Konsepsi Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia

2. Konsepsi

Sebagaimana tercetus dalam Era Reformasi bahwa tekad rakyat Indonesia melalui reformasi untuk memberantas segala bentuk penyelewengan seperti : Korupsi, Kolusi, Nepotisme serta kejahatan Ekonomi, Keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan ternyata belum diikuti langkah-langkah nyata dalam menerapkan da menegakkan hukum. Hal ini terbukti dengan masih terjadinya campur tangan dalam proses peradilan serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis hukum. Dalam penjelasan Undang- Undang Dasar 1945 khususnya paa bagian sistem pemerintah negara yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum rechstaat dan bukan atas kekuasaan machstaat. Perwujudan hal tersebut adalah dengan memainkan peran hukum sebagai pengatur sekaligus pengawas dalam tata kehidupan nasional dengan tujuan agar tercapainya suatu ketertiban, keamanan, keadilan serta kepastian hukum. 10 Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VIMPR2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VIIMPR2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara. 10 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman RI, Jakarta : Sinar Grafika, 1990. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII MPR 2000, khususnya Pasal 7 ayat 2. Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat 1 Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 b mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum. Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat 2 mengatur Prajurit TNI militer tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundang- undangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana. Universitas Sumatera Utara Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU Perubahan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Pidana Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan gaps artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus. 11 Rumusan secara tegas mengenai Koneksitas dapat diketemukan pada BAB XI UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, atau yang lebih dikenal dengan KUHAP, dengan judul Pemeriksaan Koneksitas. Sedangkan pengertian koenksitas sendiri dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 89 ayat 1. Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Rumusan koneksitas pada BAB XI Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 KUHAP kemudian ditransfer ke dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dalam BAB IV bagian Kelima Pasal 198 sampai dengan Pasal 203. 11 Hans Kelsen Geraal Therry, dalam Jimly Asshiddigie dalam Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, Jakarta: Konstitusi Pers, 2006, hal. 130. Universitas Sumatera Utara Peraturan-peraturan yang bersifat umum yang hanya berlaku bagi militer yang disebut hukum militer, selain bersifat keras dan berat, sering pula disasarkan kepada azas-azas yang menyimpang dari teori-teori hukum pidana termasuk sanksinya sering menjungjung dari stelsel pemidanaan yang lazim berlaku bagi masyarakat biasa. Dalam arti perluasan jenis-jenis pidana dan pemberatan pidana maka lahirlah di bidang hukum pidana, hukum pidana militer dan satu jenis hukuman lagi mempunyai ciri-ciri seperti hukum pidana, tetapi karena alasan pembentukannya mempunyai tujuan yang berlainan maka dibedakan daripadanya dan disebut hukum disiplin militer. Jenis-jenis hukum ini dibukukan dalam buku tersendiri yakni berturut- turut dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara KUHPT sekarng Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer KUHPM dan Kitab Undang- Undang, Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Tentara KUHDT sekarang Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer KUHDM. Semula memang pernah dipersoalkan jenis hukum ini, khususnya mengenai Hukum Pidana Militer, tidak sebaiknya dibukukan menjadi satu dalam KUHP. Gagasan untuk membukukan Hukum Pidana Militer menjadi satu dengan Hukum Pidana khusus kemudian dilepaskan, oleh karena perkiraan-perkiraan yang keras dan berat, serta dalam beberapa hal sering menyimpang dari azas yang berlaku umum ini, di samping memang memerlukan adanya hukum yang tersendiri. Juga akan menyulitkan bila dimasukkan dalam satu buku dengan Pidana Umum yaitu dalam KUHP. Universitas Sumatera Utara Menurut Ketua Mahkamah Agung MA Bagir Manan mengatakan bahwa puncak peradilan tetap ada di Mahkamah Agung, meskipun nantinya dibawa ke peradilan umum atau dipertahankan. Seperti sekarang diperadilan militer, perkara itu akan tetap berpuncak ke Mahkamah Agung. Semua pihak harus memperhatikan aspek sosiologis dan aspek normatif, secara sosiologis apakah polisi sanggup menyidik tentara dan apakah realistis. Pada bagian lain, pekerjaan pengadilan sudah cukup banyak kalau ditambahkan lagi dengan masalah militer, apakah Peradilan Umum sanggup dan perlu dicek apakah keputusan Peradilan Militer selalu lebih ringan dari pada Peradilan Umum. 12 Menurut Juwono Darsono Menhan : Aspek psikologis TNI-Polri, Belum siapnya penegak hukum sipil di lapangan, yaitu : Polisi, Jaksa, Hakim, ketika melayani perkara yang melibatkan prajurit TNI. KUHPM sebagai dasar hukum materil masih belum dirubah, perubahan landasan hukum materil harus terlebih dahulu dilakukan sebelum merevisi Undang-Undang Peradilan Militer, sebab di KUHP tidak ada ketentuan yang memungkinkan seorang prajurit bisa dituntut atau dihukum di Peradilan Umum, jadi harus ada aturan peralihan. Peradilan sipil dengan peradilan militer sudah sama tingkatannya. Mencarikan alternatif agar tidak terjadi kebuntuan dengan memasukkanmelibatkan unsur peradilan sipil, seperti Hakim, Jaksa ke peradilan militer. 13 Menurut Muladi Gubernur Lemhanas : Pembuatan RUU peradilan militer harus melibatkan hakim, jaksa, dari kalangan militer dan diterapkan 12 http:www.hukumonlinecom.jalan_tengah,Menham_usul_usul_perwakilan . 13 http:www.pelita.or.id.Dilematis,RUU_Peradilan_Militer,diakses,selasa,_16_juni_2009 . Universitas Sumatera Utara secara gradual dengan meniru Negara lain, namun tetap ciri khas Indonesia. Pemberlakuan Undang-undang militer yang baru secara bertahap, bila sudah ditetapkan pemerintah diberikan waktu 2 tahun bagi anggota TNI menyiapkan sikap dan mental dan menerima perubahan. System campuran menjadi jalan tengah yang baik dari koneksitas. Sulit menginplementasikan jika militer disidik Polri. Sejarah dan aspek sosiologis TNI dan Polri tetap harus menjadi perhatian utama. 14 Ketika militer akan ditundukkan kepada Peradilan Umum, prospeksi koneksitas dipersoalkan, masih perlukah acara pemeriksaan koneksitas. RUU Perubahan Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer usulan DPR, menyatakan bahwa koneksitas tidak diperlukan lagi. Namun, pada sisi lain, apabila lembaga koneksitas ini dihilangkan tentu akan ada persoalan yang mengarah pada tidak ada aturan hukumnya untuk suatu perbuatan yang potensial dapat terjadi, sehingga akan menjadi kekosongan hukum. Menurut Hans Kelsen, hukum memiliki suatu kekosongan gaps artinya bahwa hukum yang berlaku tidak dapat diterapkan pada kasus konkrit karena tidak ada norma umum yang sesuai dengan kasus. 15 Teori atau filsafat hukum, kepada kita diajarkan agar hukum ditaati maksudnya taat secara spontan bukan dengan paksaan, hukum itu harus mempunyai dasar, ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan filosofis. Karena 14 Ibid, hal. 3. 15 Journal Hukum Militer Vol 1, No. 2 Agustus, 2009. Universitas Sumatera Utara peraturan perundang-undangan adalah hukum, maka peraturan perundang- undangan yang baik harus mengandung ketiga unsure tersebut. Yang tidak pernah dijelaskan adalah bagaimana imbangan antara unsur-unsur itu ? hal ini akhirnya sangat tergantung pada pendekatan yang dipergunakan. Mereka yang mendekati hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal tentu akan melihat unsur yuridis sebagai yang terpenting. Begitu pula mereka yang melihat hukum sebagai gejala social akan melihat unsur sosiologis sangat penting. Begitu pula mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan menekankan pentingnya aspek filosofis. 16 Terlepas dari perbedaan titik pandang tersebut, ketiga unsur yuridis, sosiologis dan filosofis memang penting. Sebab setiap pembuat peraturan perundang-undangan berharap agar kaidah yang tercantum dalam perundang- undangan itu adalah sah secara hukum legal validity dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang. 17 Pengertian kaidah hukum meliputi asas-asas hukum, kaedah hukum dalam arti sempit atau nilai norm dan peraturan hukum konkrit. Pengertian kaedah hukum dalam arti luas itu berhubungan satu sama lain dan merupakan satu sisem, sistem hukum. 18 16 Bagir Manan, Dasar-dasar Perunang-undangan, Jakarta : Penerbit Indonesia. IND. Hillco , 1992. 17 Ibid. 18 Sudikmo Mertakusumo, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, Cetakan, ke-4. Universitas Sumatera Utara Dari apa yang diuraikan di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut bandingkan dengan Scholten dalam G.J. Scholten, 1949 : 402. Ini berarti menunjuk pada kesamaan-kesamaan yang konkrit itu dengan menjabarkan peraturan hukum konkrit menjadi peraturan umum yang karena menjadi umum sifatnya tidak dapat diterapkan secara langsung pada peristiwa konkrit. Asas hukum ditemukan dalam hukum positif. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum dalam hukum positif. Jadi asas hukum sebagai pikiran dasar peraturan konkrit pada umumnya bukan tersurat melainkan tersirat dalam kaedah atau peraturan hukum konkrit. 14 Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya perbedaan fungsi ini tergantung dari pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban antara orang preman bukan militer dengan orang militer. 19 Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingan- 19 A Tambunan, Himpunan Kuliah Hukum Militer, Jakarta 1990 Universitas Sumatera Utara kepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya. 20 Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dari pada seorang militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dari pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama tadi. Melalaikan kewajiban-kewajiban tersebut mungkin dapat mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa. 21 Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum Pidana” yang terdapat dalam Pasal 65 ayat 2 dan 3 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili. Undang-undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 Pasal 56 mengenai istilah hukum pidana sipil ini adalah lebih baik dan dapat diteruskan sebab dalam istilah tersebut dinyatakan perbedaannya dengan hukum pidana militer. Saya katakan berlaku untuk umum, karena juga berlaku bagi para militer S. 1934-167 Jo Undang-undang 1947 Nomor 39. Bahwa hukum pidana sipil juga berlaku bagi tentara, antara lain dinyatakan Pasal 1 KUHP dikatakan bahwa aturan-aturan umum termasuk juga BAB IX KUHP pada umumnya berlaku dalam menggunakan KUHP militer. 20 Ibid, hal. 9. 21 Ibid, hal. 9. Universitas Sumatera Utara Menurut Prof. Romli Atmasasmita pakar hukum Universitas Padjajaran tentang perbedaan “tindak pidana umum, dengan tindak pidana sipil” adalah. Tindak pidana sipil adalah : Tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung terhadap keamanan dan ketertiban sipil. Sedangkan tindak pidana umum adalah tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung dan tidak langsung kepada pertahanan negara. 22

G. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan pendekatan doktrinal atau normatif yang memandang hukum sebagai perangkat aturan atau kaidah yang bersifat normatif dan sebagai ilmu normatif ilmu tentang norma ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi bentuk konkrit dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang tertentu. Untuk mengkaji unsur-unsur yang terdapat dalam ketentuan hukum Indonesia dan berbagai negara. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan yuridis kompratif secara terbatas yang membandingkan dengan yurisdiksi peradilan militer beberapa negara.

1. Spesifikasi Penelitian