua rajanya
yang terkaya menerima uang jalan sebesar f.1800 setahun dan menerima upeti dari rakyatnya.Para Sibayak di Tanah Karo mendapat gaji rata-rata f.2.400 setahun, jauh
40
Reid, Anthony. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Utara. Jakarta: Sinar Harapan. 1987. Hal. 89
27 lebih sedikit dan gaji Sultan-sultan Melayu.Perinciannya adalah sebesar f.3.960
setahun untuk Sibayak Lingga dan f.1.200 setahun untuk Sibayak Kutabuluh.
41
Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa kolonial yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama, orang-orang Eropa, yaitu pejabat-pejabat kolonial,
administrator perkebunan, dan para pengusaha.Kedua, keluarga enam kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang, dan
Siak. Ketiga adalah para raja Karo dan Simalungun, kaum intelektual Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa inilah muncul perubahan gaya hidup
sebagian sultan dan bangsawan Sumatera Timur, khususnya Melayu. Kaum bangsawan Melayu termasuk sultan-sultannya sebelum kedatangan Belanda berada
dalam keadaan yang melarat.Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka mampu membangun istana yang megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke
Eropa.Gaya hidup mewah pada gilirannya mewarnai kehidupan mereka sehari- hari.Sultan-sultan Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut
tamu-tamu penting orang-orang Eropa.Untuk menunjukkan kebesaran dinastinya, mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan.
Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elite Eropa dan kerajaan dengan orang
Cina, Jawa, India, Banjar, Sunda Mandailing, Bawean, Batak, Gayo, Alas, dan sebagainya yang menjadi buruh di perkebunan. Susunan golongan di Sumatera Timur
pada zaman kolonial Belanda benar-benar kompleks dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Lengenberg menggambarkan sebagai berikut:
41
Suprayitno.2001. Mencoba Lagi Menjadi Indonesia. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia. Hal. 22-23.
28 Indonesia berpendidikan barat dokter, pengacara, pejabat, sipil kolonial
senior, dan para pedagang kaya, Cina, India, dan Indonesia.
42
Adanya komposisi penduduk yang demikian itu menjadi penting dilihat dari perbedaan kultur dan aspirasi politik di masa pergerakan kebangsaan Indonesia. Para
pendatang politik yang berbeda dari penduduk asli. Di samping itu, para pendatang ini memiliki perbedaan kultur dengan para penduduk asli Sumatera Timur. Jumlah
Sementara itu dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografi.Perkembangan perusahaan perkebunan telah
menciptakan perubahan besar dalam aspek kependudukan dan perkotaan di Sumatera Timur.Pada pertengahan abda ke-19, jumlah penduduk Sumatera Timur diperkirakan
berjumlah 150.000 jiwa.Dalam tempo delapan puluh tahun terjadi peningkatan beberapa kali lipat yakni menjadi 1.693.200 jiwa. Penyebab semua ini adalah
masuknya kuli-kuli dari Jawa dan Cina dalam jumlah besar ke perkebunan- perkebunan di Sumatera Timur dan adanya migrasi orang-orang dari Tapanuli, Aceh,
dan Sumatera Barat. Dalam tahun 1929 diperkirakan terdapat 301.936 orang kuli yang bekerja di
perkebunan. Jumlah ini terdiri dari 275.233 kuli dari Jawa dan 26.703 kuli asal Cina.Penduduk dari keseluruhan penduduk Sumatera Timur.Dengan demikian,
jumlah penduduk Sumatera Timur lebih dari separuhnya adalah para penduduk pendatang yang bukan berasal dari Sumatera.
42
Langenberg, Micheal. 1985. Regional Dynamic of The Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu, Hawaii. Hal. 115.
29 penduduk asli Melayu, Karo dan Simalungun pada tahun 1929 secara keseluruhan
kurang dari empat puluh persen dari seluruh penduduk Sumatera Timur.Dengan jumlah kerajaan-kerajaan seperti Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan.Di empat
kesultanan Melayu itu penduduk Jawa dan Cina menempati posisi mayoritas.Ini terjadi karena adanya pemusatan perkebunan di daerah itu.Kondisi yang serupa juga
terjadi di tujuh kerajaan yang lebih kecil, yaitu Suku Siantar, dan Panai.Hanya di empat kerajaan yaitu Karo, Lingga, Berusjahe, Suka dan Sarinembah, orang-orang
Batak dan Melayu menjadi penduduk mayoritas.
43
Pemukiman Cina dan Jawa tidak hanya ada di perkebunan tetapi juga di luar perkebunan.Pada tahun 1926 hanya sekitar separuh dari penduduk Jawa yang tinggal
di perkebunan, selebihnya tinggal di sekitar perkebunan sebagai petani atau bermukim di kota-kota terdekat. Mereka yang Cina lebih banyak tinggal di daerah
kota-kota besar seperti Medan, Siantar, Tebingtinggi, dan Binjai.Kota pelabuhan seperti Belawan juga dihuni oleh orang Cina dalam jumlah yang besar.Di samping
itu, meluasnya penyebaran penduduk Batak Toba ke Sumatera Timur akibat adanya daya tarik perkembangan ekonomi perkebunan membuat komposisi penduduk di
Sumatera Timur semakin heterogen.Sebagian besar orang Batak Toba bermukim di Simalungun, sebab sultan-sultan Melayu menolak masuknya orang-orang Kristen
Toba dalam jumlah besar ke wilayah kerajaan mereka. Kehadiran mereka ke Sumatera Timur juga diakibatkan adanya kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda
yang mendesak raja-raja Panei, Bilah dan Siantar untuk mendatangkan para petani
43
Langenberg. Op.cit. Hal. 93-99.
30 Batak Toba ke wilayah kerajaan mereka.Kebijaksanaan itu diberlakukan karena pada
dekade pertama abad ke-20 Sumatera Timur kekurangan beras. Dengan demikian diperlukan adanya perluasan tanah-tanah pertanian dan mendatangkan para petani
Batak Toba ke Sumatera Timur.Penyebaran petani Batak Toba juga diikuti pula dengan datangnya sejumlah besar para misionaris agama Kristen, guru-guru dan
pedagang ke Sumatera Timur.Diperkirakan antara tahun 1907-1920 jumlah pendatang Batak Toba di Simalungun meningkat dari tiga ratus menjadi 21.000 orang.Mereka
secara berangsur-angsur mendesak orang Batak Simalungun menjadi minoritas.Kehadiran mereka akhirnya juga menimbulkan masalah karena tanah-tanah
di Sumatera Timur yang secara turun-temurun dimiliki penduduk asli, kini digarap tidak hanya oleh perkebunan asing tetapi juga oleh para petani Batak Toba.Kondisi
ini berpengaruh terhadap perkembangan gerakan kebangsaan di Sumatera Timur.Dengan demikian jelas bahwa mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum
pendatang lainnya ke Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turuan menjadi minoritas.Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar sedangkan
orang Cina menempati urutan ketiga.
44
Di atas telah diuraikan bahwa perkembangan perkebunan telah menyebabkan daerah Sumatera Timur menjadi terkenal dan secara ekonomis sangat maju
dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Sumatera. Hasil produksi perkebunannya telah memberikan keuntungan besar terhadap para pengusaha,
Pemerintah Kolonial Belanda, dan pemerintahan kerajaan di Sumatera Timur.Akan
44
Sinar, T Luckman. Op.cit. Hal. 240-243.
31 tetapi hal itu tidak dialami oleh para buruh perkebunan yang pada dasarnya adalah
sebagai ujung tombak hidup matinya ekonomi perkebunan di Sumatera Timur.
45
Buruh-buruh perkebunan itu seringkali mendapat perlakuan buruk dari majikannya dan mereka kebanyakan tidak mengetahui isi kontrak yang mereka
tandatangani dengan pihak perkebunan.Sistem rekrutmen kuli kontrak itu didukung oleh tiga peraturan pemerintah.Pertama, Koeli Ordonantie yang diajukan pada tahun
1880, 1884, dan 1893.Peraturan itu memberikan kewenanganhukum kepada para manajer perkebunan selama masih berlaku kontrak.Kedua, Ponalie Sanctie
dimasukkan ke dalam pasal kerja kuli-kuli untuk menghukum kuli-kuli yang melanggar pasal-pasal kontrak kerja mereka. Mereka yang melarikan diri dari
perkebunan dapat ditangkap dan dipaksa kembali oleh polisi untuk meneruskan kontrak kerja mereka di perkebunan atau dihukum dengan cara lain. Ketiga, untuk
mempertahankan sistem kuli kontrak adalah melalui peranan perkumpulan para pengusaha perkebunan, Deli Planters Vereneging DPV yang dibentuk pada
1897.DPV dibentuk dengan tujuan untuk menyuarakan kepentingan para pengusaha perkebunan seperti mengatur pembagian kuli-kuli kebun.
46
Para kuli perkebunan pada tahun 1926 hanya mendapat gaji sebesar f.19.50, sementara gaji terendah asisten perkebunan Eropa berjumlah dua puluh kali lebih
besar dari gaji kuli orang Jawa dan Cina, yakni f.350 sampai f.540 dan gaji menajer perkebunan sebesar f.675. Suatu peristiwa penyiksaan terhadap kuli kebun dengan
45
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.
46
Sinar, T Luckman. Op.cit. Hal. 91.
32 diberlakukannya poenale sanctie adalah peristiwa Pulau Mandi yang terjadi pada
tahun 1926.Pada bulan Oktober tahun itu seorang asisten perkebunan bangsa Jepang bernama Kozo Oriuchu dinyatakan bersalah karena melakukan penganiayaan dan
menyekap para kuli perkebunan Pulau Mandi. Para kuli yang jumlahnya tujuh orang dipukuli dan dikurung selama satu bulan dalam ruangan yang luasnya tidak kurang
dari dua meter persegi dan dipaksa memakan kotoran manusia dan kuda. Kuli-kuli itu diancam akan dibunuh bila melaporkan kejadian yang dialaminya kepada orang lain.
Buruh-buruh yang kondisinya sangat miskin itu terus bertambah. Yakni dari 31.454 pada tahun 1883 menjadi 186.556 tahun 1912 dan 336.000 tahun 1932. Mereka
sebagian besar adalah para buruh Jawa.Mereka adalah sekelompok masyarakat yang terpisah secara sosial. Gambaran tentang kehidupan buruh-buruh perkebunan itu
dilukiskan dengan baik oleh Liddle sebagi berikut: … fasilitas kesehatan sangat minim dan mereka tinggal berdesak-desakan di
dalam pondok-pondok yang berfungsi sebagai tempat tinggal mereka. Dari tahun 1915 sampai 1919 menurut laporan Tideman, ribuan buruh-buruh
perkebunan yang meninggal terus meningkat dibandingkan dengan seluruh penduduk Sumatera Timur. Selama periode ini rasio antara laki-laki dan
perempuan tinggi dan mereka sulit untuk membangun hubungan kekeluargaan yang normal. Usaha-usaha untuk mengembangkan rasa memiliki terhadap
komunitas di dalam pondok juga tidak berhasil karena pekerja-pekerja baru terus didatangkan dan yang lain dipindahkan ke tempat lain.
47
Demikianlah gambaran kondisi para buruh perkebunan di Sumatera Timur. Mereka sama sekali tidak menikmati keuntungan dari perkembangan daerah
Sumatera Timur yang justru dengan nyata sekali punya andil dalam proses perkembangannya. Pengaruh penting lainnya atas masyarakat Sumatera Timur akibat
47
Langenberg. Op.cit. Hal. 106.
33 perkembangan perkebunan dan masuknya Pemerintah Kolonial Belanda adalah
munculnya suatu pelapisan sosial yang mempunyai garis pisah yang tajam. Ciri yang menonjol dari masyarakat Sumatera Timur pada akhir tahun 1920-an adalah jurang
sosial ekonomi yang lebih memisahkan secara tajam kelompok kecil elite dengan massa penduduk, petani-petani, kuli perkebunan, dan buruh kota.
48
Bersamaan dengan perkembangan kota-kota itu muncullah sebuah budaya baru di perkotaan. Para perantau dari daerah lain yang datang ke Sumatera Timur
sebagian besar tinggal di daerah perkotaan. Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, pengrajin, dan pekerja di sektor jasa. Jumlah mereka
sangat cepat berkembang dari tahun ke tahun. Di Medan misalnya jumlah penduduk kota ini meningkat dari 42,5 ribu pada tahun 1920 menjadi 76,6 ribu pada tahun
1930. Secara detail jumlah penduduk kota-kota Sumatera Timur adalah sebagai Dengan pesatnya perkembangan perkebunan, maka satu aspek lagi yang
menjadi prasarana pendukungnya adalah munculnya kota-kota di Sumatera Timur.Medan sebagai pusat administrasi pemerintahan dan ekonomi perkebunan
telah berkembang dengan cepat. Kota-kota besar lainnya dengan cepat berkembang di seluruh Sumatera Timur dengan sebab-sebab yang sama. Siantar khususnya, menjadi
sebuah pusat administrasi dan ekonomi yang penting dan sekaligus menjadi jalur silang yang menghubungkan wilayah Tapanuli, Karo, Simalungun, dan dataran
rendah Sumatera Timur.
48
Hasil wawancara dengan Bapak Suprayitno pada tanggal 26 Juli 2015 pukul 13.37 WIB di Kantor Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, USU.
34 berikut; Medan 76.584, Pematang Siantar 15.328, Tebingtinggi 14.026, Binjai
9.176, Tanjung Balai 6.823.
49
Kota Medan telah dihuni oleh 4.293 orang Eropa, 27.287 Cina, dan selebihnya adalah orang Melayu, Karo, Simalungun, Toba, Jawa, Aceh,
Minangkabau, Mandailing, Angkola, Banjar, Sunda, Manado, dan Ambon. Semuanya merupakan cermin dari penduduk Indonesia. Orang-orang Eropa yang tinggal di
Medan, bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan Belanda Deli, dengan ciri-ciri khas, kasar, pemabuk, kurang adat, dan benci pada birokrasi yang menghambat
penumpukan harta.
50
Di samping itu selama tahun 1930-an, Siantar, Tebingtinggi, dan Binjai juga menjadi kota-kota yang secara etnis sangat heterogen.Penduduk kota itu telah
melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat gubernemen, bukan rakyat
kerajaan. Di Medan muncul suatu kesadaran baru, yakni kesadaran akan identitas ke- Indonesiaan lewat berkembang pesatnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa yang dipakai sejumlah perusahaan penerbitan seperti Pewarta Deli yang dipimpin oleh seorang wartawan Djamaludin Adinegoro. Di samping Pewarta Deli
masih ada sejumlah penerbitan seperti Sinar Deli yang nasionalis radikal, Pelita Andalas dan beberapa mingguan Islam.Komunikasi di antara mereka semakin lancar
dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun
49
Reid, Anthony. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta. Sinar Harapan. Hal. 108-109.
50
Ibid. Hal. 78 dan catatan No.5.
35 1928.Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat
nasional di Kota Medan. Dengan cermat Hamka melukiskan, bahwa anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah
keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya tradisional.
51
Bersamaan dengan terjadinya kepincangan sosial, penguasa kolonial Belanda telah menciptakan suatu lingkungan baru di pusat-pusat kota, khususnya di Medan
dan Pematangsiantar. Di lingkungan baru ini muncul kesadaran untuk mencari identitas nasional.Pencarian identitas nasional itu diwujudkan dalam bentuk
pembentukan cabang Boedi Oetomo di Medan pada tahun 1908. Di bawah pimpinan dr. Pirngadi, Boedi Oetomo merekrut anggota dari kalangan dokter, guru, ahli hukum,
wartawan, dan pegawai pemerintah. Secara organisatoris Boedi Oetomo mampu menghubungkan daerah Sumatera Timur dengan pulau Jawa.
2.1.2. Kondisi Sosial Politik