Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga berencana adalah usaha-usaha yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun individu
untuk mengatur jarak kelahirannya dengan menggunakan alat atau metode kontrasepsi.
Secara umum tujuan keluarga berencana adalah untuk mewujudkan keluarga yang sehat dan sejahtera dalam upaya untuk menjarangkan kehamilan dan membatasi
jumlah anak dua orang saja, upaya ini juga dapat menyehatkan kondisi sosial ekonomi keluarga Saifuddin, 2003.
2.2.2. Perkembangan Keluarga Berencana di Indonesia
Permulaan pemikiran tentang KB di Indonesia tidak mempersoalkan angka kelahiran tetapi tingginya angka kematian ibu akibat terlalu sering melahirkan,
berkisar pada 800 per 100.000 kelahiran bahkan tidak jarang ibu meninggal bersama bayinya Wiknjosastro, 1999. Hal inilah yang menggugah Ketua Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia kala itu Sarwono Prawirohardjo untuk mendirikan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia PKBI pada tanggal 23 Desember 1957.
Konsep yang dikembangkan oleh PKBI adalah kesehatan ibu dan anak yang memberi inspirasi bagi pendirian Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BKKBN yang kemudian di kelola oleh Pemerintah Orde Baru. Keputusan pemerintah untuk menjadikan KB sebagai program nasional dan dinyatakan sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional, disusul dengan keluarnya Keputusan
Presiden No. 8 Tahun 1970 tentang Pembentukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional BKKBN.
Memasuki Pelita V, pemerintah dalam hal ini BKKBN telah memperkenalkan satu program baru yang disebut dengan Gerakan KB Mandiri. Dengan program yang
baru ini pemerintah memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi organisasi profesi serta sektor swasta lainnya dalam memberikan pelayanan KB. Proses pembangunan
konsep KB mandiri berawal dari diperkenalkannya konsep alih peran kemudian berkembang menjadi alih kelola dan selanjutnya mengkristalkan menjadi KB
Mandiri. Falsafah KB Mandiri pada hakekatnya merupakan keadaan dan sikap mental
dari pemerintah maupun pengelolapelaksana KB baik secara individu maupun kelompok dalam mengelola dan melaksanakan KB atas kemauan sendiri tanpa
tergantung dari orang lain dalam memelopori menjadi peserta KB. Dengan demikian ketergantungan program KB terhadap pemerintah semakin berkurang. Agar
masyarakat mau membiayai sendiri pelayanan KB, maka beberapa hal yang menyangkut tersedianya pelayanan yang mudah dicapai dan dijangkau masyarakat
serta kualitas yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat perlu diusahakan KBKKBN, 1990.
Untuk menunjang pelaksanaan KB Mandiri pada tahun 1988 telah dicanangkan program KB Lingkaran Biru LIBI dan akhirnya dilontarkan suatu
kegiatan pemasaran sosial LIBI lengkap dengan logonya guna memperkenalkan
sederetan pelayanan swasta maupun alat kontrasepsi untuk KB. Untuk memperluas pilihan alat kontrasepsi terhadap kebutuhan ber-KB, maka tanggal 1 Juli 1992 telah
diresmikan oleh Presiden Suharto sebuah lambang baru yaitu Lingkaran Emas LIMAS. Pemasaran KB LIMAS bukan satu pengganti pemasaran kontrasepsi LIBI,
tetapi suatu usaha yang bersamaan untuk lebih memberikan banyak pilihan kontrasepsi kepada peserta KB mandiri yang pada akhirnya dapat diharapkan
memberikan kepuasan kepada akseptor BKKBN, 1992.
2.3. Kontrasepsi