Latar Belakang Prevalensi HIV/AIDS pada Pecandu NAPZA di RSKO Jakarta tahun 2010-2011

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Human Immunodeficiency Virus HIV merupakan virus yang diketahui bersifat lambat dalam menimbulkan penyakit untuk melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan kerentanan terhadap pneumonia, tuberculosis TBC dan penyakit oportunistik lain. Keadaan ini disebut Acquired Immuno-Deficiency Syndrome AIDS. Sindrom ini yang meluas pada berbagai populasi dunia, terutama pada negara berkembang. 1 Tabel 1.1 Indikator Epidemik HIV di Dunia 2002-2010 sumber: ht t p: w ww .unaids.org en m edia unaids cont ent asset s docum ent s unaidspublicat ion 2011 20111130_UA_Report _en.pdf Salah satu faktor risiko dari infeksi HIV adalah penggunaan jarum suntik secara bergantian tanpa sterilisasi memadai yang biasanya terjadi pada pengguna NAPZA suntik. WHO pada tahun 2011 melaporkan bahwa pada penduduk dunia terdapat 160 juta orang sebagai pengguna NAPZA suntik dan 3 juta diantaranya dengan HIV-positif. Rata-rata 1 dari 10 orang yang baru terdiagnosis HIV positif adalah seorang pengguna NAPZA suntik. 2 Sedangkan di Asia, diperkirakan 4.5 juta orang adalah pengguna NAPZA suntik dengan sekitar 16 diketahui HIV-positif. Data survei WHO, UNICEF dan UNAIDS tahun 2011 menyebutkan bahwa 50 pengguna NAPZA suntik di Indonesia adalah HIV-positif. 3 2 Sementara itu, data BNN dan PUSLITKES UI tahun 2008 menyebutkan bahwa jumlah pengguna NAPZA di Indonesia sebanyak 3,1-3,6 juta orang. Data tersebut juga menginformasikan dari 1,99 penduduk Indonesia yang berisiko sebagai pecandu NAPZA, dapat diklasifikasikan menjadi 26 karena coba-coba, 27 teratur pakai, 40 pecandu bukan suntik, dan 7 pecandu suntik. 4 Berhubungan dengan pecandu NAPZA suntik, data triwulan pertama tahun 2012 Kementerian Kesehatan RI yang terbit pada Mei 2012 menunjukkan bahwa transmisi HIV melalui pengguna NAPZA suntik di Indonesia sebesar 12.6 yang merupakan tertinggi kedua setelah heteroseksual. 5 Jumlah NAPZA yang dikonsumsi berbanding lurus dengan kerugian ekonomi yang ditimbulkan. Berdasarkan kerugian ekonomi yang ditimbulkan, konsumsi NAPZA suntik jenis putauw di Indonesia menempati posisi ketiga setelah shabu dan ganja. 6 Tidak hanya pengguna NAPZA suntik yang dapat meningkatkan risiko infeksi HIV. Pengguna NAPZA non-suntik juga dapat meningkat risiko infeksi HIV dengan terganggunya penilaian mereka terhadap keputusan yang mereka pilih, termasuk tidak menggunakan kondom saat berhubungan seksual dan berganti-ganti pasangan sehingga menjadi perilaku seksual yang berisiko. Menurut data National Institute on Drug Abuse NIDA tahun 2005-2009, 64 orang dengan HIVAIDS telah menggunakan NAPZA sebelumnya, walaupun tidak secara intravena dan hanya 19 yang bukan pengguna NAPZA. Satu diantara empat orang yang hidup dengan HIV di tahun 2009 dilaporkan menggunakan alkohol dan NAPZA non-suntik lain pada level dimana hal itu butuh diterapi. 7 Sepanjang 2010-2011, kasus HIVAIDS mengalami peningkatan sebanyak 22325 kasus. Hal ini berbanding lurus dengan kenaikan heteroseksual sebagai faktor risikonya, yaitu 10478 kasus 2010 menjadi 13613 kasus 2011. Namun, pada tahun yang sama, jumlah pengguna NAPZA suntik sebagai faktor risiko HIVAIDS diketahui mengalami penurunan, yaitu 4102 kasus 2010 menjadi 4078 kasus 2011. Fenomena inilah yang membuat penelitian ini penting untuk dilakukan untuk mengetahui prevalensi HIVAIDS pada pecandu NAPZA di Rumah Sakit Ketergantungan Obat RSKO Jakarta tahun 2010-2011. Sejalan dengan penggunaan NAPZA non-suntik juga dapat mempengaruhi perilaku seksual berisiko sehingga meningkatkan risiko HIVAIDS. 3 Rumah Sakit Ketergantungan Obat RSKO Jakarta merupakan rumah sakit rujukan utama yang khusus menangani ketergantungan NAPZA, terutama di wilayah DKI Jakarta yang menjadi tujuan terbesar peredaran NAPZA di Indonesia sekaligus sebagai provinsi dengan kasus AIDS terbanyak.

1.2 Rumusan Masalah