Pengaruh Sikap terhadap Pemakaian Alat Kontrasepsi Pengaruh Ketersediaan Alat Kontrasepsi terhadap Pemakaian Alat

penelitian terlihat bahwa 100 responden mengetahui KB dan alat kontrasepsi dari PLKB tetapi sekarang hal itu tidak ada lagi akibatnya responden tidak mendapatkan informasi yang mereka harapkan.

5. Pengaruh Sikap terhadap Pemakaian Alat Kontrasepsi

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh sikap terhadap pemakaian alat kontrasepsi Sig=0,041. Sikap yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerimaan terhadap tujuan yang ditawarkan dalam program KB, manfaat dan juga kegunaan pemakaian alat kontrasepsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa sikap responden yang belum baik juga diikuti dengan pemakaian alat kontrasepsi yang masih rendah. Artinya bahwa ketika responden memberi penilaian yang kurang baik terhadap program KB dan pemakaian alat kontrassepsi, maka dia juga akan memberi tindakan atau tanggapan yang negatif pula yaitu dengan tidak menggunakannya atau memakainya. Sikap responden yang mayoritas tidak baik berhubungan pula dengan pendidikan yang lebih banyak pada kategori pendidikan dasar dan tingkat pengetahuan yang juga mayoritas pada kategori rendah, sehingga berpengaruh terhadap pola pikir dan bertindak termasuk dalam pemakaian alat kotrasepsi. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Contohnya adalah seperti sikap setuju atau tidaknya mereka terhadap informasi alat kontrasepsi dan KB, pengertian alat kontrasepsi dan manfaatnya, serta kesediaannya mendatangi tempat pelayanan, fasilitas dan sarananya, juga kesediaan mereka memenuhi kebutuhan sendiri. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pardosi 2005 yang mengatakan bahwa diperoleh hubungan yang bermakna antara sikap dengan tingkat kemandirian akseptor KB aktif dalam pemanfaatan program KB mandiri LIMAS Sig=0,000.

5.2. Faktor Pendukung

Faktor pendukung dalam penelitian ini adalah ketersediaan alat kontrasepsi dan keterjangkauan pelayanan alat kontrasepsi.

1. Pengaruh Ketersediaan Alat Kontrasepsi terhadap Pemakaian Alat

Kontasepsi Uji statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara ketersediaan pelayanan alat kontrasepsi terhadap pemakaian alat kontrasepsi Sig=0,001. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tingkat pemakaian atau pemanfaatan alat kontrasepsi berbanding lurus dengan ketersediaan alat kontrasepsinya. Jika alat kontrasepsi tersedia maka akan diikuti dengan pemakaian yang meningkat, demikian pula jika alat kontrasepsi tidak tersedia maka responden yang tidak memakai juga akan meningkat. Menurut Manuaba 1998, faktor-fakor yang mempengaruhi alasan pemilihan metode kontrasepsi diantaranya adalah tingkat ekonomi, pekerjaan dan tersedianya layanan kesehatan yang terjangkau. Adanya keterkaitan antara pendapatan dengan kemampuan membayar jelas berhubungan dengan masalah ekonomi, sedangkan kemampuan membayar bisa tergantung variabel non ekonomi dalam hal selera atau persepsi individu terhadap suatu barang atau jasa. Ketersediaan alat kontrasepsi terwujud dalam bentuk fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana kesehatan tempat pelayanan kontrasepsi. Untuk dapat digunakan, pertama kali suatu metode kontrasepsi harus tersedia dan mudah didapat. Promosi metode tersebut – melalui media, melalui kontak langsung oleh petugas program KB, oleh dokter dan sebagainya – dapat meningkatkan secara nyata pemilihan metode kontrasepsi. Memberikan konsultasi medis mungkin dapat dipertimbangkan sebagai salah satu upaya promosi. Disamping itu daya beli individu juga dapat mempengaruhi penggunaan kontrasepsi. Secara tidak langsung daya beli individu ini juga dipengaruhi oleh ada tidaknya subsidi dari pemerintah. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari puskesmas Rambah Samo ternyata tidak semua jenismetode kontrasepsi tersedia. Implant dan IUD tidak tersedia karena harganya yang cukup mahal, dan kalaupun ada pembagian dari Dinas Kesehatan Kabupaten atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil jumlahnya sangat sedikit dan biasanya diberikan jika ada acara-acara tertentu yang berhubungan dengan KB dan kesehatan. Sedangkan Suntik KB kadang tidak tersedia sehingga akseptor KB mendapatkannya di praktek dokter atau bidan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap responden didapat bahwa responden yang memakai kontrasepsi pada umumnya menggunakan metode kontrasepsi pil 39 dan suntik 25 yang harganya tergolong murah. Suntik dan pil biasanya mereka dapatkan di puskesmas dengan mengeluarkan biaya rata-rata Rp. 15.000,- untuk sekali suntik dan untuk pil bisa mereka dapatkan secara gratis atau membayar sebanyak Rp. 5.000,-. Harga ini tergolong murah jika mereka harus menggunakan alat kontrasepsi spiral atau implant yang harganya tergolong mahal dan mereka harus mengeluarkan dana rata-rata Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,-. Meskipun secara nominal harga ini tergolong mahal tetapi jika dihitung dengan manfaat pemakaian jangka waktu yang lama maka sebenarnya metode ini lebih murah, tetapi karena responden harus mengeluarkan biaya sekaligus maka nilai tersebut terasa mahal. Berbeda dengan suntik dan pil yang bisa mereka dapatkan dengan harga murah meskipun dengan pemakaian jangka waktu yang relatif pendek sekali tiap bulan atau tiga bulan untuk suntik dan harus diminum setiap hari untuk pil. Menurut Kartono dalam Hutauruk 2006, PUS tidak memanfaatkan pelayanan KB karena penyedia pelayanan KB tidak menyediakan semua metode kontrasepsi. Petugas cenderung memprioritaskan dan membatasi suatu metode tertentu karena keterbatasan persediaan. Konsumen tidak dapat memilih metode yang sesuai dengan tujuan kontrasepsinya karena alat tidak tersedia sehingga faktor ini akan berpengaruh terhadap pemanfaatan pelayanan KB. Ketersediaan ini juga berkaitan dengan struktur organisasi pada lembaga BKKBN yang berubah setelah orde baru. Jika dahulu masalah alat kontrasepsi ditangani oleh BKKBN sekarang hal tersebut sudah berubah. Sejak BKKBN dilebur dan digabung dengan Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan maka kegiatan BKKBN menjadi tidak berjalan. Pengadaan alat kontrasepsi menjadi terhenti, hanya menunggu pengadaan dari BKKBN pusat. Untuk pengadaan di Dinas Kesehatan sendiri juga mengalami kendala karena terbentur dengan masalah biaya yang terbatas dan lebih banyak diprioritaskan pada pengadaan obat-obatan dan vaksin. Selain itu terjadi pula lempar tanggung jawab, karena kedua belah pihak merasa bahwa masalah alat kontrasepsi bukan urusannya dan lebih memprioritaskan pada program-program yang pokok. Hal inilah yang mengakibatkan akseptor susah untuk mendapatkan alat kontrasepsi. Kurangnya advokasi kepada legislatif dan eksekutif juga merupakan hal yang mengakibatkan rendahnya dana yang dialokasikan untuk pengadaan alat kontrasepsi. Tidak semua anggota legislatif yang concern pada masalah tersebut dan menganggap bahwa program KB merupakan urusan keluarga, padahal kesehatan merupakan hak semua orang dan pemerintah seharusnya menjaminnya Prihastuti, 2005. Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak tahun 2005 Pemerintah melaksanakan mekanisme asuransi kesehatan yang dikenal dengan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin Askeskin. Pelaksanaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin pada tahun 2008 dinamakan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Jamkesmas. Ruang lingkup Program Jamkesmas pada tahun 2008 diutamakan pada upaya pelayanan kesehatan perorangan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi peserta Jamkesmas, disamping upaya pelayanan kesehatan masyarakat yang terbatas pada upaya pencegahan yang bersifat sekunder. Pelayanan KB termasuk dalam pelayanan rawat jalan tingkat primer, namun alat kontrasepsi disediakan oleh BKKBN. Hal ini mengakibatkan cakupan pelayanan alat kontrasepsi menjadi tidak satu kesatuan karena terkendala pada pengadaan alat kontrasepsi yang disediakan oleh BKKBN. Kendala inilah yang harus segera diatasi masyarakat menjadi mengeluarkan biaya untuk membeli alat kontrasepsi yang sebenarnya bisa mereka dapatkan secara gratis. Untuk penduduk miskin biaya yang harus dikeluarkan untuk pembelian alat kontrasepsi tersebut tentu juga memberatkan selain juga mereka harus mengeluarkan biaya untuk hidup sehari-hari. Oleh karena itulah diharapkan pemerintah pusat khususnya pemerintah daerah memberi perhatian khusus dalam hal ini, sehingga dapat memberi solusi untuk dapat membantu atau meringankan beban penduduk miskin dengan tetap memberi pelayanan kesehatan KB dan kontrasepsi dengan gratis. Dengan pelayanan tersebut diharapkan akseptor KB yang sedang memakai alat kontrasepsi tidak menjadi drop out karena putus pakai. Hal ini diungkapkan oleh Herlianto 2008 yang mangatakan bahwa ditengah otonomi daerah akseptor KB sulit untuk memanfaatkan pelayanan KB karena keterbatasan biaya untuk memperoleh alatmetode KB dan mengakibatkan terjadinya drop out karena akseptor KB tidak lagi memperoleh pelayanan KB gratis dalam safari KB seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Menurut Rochmah dalam Hutauruk 2005, yang berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah faktor organisasional yaitu ketersediaan sumber daya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Suatu pelayanan hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia atau bisa didapat tanpa mempertimbangkan sulit atau mudahnya penggunaannya. Hasil penelitian Hutauruk 2006 juga mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan pelayanan KB dengan utilisasi pelayanan KB Sig=0,000.

2. Pengaruh Keterjangkauan Pelayanan Alat Kontrasepsi terhadap Pemakaian