II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi
karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air menjadi landasan utama manusia untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan.
Janin dalam kandungan, bayi, balita, anak, remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan makanan yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan
hidup, tumbuh dan berkembang, serta mencapai prestasi kerja. Karsin, 2004
Pangan telah dikelompokkan menurut berbagai cara yang berbeda dan berikut merupakan salah satu cara pengelompokannya, yakni ;
1 Padi-padian 2 Akar-akaran, umbi-umbian dan pangan berpati
3 Kacang-kacangan dan biji-bijian berminyak 4 Sayur-sayuran
5 Buah-buahan 6 Pangan hewani
7 Lemak dan minyak 8 Gula dan sirop
Harper, et.al, 1986 Jumlah macam makanan dan jenis serta banyaknya bahan pangan dalam
pola makanan di suatu negara atau daerah tertentu, biasanya berkembang dari
Universitas Sumatera Utara
pangan setempat atau dari pangan yang telah di tanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang. Di samping itu kelangkaan pangan dan kebiasaan
bekerja dari keluarga, berpengaruh pula terhadap pola makanan. Harper, et.al, 1986
Selama ini, jika kita berbicara mengenai pangan maka pasti selalu tentang beras. Itu berarti tidak lain hanya sekitar produksi padi. Makan seperti tidak
ada artinya kalau tidak menghadap nasi tanakan beras padi. Karena itu tidak mengherankan kalau ukuran ketahanan pangan pihak pemerintah adalah
produksi padi dan stok nasional gabah atau beras seperti saat ini yang ada di gudang BULOG. Begitulah agropolitik pegangan pemerintah, dari zaman
kolonial Belanda sampai sekarang pun tidak berubah. Padahal faktor-faktor objektif seperti jumlah penduduk, luas lahan sawah, telah banyak berubah.
Sadjad, 2007 Pangan dikenal sebagai pangan pokok jika dimakan secara teratur oleh
suatu kelompok penduduk dalam jumlah cukup besar untuk menyediakan bagian terbesar dari konsumen energi total yang dihasilkan oleh makanan.
Harper, et.al, 1986 Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih
dikonsumsi oleh sekitar 90 penduduk Indonesia dan menyumbang lebih dari 50 kebutuhan kalori serta hampir 50 kebutuhan protein.
Dari sisi produksi, supply beras dalam negeri bersifat musiman, tidak merata sepanjang tahun. Umumnya sekitar 60 produksi terjadi pada bulan
Januari-Mei, 30 terjadi pada bulan Juni-Agustus dan sisanya 10 pada bulan September-Desember. Produksi beras nasional sebagian besar masih berasal dari
Universitas Sumatera Utara
Pulau Jawa sekitar 57 . Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa lahan pertanian di Jawa semakin terbatas akibat adanya kompetisi untuk
penggunaan sektor lainnya industri, real estate dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan padi di luar Pulau Jawa perlu dipacu agar
swasembada panganberas tetap dapat dipertahankan. Amang, 1995a Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan
laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai
salah satu penyebab utama melandainya pertumbuhan produksi padi. Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor
pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja pertanian. Padahal, akibat pembangunan sektor nonpertanian yang relatif
intensif dalam penggunaan kapital, sektor pertanian dituntut untuk menyediakan lapangan kerja guna mengantisipasi pertumbuhan angkatan kerja. Konversi lahan
pertanian terutama lahan sawah juga sangat merugikan ketahanan pangan karena sekitar 55 konsumsi kalori dan 45 konsumsi protein rumah tangga berasal
dari beras, sementara sekitar 90 produksi beras nasional dihasilkan dari lahan sawah. Struktur konsumsi pangan dan pola produksi beras seperti ini
menyebabkan kecukupan konsumsi kalori dan protein akan sangat dipengaruhi oleh produksi beras dari lahan sawah. Dalam kaitan inilah konversi lahan sawah
akan sangat berpotensi untuk menimbulkan dampak buruk terhadap ketahanan pangan.
Dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, posisi Indonesia dalam pangan global sangat unik. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk
Universitas Sumatera Utara
nomor empat terbesar setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Akan tetapi, jika di perhatikan struktur pangan masyarakat, komposisi pangan penduduk Indonesia
relatif tidak beragam dan sangat di dominasi oleh beras. Sedangkan gandum komposisinya relatif kecil dibanding beras, dan tidak diproduksi dalam negeri.
Hal ini berbeda dengan Cina dan India yang juga mengkonsumsi dan memproduksi gandum selain beras dalam jumlah yang relatif berimbang.
Di satu sisi, keadaan di atas memberi pengaruh positif bagi pengembangan produksi beras yang memperoleh prioritas penting dalam pembangunan pangan.
Hasilnya memang sangat menggembirakan. Namun, pola konsumsi ini memiliki kelemahan karena rawan apabila terjadi gangguan pada produksi beras domestik.
Lebih lagi bila dikaitkan dengan sifat pasar beras internasional yang ramping harga berasnya. Amang dan Sawit, 1999
Sebenarnya kita bisa memakan setiap jenis pangan yang ada, bukanlah harus selalu memakan nasi. Skenario mikro demikian, seharusnya bisa
dimakrokan sebagai kebijakan pangan yang tidak beras sentris . Kita harus menjadikan isu agropolitik yang kuat, bahwa ketahanan pangan negara ini tidak
harus difokuskan pada beras padi. Ideologi pluralisme bukan hanya dalam etnik atau religi, tapi juga dalam budaya pangan kita. Bukan hanya bersifat plural dalam
fisik apa yang dimakan, tapi juga dalam cara dan bentuk yang dimakan. Semua itu menjadi isu dalam agropolitik, sehingga ketahanan pangan harus bisa dijabarkan
aplikasinya dalam arahan kebijakan bagaimana mengelola bidang pertanian. Jagung termasuk salah satu bahan makanan pokok masyarakat Indonesia
yang kurang begitu diminati. Padahal secara kandungan gizi, jagung memiliki komposisi zat-zat makanan yang lebih komplet daripada beras. Di dalam
Universitas Sumatera Utara
jagung terkandung kalori sebesar 355 mg; 9,2 mg protein; 3,9 mg lemak; 10 mg kalsium; 256 mg fosfor ; dan 4,4 mg besi. Sedangkan beras mengandung kalori
sebesar 360 mg; 6,8 mg protein; 0,7 mg lemak; 6 mg kalsium; 140 mg fosfor; dan 0,8 mg besi.
Jagung juga merupakan bahan pangan yang cukup berkhasiat antara lain sebagai pembangun otot dan tulang, baik untuk otak dan sistem syaraf,
mencegah konstipasi, menurunkan risiko kanker dan jantung, mencegah gigi berlubang, serta minyaknya dapat menurunkan kolesterol darah.
Namun, selama ini hal tersebut masih jarang diketahui oleh sebahagian besar masyarakat, sehingga jagung masih dianggap sebagai menu sampingan.
Arohman, 2007 Jagung bisa digunakan sebagai makanan pengganti nasi dan bukan hanya
makanan kampung yang cara penyajiannya hanya di rebus dan dibakar saja tapi jagung bisa dibuat beraneka macam makanan seperti: Cake jagung, nasi jagung,
puding, talam, dll. Nasi jagung sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu nasi jagung dan nasi glepungan. Keduanya sama-sama nasi yang dicampur dengan jagung,
yang membedakan hanya bentuk jagung yang dicampurkan. Nasi jagung adalah nasi yang campuran jagungnya ditumbuk kasar, sedangkan nasi glepungan
adalah nasi yang dicampur dengan jagung tumbukan halus. Nikita, 2007 Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 tentang Pangan, pengertian
ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman,
merata, dan terjangkau. Dengan pengertian tersebut, wujud dari ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut : Pertama, terpenuhinya pangan dengan
Universitas Sumatera Utara
kondisi ketersediaan yang cukup, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
Kemudian yang kedua adalah terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta sesuai dengan kaidah agama. Ketiga, terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata,
diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh Tanah Air. Keempat, terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau; diartikan pangan
mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem ekonomi pangan yang
terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya
ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga subsistem tersebut. 1. Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta
keseimbangan antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa, sehingga walaupun produksi pangan bersifat
musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil penyediannya dari
waktu ke waktu. 2. Subsistem distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas secara fisik dan
ekonomi atas pangan secara merata. Sistem distribusi bukan semata-mata mencakup aspek fisik dalam arti pangan yang tersedia di semua lokasi yang
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan, tetapi juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang tercermin dari harga dan daya beli masyarakat. Surplus pangan di tingkat
wilayah belum menjamin kecukupan pangan bagi individu masyarakatnya. Sistem distribusi ini perlu dikelola secara optimal dan tidak bertentangan
dengan mekanisme pasar global, agar tercapai efisiensi dalam proses pemerataan akses pangan bagi seluruh penduduk.
3. Subsistem konsumsi menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan
kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya memperhatikan asupan zat pangan dan gizi yang
cukup dan berimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, cerdas dan produkti. Dalam subsistem konsumsi terdapat aspek
penting lain yaitu aspek diversifikasi. Diversifikasi pangan merupakan suatu cara untuk memperoleh keragaman konsumsi zat gizi, sekaligus melepaskan
ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras. Ketergantungan yang tinggi tersebut dapat memicu instabilitas manakala
pasokannya terganggu. Sebaliknya agar masyarakat menyukai pangan alternatif perlu ditingkatkan cita rasa, penampilan dan kepraktisan
pengolahnnya agar dapat bersaing dengan produk yang telah ada. Dalam kaitan ini teknologi pengolahan sangat penting.
Ditinjau dari sistem kelembagaan pangan, terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu sistem yang terdiri dari subsistem
rumahtangga, subsistem lingkungan masyarakat dan subsistem pemerintah. Subsistem rumahtangga mencakup pengaturan pola konsumsi, pola pengadaan,
Universitas Sumatera Utara
pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat mencakup pengaturan produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem pemerintah mencakup kebijakan,
fasilitasi dan pengamanan. Subsistem rumahtangga mengatur pola konsumsi secara sadar, hemat,
efisien dan bertanggungjawab, yaitu mampu menyesuaikan diri dengan sumber pangan yang paling efisien dihasilkan atau disediakan oleh lingkungan sekitar,
mampu memproduksi seluruhnya atau sebagian kebutuhannya, mampu menjaga keanekaragaman, mendapatkan gizi dan nutrisi yang seimbang, mampu menekan
keborosan pangan, mampu memiliki dan mengelola cadangan pangan. Subsistem lingkungan masyarakat mengatur sistem produksi yang efisien,
membangun industri pangan, menata dan membangun jaringan distribusi serta bersama-sama menjaga dan mengembangkan pasar yang berkeadilan, memelihara
cadangan pangan bersama, menumbuhkan sikap social yang tinggi untuk bekerjasama, memiliki budaya konsumsi yang hemat dan efisien.
Subsistem Pemerintah membuat dan menetapkan kebijakan-kebijakan yang mampu mendukung kreatifitas dan swadaya masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan pangannya, mengatur dan menyediakan fasilitas untuk produksi dan distribusi, menjamin keamanan pangan serta mengamankan masyarakat dari
persaingan tidak adil. Ketahanan pangan terwujud apabila seluruh penduduk mempunyai akses
fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhannya, agar dapat menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari
ke hari. Penghayatan masyarakat Indonesia atas pentingnya pemantapan ketahanan pangan bagi pembangunan bangsa telah muncul sejak Proklamasi
Universitas Sumatera Utara
Kemerdekaan Indonesia. Penghayatan ini dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berintikan amanat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,
dimana kecukupan pangan menjadi salah satu pilar utamanya. Kecukupan pangan manusia dapat didefenisikan secara sederhana sebagai
kebutuhan harian yang paling sedikit memenuhi kebutuhan gizi, yaitu sumber kalori atau energi yang dapat berasal dari semua bahan pangan tetapi biasanya
sebagian besar diperoleh dari karbohidrat dan lemak; sumber protein untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan; dan sumber vitamin serta
mineral. Tetapi perlu diketahui juga bahwa manusia dan juga semua binatang dipengaruhi oleh rangsangan indra dari bahan pangan yaitu nilai hedonik dari
bahan tersebut. Dimana bahan pangan berlimpah dan banyak pilihan, manusia akan makan; pertama karena kelezatan dan kedua adalah untuk keperluan gizi.
Buckle, et.al, 1985 Kondisi akhir-akhir ini, telah menyadarkan kita semua bahwa ketahanan
pangan yang bergantung pada satu komoditi seperti beras, mengandung resiko bahwa ketahanan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya,
disamping perlu meningkatkan cadangan pangan masyarakat, kita juga perlu mencari dan mengembangkan sumber pangan karbohidrat protein non-beras yang
banyak tersebar di setiap daerah. Hal ini penting, karena potensinya ada dan mudah pengembangannya. Suryana, 2003
Apabila ketahanan pangan dieratkan hubungannya dengan pertanian yang berkelanjutan, maka tidak lagi bisa sesederhana hanya dengan produksi padi yang
dikelola dalam lahan pesawahan saja. Tidak seharusnya seluruh rakyat diarahkan untuk makan nasi. Visi demikian harus diubah dan dicerminkan lebih lanjut dalam
Universitas Sumatera Utara
agropolitiknya pemerintah. Sudah tidak serasi lagi kalau pandangan feodalistik dan kolonialistik masih menjadi idola yang pemakan nasi memiliki status sosial
lebih tinggi. Sosialisasi yang meluas perlu dilakukan sehingga terjadilah disseminasi bahwa makan dengan sadar gizi lebih penting dalam menciptakan
ketahanan pangan nasional. Sadjad, 2007 Pola keberagaman bahan baku pangan sumber karbohidrat akan
berimplikasi pada keharusan membuat pemetaan wilayah potensial untuk masing- masing bahan tersebut, berapa produksinya dan berapa besar konsumennya.
Semua bahan baku pangan sumber karbohidrat sama tinggi nilai psikologis maupun fisiologisnya. Untuk masing-masing bahan baku pangan sumber
karbohidrat harus dapat dijabarkan sampai pada taraf potensi keragaman bentuk siap saji dimakan. Keberagaman vertikal demikian perlu secara intensif
didisseminasikan ke masyarakat luas. Sudah semestinya dilakukan perbaikan kualitasnya, baik fisik, rasa, maupun nilai gizinya. Dengan bervariasinya bahan
baku pangan sumber karbohidrat secara vertikal maka keberagaman horizontal yang diwujudkan dalam proses selanjutnya menjadi bentuk siap saji dimakan
dipermudah apabila bahan baku pangan sumber karbohidrat itu berbentuk tepung, bukan berbentuk butiran seperti beras. Secara konkrit hal ini telah dibuktikan
dengan wujud tepung terigu dari gandum yang bisa diolah menjadi beragam bentuk siap saji dimakan seperti mie, roti, pizza dan sebagainya. Bahan baku
pangan sumber karbohidrat seperti sagu, ubi, umbi-umbian, buah, biji-bijian, semua memungkinkan untuk ditepungkan. Kemudian pengembangan bahan
pangan yang beragam vertikal maupun horizontal seharusnya menjadi isu
Universitas Sumatera Utara
agropolitik yang dominan untuk menunjang program ketahanan pangan berbudaya tepung. Sadjad, 2007
Kebijakan pangan mendatang tidak saja harus mampu mengatasi berbagai kendala yang dapat memperlemah ketahanan pangan, akan tetapi harus juga
berpijak pada tujuan jangka panjang. Untuk menuju ke tingkat ketahanan pangan yang berkelanjutan adalah amat bergantung pada kemampuan kita untuk
mengelola potensi pangan kita secara lestari. Apabila kendala-kendala itu tidak dapat diatasi dengan baik maka negara akan menanggung beban ekonomi dan
politik yang besar. Sasaran jangka panjang kita adalah swasembada pangan dan lalu menjadi pengekspor pangan untuk negara-negara lain.
Peluang pengembangan pangan alternative melalui penganekaragaman pangan non beras terbuka lebar , mengingat potensi sumberdaya alam berupa
lahan yang kita miliki masih cukup luas dan belum diolah dan belum didayagunakan secara optimal, disamping masyarakat sudah mengenal berbagai
alternative pangan yang ada. Husodo, 2004
2.2. Landasan Teori