Konsep Amanah dan Kekuasaan dalam Perspektif al-Qur’an

dianggap melanggar garis hukum yang pertama dan yang kedua sebagaimana disebutkan diatas. Kecuali itu, garis hukum yang kedua berkaitan erat dengan garis hukum yang pertama. Menegakkan keadilan adalah suatu perintah Allah, apabila kekuasaan itu dihubungkan dengan keadilan, maka dalam Islam implementasi kekuasaan negara melalui suatu pemerintahan yang adil merupakan suatu kewajiban penguasa dalam pengertian luas eksekutif, legislatif, yudikatif, badan hukum dan lain-lain denagn keadilan merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Kekuasaan harus selalu didasarkan kepada keadilan, karena prinsip keadilan dalam Islam menepati posisi yang sangat berdekatan dengan takwa. 5 Sedangkan takwa adalah merupakan suatu tolak ukur untuk menempatkan seorang manusia yang beriman muslim pada posisi yang paling tinggi dalam pandangan Allah yang Dia namakan sebagai “orang yang termulia di antara manusia” sebagaimana ditegaskannya dalam QS.al-Hujarat ayat 13                        Artinya “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. QS.al-Hujarat :13 Perkataan atqaakum dalam ayat ini mengandung makna “orang yang paling takwa”. Maka dapat dipahami bahwa seseorang penguasa yang menegakkan keadilan berarti ai telah 5 QS. al-Maaidah5:8. mendekatkan dirinya pada posisi takwa yang akan mengantarkannya pada suatu derjat tertinggi di sisi Allah, seperti telah dikemukakan di atas bahwa setiap kekuasaan yang dilaksanakan dengan adil dipandang dari sudut Islam akan merupakan rahmat dan kesejahteraan bagi setiap orang termasuk si penguasa itu sendiri. Sebaliknya, apabila kekuasaan itu diterapkan secara zalim tiran, diktator, otoriter atau absolut maka kekuasaan itu akan menjadi bumerang dalam bentuk bencana, malapetaka dan laknat kutukan dari Allah yang akibatnya tidak akan terlepas bagi si penguasa itu sendiri. 6 Di atas telah disebutkan bahwa dalam Islam kekuasaan adalah amanah. Prinsip ini ditegaskan oleh Rasulullah dalam suatu ucapannya kepada seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar. Nabi berkata: “Hai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah dan sesungguhnya jabatan sebagai pemimpin adalah amanah yang berat dan kelak pada hari kiamat ia akan menjadi penyebab kehinaan dan penyesalan kecuali bagi orang yang telah mengambilnya dengan cara yang benar dan melunasi kewajiban-kewajiban yang harus dipikulnya”. Ada beberapa hal yang memerlukan penjelasan tentang hadits Rasulullah itu. Pertama, jabatan sebagai pimpinan di sini adalah pimpinan formal yang berkaitan dengan jabatan kenegaraan atau jabatan pada instansi pemerintah. Jabatan sebagai pemimpin dalam hadits ini tentu tidak terbatas pada pemimpin tertinggi dalam suatu struktur pemerintahan. Tetapi juga bagi setiap orang yang diserahi kekuasaan yang berkaitan dengan jabatannya itu. Pengertian ini dapat dihubungkan atau disimpulkan dari suatu hadits lain yang berbunyi: 7 “Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan dimintai pertanggungjawaban mengenai orang yang dipimpinnya. Seorang kepala negara adalah pemimpin bagi rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban mengenai rakyatnya”. 6 Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan., terjemahan Muhammad al-Baqir Bandung: Mizan, 1984, hal 98 7 Bukhari, Kitab al-Ahkam, Bab I. Muslim, Kitab al-Imarah, Bab 5, al-Maududi, hal 98 Secara eksplisit dalam hadits di atas Nabi mengkualifisir bahwa setiap muslim adalah pemimpin dalam arti formal dan non-formal. Dalam arti formal yang dimaksud dengan pemimpin ialah setiap orang yang menduduki suatu jabatan dalam struktur pemerintahan. Dalam arti non-formal setiap orang yang memegang pimpinan, baik sebagai kepala keluarga seorang ayah atau suami, maupun sebagai pemimpin masyarakat suatu kelompok atau sejumlah orang yang merupakan suatu kumpulan yang tidak resmi. Hal yang kedua berkaitan dengan hadits Abu Dzar itu ialah jabatan pemimpin yang mengandung kekuasaan itu adalah merupakan sutu amanah yang berat karena ia dituntut kelak di akhirat untuk mempertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pertanggungjawaban seorang pemimpin berkaitan dengan sejauh makna ia telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan dengan kekuasaan yang dipegangnya. Apabila kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya sebagai pemimpin telah dilaksanakannya sebagaimana mestinya, maka bebaslah ia dari pertanggungjawaban itu. Ketiga, sehubungan dengan hadits Abu Dzar itu, dengan sangat jelas Nabi mengingatkan bahwa jabatan sebagai pemimpin selalu diiringi oleh pertanggungjawaban terhadap kewajiban-kewajibannya. Hal ini berarti bahwa dalam Islam, seorang pejabat negara yang memegang kekuasaan, memegang pula kewajiban dan kewenangan. Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa makna kekuasaan dalam Islam adalah kewajiban dan kewenangan otoritas. Jadi, kekuasaan tidak hanya mengandung makna sempit yaitu otoritas atau kewenangan belaka, namun kekuasaan adalah kewajiban di samping kewenangan. Dalam implementasinya, kewajiban harus didahulukan dari kewenangan yang merupakan hak-hak penguasa. 8 Yang dimaksud dengan hak-hak penguasa di sini ialah hak-hak yang timbul atu lahir dari kewenangannya. Dalam Islam kewajiban dan kewenangan penguasa 8 Muhammad Hamidullah, Pengantar Studi Islam Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hal 163-164 harus ditempatkan secara proporsional,sehingga terjamin suatu implementasi kekuasaan yang dipegangnya secara adil dan jujur.

B. Kebebasan dan Perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia

Prinsip kebebasan Al-Hurriyah benar benar mendapat tempat dalam presepsi Islam. Jadi keliru apabila Islam dianggap menyebarkan agama dengan pedang. Rasulullah tidak melarang sahabat untuk berbeda pendapat denagan beliau. Hal ini tampak dalam penyusunan strategi perang yang diikuti nabi. Sebagai contoh Perang Badar dan Perang Uhud. Dalam perang Badar Nabi memutuskan posisi bagi beliau dan pasukan Islam pada suatu tempat dekat mata air. Kemudian seorang dari kelompok Ansor, bernama Hubab bin Mundhir datang menghadap Nabi dan menayakan apakah keputusan Nabi itu atas petunjuk Allah, sehingga beliau dan pasukan Islam tidak boleh bergeser dari tempat itu, atau keputusan itu beliau ambil sebagai pemikiran strategi perang biasa. Nabi menjawab bahwa keputusan itu semata-mata perhitungan beliau dan tidak atas petunjuk Allah, “Kalau demikian halnya”, kata Hubab, “Wahai utusan Allah tempat ini kurang tepat. Sebaiknya kita lebih maju ke muka, ke mata air yang paling depan. Kita bawa banyak tempat air untuk kita isi dari mata air itu, kemudian mata air kita tutup dengan pasir. Kalau nanti misalnya terpaksa mundur kita masih dapat minum, sedangkan musuh tidak”. Nabi menerima baik saran Hubab itu. Beliau bangun dan bergerak maju dengan pasukan islam menuju lokasi yang ditunjukkan oleh Hubab. 9 Islam memberikan hak kebebasan berfikir dan mengemukakan pendapat bagi umat Islam, sepanjang kebebasan tersebut digunakan untuk menyebarluaskan kebenaran dan kebajikan dan bukan untuk kejahatan dan kekejian, seperti di gambarkan dalam QS. Saba ayat 46 9 Sjadzali Munawir, Islam dan Tata Negara.Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1993, hal. 17                             Artinya “Katakanlah Muhammad sesungguhnya aku menasehati kamu dengan satu hal yaitu agar kalian menegakkan urusan untuk Allah berdua-dua berserikat atau sendiri- sendiri”. QS. Saba : 46 Konsepsi kebebasan berpendapat ini ditunjukan untuk amar ma’ruf dan nahi munkar. Untuk soal kebaikan, hak ini telah menjadi kewajiban untuk disampaikan kepada seluruh ummat manusia. Kewajiban untuk menyampaikan yang benar dan menjauhi yang batil. Jadi arah kebebasan itu jelas, kebebasan yang bertanggungjawab.” QS. At-Taubah : 9: 71      Artinya “yaitu mereka yang mengajak kepada kebajikan dan melarang kemungkaran”. QS. At-Taubah : 9: 71. Kemudian al-mawardi lebih lanjut membagi larangan kepada manusia dari kemungkaran kedalam tiga bagian ; 1. Melarang dari kemungkaran yang terkait dengan hak-hak Allah Ta’ala. 2. Melarang dari kemungkaran yang terkait dengan hak-hak manusia. 3. Melarang dari kemungkaran yang terkait dengan hak bersama antara hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak manusia. 10 Menurut al-Mawardi, manusia dilarang berbuat kemungkaran yang terkait dengan hak-hak Allah Ta’ala dan hak manusia. Dari pemaparan yang dikemukakan al- 10 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkam As-sulthaniyyah. Ter. Fadli Bahri, hal. 412 Mawardi di atas menjadi jelas bahwa segala bentuk kemungkaran yang terkait dengan hak-hak Allah maupun manusia itu sangat dilarang. Dalam Islam hak-hak asasi manusia bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi sepenuhnya. Karena itu, dalam hubungannya ini al-Qur’an secara tegas menggariskan antara lain dalam surah al-Isra17:70:                   Artinya “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam kami tebarkan mereka di darat dan di laut serta Kami anugerahi mereka rezeki yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna daripada kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan”. QS. Al-Isra : 70 Yang dimaksud dengan anak-anak Adam di sini adalah manusia sebagai keturunan nabi Adam. Ayat tersebut di atas dengan jelas mengekspresikan kemuliaan manusia yang di dalam teks al-Qur’an disebut karamah kemuliaan. Mohammad Habsi Ash-Shiddieqy membagi karamah itu kedalam tiga kategori yaitu 1 kemuliaan pribadi atau karamah fardiyah 2 kemuliaan masyarakat atau karomah ijtimaiyah; dan 3 kemuliaan politik atau karomah siyasiyah. 11 Dalam kategori pertama, manusia dilindungi baik pribadinya maupun hartanya. Dalam kategori kedua “status persamaan manusia dijamin sepenuhnya” dan dalam kategori ketiga Islam meletakkan hak-hak politik dan menjamin hak-hak itu sepenuhnya bagi setiap orang warga negara, karena kedudukannya yang di dalam al-Qur’an disebut “khalifah Tuhan di bumi. 12 11 Sebagaimana dikutip Ahmad Syafii Maarif,op.cit.,hal. 169 12 ibid