Latar Belakang Masalah Metode Bimbingan Kepribadian Islami Anak Dalam Keluarga Studi Kasus Pada Keluarga Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Betapa riang jiwa, betapa bening mata, ketika orang tua melihat buah hatinya adalah malaikat-malaikat yang berjalan di atas muka bumi, ketika jantung hatinya adalah “mushaf-mushaf” yang bergerak di jajaran manusia. Betapa banyak para orang tua merasa senang, merasa gembira ketika mereka memetik hasil upaya mereka, ketika mereka berteduh di bawah kerindangan tanamannya. Tetapi apakah cukup bagi orang tua dengan menunaikan tanggung jawab dan kewajiban tersebut, lantas ia bersantai, atau ia harus menambah metode dan senantiasa mencari kesempurnaan dan keutamaan. 1 Sejak berabad-abad yang lalu perhatian terhadap seluk beluk kehidupan anak sudah diperlihatkan dari sudut perkembangannya agar bisa mempengaruhi kehidupan anak ke arah kesejahteraan yang diharapkan. Anak harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang baik dan bisa mengurus dirinya sendiri serta tidak bergantung atau menimbulkan masalah pada orang lain, keluarga dan masyarakatnya. 2 1 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam, Semarang: CV Asy Syifa, 1981, cet. ke-3, h. 1. 2 Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003, cet. ke-7, h. 15. Anak lahir dalam keadaan fitrah, keluarga dan lingkungan anaklah yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian, perilaku dan kecenderungannya sesuai dengan bakat yang ada dalam dirinya. Tetapi pengaruh yang kuat dan cukup langgeng adalah kejadian dan pengalaman pada masa kecil sang anak yang tumbuh dari suasana keluarga yang ia tempati. Keluarga mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan agama dan tempat beribadat yang secara serempak berusaha mengembangkan amal kebajikan dan anak yang sholih. Kebesaran suatu agama perlu didukung oleh besarnya jumlah keluarga yang menjalankan syariat agamanya bukan oleh jumlah penganutnya saja. 3 Ketika seorang anak lahir ke dunia dan melihat apa yang ada di dalam rumah dan sekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari sebuah gambaran kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah dalam hidupnya di dunia ini. Jiwanya yang masih suci dan bersih akan menerima segala bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang anak akan dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya. Imam al-Ghazali berkata bahwa anak adalah amanah bagi orang tuanya, hatinya bersih, suci dan polos. Kosong dari segala ukiran dan gambaran. Anak akan selalu menerima segala yang diukirnya dan akan cenderung terhadap apa saja yang mempengaruhinya. Maka apabila dia dibiasakan dan diajarkan untuk melakukan kebaikan, niscaya akan seperti 3 Jalaluddin Rakhmat, Muchtar Gandaatmaja, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Modern, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993, cet. ke-1, h.13. itulah anak terbentuk. Sehingga kedua orang tuanya akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Namun apabila si anak dibiasakan untuk melakukan kejahatan dan ditelantarkan bagaikan binatang liar, sengsara dan celakalah ia. Dosanya akan ditanggung langsung oleh kedua orang tuanya sebagai penanggung jawab dari amanat Allah. Setiap anak lahir dengan potensi yang berbeda-beda dan harus dikembangkan sebaik mungkin. Potensi itu itu berbentuk kemampuan- kemampuan yang masih belum terwujud yang memerlukan kesempatan dan lingkungan yang memungkinkan jalannya perkembangan yang lancar. Perkembangan yang lancar dan wajar menuju individu dewasa yang bertanggung jawab atas perbuatannya, hanya mungkin tercapai apabila perkembangan tersebut diberi bimbingan pula, di mana diperlukan bantuan, pertolongan pun harus selalu tersedia. 4 Apabila setiap keluarga disoroti kemungkinan akan ada atau tidaknya persoalan dengan anak, maka akan terlihat macam-macam derajat kesulitan. Bahkan mungkin saja tidak semua keluarga menyadari adanya sesuatu kesulitan. Setiap keluarga mengalami dan harus memecahkan persoalan- persoalan sendiri. Apabila kesulitan tidak disadari, tidak dirasakan sebagai persoalan, maka tentu tidak akan dicari cara-cara untuk mengatasinya. Persoalan akan menjadi masalah setelah menimbulkan suatu gambaran dalam arus kehidupan dan kecemasan pada orang tua. 5 4 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Anak Bermasalah, Jakarta: Gunung Mulia, 2004, cet. ke- 13, h. 112. 5 Ibid, h. 1. Mengasuh, membesarkan dan mendidik anak merupakan suatu tugas mulia yang tidak lepas dari berbagai halangan dan tantangan. Adalah harapan dan cita-cita para orang tua untuk dapat memperkembangkan anak semaksimal mungkin agar anak tersebut mampu dan berhasil dalam memenuhi tugas perkembangan yang berlaku umum untuk setiap umur dan fase perkembangan yang akan atau sedang dilalui seorang anak. Telah banyak usaha yang dilakukan orang tua maupun pendidik untuk mencari dan membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan dengan perkembangan anak. Sejak berabad-abad yang lalu para ilmuwan dan para ahli pemikir memperhatikan seluk beluk kehidupan anak, khususnya dari sudut perkembangannya, untuk mempengaruhi proses-proses perkembangan agar mencapai kesejahteraan hidup yang didambakan. Anak harus tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang matang, yang sanggup dan mampu mengurus dirinya sendiri dan tidak senantiasa bergantung kepada orang lain atau bahkan menimbulkan masalah bagi keluarga dan kelompok. 6 Dalam segala bentuk, siklus kehidupan manusia itu senantiasa berputar pada waktu-waktu tertentu, karena proses pertumbuhan dan perkembangan manusia dari masa ke masa dalam kandungan seorang ibu, bayi, anak-anak, remaja dan orang tua bahkan sampai mati merupakan suatu hal yang biasa terjadi. Masa kanak-kanak adalah masa sensitif dan masa meniru terhadap segala sikap dan perbuatan yang dilihatnya dari orang-orang dewasa sekitar 6 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Gunung Mulia, 2003, cet. ke-10, h. 16. lingkungan yang dialaminya, baik itu yang baik maupun yang buruk. Secara singkat, bahwa seorang anak itu sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari lingkungan keluarganya terutama ibu bapaknya. Pembinaan kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Oleh karena itu pembinaan keagamaan harus dilakukan bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak agar kepribadiannya berkualitas baik dan memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran agama kepribadian muslim. Ajaran agama yang ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak sehingga merupakan bagian dari unsur-unsur kepribadiannya, akan cepat bertindak menjadi pengendali dalam menghadapi segala keinginan dan dorongan- dorongan yang timbul, karena keyakinan terhadap agama yang menjadi bagian dari kepribadian itu akan mengatur sikap dan tingkah laku secara otomatis dari dalam. 7 Oleh karena itu, dalam pembinaan kepribadian anak ini perlu adanya pendekatan yang tepat khususnya dalam segi pembinaan pemahaman ajaran agama karena sikap keberagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan 7 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1996, cet. ke-4, h.57 bawaan yang bersifat “laten”. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada usia dini. 8 Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu: 1. Prinsip Biologis Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instinktif. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal. 2. Prinsip Tanpa Daya Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri. 3. Prinsip Eksplorasi Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembanagn melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan 8 Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, Edisi Revisi 11, h. 63. dan pemeliharaan serta bimbigan dapat di arahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya. Menurut penelitian Ernest Harms, perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase tingkatan. Dalam bukunya The Development Of Religious On Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu: 1. The Fairy Tale Stage Tingkat Dongeng Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. 2. The realistic Stage Tingkat Kenyataan Tingkat ini dimulai sejak anak masuk sekolah dasar hingga ke usia masa usia adolesense. Pada masa ini, id ke-Tuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan realitas. Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak amal keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat. 3. The Individual Stage Tingkat Individu Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perekembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu: a. Konsep ke-Tuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar. b. Konsep ke-Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang bersifat personal perorangan. c. Konsep Ke-Tuhanan yang bersifat humanistik. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu perkembangan usia dan faktor ekstern berupa pengaruh luar yang dialaminya. 9 Manusia adalah makhluk yang eksploratif dan potensial. Dikatakan makhluk eksploratif, karena manusia memiliki kemampuan untuk mengembangakan diri baik secara fisik maupun psikis. Manusia disebut sebagai makhluk potensial, karena pada diri manusia tersimpan sejumlah kemampuan bawaan yang dapat dikembangkan. 9 Ibid., h. 67. Selanjutnya, manusia juga disebut sebagai makhluk yang memiliki prinsip tanpa daya, karena untuk tumbuh dan berkembang secara normal manusia memerlukan bantuan dari luar dirinya. Bantuan dimaksud antara lain dalam bentuk bimbingan dan pengarahan dari lingkungannya. Bimbingan dan pengarahan yang diberikan dalam membantu perkembangan tersebut pada hakikatnya diharapkan sejalan dengan kebutuhan manusia itu sendiri yang sudah tersimpan sebagai potensi bawaannya. Karena itu, bimbingan yang tidak searah dengan potensi yang dimiliki akan berdampak negatif bagi perkembangan manusia. 10 Dengan peristiwa inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “Metode Bimbingan Kepribadian Islami Anak Dalam Keluarga Studi Kasus Pada Keluarga Dosen Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah