Persamaan KUHP dengan KUHPM Kekhususan KUHPM vis – a – vis KUHP

Hal ini seharusnya tidak perlu dicantumkan, karena kalimat pengertian tersebut sudah mencakup dalam kalimat pertama, dan pengertian dalam kalimat ini tidak hanya diterapkan Buku I KUHP pada KUHPM, tetapi juga ketentuan- ketentuan dalam Buku II harus diterapkan atau diperhatikan, termasuk pula ajaran-ajaran umum mengenai hukum pidana, dan hal tersebut dapat dilihat dan pengguna rumusan atau istilah-istilah yang terdapat dalam bab atau pasal-pasal KUHPM.

5. Persamaan KUHP dengan KUHPM

Sebagaimana terdapat dalam Buku I KUHPM, yaitu adanya penggunaan rumusan dan istilah-istilah yang bersamaan antara judul dan Bab-bab Buku KUHP dengan KUHPM, kecuali judul Pendahuluan yang mendahului Bab I dan terdiri dan 3 pasal serta judul Bab Percobaan dan penyertaan yang tidak terdapat dalam KUHPM. Sistematika di KUHPM, tidak berbeda jauh dengan sistematika KUHP, yaitu dimulai dengan ketentuan-ketentuan umum, selanjutnya diikuti dengan kejahatan.

6. Kekhususan KUHPM vis – a – vis KUHP

Tidak adanya bab tentang percobaan dan bab tentang penyertaan dalam KUHPM tidak berarti ketentuan-ketentuan tentang percobaan dan penyertaan dalam KUHP tidak diikuti, tetapi selama tidak ditentukan lain oleh KUHPM, Universitas Sumatera Utara maka ketentuan tentang percobaan dan penyertaan yang ada dalam KUHP tetap diikuti. a. Ketentuan tentang Percobaan. Ketentuan tentang percobaan yang tidak diikuti atau disimpangi oleh KUHPM, khususnya berkaitan dengan ancaman pidananya atau maksimum hukuman pokok yang tidak dikurangi dengan sepertiganya, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 53 ayat 2 KUHP, antara lain terdapat dalam Pasal 66 ayat 2 KUHPM, yaitu diancam dengan pidana yang sama, militer yang dengan maksud menyiapkan atau memudahkan pemberontakan militer atau Pasal 88 KUHPM, yaitu maksimum ancaman pidana diduakalikan pada kejahatan ketidakhadiran tanpa ijin atau pada kejahatan desersi apabila saat melakukan kejahatan itu belum lima tahun sejak pelaku telah menjalani seluruh atau sebagian pidananya, juga Pasal 94 KUHPM, Pasal 116 KUHPM, Pasal 125 KUHPM, 144 KUHPM sehingga dan Bab I sampai dengan Bab VI Buku Kedua KUHPM selalu ditemukan penyimpangan terhadap ketentuan tentang percobaan. b. Ketentuan tentang Penyertaan. Penyimpangan terhadap ketentuan tentang penyertaan juga terdapat dalam pasal-pasal KUHPM, antara lain Pasal 72 ayat 1 yang berbunyi : Terhadap peserta dari suatu permufakatan jahat yang disebutkan dalam Bab ini yang melaporkannya dengan suatu cara kepada penguasa yang tidak mengetahuinya sebelumnya, sehingga karenanya pelaksanaan kejahatan yang diniatkan itu dapat dicegah, ditiadakan penuntutan pidana. Universitas Sumatera Utara Pasa1 lain yang merupakan penyimpangan terhadap ketentuan tentang penyertaan, khususnya berkaitan dengan pemberatan pidana, seperti Pasal 78 ayat 2 ke-3 dan ke-4 KUHPM, Pasal 88 ayat 1 ke-2 KUHPM, Pasal 103 ayat 3 ke-3 KUHPM, dan lain-lain. Sedangkan pasal lain berkaitan dengan kejahatan yang berdiri sendiri meskipun itu dilakukan bersama-sama seperti Pasal 113 KUHPM yang berbunyi ; Bilamana lima orang militer atau lebih berkelompok jahat untuk secara bersatu mengabaikan tugas mereka, apabila karenanya terjadi suatu tindakan nyata atau ancaman, maka kecuali kepada masing-masing dipertanggung- jawabkan tindakan-tindakan khusus yang dilakukannya, mereka diancam karena pengacauan militer militair oproer dengan pidana penjara maksimum dua belas tahun. c. Ketentuan tentang Permufakatan Jahat. Pemufakatan jahat, antara lain berkaitan dengan memberikan bantuan pada musuh saat perang Pasal 64 ayat 1 KUHPM, militer yang melakukan pemberontakan Pasal 67 KUHPM, dan lain-lain yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara, dimana untuk peserta, sebagaimana dimaksud Pasal 72 KUHPM tidak dikenakan pidana. d. Ketentuan tentang Pidana yang lebih berat Alasan diadakan ketentuan hukum pidana militer berbeda dengan ketentuan hukum pidana umum, salah satunya adalah ancaman pidana yang lebih berat bagi mereka yang tunduk pada yurisdiksi peradilan militer. Sebagaimana dikatakan oleh Sianturi sebagai berikut: . . . bahwa justru diperlukan pemisahan Universitas Sumatera Utara hukum pidana dan badan peradilan militer adalah untuk memberatkan ancaman pidana dan perjatuhan pidana bagi justisiahel Peradilan Militer”. 210 Selanjutnya dikatakan pula, yaitu: Bahwa ancaman pidana dalam Hukum Pidana Umum, sering dirasakan kurang memadaikurang berat bagi seseorang militer yang melakukan kejahatan, walaupun dengan penerapan Pasal 52 KUHP. Kadang-kadang diperlukan pidana tambahan yang berbeda dan pada yang ditentukan dalam KUHP. 211 Sebagai contoh dan penyertaan tersebut, antara lain yaitu Pasal 65 KUHPM tentang pemberontakan, diancam pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara dua puluh tahun. Sedangkan Pasal 108 KUHP, diancam pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Demikian pula Pasal 145 KUHPM tentang penadahan yang ancaman hukumannya selama tujuh tahun. Sedangkan Pasal 480 KUHP ancaman hukumannya selama empat tahun, dan lain-lain. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas yang membedakan antara KUHPM dengan KUHPM, adalah tindak pidana atau kejahatan yang khas atau murni militer yang tidak diatur oleh KUHP, seperti desersi Pasal 87 KUHPM, insub-ordiriasi atau pembangkangan militer Pasal 97 sampai dengan Pasal 117 KUHPM, dan lain-lain. 210 Ibid., hal. 84. 211 Ibid., hal. 54. Universitas Sumatera Utara e. Data Perkara yang telah Diputus Pengadilan Militer II-08 Jakarta Di bawah ini akan disampaikan data tindak pidana yang diadili oleh Pengadilan Militer II-08 Jakarta dan tahun 2002 sampai dengan tahun 2006, sebagai berikut : PERKARA YANG TELAH DIPUTUS DI PENGADILAN MILITER II - 08 JAKARTA TAHUN JUMLAH TIND. PID. UMUM TIND. PID. MILITER 2002 2003 2004 2005 2006 207 154 220 194 225 128 87 112 103 122 79 67 108 91 103 Sumber: Pengadilan Militer II - 08 Jakarta, Juni 2007. Tindak-tindak pidana yang diadili oleh Mahkamah Militer II - 08 Jakarta pada periode 2002 sampai dengan 2006, yaitu berupa tindak pidana militer murni yang terdapat dalam KUHPM berkaitan dengan ketidakhadiran tanpa ijin atau mangkir, kemudian desersi serta ketidaktaatan Pasal 86, 87, 103 KUHPM Sedangkan tindak pidana umum atau pelanggaran terhadap KUHP militer yang melakukan tindak pidana yang tidak terdapat dalam pasal-pasal KUHPM tetapi ada dalam pasal-pasal KUHP, antara lain berupa kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain Pasal 359 KUHP, kawin lagi Pasal 279 KUHP, melarikan perempuan Pasal 332 KUHP, penganiayaan Pasal 378 KUHP, pencurian dengan kekerasan Pasal 365 KUHP, zinah Pasal 284 Universitas Sumatera Utara KUHP, pemerkosaan Pasal 285 KUHP, dan lain-lain, di mana tindak pidana in tidak ada kaitannya dengan kemiliteran. Dengan demikian, diadilinya anggota militer yang melakukan tindak pidana diluar KUHPM oleh Pengadilan militer merupakan realisasi atau perwujudan keberadaan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM itu sendiri, selain dan kewenangan seperti tersebut di atas peradilan militer juga mempunyai kewenangan mengadili sipil dalam hal melakukan tindak pidana koneksitas. f. Koneksitas. Sebagaimana telah disampaikan pada awal bab ini dalam perkara tertentu koneksitas peradilan militer mempunyai kewenangan mengadili pelaku tindak pidana yang bukan militer atau yang dipersamakan dengan militer yang diatur pada pasal 9 ayat 3. Pada Bagian Kelima Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur tentang Acara Pemeriksaan Koneksitas. Pasal 198 berbunyi: Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ketentuan tentang koneksitas sebagaimana diatur dalam Pasal 198 sampai dengan pasal 203 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer sama dengan sebagaimana diatur pada pasal 89 sampai dengan pasal 351 dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Universitas Sumatera Utara Kemudian ketentuan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tunduk kepada lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer dalam hal keadaan tertentu tunduk kepada peradilan militer bukan lagi menurut keputusan Menteri Pertahanan Keamanan dengan persetujuan Menteri kehakiman tetapi menurut keputusan Mahkamah Agung, sebagaimana diatur pada pasal 24 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah dilihat dan titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oeh pengadilan di lingkungan peradilan umum. Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP, pasal 89 sampai dengan pasal 94 mengatur perkara koneksitas, bagaimana dan siapa yang menyidik perkara koneksitas, pembentukan tim koneksitas, penelitian untuk menetapkan lingkungan peradilan mana yang akan mengadili perkara koneksitas, peran Perwira Penyerah Perkara Papera, perbedaan pendapat antara penuntut umum dengan oditur dalam hal penentuan peradilan mana yang berwenang mengadili, komposisi hakim dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara Pasal 24 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kewenangan Pengadilan Umum untuk mengadili perkara- perkara yang dilakukan oleh mereka yang termasuk anggota ABRI sekarang TNI bersama-sama non ABRI TNI, pada hakekatnya merupakan suatu kekecualian ataupun penyimpangan dan ketentuan, bahwa seseorang seharusnya diadili dalam sidang Pengadilan yang menjadi yurisdiksinya. Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer kewenangan diberikan kepada Menteri PertahananKeamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadi1an Militer sebagai pengadilan yang berwewenang mengadili perkara koneksitas, maka dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 maka kewenangan tidak lagi pada Menteri PertahananKeamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman, tetapi pada Ketua Mahkamah Agung yang menetapkan Peradilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas. Setelah diketahui pengertian tentang prajurit, hukum pidana umum, hukum pidana militer, tindak pidana militer, persamaan KUHP dan KUHPM, sampai koneksitas, maka selanjutnya untuk dapat diadili di Pengadilan Militer, anggota militer prajurit yang telah melakukan tindak pidana harus melalui proses dalam sistem peradilan Pidana Militer yang meliputi tahap penyidikan, penuntutan sampai diadili perkaranya di muka sidang Pengadilan Militer dan penahanan di Pemasyarakatan Militer Masmil Oleh karena itu, di bawah ini akan dijelaskan proses peradilan pidana militer, sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara

B. Sistem Peradilan Pidana Militer

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sistem Peradilan Pidana Militer akan dijelaskan terlebih dahulu Sistem Peradilan Pidana yang berlaku umum sebagai pembanding, khususnya berkaitan dengan komponen atau sub sistem peradilan pidana yang meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Seperti diketahui, keempat lembaga instansibadan tersebut masing- masing secara administratif berdiri sendiri. Kepolisian saat ini kedudukannya langsung di bawah Presiden. Kejaksaan berpuncak pada Kejaksaan Agung, Pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 42 ayat 1 Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004. Kemudian lembaga Pemasyarakatan berada dalam struktur organisasi Departemen Kehakiman, yaitu di bawah Ditjen Pemasyarakatan. Keempat komponen atau sub-sistem peradilan pidana tersebut menurut Mardjono Reksodiputro, memiliki keterkaitan antara sub-sistem satu dengan 1ainnya, ibarat bejana berhubungan, dan diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu integrated criminal justice system. 212 212 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Buku Ketiga, Cet. III, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum dh Lembaga Kriminilogi Universitas Indonesia, 1999, hal. 85-89. Universitas Sumatera Utara Demikian halnya dengan sistem peradilan pidana militer, memiliki komponen atau sub-sistem peradilan pidana militer yang meliputi : Polisi Militer, Oditurat Militer, Pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pada pasal 42 ayat 3 pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer kepada Mahkamah Agung selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Dari Pemasyarakatan Militer serta hal yang sangat membedakan adalah adanya lembaga Atasan Yang Berhak Menghukum ANKUM serta Perwira Peryerah Perkora PAPERA Hal ini berbeda dengan sistem peradilan pidana militer, dimana Atasan yang berhak menghukum Ankum adalah penyidik selain dan Polisi Militer dan Oditur sebagaimana terdapat dalam pasal 69 ayat 1 UU No. 31 tahun 1997. Sedangkan dalam SPP, penyidik adalah Polisi dan PNS tertentu Pasal 6 ayat 1 KUHAP. Sedangkan Oditur yang seharusnya sebagai penuntut Pasal 64 ayat1 huruf a juga dapat melakukan penyidikan pasal 64 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1997. Sedangkan dalam SPP, penyidik adalah Polisi dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu Pasal 6 ayat 1 KUHAP

1. Perbedaan komponen SPP dengan Komponen SPPM