seringnya genus tersebut ditemukan pada lokasi ini menunjukkan bahwa daerah ini memiliki daya dukung yang baik bagi kehidupan dan keberadaannya, hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Suin, 1997 dan John, 1998 bahwa kondisi fisik dan ketersediaan makanan yang memiliki daya dukung bagi jenis fauna tanah, maka fauna
tanah tersebut akan sering hingga sangat sering ditemukan di daerah tersebut.
4.5 Komposisi Genus Makrofauna Tanah pada Masing-masing Lokasi Penelitian
Komposisi genus makrofauna tanah pada masing-masing lokasi penelitian yang diperoleh berdasarkan pengurutan nilai kepadatan relatif dari nilai tertinggi sampai
yang terendah didapatkan komposisi genus yang bervariasi lihat Tabel 4.2,
Keadaaan ini mungkin disebabkan adanya perbedaan kisaran toleransi masing-masing genus makrofauna tanah terhadap perbedaan kondisi fisik dan kimia tanah, serta
keberadaan biotik di masing-masing lokasi penelitian. Komposisi fauna tanah pada
setiap petak penelitian terlihat pada Tabel 4.4 dibawah ini : Tabel 4.5 Urutan Komposisi Masing-Masing Makrofauna Tanah pada Setiap
Lokasi Penelitian
No Genus
KR Lokasi I
KR Lokasi II
KR Lokasi III
1 Pheretima
- -
0,15 10
0,30 12
2 Megascolex
0,90 9
0,74 8
1,51 9
3 Drawida
- -
0,45 9
0,30 12
4 Pontoscolex
2,10 8
2,08 5
2,72 7
5 Julus
- -
- -
2,72 7
6 Geophilus
0,60 10
0,96 7
1,66 8
7 Scolopendra
- -
- -
1,36 10
8 Helix
0,60 10
- -
0,91 11
9 Pomatiopsis
0,30 11
- -
- -
10 Helicodiscus
- -
- -
0,30 12
11 Parcoblatta
2,69 7
10,67 3
2,72 7
12 Philopaga
4,33 6
- -
4,38 6
13 Forficula
4,63 5
- -
7,99 4
14 Irydomyrmex
9,70 4
50,96 1
12,07 3
15 Gryllus 1.
40,28 1
29,33 2
42,06 1
16 Gryllus 2.
18,80 2
1,33 6
6,78 5
17 Gryllus 3.
14,77 3
3,33 4
12,21 2
18 Gryllotalpa
0,30 11
- -
- -
Dari Tabel 4.5 terlihat bahwa adanya perbedaan komposisi genus antar lokasi
penelitian sangat ditentukan oleh kondisi fisik-kimia lingkungannya, dimana secara
fisik-kimia diantara ketiga lokasi juga menunjukkan adanya perbedaan Tabel 4.3,
walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu jauh. Menurut Adianto,1993 fauna tanah
Universitas Sumatera Utara
sebagai hewan invertebrata dan bersifat poikiloterm pada umumnya memiliki kisaran toleransi yang sempit eury terhadap kondisi fisik-kimia lingkungan, sehingga daerah
yang memiliki kondisi lingkungan yang berbeda juga komposisi fauna tanahnya akan berbeda pula. Selanjutnya Suin, 1988 dalam John et al., 2001 menyatakan bahwa
pada kondisi biotop yang berbeda, juga didapatkan komposisi fauna tanah yang berbeda pula, dan fauna tanah dalam tanah memegang peranan penting dalam proses
siklus materi organik tanah.
Borror et al., 1992 menyatakan bahwa serangga tanah berfungsi memperbaiki sifat fisik tanah dan menambah kandungan bahan organiknya.
Selanjutnya Wallwork, 1970, menegaskan bahwa fauna tanah juga berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu.
Dari Tabel 4.5 dapat juga dilihat bahwa komposisi dari cacing tanah
menempati urutan paling rendah dimana cacing tanah berfungsi sebagai indikator biologis kesuburan tanah. Rendahnya komposisi cacing tanah pada masing-masing
lokasi disebabkan rendahnya kadar organik pada areal perkebunan, yaitu di bawah
rata-rata untuk kehidupan cacing tanah dapat dilihat pada Tabel 4.5, sedangkan
jumlah kadar organik yang dibutuhkan cacing tanah untuk berkembang biak dengan baik berkisar antara 8-12,5 John, 1998, sehingga cacing tanah sangat jarang
terlihat pada lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.5. Hal ini juga
disebabkan pengolahan tanah yang dilakukan secara rotasi pada areal, keadaan ini juga akan memberikan pengaruh baik secara langsung, maupun tidak langsung pada
tanah, sehingga lapisan tanah menjadi padat yang menyebabkan jarangnya cacing tanah hidup pada areal kebun.
Subowo, 2008 menyatakan bahwa pengolahan tanah mengganggu aktivitas organisme tanah, termasuk cacing tanah yang berperan penting dalam pendauran hara
dan perbaikan sifat fisik tanah. Mekanisme menggunakan alat berat untuk pengolahan tanah selain dapat memadatkan tanah lapisan bawah juga dapat mengganggu
organisme tanah terutama makro dan mesofauna tanah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini dapat dilihat secara biologis, areal PTPN II belum bisa dikatakan subur karena kehadiran dari cacing tanah yang sangat jarang sedangkan fungsi dari
hewan ini begitu positif terhadap kesuburan tanah. Sesuai pernyataan John, 1998 apabila ditemukan banyak populasi dan kepadatan cacing tanah di suatu areal maka
dikatakan areal tersebut bisa dikatakan subur. Selanjutnya menurut Edwards Lofty, 1972 kepadatan populasi cacing tanah pada suatu habitat dapat digunakan untuk
menunjukkan tingkat kesuburan tanah, sedangkan keanekaan spesiesnya yang hidup pada suatu habitat dapat digunakan sebagai indikator pH dari tanah tersebut.
4.6 Kepadatan Relatif KR10 dan Frekuensi Kehadiran FK25 yang Didapatkan pada Setiap Lokasi Penelitan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan didapatkan genus makrofauna tanah yang cukup bervariasi memiliki nilai KR
≥10 dan FK ≥25 pada stiap lokasi
penelitian, seperti yang terlihat pada Tabel 4.6 di bawah ini: Tabel 4.6
Nilai KR ≥10 dan FK ≥25 Makrofauna Tanah yang
Didapatkan pada Setiap Lokasi Penelitan
No Genus
Lokasi I Lokasi II
Lokasi III KR
FK KR
FK KR
FK
1. Irydomyrmex
- -
50,96 56,67
12,07 26,67
2. Gryllus 1.
40,28 80,00
29,33 93,33
42,06 73,33
3. Gryllus 2.
18,80 53,33
- -
- -
4. Gryllus 3.
14,77 53,33
- -
12,21 53,33
Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa makrofauna tanah yang memiliki nilai KR
≥ 1 0 d an FK ≥ 25 pada lokasi I dan III didapatkan masing-masing sebanyak 3 genus, yaitu Gryllus1, Gryllus 2, dan Gryllus 3 lokasi I, Irydomyrmex,
Gryllus 1, dan Gryllus 3 lokasi III, sedangkan pada lokasi II hanya didapatkan sebanyak 2 genus, yaitu Irydomyrmex, dan Gryllus 1. Keadaan ini menunjukkan
bahwa makrofauna tanah tersebut merupakan makrofauna tanah yang karakteristik di areal tersebut, karena dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik. Hal ini sesuai
dengan yang dinyatakan oleh Suin, 2002 bahwa hewan tanah yang memiliki nilai KR
≥ 10 dan FK ≥ 25 menunjukkan bahwa hewan tanah tersebut merupakan jenis yang karakteristik di habitat tersebut, dan dapat hidup serta
Universitas Sumatera Utara
berkembang biak dengan baik. Dari ke 4 genus makrofaunan tanah yang bersifat karakteristik tersebut, semuanya termasuk ke dalam kelompok insekta.
Michael, 1995 menyatakan bahwa secara alamiah, penyebaran hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan diatur oleh jumlah dan keragaman bahan yang dibutuhkan oleh
organisme tersebut, dan faktor-faktor fisik dan batas toleransi organisme terhadap komponen-komponen ini di lingkungan. Dalam hal ini telah terjadi interaksi antara
spesies tersebut dengan segala faktor lingkungan abiotik maupun biotik. Dari lingkungannya, spesies tersebut mendapat energi sumber makanan untuk dapat
bertahan hidup, tumbuh dan berkembang biak. Keadaan faktor lingkungan itulah yang menentukan kelimpahan spesies tersebut di lingkungannya. Selanjutnya Suin 2003,
hlm: 3 menjelaskan bahwa apabila ditemukan kepadatan jenis hewan maupun tumbuhan di suatu daerah sangat berlimpah, hal ini mengindikasikan bahwa faktor
lingkungan biotik dan abiotik pada daerah tersebut sangat mendukung kelangsungan kehidupan spesies hewantumbuhan tersebut dan begitu pula sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan