Analisis Time Series Konsumsi Beras Dan Jagung Sumatera Utara

(1)

ANALISIS TIME SERIES KONSUMSI BERAS DAN JAGUNG

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

MARINI A. N. A. LUBIS 040304031

SEP / AGRIBISNIS

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS TIME SERIES KONSUMSI BERAS DAN JAGUNG

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

MARINI A. N. A. LUBIS 040304031

SEP / AGRIBISNIS

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Satia Negara Lubis, Mec) (Ir. Iskandarini, MM)

Ketua Anggota

DEPARTEMEN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

RINGKASAN

Marini A. N. A. Lubis Analisis Time Series Konsumsi Beras dan Jagung Sumatera Utara yang dilakukan pada tahun 2008 dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc serta Ibu Ir. Iskandarini, MM.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis konsumsi beras dan jagung) di Sumatera Utara (1991-2005), menganalisis produksi serta produktivitas beras dan jagung di Sumatera Utara (1991-2005), meramalkan konsumsi dan produksi beras dan jagung di Sumatera Utara (2010-2020), menentukan alternatif kebijakan pangan dalam upaya menjaga ketahanan pangan Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian ini termasuk sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta memiliki populasi penduduk yang cukup besar.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Konsumsi beras di Sumatera utara (1991-2005) mengalami peningkatan

setiap tahunnya. Namun kenaikan konsumsi jagung oleh penduduk jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi beras.

2. Produksi serta Produktivitas beras dan jagung di Sumatera utara (1991-2005) mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun mengenai produksi beras, kenaikan yang dialami masih rendah daripada kenaikan produksi jagung setiap tahunnya.

3. Menurut hasil peramalan, produksi dan konsumsi beras di Sumatera Utara (2010-2020) akan mengalami trend yang menaik. Sedangkan untuk produksi jagung di Sumatera utara (1991-2005) juga akan mengalami trend yang menaik, namun konsumsi jagung akan mengalami trend menurun.

4. Alternatif Kebijakan Pangan yang dapat di Diversifikasi Pangan, dalam hal ini khususnya dari segi konsumsi pangan. Khususnya, penggantian pola konsumsi pangan pokok dari beras menjadi bahan pangan lainnya, yakni jagung. Namun, alangkah baiknya bila pangan yang dimakan tetap beragam, bergizi dan berimbang.


(4)

RIWAYAT HIDUP

MARINI A. N. A. LUBIS, dilahirkan di Medan pada tanggal 11 Maret 1988 dari pasangan Almarhum Bapak Ir. Maas Halomoan Lubis dan Ibu dr. Haniza Rangkuti. Penulis merupakan anak pertama dari 2 bersaudara.

Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah:

1. Tahun 1998 lulus dari SD F. Tandean Tebing Tinggi 2. Tahun 2001 lulus dari SLTP Wiyata Dharma Medan 3. Tahun 2004 lulus dari SMU Negeri 12 Medan

4. Tahun 2004 diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Agribisnis Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SPMB

5. Bulan Juni-Juli melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Nagori Siboras Kecamatan Pamatang Silimahuta.

6. Bulan Juli-Agustus 2008 melaksanakan penelitian untuk skripsi di Kotamadya Medan


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalahAnalisis Time Series Konsumsi Beras dan Jagung di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di Kotamadya Medan.

Skripsi ini selesai berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penulis baik dari segi moril maupun materil, yakni:

1. Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc selaku Ketua Komisi Pembimbing skripsi penulis.

2. Ibu Ir. Iskandarini, MM. selaku Anggota Komisi Pembimbing skripsi Penulis.

3. Bapak Ir. Luhut Sihombing, M.P. selaku Ketua Departemen SEP FP-USU dan Dosen Wali Penulis selama kuliah di FP-FP-USU.

4. Seluruh Dosen dan Pegawai Departemen SEP FP-USU.

5. Seluruh Instansi terkait yang telah membantu penulis dalam memperoleh data-data selama penelitian.

Tidak lupa penulis dengan segala hormat mengucapkan terima kasih secara khusus buat Ayahanda Almarhum Ir. Maas Halomoan Lubis, Ibunda dr. Haniza Rangkuti, serta adinda Saddam Amir Lubis, atas kasih sayang dan perhatiannya selama ini yang menjadi motivasi tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi. Kepada seluruh keluarga H. Amir Hasan Lubis dan H. Ahmad Nisai Rangkuti atas segala bentuk motivasi yang diberikan bagi penulis.

Terima kasih tentunya juga saya ucapkan kepada Robby Barat, SP atas semangat dan perhatian yang diberikan bagi penulis. Kemudian terima kasih saya kepada teman-teman yang selalu mendukung yaitu Rita Anggraini; Syadzwina P. Ritonga,SP; Dwie Vikha Soraya; Siti S. Miraza; Rizky R. Rangkuti; Cut Rizky Amaliyah; Putri Muthahharoh; M. Mustaqim Pane, SP; Ahmad Afandi, SP; Pratama Irtasa; Yudi S. Damanik, SP; Yose Rizal, SP; Arifandi, SP; Tri Kumoro


(6)

ini dan semoga hingga masa tua nanti. Kepada teman-teman seperjuangan yaitu Ruthkaya, Muslainy Dalimunthe dan Emma Pinem. Kepada seluruh teman-teman mahasiswa-i SEP/Agribisnis Stambuk 2004. Serta kepada teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca untuk perbaikan skripsi ini di kemudian hari.

Akhir kata semoga Skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2008 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Kegunaan Penelitian ... 11

II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka ... 12

2.2. Landasan Teori ... 23

2.3. Kerangka Pemikiran ... 28

2.4. Hipotesis Penelitian ... 31

III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian ... 32

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 32

3.3. Metode Analisis Data ... 32

3.4. Defenisi dan Batasan Operasional ... 34

IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1. Letak dan Keadaan Geografi Sumatera Utara... 36

4.2. Gambaran Umum Tanaman Pangan Sumatera Utara ... 36

4.3. Keadaan Penduduk Sumatera Utara... 37

V HASIL dan PEMBAHASAN 5.1. Konsumsi Beras dan Jagung Sumatera Utara ... 39

5.2. Produksi serta Produktivitas Beras dan Jagung Sumatera Utara (1991-2005)... 45


(8)

5.3. Peramalan Konsumsi serta Produksi Beras dan Jagung

Sumatera Utara (2010-2020)... 55 5.4. Alternatif Kebijakan Pangan... 63 VI KESIMPULAN dan SARAN

6.1. Kesimpulan ... 69 6.2. Saran... 70 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

1 Jumlah Penduduk, Produksi Beras dan

Konsumsi Beras Sumatera Utara (1999, 2002, 2005)... 4

2 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota (2006) ... 38

3 Konsumsi Beras Sumatera Utara (1991-2005) ... 39

4 Konsumsi Jagung Sumatera Utara (1991-2005) ... 42

5 Produksi Beras Sumatera Utara (1991-2005) ... 45

6 Produktivitas Beras Sumatera Utara (1991-2005) ... 47

7 Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005) ... 49

8 Produktivitas Jagung Sumatera Utara (1991-2005)... 51

9 Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Beras Sumatera Utara (2010-2020) ... 56

10 Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Jagung Sumatera Utara (2010-2020) ... 58


(10)

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

1 Keseimbangan Pasar ... 23

2 Kekurangan Penawaran/Kelebihan Permintaan ... 25

3 Skema Kerangka Pemikiran ... 29

4 Konsumsi Beras Sumatera Utara (1991-2005) ... 40

5 Konsumsi Jagung Sumatera Utara (1991-2005) ... 43

6 Produksi Beras Sumatera Utara (1991-2005) ... 46

7 Produktivitas Beras Sumatera Utara (1991-2005) ... 48

8 Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005) ... 50

9 Produktivitas Jagung Sumatera Utara (1991-2005)... 52

10 Ramalan Produksi dan Konsumsi Beras Sumatera Utara (2010-2020) ... 57

11 Ramalan Produksi dan Konsumsi Jagung Sumatera Utara (2010-2020) ... 59


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Keterangan

1 Jumlah Penduduk Sumatera Utara (1991-2005) 2 Konsumsi Beras Sumatera Utara (1991-2005) 3 Konsumsi Jagung Sumatera Utara (1991-2005) 4 Produksi Beras Sumatera Utara (1991-2005) 5 Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

6 Luas Panen Padi dan Jagung Sumatera Utara (1991-2005) 7 Produktivitas Beras Sumatera Utara (1991-2005)

8 Produktivitas Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

9 Peramalan Konsumsi dan Produksi Beras Sumatera Utara (2010-2020)

10 Peramalan Konsumsi dan Produksi Jagung Sumatera Utara (2010-2020)


(12)

RINGKASAN

Marini A. N. A. Lubis Analisis Time Series Konsumsi Beras dan Jagung Sumatera Utara yang dilakukan pada tahun 2008 dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, MEc serta Ibu Ir. Iskandarini, MM.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis konsumsi beras dan jagung) di Sumatera Utara (1991-2005), menganalisis produksi serta produktivitas beras dan jagung di Sumatera Utara (1991-2005), meramalkan konsumsi dan produksi beras dan jagung di Sumatera Utara (2010-2020), menentukan alternatif kebijakan pangan dalam upaya menjaga ketahanan pangan Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian ini termasuk sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta memiliki populasi penduduk yang cukup besar.

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Konsumsi beras di Sumatera utara (1991-2005) mengalami peningkatan

setiap tahunnya. Namun kenaikan konsumsi jagung oleh penduduk jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi beras.

2. Produksi serta Produktivitas beras dan jagung di Sumatera utara (1991-2005) mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun mengenai produksi beras, kenaikan yang dialami masih rendah daripada kenaikan produksi jagung setiap tahunnya.

3. Menurut hasil peramalan, produksi dan konsumsi beras di Sumatera Utara (2010-2020) akan mengalami trend yang menaik. Sedangkan untuk produksi jagung di Sumatera utara (1991-2005) juga akan mengalami trend yang menaik, namun konsumsi jagung akan mengalami trend menurun.

4. Alternatif Kebijakan Pangan yang dapat di Diversifikasi Pangan, dalam hal ini khususnya dari segi konsumsi pangan. Khususnya, penggantian pola konsumsi pangan pokok dari beras menjadi bahan pangan lainnya, yakni jagung. Namun, alangkah baiknya bila pangan yang dimakan tetap beragam, bergizi dan berimbang.


(13)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam rangka mempertinggi taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai dan terjangkau oleh seluruh rakyat memegang peranan yang sangat penting. Hal ini erat kaitannya dengan pemecahan masalah peningkatan produksi pangan, perbaikan sarana distribusi dan pemasaran pangan, perbaikan pengolahan dan penyimpanan hasil produksi pangan, kependudukan, tingkat kesadaran dan keadaan gizi serta peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.

Sektor pertanian sebagai tonggak utama pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia menjadi sangat strategis peranannya dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peran strategis yang disandangnya sudah sewajarnya bila mendapat perhatian yang serius baik dari kalangan pemerintah maupun dari masyarakat Indonesia. Dalam kenyataannya, peran strategis sektor pertanian malah memicu sebuah gejolak yang rentan dengan perbedaan dan persaingan yang tidak sehat oleh para petinggi negara yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam mengambil keputusan di tanah air ini. Kebijakan impor beras telah menjadi sebuah mesin penghancur semangat petani Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional.

Kecukupan pangan tetap merupakan issue penting baik dilihat dari pemenuhan kuantitas pangan yang harus disediakan dan kualitas pangan yang harus dipenuhi. Bagi negara-negara yang besar berbentuk kepulauan seperti


(14)

diperlukan untuk meningkatkan ketahanan nasional. Posisi Indonesia dengan jumlah konsumsi pangan yang besar, tidak menguntungkan bagi Indonesia untuk menggantungkan sumber suplai utamanya dari luar negeri. Hal ini menempatkan bahwa sumber suplai dari dalam negeri harus dipandang sebagai andalan utama dan suplai dari luar negeri hanyalah merupakan tambahan apabila suplai dalam negeri kurang dibanding dengan kebutuhan. (Amang, 1995b)

Pada waktu ini, Indonesia merupakan negara pengimpor pangan yang amat besar. Impor bahan pangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : rendahnya produktivitas dan meningkatnya kebutuhan pangan sebagai akibat dari bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita.

(Husodo, 2004)

Harga sembako seperti beras, gula dan minyak goreng semakin hari semakin tidak terjangkau oleh daya beli rakyat. Indonesia telah kehilangan swasembada pangan dan produksi beras makin menurun. Indonesia kini mengambil kebijakan mengutamakan impor, membuat petani semakin miskin karena intensif impor dinikmati negara petani negara pengekspor. Fakta dan angka impor pangan Indonesia menunjukkan :

a. Beras : 2,5 juta ton/thn (terbesar di dunia) b. Gula : 2,0 juta ton/thn (terbesar kedua di dunia) c. Kedelai : 1,2 juta ton/thn

d. Jagung : 1,3 juta ton/thn e. Gandum : 5,0 juta ton/thn f. Sapi : 550.000 ekor/thn g. Garam : 1,5 juta ton/thn


(15)

(Saiman,dkk, 2007)

Angka impor yang terus meningkat untuk berbagai komoditas pangan, disebabkan oleh kebutuhan yang meningkat karena populasi yang meningkat dan konsumsi per kapita yang meningkat sebagai hasil dari peningkatan kesejahteraan dan pendidikan, dan produksi yang menurun, atau meningkat dengan kecepatan yang lebih kecil dari peningkatan kebutuhan, karena kondisi yang ada terutama harga, tidak kondusif untuk peningkatan produksi. (Husodo, 2004)

Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk tahun 2005 hingga 2010 mencapai 1,3 persen, sedangkan kebutuhan beras sebesar 32,49 juta ton. Untuk tahun 2011 hingga 2015 pertumbuhan penduduk sebesar 1,18 persen dengan kebutuhan beras sebesar 34,45 juta ton dan pertumbuhan penduduk di tahun 2030 mencapai 0,92 persen atau sebanyak 424,25 juta jiwa dengan tingkat konsumsi tetap 139,15 maka konsumsi yang dibutuhkan sekitar 59 juta ton beras.

(Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara, 2006)

Pertambahan penduduk dalam jumlah besar yang tetap berlangsung, peningkatan kemelaratan yang menyertainya dan pengadaan serta distribusi pangan yang tidak mencukupi, kesemuanya itu membantu bertambahnya jumlah penduduk yang lapar dan kurang gizi yang diakibatkannya. Sering terjadi pangan pokok yang biasa di makan penduduk tidak cukup tersedia, selain itu pangan yang dipakai sebagai pelengkap pangan pokok juga kurang. Kekurangan pangan yang berkelanjutan di negara yang sedang berkembang menyebabkan kekurangan gizi musiman atau tetap yang secara teratur bahkan merupakan bagian hidup dari banyak penduduk Keadaan demikian mengakibatkan jumlah penderita kurang gizi juga meningkat.


(16)

Produksi pangan sangat bervariasi dari tahun yang satu ke tahun berikutnya. Curah hujan, penyakit, serangga, keadaaan cuaca yang khas dan cara usaha tani yang digunakan, menentukan tingkat panen setiap tahunnya. Konsumsi pangan manusia, dengan sendirinya tidak dapat bervariasi sejauh itu. Orang membutuhkan tingkat persediaan pangan yang kurang-lebih tetap berdasarkan konsumsi yang teratur dari jumlah pangan yang diperlukan. Maka dari itu, tiap masyarakat selalu dihadapkan pada masalah yakni bagaimana memperoleh jumlah pangan yang cukup dalam kombinasi yang sesuai.

Oleh karena itu, sekalipun umpamanya produksi pangan meningkat, masalah yang timbul karena pertambahan penduduk yang cepat seyogyianya diimbangi dengan jumlah pangan yang tersedia. (Harper,et.al, 1986)

Pada tabel berikut dapat kita lihat perkembangan dari jumlah penduduk beserta produksi dan konsumsi beras untuk tahun 1999, 2002, 2005.

Tabel 1. Jumlah Penduduk, Produksi Beras dan Konsumsi Beras Sumatera Utara (1999, 2002, 2005)

Tahun Jumlah Penduduk(Jiwa) Produksi Beras(Ton) Konsumsi Beras(Ton)

1999 11955400 2181303,760 1579308,340

2002 11847075 1992888,760 1412171,340

2005 12326678 2178752,376 1447151,997

Sumber : Survei Sosial Ekonomi Nasional, BPS (2007)

Dari tabel 1, dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk Sumatera Utara cenderung meningkat dari periode tahun 1999-2005, walaupun pada tahun 2002 jumlah penduduk sempat mengalami penurunan namun tidak signifikan. Pertambahan penduduk berarti juga bahwa meningkatnya konsumsi beras yang cukup besar. Meski masih dapat menutupi kebutuhan penduduk, namun


(17)

kendala-kendala yang dapat semakin menghambat pertumbuhan produksi tersebut.

Sampai sekarang pola konsumsi pangan masih sangat mengutamakan beras. Pola konsumsi pangan yang terlalu tergantung pada satu jenis pangan dapat menimbulkan beberapa masalah. Pertama, keadaan pangan akan selalu rawan karena apabila terjadi kekurangan dalam jenis pangan ini akan timbul kerisauan di dalam masyarakat. Lagi pula dalam keadaan masih diperlukan impor, kemampuan negara untuk mencukupinya akan sangat tergantung dari persediaan beras di beberapa negara pengekspor beras. Kedua, pola konsumsi pangan yang mengutamakan satu jenis pangan tidak dapat menjamin keseimbangan gizi yang memadai. Ini berarti bahwa untuk meningkatkan mutu gizi, pola konsumsi pangan memerlukan penganekaragaman.

Bahan makanan pokok kita, yaitu beras telah menunjukkan rasio ketergantungan pada produk impor hingga 9,1 persen pada periode 1998-2001, bertambah secara signifikan dari rasio pada tahun 1995-1997 yang baru mencapai 4,3 persen. Dalam ukuran dunia, rasio impor beras kita atas seluruh beras yang diperdagangkan dalam pasar beras internasional mencapai 12,8 persen pada periode 1998-2001. (Husodo, 2007)

Meningkatnya hutang luar negeri sebagai sumber pembiayaan negara di satu sisi dan impor bahan pangan yang semakin meningkat disisi lainnya, menggambarkan situasi yang membingungkan. Di satu sisi kita kekurangan devisa untuk membangun negara, tetapi disisi lain kita menghamburkan devisa untuk bahan konsumsi yang sebenarnya dapat kita produksi sendiri. (Husodo, 2004)


(18)

Dependensi terhadap satu bahan makanan pokok tentu sangat riskan bagi ketahanan pangan. Oleh karena itu, konsep dan politik pangan yang tadinya terkonsentrasi pada beras harus diubah dengan mengacu pada keragaman kultural dan kekayaan ekologis masyarakat. Ketahanan pangan yang berkelanjutan mengharuskan penanganan sisi konsumsi secara sistematis sehingga permintaan bahan pangan tidak hanya terkonsentrasi pada satu komoditas.

(Priyatmoko, H., 2006)

Dalam jangka panjang, untuk menurunkan konsumsi beras dapat diupayakan melalui diversifikasi konsumsi, sehingga beras diganti dengan karbohidrat lainnya seperti jagung, umbi umbian, dan lainnya yang banyak tersedia bahkan berlebih di Indonesia. Dengan digantinya beras oleh karbohidrat lainnya, maka masalah kerawanan pangan dapat diatasi sekaligus memperbaiki gizi rakyat, seperti pengalaman di berbagai negara antara lain Ghana, Nigeria, Malawi, Rwanda, Angola, Guinea dan Peru telah menunjukan bahwa singkong dan umbi umbian sangat berperan meningkatkan ketahanan pangannya.

(Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara, 2006)

Berbicara tentang ketahanan pangan, titik berat yang perlu dikedepankan adalah dibangunnya sumber daya lokal. Sejarah telah membuktikan bahwa unsur yang mampu menjamin keberlangsungan pangan dan pertanian merupakan kearifan lokal dan keanekaragaman hayati. Pada tataran praktis, banyak pakar merekomendasikan pentingnya penggalian potensi pangan lokal. Sebab,di negeri ini tersebar bahan pangan lokal yang memiliki kualitas sama seperti beras. Untuk kelompok serealia, bukan saja padi, ada juga jagung dan sagu.


(19)

Semua pangan lokal tersebut amat potensial untuk dikembangkan sebagai pangan alternatif untuk mengeliminasi ketergantungan yang kronis terhadap beras sekaligus jawaban mujarab untuk menghadapi musim paceklik dan kelaparan. Pengembangan pangan lokal memiliki nilai strategis. Ketersediaan pangan lokal akan menghindarkan masyarakat dari kelaparan. Untuk melestarikan pangan lokal sebagai makanan pokok masyarakat setempat, peran pemerintah daerah diperlukan untuk mempopulerkannya.

Jagung merupakan sumber kalori pengganti atau suplemen bagi beras. Meskipun cenderung menurun tingkat konsumsinya, jagung masih merupakan bahan makanan pengganti atau supplemen bagi sebagian masyarakat pedesaan khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Timor Timur, seluruh propinsi Sulawesi. Proporsi penggunaan jagung sebagai bahan pangan cenderung menurun, sebaliknya penggunaan sebagai bahan pakan dan bahan baku industri meningkat. Sebagai bahan pangan, jagung dikonsumsi dalam bentuk jagung basah, jagung kering pipilan, dan dalam bentuk tepung jagung (Sudaryanto et al., 1993). Bentuk yang paling banyak dikonsumsi rumah tangga diperkotaan adalah jagung basah, sedang di pedesaan jagung pipilan.

Dalam Sudaryanto et al. (1998), perkembangan tingkat konsumsi jagung perkapita secara nasional adalah 28,98 kg/kapita/tahun (1970), turun menjadi 15,75 kg/kapita/tahun (1980), 8,48 kg/kapita/tahun (1990), 5,93 kg/kapita/tahun pada tahun 1993 (PSE,1997). Secara umum tingkat konsumsi jagung/kapita/tahun di pedesaan lebih tinggi dibanding konsumsi di perkotaan. Propinsi yang tingkat konsumsi jagung perkapitanya tinggi adalah Lampung dengan tingkat pemakaian 11,84 kg/kapita/tahun, Jawa Tengah 8,57 kg/kapita/tahun, Jawa Timur 9,80


(20)

kg/kapita/tahun, NTT 39,21 kg/kapita/tahun, Timor Timur 46,81 kg/kapita/tahun, Sulawesi Utara 13,79 kg/kapita/tahun dan Sulawesi Tenggara 14,66 kg/kapita/tahun. (SuarnidanSaenong, M. S., 2005)

Langkah-langkah penting yang patut dilakukan untuk membangun kembali sistem pangan lokal, antara lain menata ulang sumber-sumber produksi pangan melalui reforma agraria. Hal itu agar tanah, air, laut, hutan, benih, pupuk, dan modal berada di tangan petani. Kita harus ingat bahwa tidak mudah menggeser pola makan beras ke pola makan nonberas jika ketersediaan pangan lokal tidak terjamin, harganya tidak terjangkau konsumen, dan gengsi pengonsumsinya melorot.

Pemerintah daerah otonom (kabupaten dan provinsi) bisa berperan lebih banyak. Mengembalikan pangan lokal menjadi menu utama harus dimulai di daerah yang dahulu atau saat ini masih menggunakan pangan tersebut. Kepada anak-anak, pengenalan harus dimulai sejak balita dan menjadi konsumsi pangan keluarga. Dengan cara ini, secara gradual pangan lokal akan menggantikan pola pangan beras. Saat itu ketergantungan pada beras mulai terkikis. (Nuryati, 2007)

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pembangunan ketahanan pangan sebagai komponen strategis dalam pembangunan nasional. Komitmen tersebut dituangkan dalam Undang-Undang nomor 7 tentang Pangan yang mengamanatkan agar pemerintah bersama masyrakat mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya yang dimaksud dengan ketahanan pangan menurut undang-undang tersebut adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang


(21)

tercermin dari tesedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Konsep dan upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional telah dimulai sejak awal kemerdekaan, yang terus disempurnakan dari waktu ke waktu hingga Indonesia swasembada beras pada tahun 1984. Namun demikian, berkembang pesatnya penduduk beserta seluruh aktivitas sosial, ekonomi dan politik telah menimbulkan tantangan dan masalh yang sangat kompleks dan sangat mempengaruhi upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Situasi krisis pangan yang dialami oleh berbagai bangsa termasuk Indonesia, memberikan pelajaran bahwa ketahanan pangan harus diupayakan sebesar mungkin bertumpu pada sumberdaya nasional dengan keragaman antar daerah karena ketergantungan pada pangan impor menyebabkan kerentanan yang tinggi. Tidak satupun negara dapat melaksanakan pembangunan berkelanjutan tanpa terlebih dahulu mengatasi masalah ketahanan pangannya. Oleh sebab itu perwujudan ketahanan pangan yang bertumpu pada sumberdaya pangan, kelembagaan pangan dan budaya lokal telah menjadi komitmen nasional untuk diwujudkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bersama masyarakat dalam arti luas termasuk dunia usaha yang bergerak di bidang pangan. (Suryana, 2003)

1.2. Identifikasi Masalah

Setelah dilihat dari uraian pada latar belakang maka dapat disimpulkan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1) Bagaimana konsumsi beras dan jagung Sumatera Utara (1991-2005)?

2) Bagaimana produksi dan produktivitas beras dan jagung Sumatera Utara (1991-2005)?


(22)

3) Bagaimana konsumsi serta produksi beras dan jagung Sumatera Utara (2010-2020)?

4) Apakah alternatif kebijakan yang dapat diambil dalam upaya menjaga ketahanan pangan Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis konsumsi beras dan jagung Sumatera Utara (1991-2005). 2. Untuk menganalisis produksi serta produktivitas beras dan jagung

Sumatera Utara (1991-2005).

3. Untuk meramalkan konsumsi serta produksi beras dan jagung Sumatera Utara (2010-2020).

4. Untuk dapat mengetahui alternatif kebijakan pangan dalam upaya menjaga ketahanan pangan Sumatera Utara.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan di kemudian hari dapat dipergunakan sebagai :

1. Sumbangan pemikiran dalam kajian konsumsi pangan terkait dengan upaya ketahanan pangan.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi policy makerdalam proyeksi kebutuhan pangan di masa mendatang serta dalam penyusunan kebijakan pemantapan ketahanan pangan.


(23)

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN

KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Pustaka

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air) menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Janin dalam kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan makanan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan berkembang, serta mencapai prestasi kerja.

(Karsin, 2004)

Pangan telah dikelompokkan menurut berbagai cara yang berbeda dan berikut merupakan salah satu cara pengelompokannya, yakni ;

1) Padi-padian

2) Akar-akaran, umbi-umbian dan pangan berpati 3) Kacang-kacangan dan biji-bijian berminyak 4) Sayur-sayuran

5) Buah-buahan 6) Pangan hewani 7) Lemak dan minyak 8) Gula dan sirop (Harper,et.al, 1986)

Jumlah macam makanan dan jenis serta banyaknya bahan pangan dalam pola makanan di suatu negara atau daerah tertentu, biasanya berkembang dari


(25)

pangan setempat atau dari pangan yang telah di tanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Di samping itu kelangkaan pangan dan kebiasaan bekerja dari keluarga, berpengaruh pula terhadap pola makanan.

(Harper,et.al, 1986)

Selama ini, jika kita berbicara mengenai pangan maka pasti selalu tentang beras. Itu berarti tidak lain hanya sekitar produksi padi. Makan seperti tidak ada artinya kalau tidak menghadap nasi tanakan beras padi. Karena itu tidak mengherankan kalau ukuran ketahanan pangan pihak pemerintah adalah produksi padi dan stok nasional gabah atau beras seperti saat ini yang ada di gudang BULOG. Begitulah agropolitik pegangan pemerintah, dari zaman kolonial Belanda sampai sekarang pun tidak berubah. Padahal faktor-faktor objektif seperti jumlah penduduk, luas lahan sawah, telah banyak berubah. (Sadjad, 2007)

Pangan dikenal sebagai pangan pokok jika dimakan secara teratur oleh suatu kelompok penduduk dalam jumlah cukup besar untuk menyediakan bagian terbesar dari konsumen energi total yang dihasilkan oleh makanan.

(Harper,et.al, 1986)

Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90 % penduduk Indonesia dan menyumbang lebih dari 50 % kebutuhan kalori serta hampir 50 % kebutuhan protein.

Dari sisi produksi, supply beras dalam negeri bersifat musiman, tidak merata sepanjang tahun. Umumnya sekitar 60 % produksi terjadi pada bulan Januari-Mei, 30 % terjadi pada bulan Juni-Agustus dan sisanya 10% pada bulan September-Desember. Produksi beras nasional sebagian besar masih berasal dari


(26)

Pulau Jawa (sekitar 57 %). Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa lahan pertanian di Jawa semakin terbatas akibat adanya kompetisi untuk penggunaan sektor lainnya (industri, real estate dan lain-lain). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan padi di luar Pulau Jawa perlu dipacu agar swasembada pangan/beras tetap dapat dipertahankan. (Amang, 1995a)

Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai salah satu penyebab utama melandainya pertumbuhan produksi padi.

Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja pertanian. Padahal, akibat pembangunan sektor nonpertanian yang relatif intensif dalam penggunaan kapital, sektor pertanian dituntut untuk menyediakan lapangan kerja guna mengantisipasi pertumbuhan angkatan kerja. Konversi lahan pertanian terutama lahan sawah juga sangat merugikan ketahanan pangan karena sekitar 55 % konsumsi kalori dan 45 % konsumsi protein rumah tangga berasal dari beras, sementara sekitar 90 % produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah. Struktur konsumsi pangan dan pola produksi beras seperti ini menyebabkan kecukupan konsumsi kalori dan protein akan sangat dipengaruhi oleh produksi beras dari lahan sawah. Dalam kaitan inilah konversi lahan sawah akan sangat berpotensi untuk menimbulkan dampak buruk terhadap ketahanan pangan.

Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, posisi Indonesia dalam pangan global sangat unik. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk


(27)

nomor empat terbesar setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Akan tetapi, jika di perhatikan struktur pangan masyarakat, komposisi pangan penduduk Indonesia relatif tidak beragam dan sangat di dominasi oleh beras. Sedangkan gandum komposisinya relatif kecil dibanding beras, dan tidak diproduksi dalam negeri. Hal ini berbeda dengan Cina dan India yang juga mengkonsumsi dan memproduksi gandum selain beras dalam jumlah yang relatif berimbang.

Di satu sisi, keadaan di atas memberi pengaruh positif bagi pengembangan produksi beras yang memperoleh prioritas penting dalam pembangunan pangan. Hasilnya memang sangat menggembirakan. Namun, pola konsumsi ini memiliki kelemahan karena rawan apabila terjadi gangguan pada produksi beras domestik. Lebih lagi bila dikaitkan dengan sifat pasar beras internasional yang ramping harga berasnya. (AmangdanSawit, 1999)

Sebenarnya kita bisa memakan setiap jenis pangan yang ada, bukanlah harus selalu memakan nasi. Skenario mikro demikian, seharusnya bisa dimakrokan sebagai kebijakan pangan yang tidak beras sentris . Kita harus menjadikan isu agropolitik yang kuat, bahwa ketahanan pangan negara ini tidak harus difokuskan pada beras padi. Ideologi pluralisme bukan hanya dalam etnik atau religi, tapi juga dalam budaya pangan kita. Bukan hanya bersifat plural dalam fisik apa yang dimakan, tapi juga dalam cara dan bentuk yang dimakan. Semua itu menjadi isu dalam agropolitik, sehingga ketahanan pangan harus bisa dijabarkan aplikasinya dalam arahan kebijakan bagaimana mengelola bidang pertanian.

Jagung termasuk salah satu bahan makanan pokok masyarakat Indonesia yang kurang begitu diminati. Padahal secara kandungan gizi, jagung memiliki komposisi zat-zat makanan yang lebih komplet daripada beras. Di dalam


(28)

jagung terkandung kalori sebesar 355 mg; 9,2 mg protein; 3,9 mg lemak; 10 mg kalsium; 256 mg fosfor ; dan 4,4 mg besi. Sedangkan beras mengandung kalori sebesar 360 mg; 6,8 mg protein; 0,7 mg lemak; 6 mg kalsium; 140 mg fosfor; dan 0,8 mg besi.

Jagung juga merupakan bahan pangan yang cukup berkhasiat antara lain sebagai pembangun otot dan tulang, baik untuk otak dan sistem syaraf, mencegah konstipasi, menurunkan risiko kanker dan jantung, mencegah gigi berlubang, serta minyaknya dapat menurunkan kolesterol darah. Namun, selama ini hal tersebut masih jarang diketahui oleh sebahagian besar masyarakat, sehingga jagung masih dianggap sebagai menu sampingan. (Arohman, 2007)

Jagung bisa digunakan sebagai makanan pengganti nasi dan bukan hanya makanan kampung yang cara penyajiannya hanya di rebus dan dibakar saja tapi jagung bisa dibuat beraneka macam makanan seperti: Cake jagung, nasi jagung, puding, talam, dll. Nasi jagung sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu nasi jagung dan nasi glepungan. Keduanya sama-sama nasi yang dicampur dengan jagung, yang membedakan hanya bentuk jagung yang dicampurkan. Nasi jagung adalah nasi yang campuran jagungnya ditumbuk kasar, sedangkan nasi glepungan adalah nasi yang dicampur dengan jagung tumbukan halus. ( Nikita, 2007)

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tentang Pangan, pengertian ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan pengertian tersebut, wujud dari ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut : Pertama, terpenuhinya pangan dengan


(29)

kondisi ketersediaan yang cukup, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.

Kemudian yang kedua adalah terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta sesuai dengan kaidah agama. Ketiga, terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh Tanah Air. Keempat, terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau; diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem tersebut. 1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta

keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediannya dari waktu ke waktu.

2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata mencakup aspek fisik dalam arti pangan yang tersedia di semua lokasi yang


(30)

membutuhkan, tetapi juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang tercermin dari harga dan daya beli masyarakat. Surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan dengan mekanisme pasar global, agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk.

3. Subsistem konsumsi menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan zat pangan dan gizi yang cukup dan berimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, cerdas dan produkti. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek penting lain yaitu aspek diversifikasi. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi, sekaligus melepaskan ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi tersebut dapat memicu instabilitas manakala pasokannya terganggu. Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu ditingkatkan cita rasa, penampilan dan kepraktisan pengolahnnya agar dapat bersaing dengan produk yang telah ada. Dalam kaitan ini teknologi pengolahan sangat penting.

Ditinjau dari sistem kelembagaan pangan, terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem rumahtangga, subsistem lingkungan masyarakat dan subsistem pemerintah. Subsistem rumahtangga mencakup pengaturan pola konsumsi, pola pengadaan,


(31)

pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat mencakup pengaturan produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem pemerintah mencakup kebijakan, fasilitasi dan pengamanan.

Subsistem rumahtangga mengatur pola konsumsi secara sadar, hemat, efisien dan bertanggungjawab, yaitu mampu menyesuaikan diri dengan sumber pangan yang paling efisien dihasilkan atau disediakan oleh lingkungan sekitar, mampu memproduksi seluruhnya atau sebagian kebutuhannya, mampu menjaga keanekaragaman, mendapatkan gizi dan nutrisi yang seimbang, mampu menekan keborosan pangan, mampu memiliki dan mengelola cadangan pangan.

Subsistem lingkungan masyarakat mengatur sistem produksi yang efisien, membangun industri pangan, menata dan membangun jaringan distribusi serta bersama-sama menjaga dan mengembangkan pasar yang berkeadilan, memelihara cadangan pangan bersama, menumbuhkan sikap social yang tinggi untuk bekerjasama, memiliki budaya konsumsi yang hemat dan efisien.

Subsistem Pemerintah membuat dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang mampu mendukung kreatifitas dan swadaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangannya, mengatur dan menyediakan fasilitas untuk produksi dan distribusi, menjamin keamanan pangan serta mengamankan masyarakat dari persaingan tidak adil.

Ketahanan pangan terwujud apabila seluruh penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhannya, agar dapat menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari. Penghayatan masyarakat Indonesia atas pentingnya pemantapan ketahanan pangan bagi pembangunan bangsa telah muncul sejak Proklamasi


(32)

Kemerdekaan Indonesia. Penghayatan ini dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berintikan amanat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dimana kecukupan pangan menjadi salah satu pilar utamanya.

Kecukupan pangan manusia dapat didefenisikan secara sederhana sebagai kebutuhan harian yang paling sedikit memenuhi kebutuhan gizi, yaitu sumber kalori atau energi yang dapat berasal dari semua bahan pangan tetapi biasanya sebagian besar diperoleh dari karbohidrat dan lemak; sumber protein untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan; dan sumber vitamin serta mineral. Tetapi perlu diketahui juga bahwa manusia dan juga semua binatang dipengaruhi oleh rangsangan indra dari bahan pangan yaitu nilai hedonik dari bahan tersebut. Dimana bahan pangan berlimpah dan banyak pilihan, manusia akan makan; pertama karena kelezatan dan kedua adalah untuk keperluan gizi. (Buckle,et.al, 1985)

Kondisi akhir-akhir ini, telah menyadarkan kita semua bahwa ketahanan pangan yang bergantung pada satu komoditi seperti beras, mengandung resiko bahwa ketahanan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, disamping perlu meningkatkan cadangan pangan masyarakat, kita juga perlu mencari dan mengembangkan sumber pangan karbohidrat protein non-beras yang banyak tersebar di setiap daerah. Hal ini penting, karena potensinya ada dan mudah pengembangannya. (Suryana, 2003)

Apabila ketahanan pangan dieratkan hubungannya dengan pertanian yang berkelanjutan, maka tidak lagi bisa sesederhana hanya dengan produksi padi yang dikelola dalam lahan pesawahan saja. Tidak seharusnya seluruh rakyat diarahkan untuk makan nasi. Visi demikian harus diubah dan dicerminkan lebih lanjut dalam


(33)

agropolitiknya pemerintah. Sudah tidak serasi lagi kalau pandangan feodalistik dan kolonialistik masih menjadi idola yang pemakan nasi memiliki status sosial lebih tinggi. Sosialisasi yang meluas perlu dilakukan sehingga terjadilah disseminasi bahwa makan dengan sadar gizi lebih penting dalam menciptakan ketahanan pangan nasional. (Sadjad, 2007)

Pola keberagaman bahan baku pangan sumber karbohidrat akan berimplikasi pada keharusan membuat pemetaan wilayah potensial untuk masing-masing bahan tersebut, berapa produksinya dan berapa besar konsumennya. Semua bahan baku pangan sumber karbohidrat sama tinggi nilai psikologis maupun fisiologisnya. Untuk masing-masing bahan baku pangan sumber karbohidrat harus dapat dijabarkan sampai pada taraf potensi keragaman bentuk siap saji dimakan. Keberagaman vertikal demikian perlu secara intensif didisseminasikan ke masyarakat luas. Sudah semestinya dilakukan perbaikan kualitasnya, baik fisik, rasa, maupun nilai gizinya. Dengan bervariasinya bahan baku pangan sumber karbohidrat secara vertikal maka keberagaman horizontal yang diwujudkan dalam proses selanjutnya menjadi bentuk siap saji dimakan dipermudah apabila bahan baku pangan sumber karbohidrat itu berbentuk tepung, bukan berbentuk butiran seperti beras. Secara konkrit hal ini telah dibuktikan dengan wujud tepung terigu dari gandum yang bisa diolah menjadi beragam bentuk siap saji dimakan seperti mie, roti, pizza dan sebagainya. Bahan baku pangan sumber karbohidrat seperti sagu, ubi, umbi-umbian, buah, biji-bijian, semua memungkinkan untuk ditepungkan. Kemudian pengembangan bahan pangan yang beragam vertikal maupun horizontal seharusnya menjadi isu


(34)

agropolitik yang dominan untuk menunjang program ketahanan pangan berbudaya tepung. (Sadjad, 2007)

Kebijakan pangan mendatang tidak saja harus mampu mengatasi berbagai kendala yang dapat memperlemah ketahanan pangan, akan tetapi harus juga berpijak pada tujuan jangka panjang. Untuk menuju ke tingkat ketahanan pangan yang berkelanjutan adalah amat bergantung pada kemampuan kita untuk mengelola potensi pangan kita secara lestari. Apabila kendala-kendala itu tidak dapat diatasi dengan baik maka negara akan menanggung beban ekonomi dan politik yang besar. Sasaran jangka panjang kita adalah swasembada pangan dan lalu menjadi pengekspor pangan untuk negara-negara lain.

Peluang pengembangan pangan alternative melalui penganekaragaman pangan non beras terbuka lebar , mengingat potensi sumberdaya alam berupa lahan yang kita miliki masih cukup luas dan belum diolah dan belum didayagunakan secara optimal, disamping masyarakat sudah mengenal berbagai alternative pangan yang ada. (Husodo, 2004)

2.2. Landasan Teori

Keadaan di suatu pasar dikatakan dalam keseimbangan atau ekuilibrium apabila jumlah yang ditawarkan para penjual pada suatu harga tertentu adalah sama dengan jumlah yang diminta oleh para pembeli pada harga tersebut.


(35)

Gambar 1. Keseimbangan Pasar

Dari Gambar 2., dapat dilihat bahwa keseimbangan pasar (market ekuilibrium) terjadi pada titik dimana kurva permintaan dan kurva penawaran berpotongan (E). Pada titik E tercapai harga keseimbangan (PE) . Dimana pada tingkat harga

tersebut, tercapai pula jumlah/kuantitas output keseimbangan (QE), yakni jumlah

yang diminta (QD) sama dengan jumlah yang ditawarkan (QS). (Rosyidi, 1999)

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan permintaan suatu produk, pada tingkat harga tertentu adalah Jumlah Penduduk. Jumlah penduduk yang bertambah besar menuntun ke arah meningkatnya permintaan beberapa jenis barang. Jumlah penduduk sebanyak 150 juta orang misalnya, mempunyai permintaan pangan, sandang, sepatu, mobil, popok bayi dan sebagainya lebih banyak daripada penduduk yang berjumlah 50 juta orang, dengan asumsi hal-hal lainnya tetap (ceteris paribus). (Sicat, 1991)

PE

QE Q

P

E

S

D Output H

a r g a


(36)

Teori Malthus (1709) menyebutkan bahwa penduduk cenderung bertambah dengan cepat menurut deret ukur, sedangkan persediaan pangan bertambah menurut deret hitung. Artinya, bila pada suatu saat terjadi kelebihan jumlah penduduk, maka penduduk akan memperebutkan jumlah pangan yang sedikit tersebut. Implikasinya adalah kesejahteraan masyarakat akan menurun, status kesehatan memburuk, dan lingkungan menjadi rusak. Akibatnya angka kematian meningkat dan angka kelahiran menurun.

Bertambahnya jumlah penduduk bersamaan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat akan meningkatkan permintaan terhadap produk-produk pertanian, baik dalam jumlah maupun kualitas. Dari segi jumlah, total permintaan merupakan perkalian antara jumlah penduduk dengan tingkat konsumsi per kapita. (Husodo, 2004)

Gambar 2. Kekurangan Penawaran/Kelebihan Permintaan O

D P

A F

C G

B

Shortage

D E

S

Output H

a r g a


(37)

Jika penjual/penawar hanya mampu menawarkan output sejumlah OB saja, sudah tentu bahwa dengan demikian akan terjadi kekurangan output (shortage) di pasar pada tingkat harga setinggi OA. Pada tingkat harga OA tersebut (yakni tingkat harga di bawah harga keseimbangan), jumlah output yang ditawarkan (OB) lebih kecil daripada jumlah output yang diminta (OC). Gejala ini disebut kekurangan penawaran (supply shortage) atau kelebihan permintaan (demand excess) sebesar BC. (Rosyidi, 1999)

Perlu disadari bahwa pada waktu ini sedang terjadi berbagai perubahan mendasar dalam pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut antara lain :

 Menurun secara pesat untuk tingkat konsumsi umbi-umbian (ubi kayu dan ubi rambat) untuk konsumsi langsung manusia, karena umbi-umbian menjadi pangan yang dianggap inferior (menurun tingkat konsumsinya dengan meningkatnya pendapatan masyarakat). Namun demikian permintaan umbi-umbian untuk bahan baku industri terus meningkat.

 Peningkatan konsumsi beras dan jagung dalam laju yang lambat, terutama dipengaruhi oleh pertambahan penduduk daripada oleh peningkatan pendapatan.

 Meningkatnya konsumsi pangan yang berasal dari gandum seiring dengan peningkatan pendapatan penduduk, terutama kelompok berpendapatan tinggi, juga oleh modernisasi dan globalisasi. Konsumsi roti dan mie meningkat tinggi, sedangkan kita tidak bisa memproduksi gandum tersebut, sehingga menjadikan impor gandum kita cenderung terus meningkat setiap tahunnya.  Meningkatnya konsumsi jagung dan kedelai untuk pakan ternak.


(38)

 Meningkat dengan cepat makanan yang mengandung protein, seperti daging, ayam dan telur, sehingga mendorong terjadinya peningkatan permintaan akan pakan ternak.

Serta perlu disadari semua pihak, bahwa :

 Kemampuan Indonesia di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri relative telah dan sedang menurun dengan sangat besar.  Pada waktu ini, Indonesia berada dalam keadaan Rawan Pangan bukan karena

tidak adanya pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat sudah sangat tergantung dari suplai luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian dalam bidang pangan.

 Banyak negara menawarkan kredit ke Indonesia untuk membeli produk-produk pertanian negaranya.

 Di dalam negeri sendiri, juga banyak pihak yang memperoleh keuntungan yang tidak sedikit dari impor pangan.

Kondisi inilah yang membuat banyak pihak tidak ingin melihat Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan dan menjadi penyebab merosotnya produk-produk pertanian kita.

Tanpa perencanaan yang matang dan langkah-langkah strategis yang konsisten untuk meningkatkan produksi pangan, Indonesia sebagai negara agraris akan terus menjadi net importer pangan yang sangat besar yang akan terus semakin membesar dan pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional kita. (Husodo, 2004)

Kebijakan diversifikasi pangan dan perbaikan menu makanan rakyat, dalam upaya memperbaiki mutu gizi masyarakat sudah ditetapkan sejak 1974 dan


(39)

disempurnakan dengan Inpres 20/1979. Namun secara operasional, diversifikasi pangan belum dapat terlaksana secara efektif.

Program diversifikasi ini telah mengubah peranan komoditas pangan non beras terhadap perekonomian nasional dalam dua sisi, yaitu sisi produksi dan konsumsi. Perubahan penawaran dan permintaan tanaman pangan non beras ini merupakan unsur-unsur yang harus dipertimbangkan ke dalam pembuatan kebijakan diversifikasi pertanian. Berdasarkan pada pandangan dua sisi ; produksi dan konsumsi yaitu (i) implikasi terhadap diversifikasi produksi tanaman pangan, dan (ii) implikasi terhadap diversifikasi konsumsi tanaman pangan.

(AmangdanSawit, 1999)

Dari sisi permintaan, dua hal terpenting adalah : Pertama, pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang, dilaksanakan dengan (i) pemberdayaan masyarakat dan keluarga agar memahami konsumsi pangan dengan gizi seimbang; (ii) Pengembangan dan peningkatan daya tarik pangan dengan teknologi pengolahan pangan yang dapat meningkatkan cita rasa dan citra pangan khas nusantara, termasuk bahan pangan karbohidrat non-beras; (iii) Pengembangan produk dan mutu produk-produk pangan bergizi tinggi; (iv) Peningkatan pengawasan mutu, keamanan dan kehalalan pangan untuk melindungi konsumen. Kedua, peningkatan penghasilan dan daya beli masyarakat, melalui (i) Pemberdayaan kemampuan ekonomi kelompok masyarakat dalam mengembangkan diversifikasi usaha di pedesaan, baik vertikal (bidang hulu dan hilir pertanian) maupun horizontal (jenis komoditas dan jenis bidang usaha, termasuk usaha non pertanian); (ii) Pengembangan prasarana dan


(40)

sarana distribusi untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat rawan pangan terhadap pangan.

(Suryana, 2003)

2.3. Kerangka Pemikiran

Pangan merupakan kebutuhan hidup manusia yang utama. Ketersediaan akan pangan tersebut sangat tergantung oleh jumlah produksi dan jumlah permintaan (konsumsi). Dimana, jumlah permintaan tersebut akan semakin bertambah seiring dengan pertambahan populasi penduduk.

Namun, ironisnya pada waktu ini, Indonesia yang merupakan sebuah negara Agraris juga menjadi negara pengimpor bahan pangan yang amat besar. Impor pangan tersebut disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi penduduk per kapita lebih besar daripada peningkatan jumlah produksinya.

Di Indonesia sendiri, beras merupakan komoditas pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Beras berperan penting dalam ketahanan pangan karena terdapat ketergantungan penduduk Indonesia yang sangat besar akan beras. Pasokan beras selalu menjadi masalah utama. Saat ini pemerintah selalu mengupayakan ketersediaan beras, salah satunya adalah dengan mengimpor. Impor tersebut dilakukan karena produksi beras domestik tidak mampu memenuhi kebutuhan akan konsumsinya. Sayangnya, angka impor beras tersebut selalu bertambah setiap tahunnya. Hal ini akan berimplikasi pada stabilitas negara dan ketahanan pangan setiap daerah.

Sementara itu, sebenarnya masih terdapat jenis pangan lainnya yang mampu menggantikan beras untuk di konsumsi oleh penduduk. Seperti jagung


(41)

yang sama bergizinya dengan beras. Akan tetapi, beras bukan hanya sebagai pangan pokok utama, tetapi juga cenderung merupakan pangan pokok tunggal untuk sebagian besar wilayah di Indonesia, termasuk Sumatera Utara.

Maka daripada itu, kita perlu menganalisis bagaimana jumlah produksi serta konsumsi dari beras dan jagung dari beberapa tahun yang lalu, kemudian akan dapat diproyeksikan produksi dan konsumsi beras juga jagung untuk waktu yang akan datang, yakni tahun 2010-2020. Sehingga dapat diketahui kondisi dari keadaan pangan Sumatera Utara pada masa mendatang untuk beras dan jagung. Oleh karena itu, perlu adanya langkah-langkah strategis atau alternative kebijakan pangan yang disusun dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan bagi wilayah


(42)

Sumatera Utara.

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Ketahanan

Pangan Pangan

Pokok

Impor Tertinggi

Produksi Beras

dan Jagung Konsumsi Berasdan Jagung

Proyeksi Produksi Beras dan Jagung Tahun 2010 - 2020

Proyeksi Konsumsi Beras dan Jagung Tahun 2010 - 2020

Alternatif Kebijakan Pangan

Gambaran Kondisi Pangan Pada Masa Mendatang

Jumlah Penduduk


(43)

2.4. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsumsi beras dan jagung Sumatera Utara (1991-2005) mengalami

peningkatan setiap tahunnya.

2. Produksi serta produktivitas beras dan jagung Sumatera Utara (1991-2005) mengalami peningkatan setiap tahunnya.

3. a. Produksi dan konsumsi beras Sumatera Utara (2010-2020) akan mengalami trend yang menaik.

b. Produksi dan konsumsi jagung Sumatera Utara (2010-2020) akan mengalami trend yang menaik.

4. Terdapat alternatif kebijakan pangan dalam rangka menjaga dan meningkatkan ketahanan pangan Sumatera Utara.


(44)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Secara teritorial, pengamatan/penelitian ini akan mempunyai lingkup cakupan yakni wilayah propinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 26 Kabupaten/Kota dan di tentukan secara purposive(sengaja) dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut termasuk sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta memiliki populasi penduduk yang cukup besar.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi-instani yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder merupakan data yang telah tersedia dalam berbagai bentuk. Biasanya sumber data ini lebih banyak sebagai data statistik atau data yang sudah diolah sedemikian rupa sehingga siap digunakan. Data dalam bentuk statistik biasanya tersedia pada kantor-kantor pemerintahan, biro jasa data, perusahaan swasta, atau badan lain yang berhubungan dengan penggunaan data.

(Daniel, 2002).

3.3. Metode Analisis Data

Untuk hipotesis 1,2 dan 4, digunakan analisis deskriptif yakni berupa penyajian data time series dengan grafik/gambar dan penjelasan terhadap data yang diperoleh sesuai dengan kondisi sebenarnya.


(45)

fakta (fact finding). Hasil penelitian ini lebih ditekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang diteliti. Penelitian deskriptif melakukan analisis hanya pada sampai taraf deskriptif, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan. (Wirartha, 2006).

Untuk hipotesis 3, akan digunakan analisa Time Series, yakni Trend (Gerak Jangka Panjang) dengan menggunakan cara Least Squares yang menggunakan persamaan garis trend yang linier, yaitu ;

y = a + bx

Dimana, nilai-nilai a dan b dapat dihitung dengan menggunakan rumus-rumus berikut :

b =

  

 

  2 2 x x n y x xy n dan

a = ybx

Dimana : y = Produksi beras dan jagung, konsumsi beras dan jagung a = Koefisien Intercept

b = Koefisien Regresi dari x

x = Tahun (Dinotasikan dengan angka) n = Jumlah data time series

Dimana : x = 0 (x = -7,-6,-5,-4,-3,-2,-1,0,1,2,3,4,5,6,7 sehingga x = 0) Maka, rumus untuk mencari a dan b dapat dirubah menjadi :

b =

x2


(46)

dan

a = y

Setelah persamaan garis trend yang linier tersusun. Kemudian dapat diramalkan garis trend linier untuk masa mendatang, maka nilai a dan y yang diramalkan itu :

y* = a + bx*

Dimana : y* = Produksi beras dan jagung, konsumsi beras dan jagung untuk tahun yang diramalkan

a = Koefisien Intercept b = Koefien regresi dari x

x* = Tahun yang diramalkan (Dinotasikan dengan angka) (Pasaribu, 1967)

3.5. Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari kesalahpahaman dalam penelitian ini, maka dibuat Defenisi dan Batasan Operasional.

Defenisi :

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan yang memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan.

2. Pangan Pokok/Tunggal adalah suatu jenis pangan yang menempati tingkat tertinggi dalam konsumsi masyarakat.

3. Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang dengan tujuan tertentu pada waktu tertentu.

4. Produksi Pangan adalah kapasitas/kuantitas pangan yang dapat dihasilkan pada suatu wilayah.


(47)

5. Ketersediaan Pangan adalah kondisi penyediaan pangan bagi penduduk suatu wilayah dalam suatu kurun wktu tertentu.

6. Impor Pangan adalah kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan pangan bagi suatu wilayah dari wilayah lain dengan mengeluarkan sejumlah biaya tertentu.

7. Kerawanan Pangan adalah situasi suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga yang tingkat ketersediaan dan keamanan pangannya tidak cukup untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan sebagian besar masyarakat.

8. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya aman, merata dengan harga terjangkau dan berkelanjutan. 9. Penganekaragaman Konsumsi Pangan adalah beranekaragamnya jenis pangan

yang dikonsumsi penduduk mencakup pangan sumber energi dan zat gizi, sehingga memenuhi kebutuhan akan pangan dan zat gizi yang seimbang baik ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitasnya.

10. Proyeksi Produksi/Konsumsi Pangan adalah suatu peramalan terhadap kondisi atau jumlah dari baik produksi dan konsumsi pangan.

11. Alternatif Kebijakan Pangan adalah langkah-langkah yang dapat disusun untuk meningkatkan ketahanan pangan suatu wilayah.

Batasan Operasional :

1. Penelitian merupakan pengamatan, analisis serta peramalan terhadap data time series produksi dan konsumsi beras serta jagung di Sumatera Utara.


(48)

(49)

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak dan Keadaaan Geografi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, terletak pada garis 1º - 4º LU dan 98º - 100º BT. Adapun batasan wilayah Sumatera Utara adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. - Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Malaysia di Selat Malaka. - Sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat. - Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 Km2, sebagian

besar berada di Daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias. Berdasarkan luas daerah menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Tapanuli Selatan dengan luas 12.163,65 Km2 atau

16,97 % diikuti Kabupaten Labuhan Batu dengan luas 9.223,18 Km2atau 12,87 %

kemudian diikuti Kabupaten Mandailing natal dengan luas 6.620,70 Km2 atau

sekitar 9,23 %. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas 10,77 Km2atau sekitar 0,02 % dari total luas wilayah Sumaetra utara.

4.2. Gambaran Umum Tanaman Pangan Sumatera Utara

Di daerah Sumatera Utara, terdapat beragam jenis tanaman bahan pangan yang dibudidayakan. Beras masih merupakan tanaman yang bahan pangan yang paling banyak diusahakan dan juga merupakan bahan pangan pokok sebagian besar penduduk di wilayah Sumatera Utara. Produksi padi Sumatera Utara selama periode 1998-2006 rata-rata mengalami penurunan sebesar 23 % per tahun.


(50)

Penurunan ini disebabkan turunnya produksi padi sawah dengan rata-rata pertumbuhan per tahun sebesar minus 1,13 %, sedangkan produksi padi ladang mengalami penurunan rata-rata sebesar 3,14 %.

Kabupaten Simalungun dan Serdang Bedagai merupakan pusat produksi padi di Sumatera Utara. Dimana pada tahun 2006, produksi padi Kabupaten Simalungun mencapai 367.793 Ton atau sebesar 12,23 % dari total produsi Sumatera Utara. Sementara produksi padi Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun yang sama mencapai 335.233 Ton atau 11,15 % dari total produksi padi Sumatera Utara.

Tanaman palawija di Sumatera Utara cukup potensial. Dimana hasil tanaman tersebut menjadi salah satu andalan ekspor Sumatera Utara ke negara Singapura dan Malaysia. Untuk komoditas jagung, produksinya di tahun 2006 adalah 735.456 Ton dengan Kabupaten Simalungun dan Karo sebagai andalan produsen jagung di Sumatera Utara. Dimana, produksi jagung terbesar di Kabupaten Simalungun sebesar 204.196 Ton dan di Kabupaten Karo sebesar 171.016 Ton.

4.3. Keadaan Penduduk Sumatera Utara

Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990, penduduk Sumatera Utara berjumlah 10,26 juta jiwa. Selanjutnya dari hasil estimasi jumlah penduduk keadaan Juni 2006 diperkirakan sebesar 12.643.494 jiwa . Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per Km2 dan tahun 2006

meningkat menjadi 176 jiwa per Km2. Laju pertumbuhan penduduk Sumatera

Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20 % per tahun dan pada tahun 2000-2005 menjadi 1,37 % per tahun. Serta laju pertumbuhan penduduk


(51)

2005-2006 mencapai 1,57 %. Besarnya jumlah penduduk dengan kepadatannya pada masing-masing wilayah di Sumatera Utara beserta luas dari setiap wilayah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Luas Wilayah, Jumlah penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota (2006)

No Kabupaten/Kota Luas Wilayah

(Km2) Penduduk(Jiwa)

Kepadatan Penduduk (Per Km2)

1 Nias 3.495,39 442.019 126

2 Mandailing Natal 6.620,70 413.750 63

3 Tapanuli Selatan 12.163,65 629.212 52

4 Tapanuli Tengah 2.158,00 297.843 136

5 Tapanuli Utara 3.764,65 256.444 69

6 Toba Samosir 2.352,35 169.116 68

7 Labuhan Batu 9.223,18 987.157 107

8 Asahan 4.580,75 1.038.554 227

9 Simalungun 4.368,60 841.198 192

10 Dairi 1.927,80 269.629 139

11 Karo 2.127,25 342.555 161

12 Deli Serdang 2.486,14 1.634.115 679

13 Langkat 6.263,29 1.013.849 162

14 Nias Selatan 1.625,91 271.026 148

15 HumbangHasundutan 2.297,20 152.757 65

16 Pakpak Barat 1.218,30 34.822 29

17 Samosir 2.433,50 130.662 63

18 Serdang Bedagai 1.913,33 605.630 304

19 Batu Bara 0 0 0

20 Sibolga 10,77 91.941 8.537

21 Tanjung Balai 61,52 156.475 2.586

22 Pematang Siantar 79,97 235.372 2.943

23 Tebing Tinggi 38,44 137.959 3.631

24 Medan 265,10 2.067.288 7.798

25 Binjai 90,24 244.256 2.704

26 PadangSidempuan 114,65 181.865 1.299

TOTAL 71.680,68 12.645.494 176


(52)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Konsumsi Beras dan Jagung Sumatera Utara

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka dapat dilihat besarnya konsumsi beras dan jagung untuk wilayah Sumatera Utara (1991-2005) pada tabel-tabel beserta grafik dibawah ini. Untuk konsumsi beras di Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Konsumsi Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Konsumsi Beras (Ton)

1991 1.395.700,581

1992 1.414.934,184

1993 1.436.019,520

1994 1.447.308,980

1995 1.456.690,710

1996 1.260.426,324

1997 1.267.049,602

1998 1.287.779,196

1999 1.579.308,340

2000 1.502.573,477

2001 1.511.036,437

2002 1.412.171,340

2003 1.400.689,002

2004 1.411.159,104

2005 1.447.151,997

Total 21.229.998,79

Rataan 1.415.333,253

Sumber : Lampiran 2

Dari Tabel 3 diatas, terlihat bahwa jumlah konsumsi beras Sumatera Utara terbesar di sepanjang tahun 1991-2005 terjadi pada tahun 1999 sebesar 1.579.308,340 Ton dengan jumlah konsumsi terendah di tahun 1996 sebesar 1.260.426,324 Ton. Total konsumsi beras di sepanjang tahun 1991-2005


(53)

adalah sebesar 21.229.998,79 Ton dengan Rataan konsumsi sebesar 1.415.333,253 Ton beras per tahun.

Kondisi konsumsi beras Sumatera Utara diatas untuk lebih jelasnya terlihat pada Gambar 4 berikut.

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Konsumsi Beras (Ton)

Gambar 4. Konsumsi Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Pada Gambar 4, dapat dilihat bahwa perkembangan konsumsi beras penduduk Sumatera Utara (1991-2005) mengalami keadaan yang fluktuatif, dimana terjadi lonjakan konsumsi beras pada tahun 1999 setelah sempat menurun pada tahun 1996 hingga 1998. Sejak tahun 1999, konsumsi beras oleh penduduk Sumatera Utara pun mengalami kondisi yang naik turun, tidak seperti kondisi seperti dari tahun 1991 hingga 1995 yang terus naik.

Beras masih menjadi penyumbang kalori dan protein terbesar dari konsumsi penduduk Sumatera Utara. Hal ini dapat dilihat dari data Susenas 2005, bahwa konsumsi energi yang berasal dari beras mencapai 75,57 % dan konsumsi protein dari beras mencapai 51,76 % dari total keseluruhan konsumsi kalori dan protein g/kapita/hari beberapa jenis makanan. Dimana, Rata-Rata Konsumsi


(54)

Kalori dan Protein yang berasal dari beras masing-masingnya adalah sebesar 968,15 g/kapita/hari dan 22,64 g/kapita/hari.

Pemilihan bahan pangan merupakan suatu hal yang terikat dengan budaya dan tradisi lokal. Oleh karena itu, meski telah mengalami perkembangan social serta ekonomi, namun pola makanan bangsa Indonesia termasuk masyarakat Sumatera Utara masih di dominasi oleh nasi yang berasal dari beras. Kenaikan harga beras dari tahun ke tahun yang disebabkan karena produksi dalam negeri tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan penduduk sehingga menyebabkan terjadinya impor yang semakin meningkat dari tahun ke tahun pun tak menyurutkan kebutuhan masyarakat akan beras.

Hal tersebut terlihat dari Tabel 3, dimana walau konsumsi beras sempat menurun beberapa tahun (1996-1998), yang diakibatkan menurunnya daya beli masyarakat akibat terjadinya krisis moneter kemudian di tahun-tahun berikutnya terjadi peningkatan kembali atas konsumsi beras karena jumlah penduduk yang semakin bertambah dan beras masih mendominasi sebagai bahan pangan pokok konsumsi sebagian besar penduduk tersebut.


(55)

Untuk konsumsi jagung Sumatera Utara (1991-2005) terlihat pula pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Konsumsi Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Konsumsi Jagung (Ton)

1991 4.286,421

1992 4.380,932

1993 3.244,020

1994 3.294,330

1995 3.343,590

1996 41.833,310

1997 42.070,678

1998 42.784,924

1999 2.391,080

2000 2.302,794

2001 2.344,509

2002 3.554,122

2003 3.567,119

2004 3.637,008

2005 7.396,006

Total 170.430,846

Rataan 11.362,056

Sumber : Lampiran 3

Dari Tabel 4 diatas, terlihat bahwa jumlah konsumsi jagung Sumatera Utara terbesar di sepanjang tahun 1991-2005 terjadi pada tahun 1998 sebesar 42.784,924 Ton dengan jumlah konsumsi terendah di tahun 2000 sebesar 2.302,794 Ton. Total konsumsi jagung di sepanjang tahun 1991-2005 adalah sebesar 170.430,846 Ton dengan Rataan konsumsi sebesar 11.362,056 Ton jagung per tahun.


(56)

Kondisi konsumsi jagung Sumatera Utara diatas untuk lebih jelasnya terlihat pada gambar berikut.

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Konsumsi Jagung (Ton)

Gambar 5. Konsumsi Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Pada Gambar 5, tampak kondisi konsumsi jagung Sumatera Utara cenderung meningkat namun tidak signifikan. Pada beberapa tahun, yakni 1996-1999 terjadi lonjakan konsumsi jagung setelah sempat beberapa tahun konsumsi jagung menurun (1992-1995). Lonjakan tersebut tidak bertahan lama karena konsumsi jagung merosot secara dratis di tahun 1999, walau demikian pada tahun-tahun selanjutnya kembali terjadi peningkatan konsumsi akan jagung.

Dari pemaparan diatas, maka hipotesis 1 dapat diterima karena konsumsi beras dan jagung (1991- 2005) mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun, kenaikan setiap tahun untuk konsumsi jagung oleh penduduk jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan konsumsi beras.

Jagung merupakan salah satu bahan pangan sumber karbohidrat selain beras. Namun pemanfaatannya belum maksimal karena konsumsi masyarakat Indonesia, termasuk Sumatera Utara, masih didominasi oleh beras. Hal ini dapat


(57)

dilihat dari data Susenas 2005, konsumsi energi yang berasal dari jagung hanya mencapai 1,76 % dan konsumsi protein dari jagung hanya mencapai 1,35 % dari total keseluruhan konsumsi kalori dan protein g/kapita/hari beberapa jenis makanan. Dimana Rata-Rata Konsumsi Kalori dan Protein yang berasal dari jagung masing-masingnya adalah hanya sebesar 22,60 g/kapita/hari dan 0,59 g/kapita/hari.

Konsumsi jagung oleh masyarakat Sumatera Utara berkaitan dengan konsumsi beras, dimana bila konsumsi beras meningkat maka akan terjadi penurunan konsumsi atas jagung, dan sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan Tabel 3 dan 4 atau Gambar 5 dan 6. Yakni disepanjang tahun 1991-2005, ketika konsumsi beras yang terendah pada tahun 1991, namun konsumsi jagung cukup bagus pada tahun tersebut. Pada tahun 1992-1995 terjadi peningkatan konsumsi beras dan walau angka konsumsi jagung dapat bertahan pada tahun 1992, namun tahun 1993-1995 konsumsi akan jagung menurun. Kemudian, menurunnya konsumsi beras pada tahun 1996-1998 merupakan keadaan yang berbanding terbalik dengan konsumsi jagung yang mengalami lonjakan yang sangat besar pada tahun-tahun tersebut. Kemudian pada tahun selanjutnya yakni tahun 1999, ketika meningkatnya konsumsi beras , namun konsumsi jagung menurun dratis pada tahun tersebut. Begitu halnya untuk tahun-tahun selanjutnya.

Harga beras yang tetap mengalami kenaikan tak kunjung menggugah mayoritas masyarakat Indonesia, termasuk Sumatera Utara untuk mulai melakukan diversifikasi pangan. Mengingat, daerah-daerah seperti Madura, Nusa Tenggara yang menggunakan jagung sebagai makanan pokok. Serta seperti


(58)

Gorontalo yang sejak tahun 2001 telah menjadikan jagung sebagai komoditi unggulan yang dibudidayakan dan memilih jagung sebagai makanan pokok selain beras. Padahal, seperti halnya jagung yang dikenal sebagai sumber bahan pangan kedua setelah beras terus meningkat produksinya setiap tahun, namun alokasi terbesarnya hanya untuk kebutuhan pakan ternak dalam negeri dan untuk ekspor karena meningkatnya permintaan pasar internasional.

5.2. Produksi serta Produktivitas Beras dan Jagung Sumatera Utara

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti maka dapat dilihat kondisi produksi Beras dan Jagung di Sumatera Utara (1991-2005) dengan melihat tabel-tabel beserta grafik berikut ini.

Tabel 5. Produksi Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Produksi Beras (Ton)

1991 1.725.608,376

1992 1.829.762,608

1993 1.844.272,064

1994 1.946.534,720

1995 1.981.024,856

1996 1.982.432,320

1997 2.030.114,192

1998 2.098.902,968

1999 2.181.303,760

2000 2.221.007,896

2001 2.080.294,360

2002 1.992.888,760

2003 2.150.743,400

2004 2.160.670,224

2005 2.178.752,376

Total 30.404.312,880

Rataan 2.026.954,192


(59)

Dari Tabel 5 terlihat bahwa sepanjang tahun 1991-2005, Produksi Beras terbesar di Sumatera Utara terjadi pada tahun 2000 yakni 2.221.007,896 Ton dan Produksi Beras terendah yakni pada tahun 1991 sejumlah 1.725.608,376 Ton. Dimana, Total Produksi Beras sepanjang tahun 1991-2005 di Sumatera Utara mencapai 30.404.312,880 Ton dengan Rataan Total Produksi sebesar 2.026.954,192 Ton beras per tahunnya.

Kondisi produksi beras di Sumatera Utara (1991-2005) dapat juga dilihat melalui gambar berikut ini.

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Produksi Beras (Ton)

Gambar 6. Produksi Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Dari Gambar 6 diatas, terlihat bahwa sepanjang tahun 1991-2005 cenderung terjadi peningkatan produksi beras dari tahun ke tahun, meskipun sempat terjadi penurunan jumlah produksi pada tahun 2001 hingga 2002 dengan puncak produksi tertinggi yakni pada tahun 2000. Meskipun produksi beras Sumatera Utara terus meningkat, namun peningkatan yang terjadi setiap tahunnya tidak terlalu besar. Sehingga, perlu diperhatikan kondisi produksi beras


(60)

Sumatera Utara pada tahun-tahun mendatang, apakah masih dapat mencukupi kebutuhan penduduk Sumatera Utara itu sendiri dengan kendala-kendala yang juga perlu dipertimbangkan.

Kondisi produktivitas beras di Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6. Produktivitas Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Produktivitas Beras (Kw/Ha)

1991 24,20

1992 24,31

1993 24,44

1994 24,56

1995 24,91

1996 25,09

1997 25,45

1998 25,47

1999 26,01

2000 26,20

2001 25,94

2002 26,04

2003 26,06

2004 26,15

2005 26,50

Total 25,45

Rataan 25,42

Sumber : Lampiran 7

Dari Tabel 6 diatas, produktivitas beras tertinggi Sumatera Utara disepanjang tahun 1991-2005 terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 26,50 Kw/Ha. Sedangkan produktivitas beras terendah terjadi pada tahun 1991 yakni sebesar 24,20 Kw/Ha. Total produktivitas beras disepanjang tahun (1991-2005) adalah sebesar 25,45Kw/Ha dan rataaan produktivitas sebesar 25,42 Kw/Ha per tahun.


(61)

Kondisi produktivitas beras Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada gambar berikut.

23,00 23,50 24,00 24,50 25,00 25,50 26,00 26,50 27,00

199119921993199419951996199719981999200020012002200320042005

Produktivitas Beras (Kw/Ha)

Gambar 7. Produktivitas Beras Sumatera Utara (1991-2005)

Dari Gambar 8 diatas, tampak bahwa setiap terjadi peningkatan produktivitas beras setiap tahunnya, namun dengan pertumbuhan yang rendah. Karena dapat dilihat dengan pergeseran angka produktivitas yang tidak jauh berbeda per tahunnya.

Berdasarkan kondisi produksi beras dapat dilihat bahwa disepanjang tahun 1991-2005 kondisi perberasan Sumatera Utara mengalami peningkatan jumlah produksi beras, hanya saja angka kenaikan produktivitas beras tersebut kecil setiap tahunnya. Terjadinya musibah kemarau panjang pada semester kedua 1997 kemudian disambung dengan krisis moneter yang berlanjut dengan krisis ekonomi sosial dan politik yang semakin menekan pertumbuhan produksi beras.

Meski dapat dapat diusahakan peningkatan produksi beras pada tahun 1999 dan 2000 namun tidak dapat bertahan karena kemudian produksi beras


(62)

kembali merosot di tahun selanjutnya yakni 2001 hingga 2002. Hal ini disebabkan karena pengaruh El Nino yang kemudian diikuti La Nina, semakin berkurangnya luas panen beras sejak tahun 2001 (lihat lampiran 6), serta naiknya harga-harga input produksi dan tertekannya harga beras produksi sejak tahun 1998.

(Husodo, 2004)

Sedangkan untuk kondisi produksi Jagung di Sumatera Utara (1991-2005) dapat diperhatikan melalui tabel berikut ini.

Tabel 7. Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Produksi Jagung (Ton)

1991 222.162

1992 262.412

1993 271.298

1994 311.916

1995 371.578

1996 398.708

1997 459.714

1998 509.809

1999 619.667

2000 666.764

2001 634.162

2002 640.593

2003 687.360

2004 712.558

2005 735.456

Total 7.504.157

Rataan 500.277,133

Sumber : Lampiran 5

Dari Tabel 7 terlihat bahwa di sepanjang tahun 1991-2005,jumlah Produksi jagung terbesar di Sumatera Utara terjadi pada tahun 2005 sebesar 735.456 Ton. Sedangkan Produksi Jagung terkecil terjadi pada tahun 1991 sebesar 222.162 Ton. Dimana, Total Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005) adalah


(63)

sebesar 7.504.157 Ton dengan Rataan Total Produksi Jagung yakni 500.277,133 Ton per tahunnya.

Kemudian dapat dilihat pula grafik kondisi produksi jagung Sumatera Utara (1991-2005) dari gambar berikut ini.

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Produksi Jagung (Ton)

Gambar 8. Produksi Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Pada Gambar 8 diatas, tampak bahwa produksi Jagung di Sumatera Utara (1991-2005) terus meningkat dengan pesat, meskipun sempat terjadi penurunan produksi mulai tahun 2000, namun meningkat lagi dari tahun 2003 hingga mencapai puncak produksi tertinggi di tahun 2005.


(64)

Besarnya produktivitas jagung Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 8. Produktivitas Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Tahun Produktivitas Jagung (Kw/Ha)

1991 23,69

1992 22,63

1993 22,23

1994 22,13

1995 22,49

1996 22,91

1997 23,19

1998 27,81

1999 31,08

2000 30,05

2001 31,91

2002 32,24

2003 32,61

2004 33,16

2005 33,65

Total 28,25

Rataan 27,45

Sumber : Lampiran 8

Dari Tabel 8 diatas, produktivitas jagung Sumatera Utara disepanjang tahun 1991-2005 untuk yang tertinggi terjadi pada tahun 2005 yakni sebesar 33,65 Kw/Ha. Sedangkan produktivitas jagung yang terendah terjadi pada tahun 1994 yakni sebesar 22,13 Kw/Ha. Total produktivitas jagung disepanjang tahun (1991-2005) adalah sebesar 28,25 Kw/Ha dan Rataan produktivitas sebesar 27,45Kw/Ha per tahun.


(65)

Kondisi produktivitas jagung Sumatera Utara (1991-2005) dapat dilihat pada gambar berikut.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00

1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Produktivitas Jagung (Kw/Ha)

Gambar 9. Produktivitas Jagung Sumatera Utara (1991-2005)

Dari Gambar 9 diatas, tampak bahwa sempat terjadi penurunan produktivitas jagung dari tahun 1992-1994, namun bukan merupakan perubahan yang signifikan. Kemudian produktivitas jagung kembali meningkat sejak tahun 1995, walau sempat terjadi penururnan produktivitas di tahun 2000 namun dapat tetap meningkat kembali hingga tahun-tahun selanjutnya.

Berdasarkan kondisi produksi jagung (1991-2005) diatas, produksi dan produktivitas jagung di Sumatera Utara cenderung terus meningkat. Dengan meningkatnya produksi jagung tersebut, ketersediaan atau surplus pangan di Sumatera Utara akan semakin besar, dan akan membantu stok pangan secara nasional. Namun, impor jagung Indonesia sejak 1998 terus meningkat seiring dengan tumbuh dan berkembangnya kebutuhan jagung untuk konsumsi maupun bahan baku industri domestik. Ini akibat potensi yang ada belum tergarap secara


(1)

Sehingga,

Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Beras (2010-2020)

Tahun X Produksi (Ton) Konsumsi (Ton)

( Y1 = 2026954 + 27862,056X ) ( Y2 = 1415333 + 3499,630X )

2010 12 2361298,672 1457328,236

2011 13 2389160,728 1460827,839

2012 14 2417022,784 1464327,442

2013 15 2444884,840 1467827,045

2014 16 2472746,896 1471326,648

2015 17 2500608,952 1474826,251

2016 18 2528471,008 1478325,854

2017 19 2556333,064 1481825,457

2018 20 2584195,120 1485325,060

2019 21 2612057,176 1488824,663

2020 22 2639919,232 1492324,266


(2)

Lampiran 10. Peramalan Produksi dan Konsumsi Jagung Sumatera Utara (2010-2020)

Tahun Notasi Tahun(X) Produksi Jagung (Ton)(Y1) Konsumsi Jagung (Ton)(Y2)

1991 -7 222162 4286,421

1992 -6 262412 4380,932

1993 -5 271298 3244,020

1994 -4 311916 3294,330

1995 -3 371578 3343,590

1996 -2 398708 41833,310

1997 -1 459714 42070,678

1998 0 509809 42784,924

1999 1 619667 2391,080

2000 2 666764 2302,794

2001 3 634162 2344,509

2002 4 640593 3554,122

2003 5 687360 3567,119

2004 6 712558 3637,008

2005 7 735456 7396,006

Produksi Jagung

Regression

Variables Entered/Removedb

Tahuna . Enter

Model 1

Variables

Entered VariablesRemoved Method All requested variables entered.

a.

Dependent Variable: Produksi Jagung b.


(3)

Model Summary

,979a ,958 ,955 38817.9206 ,958 295,869 1 13 ,000

Model

1 R R Square

Adjusted

R Square the EstimateStd. Error of R SquareChange F Change df1 df2 Sig. F Change Change Statistics

Predictors: (Constant), Tahun a.

ANOVA b

4.5E+011 1 4.458E+011 295,869 ,000 a

2.0E+010 13 1506830961

4.7E+011 14

Regression Residual Total Model

1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Tahun a.

Dependent Variable: Produksi Jagung b.

Coefficients a

500277.1 10022,744 49,914 ,000

39902,746 2319,814 ,979 17,201 ,000

(Constant) Tahun Model

1 B Std. Error

Unstandardized Coefficients

Beta Standardized

Coefficients


(4)

Konsumsi Jagung

Regression

Variables Entered/Removedb

Tahuna . Enter

Model 1

Variables

Entered VariablesRemoved Method All requested variables entered.

a.

Dependent Variable: Konsumsi Jagung b.

Model Summary

,101a ,010 -,066 16541.3221 ,010 ,135 1 13 ,719

Model

1 R R Square

Adjusted

R Square the EstimateStd. Error of R SquareChange F Change df1 df2 Sig. F Change Change Statistics

Predictors: (Constant), Tahun a.


(5)

ANOVAb

36996773 1 36996773.17 ,135 ,719a

3.6E+009 13 273615338.0

3.6E+009 14

Regression Residual Total Model

1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Tahun a.

Dependent Variable: Konsumsi Jagung b.

Coefficientsa

11362,056 4270,951 2,660 ,020

-363,499 988,533 -,101 -,368 ,719

(Constant) Tahun Model

1 B Std. Error

Unstandardized Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig.

Dependent Variable: Konsumsi Jagung a.


(6)

102

Sehingga,

Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Jagung (2010-2020)

Tahun X ( Y1 = 500277,1 + 39902,746X )Produksi (Ton) ( Y2 = 11362,056 - 363,499X )Konsumsi (Ton)

2010 12 979110,052 7000,068

2011 13 1019012,798 6636,569

2012 14 1058915,544 6273,070

2013 15 1098818,290 5909,571

2014 16 1138721,036 5546,072

2015 17 1178623,782 5182,573

2016 18 1218526,528 4819,074

2017 19 1258429,274 4455,575

2018 20 1298332,020 4092,076

2019 21 1338234,766 3728,577

2020 22 1378137,512 3365,078