interna dan disebelah posteriornya berbatasan dengan fossa serebri posterior didaerah pons Ballenger,1994.
Fungsi sinus paranasal
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
a. Sebagai pengatur kondisi udara air conditioning
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam
ventilasi sinus kurang lebih 11000 volume sinus pada tiap kali bernafas sehingga diperlukan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus
Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004.
b. Sebagai penahan suhu thermal insulators
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan buffer panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah
Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004.
c. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya
akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala,
Universitas Sumatera Utara
sehingga teori ini dianggap tidak bermakna Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004.
d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi
sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2004.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius Soetjipto dan Mangunkusumo, 2004.
2.1.3 Epidemiologi
Tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal relatif jarang dijumpai dengan insiden dibawah satu persen dari seluruh keganasan, dan
Universitas Sumatera Utara
hanya sekitar tiga persen dari malignansi di daerah kepala dan leher Tufano et al, 1999; Michael et al, 2005. Diperkirakan 55 tumor ganas hidung dan
sinus paranasal berasal dari sinus maksila, 35 dari kavum nasi, sembilan persen dari sinus etmoid dan sisanya dari sinus frontal dan sinus sfenoid
Fasunla dan Lasisi, 2007. Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus paranasal ditemukan di
Jepang yaitu dua per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FK UI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini ditemukan pada 10,1 dari seluruh
tumor ganas THT. Laki-laki ditemukan lebih banyak dengan rasio laki-laki banding wanita sebesar 2:1 Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004. Rifqi
mengemukakan data yang dikumpulkannya dari rumah sakit umum di sepuluh kota besar di Indonesia bahwa frekuensi tumor hidung dan sinus
adalah 9,3 – 25,3 dari keganasan THT dan berada pada peringkat kedua sesudah tumor ganas nasofaring Tjahyadewi dan Wiratno, 1999. Di RSUP
H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien yang dirawat dengan diagnosa tumor ganas hidung dan sinus
paranasal adalah sebanyak 52 kasus. Insidensi di India sekitar 0,44 dari seluruh keganasan di India
dengan perbandingan antara pria dan wanita adalah 0,57 banding 0,44. Insiden pada tahun 2000 adalah 0,3 per 100.000 penduduk. Kebanyakan
melibatkan sinus maksila diikuti dengan sinus etmoid, frontal dan sfenoid. Penyakit ini sering pada usia 40-60 tahun Dhingra, 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Etiologi
Etiologi tumor ganas hidung dan sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga terpapar beberapa zat hasil industri.
Pekerja-pekerja pada industri logam berat yang terpapar dengan nikel, chromium dan radium menunjukkan peningkatan insiden tumor ganas hidung
dan sinus paranasal. Selain itu terdapat beberapa zat yang diduga sebagai penyebab yaitu gas mustard, larutan isopropil dan senyawa hidrokarbon.
Rokok, alkohol, makanan yang diasinkan atau diasap diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran
mengurangi kemungkinan terjadi keganasan Bhattacharyya, 2002; Lund, 2003; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Zimmer dan Carau, 2006.
2.1.5 Patologi
Tumor ganas di daerah hidung dan sinus paranasal menurut histopatologinya dibagi atas:
a. Epitel: - Karsinoma sel skuamus
- Karsinoma sel transisional - Adenokarsinoma
- Adenoid kistik karsinoma - Melanoma
- Neuroblastoma olfaktorius - Karsinoma tidak terdiferensiasi
Universitas Sumatera Utara
b. Non epitel - Sarkoma jaringan lunak
- Rhabdomyosarkoma - Leiomyosarkoma
- Fibrosarkoma - Liposarkoma
- Angiosarkoma - Miksosarkoma
- Hemangioperisitoma - Sarkoma jaringan penghubung
- Kondrosarkoma - Osteosarkoma
c. Tumor limforetikular: - limfoma
- Plasmasitoma - Tumor giant sel
Sebagian besar keganasan pada hidung dan sinus paranasal berasal dari epitel Zimmer dan Carrau, 2006.
2.1.6 Gejala Klinis
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Biasanya tumor didalam sinus maksila tidak memberikan gejala sampai
terjadi perluasan ke organ lain, dan sering ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan foto rontgen. Kadang-kadang keluhan awalnya hampir
Universitas Sumatera Utara
menyerupai gejala sinusitis seperti obstruksi hidung unilateral dan rinorea, sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis Wong dan Krause,
2001; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007. Pada stadium lanjut dapat terjadi penyebaran ke organ lain sehingga
sukar ditentukan asal tumor primernya. Perluasan tumor dapat menimbulkan keluhan sebagai berikut:
a. Perluasan ke medial akan menyebabkan gejala hidung tersumbat, rinore kronik satu sisi disertai epistaksis. Tumor dapat juga terlihat di
kavum nasi. b. Perluasan keatas melalui dasar orbita menyebabkan diplopia dan
pendorongan bola mata. c. Perluasan kearah anterior menyebabkan pembesaran pipi satu sisi,
sehingga muka menjadi asimetris. Kadang-kadang terjadi infiltrasi dan ulserasi. Bila mengenai nervus infra orbitalis, dapat menyebabkan
parestesi kulit pipi. d. Tumor yang berasal dari dasar antrum dan meluas kearah bawah
menimbulkan keluhan-keluhan gigi. Dapat juga timbul bengkak dan ulserasi pada palatum, prosesus alveolaris atau sulkus gingivobukal.
e. Perluasan kearah belakang, dapat ke fossa pterigomaksila dan lamina pterigoid, dan penyebarannya juga dapat ke nasofaring, sinus sfenoid
dan dasar tengkorak. f. Penyebaran intrakranial dapat terjadi melalui etmoid, fossa kribiformis
atau foramen laserum.
Universitas Sumatera Utara
g. Penyebaran limfatik jarang terjadi, hanya pada stadium lanjut. Paling sering adalah pembengkakan kelenjar getah bening di daerah sub
mandibula. h. Metastasis jauh jarang terjadi, paling sering terjadi di paru dan kadang-
kadang pada tulang Dhingra, 2007
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, radiologi dan biopsi. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi Wong dan Krause, 2001; Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007.
2.1.8 Klasifikasi Klinis a. Klasifikasi Ohngren
Bidang imajiner yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang ini membagi rahang atas menjadi struktur superior posterior
suprastruktur dan struktur inferior anterior infrastruktur. Adapun yang termasuk suprastruktur adalah dinding tulang sinus maksila
bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang lebih baik
Universitas Sumatera Utara
dibandingkan tumor di daerah suprastruktur Wong dan Kraus, 2001; Dhingra, 2007.
b. Klasifikasi Lederman’s
Membuat dua garis horizontal melalui dasar orbita dan melalui dasar antrum. Garis tersebut membagi daerah:
1 Suprastruktur: sinus etmoid, sinus sfenoid, sinus frontal serta daerah olfaktorius dari hidung.
2 Mesostruktur: sinus maksilaris dan daerah respiratori hidung. 3 Infrastruktur: meliputi prosesus alveolaris.
Klasifikasi tersebut selanjutnya menggunakan garis vertikal sejajar dinding medial orbita dan membagi sinus etmoid dan fossa nasalis dari
sinus maksila Dhingra, 2007
2.1.9 Stadium Tumor
Cara penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal yang terbaru adalah menurut American Joint Committee on Cancer AJCC
2006 yaitu Grene et al, 2006; Scurry et al, 2007:
Tumor primer T Sinus maksila
TX Tumor primer tidak bisa ditentukan
T0 Tidak tampak tumor primer
Tis Kasinoma insitu
T1 Tumor terbatas pada mukosa sinus maksila tanpa erosi dan destruksi
Universitas Sumatera Utara
Tulang T2
Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksila
dan fossa pterigoid T3
Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksila, jaringan subkutan, dinding dasar dan medial orbita, fossa pterigoid, sinus
etmoid. T4a
Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus sfenoid atau frontal
T4b Tumor menginvasi salah satu dari apek orbita, dura, otak, fossa kranial
medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus V, nasofaring atau klivus
Kavum nasi dan sinus etmoid
TX Tumor primer tidak bisa ditentukan
T0 Tidak tampak tumor
Tis Karsinoma insitu
T1 Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi
tulang T2
Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks dengan atau tanpa invasi
tulang
Universitas Sumatera Utara
T3 tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksila,
palatum atau fossa kribriformis. T4a
Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit hidung dan pipi, ekstensi minimal ke fossa kranialis anterior, fossa pterigoid,
sinus sfenoid atau frontal. T4b Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa
kranial medial, nervus kranialis selain nervus V, nasofaring atau klivus
Kelenjar getah bening regional N
NX Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesarah kelenjar
N1 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3 cm
N2 Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel kelenjar
ipsilateral 6 cm atau metastasis bilateral atau kontralateral 6 cm N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2b Metastasis multipel
kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm.
N2c Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6 cm.
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm
Metastasis jauh M
MX Metastasis jauh tidak bisa ditentukan
M0 Tidak ada
metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal
Tis N0
M0
Universitas Sumatera Utara
I T1
N0 M0
II T2
N0 M0
III T3
N0 M0
T1 N1
M0 T2
N1 M0
T3 N1
M0 IVA
T4a N0
M0 T4a
N1 M0
T1 N2
M0 T2
N2 M0
T3 N2
M0 T4a
N2 M0
IVB T4b
semua N
M0 semua T
N3 M0
IVC semua T
semua N M1
2.1.10 Penatalaksanaan
Sampai sekarang belum ada parameter pengobatan untuk tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Para ahli berpendapat bahwa satu cara
pengobatan saja hasilnya adalah buruk, sehingga mereka menganjurkan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi Roezin,
Mangunkusumo, Soetjipto, 2004; Dhingra, 2007.
a. Operasi
Universitas Sumatera Utara
Operasi merupakan modal utama dalam mengatasi keganasan hidung dan sinus paranasal. Oleh karena sebagian besar keganasan hidung dan
sinus paranasal berasal dari sinus maksila sehingga operasi maksilektomi menjadi pilihan utama baik parsial maupun total maksilektomi tergantung
perluasan dan keganasan tumor Roezin, Mangunkusumo, Soetjipto, 2004.
b. Radioterapi
Radioterapi dapat digunakan sebagai modalitas tunggal, sebagai tambahan pada operasi, atau sebagai terapi paliatif. Penelitian terbaru
menyebutkan bahwa radioterapi pasca operasi dapat meningkatkan kontrol lokal tetapi tidak menyebabkan angka bertahan hidup yang absolut. Para ahli
lebih menyukai radioterapi pasca operasi karena volume tumor yang lebih kecil dapat dimusnahkan, dan batas tumor yang tidak teradiasi menjadi lebih
jelas saat dilakukan operasi dan juga penyembuhan luka pasca operasi lebih dapat diprediksi Zimmer dan Carrau, 2006
c. Kemoterapi