melengkapi data pustaka, juga dilakukan analisis terhadap beberapa Putusan Pengadilan dalam memutus terhadap praktek tindak pidana illegal fishing. Dengan
kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain
berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis. Sebagai data pendukung dilakukan wawancara
dengan beberapa informan antara lain: 1. Penyidik Polri pada Direktorat Polisi Perairan dan KP3 Belawan
2. Instansi Terkait
3. Pelaku Usaha di bidang perikanan
4. Analisa Data
Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-
pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana illegal fishing serta perangkat hukum yang telah tersedia, kemudian membuat sistematikan
dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara
kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi
dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan jawaban terhadap permasalahan yang dikemukakan diharapkan akan
memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KARAKTERISTIK TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING BERDASARKAN
MODUS OPERANDI PELAKU DI WILAYAH PERAIRAN A.
Pengaturan Wilayah Perairan Indonesia berkaitan dengan Praktek Illegal Fishing
Pengaturan menyangkut illegal fishing terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu pengaturan di bidang illegal fishing adalah di bidang
pelayaran dan kelautan. Dekrit Juanda yang dinyatakan melalui Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957 merupakan konsep kewilayahan perairan Indonesia,
yang menjadikan wilayah daratan dan wilayah perairan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Yang melatar belakangi dikeluarkannya
Pengumuman Pemerintah ini salah satu diantaranya, yaitu atas dasar pertimbangan bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari pemerintahan kolonial
jaman Hindia Belanda yang termaktub dalam “Teritorial Zee En Martieme Kringen Ordonantie 1939” tidak sesuai lagi dengan kepentingan, keselamatan dan keamanan
Negara Republik Indonesia.
57
Pasal 1 ayat 1 Ordonantie 1939 tersebut menyatakan bahwa laut teritorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis pangkal air rendah “laag waterlijn”
dari pada pulau-pulau dan yang merupakan bagian dari wilayah daratan Indonesia. Konsekwensi dari cara pengukuran laut yang demikian itu, secara teoritis Indonesia
yang terdiri dari beribu-ribu pulau, setiap pulaunya mempunyai laut teritorial sendiri- sendiri.
57
Rosmi Hasibuan, Penegakan Hukum Di Bidang Pelayaran Bagi Kapal Asing Di Perairan Indonesia Suatu Studi Melalui Perairan Belawan Lantamal-I Sumatera Utara, USU Librery, hlm. 14
Universitas Sumatera Utara
Hal ini tentunya akan menyulitkan pelaksanaan tugas pengawasan laut dengan sempurna, karena susunan daerah atau pulau-pulau yang harus diawasi demikian
sulitnya. Kantong-kantong laut lepas di tengah-tengah di antara pulau-pulau atau di antara wilayah daratan Indonesia tunduk pada rejim hukum laut lepas yang bebas
dilayari oleh kapal-kapal semua negara. Dikeluarkannya PP 13 Desember 1957 tersebut, cara mengukur laut teritorial
Indonesia diukur dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar, cara pengukuran yang demikian ini laut lepas sudah tidak ada lagi di antara pulau-pulau karena telah
menjadi perairan nusantara kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, pengumuman Pemerintah ini mempunyai akibat hukum yang penting bagi pelayaran internasional,
sebab bagian laut lepas yang tadinya bebas dilayari untuk pelayaran internasional dijadikan bagian laut wilayah laut teritorial dan perairan nusantara yang berada di
bawah kekuasaan hukum Indonesia.
58
Posisi geografis Indonesia yang merupakan persilangan antara dua garis yang menghubungkan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik serta terletak di antara dua
benua, yaitu benua Asia dan Australia, kehadiran kenderaan di atas air kapal asing dalam rangka memperpendek jarak pelayarannya merupakan suatu hal yang tidak
terhindari. Karena itu dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional, maka sebagai masyarakat internasional yang menginginkan persahabatan antar bangsa di
dunia ini, tidak begitu saja meniadakan kebebasan berlayar di perairan Indonesia. PP 13 Desember 1957 kemudian ditingkatkan menjadi Undang-undang pada tanggal 18
Pebruari 1960, yaitu UU No. 4Prp1960 tentang perairan Indonesia. Pada Pasal UU
58
Ibid
Universitas Sumatera Utara
tersebut menyatakan, bahwa jalur laut wilayah Indonesia selebar 12 mil dihitung dari garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau- pulau terluar
Pasal 1 UU. Hak lintas damai kenderaan air asing kapal melalui perairan nusantara aechipelagic waters dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara dan
mengganggu keamanan.
59
Indonesia merupakan negara kepulauan archipelago state terbesar di dunia yang terdiri atas 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut
sekitar 3,1 juta km2 0,8 juta km2 perairan territorial, dan 2,3 juta km2 perairan Nusantara atau 62 dari luas teritorialnya Tabel 1. Berdasarkan UNCLOS United
Nation Convention On Law of the Sea 1982, Indonesia diberi kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif ZEE seluas 2,7 juta km2 yang menyangkut
eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati, penelitian dan yurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan. Secara administratif wilayah
pesisir menempati 60 dari sekitar 300 kabupaten di seluruh Indonesia.
60
Wilayah pesisir dan lautan merupakan wilayah yang memiliki arti penting secara ekonomi dan politik bagi kehidupan masyarakat di Indonesia sejak dahulu.
Sumberdaya di wilayah ini merupakan penopang hidup bagi masyarakat yang hidup di wilayah pesisir untuk memperoleh makanan, kayu bakar, bangunan, dan fungsi
lainnya.
59
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4Prp1960 tentang perairan Indonesia
60
Sekolah Pasca Sarjana IPB, Strategi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan, Makalah Kelompok 7 Semenster Ganjil 2004 Falsafah Sains PPS-702 Program Pasca Sarjana S3,
November 2004, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Perkiraan luasan wilayah pesisir dan perairan Indonesia WilayahGaris
LuasPanjang Keterangan
Teritorial Total Indonesia 5,0 juta km2
Teritorial Perairan 3,1 juta km2
62 dari total teritori Indonesia
Teritorial Daratan 1,9 juta km2
Perairan tertutup 2,7 juta km2
87 dari total laut Perairan terbuka
0,3 juta km2 13 dari total laut
Perairan paparan benua 1,5 juta km2
47 dari total laut Perkiraan garis pantai
80.791 – 81.000 km Sumber: Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan, 1996 Sumberdaya perairan dan kelautan tersebut ada yang dapat diperbaharui
renewable resources dan ada yang tidak dapat diperbaharui non-renewable resources. Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan tangkap,
perikanan budidaya, perikanan payau, budidaya laut, mangrove, energi gelombang , pasang surut, angin, dan industri bioteknologi kelautan maupun industri pengolahan
hasil laut. Sementara itu sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui adalah seperti minyak, gas bumi, berbagai jenis mineral dan bahan tambang dan mineral lainnya,
energi kelautan gelombang, pasang surut dan angin. Disamping kedua sumberdaya tersebut, masih terdapat berbagai macam jasa-jasa lingkungan media transportasi,
pengatur iklim, keindahan alam serta penyerapan limbah. Berikut dibahas beberapa sumberdaya pesisir dan lautan dari sisi potensi dan perannya dalam pembangunan
nasional.
61
Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tanpa memperhatikan kedalaman atau
jaraknya dari pantai. Panjang garis pangkal lurus yang dimaksudkan tidak boleh
61
Ibid, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
melebihi 100 seratus mil laut kecuali, 3 dari jumlah keseluruhan garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia hingga suatu kepanjangan maksimum 125
meter sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 UU tentang Perairan, bahwa kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai dapat menikmati hak lintas damai di
perairan kepulauan. Dalam melakukan lintas damai di perairan kepulauan, yaitu melalui alur- alur laut yang khusus ditetapkan untuk pelaksanaan hak pelayaran dan
penerbangan di atasnya.
62
Negara Indonesia merupakan Negara Kepulauan Archipelago State dengan jumlah pulau sebanyek 17.508 pulau dengan panjang pantai 81.000 Km2 yang terdiri
dari 0,3 juta km2 5,17 . Laut teritorial, 2,8 juta km2 48,28 perairan kepulauan, serta 2,7 jura km2 46,55 Zona Ekonomi Eksklusif, sehingga
menempatkan Indonesia pada posisi strategis dan memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar.
63
Dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan Kelautan dan Perikanan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yakni :
1. Undang-undang No 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan
2. Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Pertambangan; 3.
Undang-undang No. 8 Tahun 1971 tentang Pertamina; 4.
Undang-undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia; 5.
Undang-undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara; 6.
Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif ZEE Indonesia;
7. Undang-undang No. 5 Tahun 1985 tentang Perindustrian;
8. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya; 9.
Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;
62
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 4Prp1960 tentang perairan Indonesia
63
Aji Sularso, Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP,
http:www.google.co.id , diakses tanggal 18 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
10. Undang-undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran;
11. Undang-undang No. 5 Tahun 1994 tentang Konvensi PBB Mengenai
Keanekaragaman Hayati; 12.
Undang-undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia; 13.
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Revisi UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
14. Undang-undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Pulau-Pulau Kecil 15.
PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
16. PP Nomor 15 Tahun 1990 Tentang Usaha Perikanan dan PP Nomor 46 tahun
1993 Tentang Perubahan Atas PP 15 Tahun 1990 dan PP Nomor 141 tahun 2000 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tentang Usaha
Perikanan.
17. PP N0. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran danatau Perusakan
Laut 18.
PP No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan 19.
Keppres 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Pengunaan Pukat Harimau Trawl. 20.
Kep. Menteri Pertanian No. 01KptsUm11975 tentang Pembinaan Kelestarian Kekayaan Yang Terdapat Dalam Sumber Perikanan Indonesia
21. Kep. Menteri Pertanian Nomor 473aKPtsIK.25061985: tentang Jumlah
Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. 22.
Kep. Menteri Pertanian Nomor 475KptsIK.12071985 tentang Perizinan bagi orang atau Badan Hukum Asing untuk Menangkap Ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia
23. Kep. Menteri Pertanian Nomor 476KptsIK.1201985 tentang Penetapan Tempat
Melapor bagi Kapal Perikanan yang mendapat Izin Menangkap Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
24. Kep. Menteri Pertanian Nomor 477KptsIK.120.71988 tentang Perubahan
Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan bagi orang atau Badan Hukum Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Selanjutnya peraturan pelayaran telah disahkan yakni UU No 17 Tahun 2008 yang mengatur secara khusus tentang Pelayaran.
64
Definisinya sangat tegas teruraikan
64
Menurut Pasal 5 PP No 2 Tahun 1969 tentang Penyelenggaraan Dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pelayaran terdiri atas : 1 Pelayaran dalam negeri yang meliputi : a Pelayaran
Nusantara, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang ditempuh satu dan lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b Pelayaran
Lokal, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengankutan antar pelabuhan Indonesia yang ditujukan untuk menunjang kegiatan pelayaran luar negeri dengan mempergunakan kapal-kapal yang berukuran
500 m3 isi kotor ke bawah atau sama dengan 175 BRT ke bawah; c Pelayaran Rakyat, yaitu pelayaran Nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layer; d Pelayaran Pedalaman, terusan
dan sungai, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan di perairan pedalaman, terusan dan
Universitas Sumatera Utara
di Pasal 1 satu bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta
perlindungan lingkungan maritim. Fokus peraturan ini pada pengangkutan di perairan termasuk pula pelabuhan, adapun jenis angkutan di perairan terdiri atas: a angkutan
laut; b angkutan sungai dan danau; dan c. angkutan penyeberangan.
65
Namun ketentuan pidana dalam peraturan ini hanya berlaku bagi pidana yang berkaitan
dengan perniagaan, perizinan dan pengangkutan. Indonesia merupakan terdiri dari kawasan maritim termasuk didalamnya
yakni zona ekonomi ekslusif ZEE. Menurut UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia menegaskan batasnya yakni 200 mil dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia namun apabila bersinggungan dengan ZEE dari Negara lain maka harus ada persetujuan atau kesepakatan antara Indonesia dengan Negara tersebut3. Hal ini
menjadi sangat penting karena Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh perairan serta perbatasan yang sangat tipis dengan
negara lain sehingga perairan berpotensi digunakan sebagai jalur melakukan kegiatan illegal. Misalkan kegiatan illegal loging, illegal fishing dan illegal migration. Namun
dalam praktek pertanggungjawaban pidana pihak yang paling bertanggungjawab
sungai; e Pelayaran Penundaan Laut, yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkangtongkang yang ditarik oleh kapal-kapal tunda. 2 Pelayaran luar negeri, yang meliputi : a
Pelayaran Samudera Dekat, yaitu pelayaran ke pelabuhanpelabuhan negara tetangga yang tidak melebihi jarak 3.000mil laut dari pelabuhan terluar Indonesia, tanpa memandang jurusan; b
Pelayaran Samudera, yaitu pelayaran kedan dari luar negeri yang bukan merupakan pelayaran samudera dekat. 3 Pelayaran khusus, yaitu pelayaran dalam dan luar negeri dengan menggunakan
kapal-kapal pengangkut khusus untuk pengangkutan hasil industri, pertambangan dan hasil-hasil usaha lainnya yang bersifat khusus, seperti minyak bumi, batu bara, biji besi, biji nikkel, timah bauxiet, logs
dan barang-barang bulk lainnya. Dalam PP ini hanya mengatur regulasi untuk Kapal Niaga yang berperan dalam jasa angkutan
65
Lihat Pasal 6 UU No 17 Tahun 2008
Universitas Sumatera Utara
terhadap penyelewengan jasa angkutan ini adalah nahkoda dan awak kabin kapal, kemudian pemilik kapal tidak diminta pertanggungjawaban pidana.
B. Dampak Pencurian Ikan terhadap Ekosistem Kelautan
Indonesia mempunyai potensi kekayaan laut sangat besar yang baru dapat dimanfaatkan sebagian kecilnya saja. Potensi ini kemudian dieksploitasi oleh
pengusaha-pengusaha lokal dan asing baik melalui jalur legal maupun jalur illegal. Eksploitasi sumber daya kelautan khususnya perikakan lebih marak saat ini adalah
jalur illegal. Perairan Indonesia dengan sumber daya laut yang kaya raya tidak luput dari illegal fishing yang dilakukan oleh warga negara asing WNA.
66
Potensi perikanan Indonesia secara keseluruhan mencapai 65 juta ton, terdiri 7,3 juta ton pada sektor perikanan tangkap dan 57,7 juta ton pada sektor perikanan
budidaya. Hingga saat ini Indonesia menempati urutan ke-12 sebagai Negara pengekspor produk perikanan di bawah posisi Thailand dan Vietnam. Hal ini
sebagaimana disampaikan dalam laporan DKP sebagai berikut:
67
“Hasil evaluasi selama kurun waktu lima tahun terakhir produksi dari sektor perikanan terutama dari hasil penangkapan ikan mencapai 6,4 juta ton per
tahun pada tahun 2000. Berdasarkan perhitungan dari harga di tingkat produsen maka nilai produksi tersebut mencapai Rp. 18,46 triliun, sedangkan
untuk nilai ekonomi dari benih ikan laut mencapai Rp. 8,07 milyar. Begitu juga berdasarkan produksi pada kegiatan budidaya laut mencapai angka
sebesar 994.962 ton dengan nilai sebesar Rp.1,36 triliun berdasarkan nilai pada tingkat produsen”.
66
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Op.cit, hal. 14
67
Statistik Perikanan Tangkap DKP dalam Sekolah Pasca Sarjana IPB, Op.cit, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
Eksplotasi yang dilakukan mempergunakan sarana yang illegal yaitu dengan bahan peledak dan potasium sianida dalam mengeruk kekayaan ikan. Hal ini
berdampak buruk bagi kesejahteraan nelayan lokal maupun kesinambungan usaha pengusaha legal. Dampak yang diakibatkan penggunaan bahan peledak dan potasium
sianida antara lain:
68
1. Rusaknya terumbuk karang dan gugusan karang serta bibit rumput laut sebagai
tempat bersarangnya ikan, dimana dalam proses terbentuknya membutuhkan waktu ratusan tahun.
2. Matinya ikananak ikan ikan kecil
3. Matinya plankton-plankton, matinya organisme lainnya yang hidup di laut,
matinya tumbuh-tumbuhan laut rumput laut dll, sehingga dampak tersebut telah menghancurkan dan merusak ekosistem laut.
Ekosistem kelautan merupakan sistem pendukung kehidupan manusia life- support system di muka bumi spaceship earth. Ekosistem kelautan sebagai
pendukung kehidupan juga ditentukan oleh beberapa persyaratan, antara lain:
1. Jumlah jenis hayati herbivore phytoplankton atau tanaman hijau yang dapat
menyediakan makanan bagi jenis kehidupan lainnya dalam mata rantai makanan atau food web. Di sini kita bicara tentang proses fotosintesa dengan bantuan zat
hijau chlorophy yang mengubah energi matahari menjadi zat makanan dan oksigen bagi kesegaran jasmani lingkungan yang sehat dan baik.
68
Ibid
Universitas Sumatera Utara
2. Stabilitas ekosistem lingkungan tergantung kepada tingkat kemurnian jalinan
komponen lingkungan stability of ecological system depends on complexity. Ini berarti hilangnya satu jenis spesies saja akan mengurangi tingkat kerumitan
sistem, dan selanjutnya akan mengurangi stabilitas lingkungan alami sehingga planet bumi sebagai ekosistem besar akan terancam pula. Hal ini dapat
digambarkan dengan komputer yang tergantung kepada kerumitan sistem transistor yang diibaratkan dengan species dan ekosistem.
69
Ekosistem perairan pesisir seperti estuaria, hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang mempunyai potensi yang sangat besar untuk menunjang produksi
perikanan.
70
Produktivitas primer rata-rata diperairan pesisir dapat mencapai lebih dari 500 g Cm2tahun. Nilai produktivitas primer ini sangat tinggi dibandingkan
dengan produktivitas primer laut dangkal pada umumnya, yaitu sekitar 100 g Cm2thn atau diperairan laut dalam yang hanya sekitar 50 g Cm2tahun.
71
Ekosistem tersebut diketahui pula memiliki produktivitas sekunder yang cukup tinggi. Potensi sumberdaya alam hayati ekosistem perairan pesisir, berikut
diuraikan potensi ekologis masing-masing ekosistem di wilayah pesisir. Ekosistem hutan mangrove merupakan perpaduan antara dua habitat yaitu teristrial dan akuatik.
Perpaduan ini menjadikan ekosistem hutan mangrove memiliki karakteristik khas, baik ditinjau dari segi fisiografi maupun keragaman biota yang terintegrasi dalam
69
M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Alumni, 2001, hal. 4-5
70
Mann, K.H, Ecology of Coastal Waters: a System Approach, In Anderson, D.J., P. Greic- Smith, and F.A. Pitelka eds. Studies in ecology, vol.8. University of California Press, California,
1982, hal. 14
71
Ryther, J.H, Potential productivity of the Sea, Science 130: 602 – 608, 1959, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
sistem ekologi Mangrove. Interaksi-interaksi tersebut terjadi secara alami berada dalam tatanan yang saling mendukung satu sama lain secara serasi dan seimbang.
Keserasian hubungan antara komponen sistem yang alamiah inilah yang akan membentuk kekhasan suatu wilayah atau ekosistem. Ekosistem alami yang telah
mencapai keseimbangan ini selalu bersifat dinamis dan tingkat kedinamisannya berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya. Ekosistem hutan mangrove
dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Hutan mangrove mempunyai fungsi protektif dan
pendukung ekosistem perairan. Secara fisik hutan mangrove merupakan daerah penyangga yang dapat melindungi pantai dari intrusi, abrasi dan secara spesifik dapat
berperan sebagai penyaring filter terhadap berbagai limbah dari kawasan pantai sekitarnya. Hutan mangrove juga mempunyai produktivitas hayati yang tinggi.
Produktivitas primer hutan mangrove dapat mencapai 5.000 g Cm2tahun.
72
Walaupun produktivitas mangrove tinggi, namun dari total produksi daun tersebut hanya sekitar 5 yang dikonsumsi langsung oleh hewan-hewan terestrial
pemakannya, sedangkan sisanya 95 masuk ke lingkungan perairan sebagai debris dalam bentuk serasah.
73
Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove, menjadikan tempat ini sebagai tempat pemijahan spawning ground, pengasuhan nursery ground, dan
pembesaran atau mencari makan feeding ground dari beberapa ikan atau hewan-
72
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Jakarta: PT. Pramadya Paramita, 1996, hal. 18
73
Dahuri. R, Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. IPB, 2003, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
hewan tertentu, sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan- hewan air, seperti kepiting, moluska, dan invertebrate lainnya, yang hidupnya
menetap di kawasan hutan. Namun, ada pula hewan-hewan air tertentu, seperti udang-udangan dan ikan, yang hidupnya ke luar masuk hutan mangrove bersama arus
pasang-surut. Oleh karena itu hutan mangrove mempunyai “arti” yang sangat penting bagi keberlanjutan perikanan. Terumbu karang sering dijumpai di ekosistem perairan
yang sangat miskin akan unsur hara dan mempunyai produktivitas primer yang rendah, terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat pemijahan spawning
ground, pengasuhan nursery ground, dan pembesaran atau mencari makan feeding ground dari beberapa ikan atau hewan-hewan tertentu.
74
Penanggulangan terhadap dampak pencurian ikan terhadap ekosistem kelautan diarahkan agar terciptanya pembangunan berkelanjutan sustainable develompment
di bidang kelautan melalui kebijakan-kebijakan nasional berkaitan dengan upaya preventif atau pencegahan kerusakan ekosistem kelautan. Prinsip pembangunan
berkelanjutan antara lain:
75
1. Prinsip keadilan antar generasi intergenerational equity. Prinsip ini mengandung
manka bahwa setiap generasi umat manusia di dunia memiliki hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk akibat perbuatan
generasi sekeluarga.
74
Ibid
75
Mas Achmad Santosa dalam Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional, Sebuah Upaya Penyelematan
Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Bandung: Alumni, 2008, h lm. 33-34
Universitas Sumatera Utara
2. Prinsip keadilan dalam satu generasi intragenerational equity. Prinsip ini
berbicara tentang keadilan di dalam sebuah generasi umat manusia dan beban dari permasalahan lingkungan harus dipikul bersama oleh masyarakat dalam satu
generasi. 3.
Prinsip pencegahan dini precautionary principles. Prinsip ini mengandung suatu pengertian bahwa apabila terdapat ancaman yang berarti atau adanya ancaman
kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, ketiadaan temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk
menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. 4.
Prinsip perlindungan keragaman hayati conservation of biological diversity. Prinsip ini merupakan prasarat dari berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan
antar generasi. Perlindungan keberagaman hayati juga terkait dengan masalah pencegahan, sebab mencegah kepunahan jenis dari keragaman hayati diperlukan
demi pencegahan dini. 5.
Prinsip internalisasi biaya lingkungan. Kerusakan lingkungan dapat dilihat sebagai akibat dari suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak yang
terlibat dalam kegiatan ekonomi tersebut. Oleh karena itu, biaya kerusakan lingkungan harus ditanggung oleh pelaku kegiatan ekonomi dan diintergrasikan
ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber alam tersebut.
Menurut Emil Salim, bahwa pola pembangunan berkelanjutan semakin diterima sebagai koreksi terhadap pola pembangunan konvensional. Ada perbedaan
mendasar antar pembangunan berkelanjutan dan pembangunan konvensional, antara
Universitas Sumatera Utara
lain:
76
Pertama, pemakaian sumber daya alam pada pembangunan berkelanjutan menjaga keutuhan fungsi ekosistemnya, sedangkan sumber daya alam pada
pembangunan konvensional dikelola terlepas dari fungsi ekosistemnya. Fungsi keterkaitan, keanekaragaman, keselarasan dan keberlanjutan ekosistem diabaikan
sepenuhnya. Kedua, dampak pembangunan terhadap lingkungan pada pembangunan berkelanjutan diperhitungkan dengan menerapkan analisis sehingga dampak negatif
dikendalikan dan dampak positif dikembangkan. Dalam pembangunan konvensional tidak diterapkan sistem analisis, sehingga dampak kerusakan lingkungan terutama
oleh perusahaan tidak diperhitungkan. Ketiga, pembangunan berkelanjutan memperhitungkan kepentingan generasi masa depan, bahkan diusahakan tercapainya
keadilan antar generasi sehingga kualitas dan kuantitas sumber daya alam dijaga keutuhannya untuk generasi masa depan. Dalam pembangunan konvensional tidak
terdapat secara eksplisit, orientasi perhatian terhadap nasib generasi masa depan. Keempat, pembangunan berkelanjutan berwawasan jangka panjang, sedangkan pada
pembangunan konvensional memiliki prespektif jangka pendek, sehingga keputusan yang diambil pun tidak sesuai dengan kepentingan pengembangan jangka panjang.
Kelima, hasil pengelolaan sumber daya alam dalam pembangunan berkelanjutan memperhitungkan menciutnya sumber daya alam akibat proses pembangunan.
Sebaliknya pembangunan konvensional tidak memperhatikan penciutan sumber daya alam akibat penggunaannya. Keenam, pembangunan berkelanjutan secara sadar turut
memperhitungkan komponen lingkungan yang tidak dipasarkan seperti nilai sumber daya hayati yang utuh di hutan, bebas polusi, bebas kebisingan dan lain-lain sehingga
76
Emil Salim dalam Ibid, hal. 85
Universitas Sumatera Utara
proses ekonomi secara integral memperhitungkan kualitas lingkungan. Sebaliknya dalam pembangunan konvensional tidak dimasukkan komponen lingkungan yang
tidak dipasarkan sehingga udara, sungai, laut dan komponen media lingkungan secara gratis bisa dicemari tanpa kenaikan biaya.
Pembangunan berkelanjutan sustainable development menurut Joint Group of Experts on The Scientific Aspect of Marine Environment Protection GESAMP
mendefinisikan sebagai “pembangunan yang dapat mempertemukan kebutuhan pada saat ini tanpa melupakan kebutuhan generasi mendatang”. Lebih spesifik lagi
dinyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam dan orientasi perubahan-perubahan teknologi dan institusi untuk
memenuhi kesejahteraan manusia pada saat ini dan masa yang akan datang”. Bila pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan pembangunan pesisir dan lautan
diterapkan, maka secara teknis dapat didefinisikan bahwa “pembangunan pesisir dan lautan berkelanjutan sustainable coastal-marine development adalah suatu upaya
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat dalam kawasan pesisir dan lautan sedemikian rupa sehingga laju tingkat pemanfaatannya
tidak melebihi daya dukung carrying capacity kawasan pesisir dan lautan untuk menyediakannya sehingga kebutuhan dan kesejahteraan manusia pada saat ini dan
mendatang dapat terpenuhi ”.
77
77
Dahuri. R,, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
C. Illegal Fishing dan Pelanggaran Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir dan
Lautan
Pembangunan dalam bentuk apapun sebenarnya pada hakekatnya selalu akan berdampak pada perubahan suatu ekosistem. Idealnya perubahan tersebut diusahakan
dengan meniadakan atau menekan seminimal mungkin dampak yang bersifat negatif dan memaksimalkan dampak yang bersifat positif. Daerah pesisir secara alami
merupakan eksistem yang rapuh, yang sangat dipengaruhi oleh segala kegiatan di daratan maupun di laut. Oleh karena itu segala kegiatan pembangunan di daerah
pesisir dan daerah yang turut mempengaruhinya perlu direncanakan secara baik dan penuh kehati-hatian.
Ada 3 tiga bentuk tujuan dalam hal pengelolaan Pesisir dan Laut serta Perikanan yaitu: Pertama untuk pelestarian conservation. Kedua, untuk kepentingan
ekonomi economic interest dan Ketiga, pola pengelolaan yang memadukan antara tujuan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Dalam prakteknya pengelolaan
sumberdaya kelautan dan perikanan lebih dominan untuk tujuan ekonomi daripada mempertimbangkan kelestariannya. Kerusakan lingkungan yang terjadi baik pada
ekosistem laut maupun ekosistem lainya memang dipicu banyak faktor. Namun, secara umum dua faktor pemicu yang cukup dominan adalah kebutuhan ekonomi
economi driven dan kegagalan kebijakan.
78
Kondisi ini juga terjadi pada sumberdaya kelautan berupa pemanfaatan melebihi daya dukungnya over capacity
sehingga laju dan tingkat kerusakannya mencapai tingkat yang mengkhawatirkan
78
Akhmad Fauzi , Kebijakan Perikanan dan Kelautan; Isu, Sintesis dan Gagasan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Jakarta , 2005 hal.43
Universitas Sumatera Utara
ditambah lagi terjadinya pencurian-pencurian ikan yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia.
79
Kerusakan ekosistem pesisir misalnya, berimplikasi langsung terhadap penurunan kualitas habitat perikanan dan juga mengurangi estetika lingkungan
pesisir. Demikian pula pencemaran dan sedimentasi menimbulkan ancaman serius pada wilayah tersebut yang pada akhirnya terakumulasi pada semakin
terdegradasinya ekosistem pesisir. Dampak dari semua itu berkorelasi terhadap menurunnya pendapatan masyarakat Persoalan tersebut, umumnya banyak dialami di
wilayah pesisir Indonesia. Namun, belum banyak upaya memperbaiki kerusakan yang ada. Sebagai Negara kepulauan dengan segala potensi dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya belum diimbangi dengan kebijakan yang mendukung. Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan masih ditangani setengah hati, padahal persoalan
79
Secara teoritis, ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, yakni open access dan controlled access regulation. Open access adalah regulasi yang
membiarkan nelayan menangkap ikan dan mengeksploitasi sumber daya hayati lainnya kapan saja, dimana saja, berapapun jumlahnya, dan dengan alat apa saja. Regulasi ini mirip ”hukum rimba” dan
”pasar bebas”. Secara empiris, regulasi ini menimbulkan dampak negatif, antara lain apa yang dikenal dengan tragedy of common baik berupa kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan maupun
konflik antar nelayan. Sebaliknya, controlled access regulation adalah regulasi terkontrol yang dapat berupa 1 pembatasan input input restriction, yakni membatasi jumlah pelaku, jumlah jenis kapal,
dan jenis alat tangkap, 2 pembatasan output output restriction, yakni membatasi berupa jumlah tangkapan bagi setiap pelaku berdasarkan kuota. Salah satu formulasi dari pembatas input itu adalah
territorial use right yang menekankan penggunaan fishing right hak memanfaatkan sumberdaya perikanan dalam suatu wilayah tertentu dalam yurisdiksi yang jelas. Pola fishing right system ini
menempatkan pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah, sementara yang tidak memiliki fishing right tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain diatur
siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Sistem yang menjurus pada bentuk pengkavlingan laut ini menempatkan
perlindungan kepentingan nelayan kecil yang beroperasi di wilayah pantai-pesisir serta kepentingan kelestarian fungsi sumber daya sebagai fokus perhatian. UU No. 32 Tahun 2004 yang membuat
pengaturan tentang yurisdiksi laut provinsi 12 mil dan kabupatenkota 4 mil mengindikasikan bahwa produk hukum itu menganut konsep pengkavlingan laut. Konsep pengkavlingan laut merupakan
instrumen dari konsep regulasi akses terkontrol controlled access regulation dalam pola pembatasan input territorial use right. UU No. 32 Tahun 2004 sebenarnya entry point penerapan territorial use
right.
Universitas Sumatera Utara
sumber daya alam umumnya sudah dalam kondisi kritis. Jika dicermati, kebijakan pengelolaan pesisir dan laut selama ini terdapat beberapa ciri yakni:
80
a. Kebijakan masih bias daratan terrestrial oriented seperti penempatan kawasan-
kawasan perlindungan laut dan reklamasi pantai dengan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.
b. Pengabaian hubungan keterikatan masyarakat dengan sumber daya alamnya yang
diatur berdasarkan hukum lokal. c.
Berfokus pada eksploitasi yang memperburuk kualitas maupun kuantitas sumber daya perikanan dan kelautan.
Persoalan sumber daya kelautan dan perikanan tidak terbatas seperti yang telah disebutkan di atas, lebih jauh lagi jika dilihat persoalannya sangatlah kompleks.
Dari identifikasi yang dilakukan berbagai pihak, masalah pengelolaan kelautan dan perikanan dapat dikelompokkan pada tiga bidang masalah yakni 1 ekonomi 2
sosial dan kelembagaan 3 lingkungan Dalam skala lebih besar ekspansi ekonomi di bidang perikanan juga lebih
banyak mengarah pada peningkatan pertumbuhan produksi maksimal yang dicirikan dengan kegiatan eksploitatif yang cenderung merusak destruktif sehingga tidak
menjamin kesinambungan sustainable. Illegal fishing, pelanggaran dan ketidakbijaksanaan dalam pengambilan hasil di bidang perikanan semakin meningkat
dan bila ini tidak dapat ditanggulangi maka akan terjadi degradasi sumberdaya perairan akibat overfishing, konversi mangrove untuk tambak yang tidak ramah
lingkungan dan kerusakan ekosistem padang lamun dan terumbu karang.
80
Akhmad Fauzi. Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
D. Karakteristik Tindak Pidana Illegal Fishing di dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan telah mengklasifikasi tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu:
tindak pidana kejahatan di bidang perikanan Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94 dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan Pasal 87,
89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100. Illegal fishing memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang digolongkan sebagai konvensional crime. Baik dari segi pelaku, tempat
kejadian, maupun dampak yang ditimbulkannya. Berdasarkan rumusan Undang- undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, tindak pidana illegal fishing secara
keseluruhan adalah sebagai berikut :
1. Menangkap ikan atau memungut ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. 2.
Mengelola dan atau membudidayakan ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.
3. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil perikanan tanpa melengkapi surat
keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan 4.
Membawa alat-alat dan atau bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam penangkapan dan atau pengelolaan perikanan di kawasan pengelolaan perikanan
tanpa izin pejabat yang berwenang. Selanjutnya berdasarkan pasal 84 ayat 1 sampai dengan 4 undang-undang
No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, sanksi tindak pidana “illegal fishing” adalah sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan
atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat 1
dipidana dengan penjara paling lama 6 enam tahun dan denda paling banyak Rp 1. 200.000.000 satu miliar dua ratus juta rupiah.
2. Narkoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah
kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan atau cara dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 satu
milliar dua ratus juta rupiah . 3.
Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, bertanggung jawab perusahaan perikanan, dan atau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di
wilayah pengelolaan Republik Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau
bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dan atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3 dipidana dengan pidana penjara
Universitas Sumatera Utara
paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 dua milliar rupiah .
4. Pemilik perusahaan, pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan, dan atau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah
pengelolaan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan
dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 4 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 dua milliar rupiah.
5. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 , ayat 3 , ayat 4 adalah
merupakan kejahatan dan juga memenuhi unsur pelanggaran. 6.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat 1 , ayat 3 , dan ayat 4 apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha tuntutan pidananya dijatuhkan pada pengurusnya, baik sendirisendiri maupun bersama-sama dikenakan sanksi pidana dengan ancaman pidana masing-
masing dari tuntutan pidana yang dijatuhkan. 7.
Semua hasil perikanan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau
pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dirampas untuk negara.
Universitas Sumatera Utara
Sanksi tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 84 ayat 1 , ayat 2 , ayat 3 , dan ayat 4 Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah
sebagai berikut : 1 Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan laut.
2 Setiap orang yang diberi izin usaha penangkapan, pengelolaan, serta pembudidayaan perikanan dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan
kerusakan biodiversity laut lingkungan ekosistem laut. 3 Setiap orang dilarang :
a. Mengerjakan dan atau melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di kawasan perairan Indonesia dengan tidak sah
melanggar Undang-Undang. b. Melakukan penangkapan ikan, pengelolaan, serta pembudidayaan di
kawasan perairan Indonesia sesuai dengan ketentuan batasan ZEE dengan menggunakan bahan-bahan kimia, bahan-bahan peledak dan juga alat
yang dapat merusak ekosistem laut. c. Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi ikan di kawasan
perairan Republik Indonesia, tanpa izin. d. Membawa alat-alat dan juga bahan-bahan kimia yang lazin dan patut
diduga akan digunakan untuk melakukan penangkapan, pengelolaan dan atau pembudidayaan perikanan tanpa izin dari pihak yang berwewenang.
e. Membuang bahan-bahan kimia atau pun benda-benda yang berbahaya dan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem laut serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi laut ke dalam kawasan perairan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan bentuk dan sanksi tindak pidana illegal fishing tersebut, maka dapat dirumuskan unsur pokok subyek dan obyeknya adalah : Setiap orang ; dengan
sengaja termuat pada Pasal 8 ayat 1 , ayat 2 , ayat 3, dan ayat4 dan karena kelalaiannya termuat dalam Pasal 84 ayat 1 , ayat 2 , ayat 3 dan ayat 4
melanggar ketent uan melawan hukum ; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat 1 , ayat 2 , ayat 3 , dan ayat 4 .
Tindak pidana illegal fishing juga merupakan pelanggaran atas Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 dimana aturan kepidanaannya dirumuskan
dalam Pasal 262 – 265 ayat 4 KUHP Tentang Kejahatan Pencurian, dengan hukuman terberatnya adalah hukuman mati atau pidana seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Berdasarkan akibat yang ditimbulkan, maka pelaku tindak pidana illegal fishing juga dapat dijerat Pasal 187 KUHP Tentang
yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dengan hukuman terberatnya pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun. Jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang lain.
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERAN POLRI DALAM PENERAPAN SISTEM
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING SEBAGAI BAHAGIAN DARI SISTEM PERADILAN PIDANA
CRIMINAL JUSTICE SYSTEM
A. Peran Polri Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pokok di dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan salah satu landasan yuridis yang mengatur tentang keberadaan
Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan Polri sebagai alat negara telah memberikan paradigma baru dalam pelaksanaan tugas operasional kepolisian di
Indonesia. Hal ini sebagimana dinyatakan dalam konsideran huruf f Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 bahwa:
“Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu
oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia” Tanggungjawab untuk pemeliharaan keamanan dalam negeri sepenuhnya ada
di tangan Polri. Polri sebagai alat negara melaksanakan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dilakukan oleh
Polri harus menyentuh aspek dan lapisan masyarakat, oleh karenanya kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan harus menghasilkan sinergi optimal bagi
kepentingan nasional dan Polri dituntut pula untuk dapat mewujudkan keamanan,
Universitas Sumatera Utara
ketertiban, kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
81
Konsekuensi Polri sebagai alat negara dalam pelaksanaan perannya sebagai pemelihara
Kamtibmas, penegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat adalah adanya kewenangan penuh pada Polri untuk
menyusun segala kebijakan dalam rangka penegakan hukum dan Kamtibmas. Polri sebagai Kepolisian Negara bermakna bahwa kesatuan Polri adalah kesatuan yang
bersifat hierarki
82
dan ada pertanggungjawaban ke atas pada pelaksanaan tugas Polri di tingkat bawahan.
Tanggungjawab untuk pemeliharaan keamanan dalam negeri kamdagri sepenuhnya ada ditangan Polri. Polri sebagai alat negara melaksanakan fungsinya
yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat yang dilakukan oleh Polri harus menyentuh semua aspek dan lapisan masyarakat. Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa: 1
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum
serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
81
Tap MPR No. VIIMPR2001
82
Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 2, bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hierarki
Universitas Sumatera Utara
2 Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
Konsekuensi Polri sebagai alat negara dalam melaksanakan perannya sebagai pemelihara Kamtibmas, penegak hukum serta memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat adalah adanya kewenangan penuh pada Polri untuk menyusun segala kebijakan dalam rangka penegakan hukum dan
Kamtibmas. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Polri secara profesional dengan memperhatikan aspek-aspek hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Pelaksanaan tugas ini merupakan perwujudan pelaksanaan nilai-nilai, visi untuk mewujudkan Polri yang profesional sebagai pelindung dan pengayom masyarakat
serta pelaksanaan misi Polri. Adapun yang menjadi proses penjabaran nilai-nilai Polri yakni:
83
1. Keunggulan excellence: orientasi pada prestasi achievement, dedikasi
kejujuran honesty dan kreativitas. 2.
Integritas integrity: orientasi pada komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral ethical values and morality.
3. Akuntabilitas accountability: orientasi pada sistem yang traceable dapat
ditelusuri jalurnya yang logis dan auditable dapat diaudit dan diperbaiki, mulai dari tingkat individu sampai institusi Polri.
83
Lihat, Budi Gunawan, Membangun Kompetensi Polri, Sebuah Model Penerapan Manajemen SDM Berbasis Kompetensi, Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian,
2005, hal. 177
Universitas Sumatera Utara
4. Transparansi: orientasi pada keterbukaan opennes, kepercayaan trust,
menghargai keragaman dan perbedaan diversity serta tidak diskriminatif. 5.
Keberlanjutan orientasi kepada perbaikan secara terus menerus dan masa depan.
B. Peran Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Fishing
Perkembangan lingkungan strategis yang sangat dinamis mengakibatkan upaya penegakkan hukum kedaulatan dan keamanan di laut terutama di wilayah
perbatasan dari waktu kewaktu senantiasa dihadapkan kepada tantangan yang cukup kompleks. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan konstelasi geografis Indonesia yang
berbentuk kepulauan dengan dua per tiga wilayahnya terdiri atas laut, posisinya yang strategis dan kandungan sumber daya laut yang potensial.
Wilayah-wilayah perbatasan yang kurang diawasi terutama wilayah perairan menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya pencurian sumber daya alam seperi ikan
illegal fishing. Pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar merupakan salah satu program utama akselerasi transformasi Polri dalam rangka meningkatkan
pelayanan Polri, memelihara keamanan dalam negeri dan menjaga keutuhan NKRI di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar sebagaimana di kemukakan oleh Kapolri
Jend. Pol. Drs Bambang Hendarso Danuri, MM. pada tanggal 11 Februari 2009 dalam rapat koordinasi keamanan wilayah perbatasan NKRI sebagai berikut:
84
“ Sebagaimana kita ketahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar dengan 17.508 pulau yang secara
84
Bambang Hendarso Danuri, Kejahatan Berindikasi Kontijensi, Makalah Transformasi Reformasi Birokrasi Polri, Mabes Polri tanggal 11 Februari 2009, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
geografis terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Di samping itu wilayah Indonesia juga berbatasan dengan Negara tetangga,
baik wilayah perairan maupun daratan. Pada wilayah daratan. Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Papua New Guine, Timor Leste,
sedangkan di wilayah laut berbatasan dengan India, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapura, Ohilipina, Republik Palau, Papua New Guine, Timor
Leste dan Australia. Sebagai konsekuensi atas realitas tersebut terdapat 2 dua hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama. Pada satu sisi, posisi
Indonesia memiliki nilai politik dan strategi keamanan yang begitu penting, terutama dipandang dari kepentingan Negara dalam upaya peningkatan
kesejahteraan dan taraf hidup rakyatnya. Namun disisi lain luasnya wilayah Indonesia menjadi tantangan yang harus dihadapi, berkenaan dengan upaya
untuk mengamankan wilayah perbatasan dari segala potensi gangguan Kamtibmas, khususnya kejahatan lintas Negara”.
Untuk itu guna mengakselerasi kebijakan Kapolri dalam mengantisipasi gangguan Kamtibmas, kejahatan lintas negara atau kejahatan di wilayah perbatasan
khususnya di selat malaka yang menyebabkan kerugian bagi pemerintah Indonesia dalam praktek pencurian ikan, maka Polri yakni Direktorat Polair Polda Sumatera
Utara perlu mengambil tindakan Kepolisian dengan melibatkan lintas sektoral maupun kendali pusat dengan skala prioritas sesuai dengan karakteristik kerawanan
wilayah perbatasan dan pulau terluar berdasarkan tugas pokok yang diemban oleh Dit Pol Air Polda Sumatera Utara yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
perairan, penegakan hukum dan pemberian perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat penggunan jasa perairan dengan melaksanakan patroli perairan,
pembinaan masyarakat perairanpantai serta melaksanakan pencarian dan penyelamatan terhadap kecelakaan perairan Polda Sumatera Utara.
85
85
Hasil Wawancara dengan Bidang Operasi Direktorat Polisi Perairan Polda Sumatera Utara, tanggal 23 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
Kondisi saat ini menggambarkan bahwa tindakan kepolisian yang dilakukan oleh Dit Pol Air Polda Sumatera Utara guna mengamankan wilayah perbatasan dan
pulau terluar dari berbagai potensi gangguan Kamtibmas dan penegakan hukum terhadap pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal penangkap ikan dirasakan belum
optimal, hal ini disebabkan oleh kurangnya kerjasama antar lintas sektoral yang ada, misalnya TNI AL, Bea Cukai, KPLP, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan serta
Kesatuan Operasional Dasar KOD yang terdiri dari beberapa Polres di jajaran Polda Sumatera Utara.
86
Untuk wilayah Sumatra Utara patroli di perairan hanya berjalan selama 16 kali per tahun hal ini berdasarkan kemampuan aparat.
87
Meskipun beberapa waktu tahun yang lalu, tepatnya tanggal 4 Februari 2008, telah disusun kesepakatan
kerjasama antara tiga instansi untuk menyusun Standard Operation Procedur SOP tindak pidana yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan, TNIAL, dan POLRI.
Menjalin kerjasama secara regional pun dilakukan dengan bebera negara diantaranya Australia, Brunei Darussalam, Cambodia, Filipina, Indonesia, Malaysia, Papua New
Guinea, Singapura, Thailand, Timor Leste dan Vietnam.
88
Kerugian yang dialami oleh Indonesia akibat pelanggaran perbatasan wilayah perairan sangatlah besar bahkan dari tahun ke tahun secara kuantitatif meningkat.
86
Hasil Wawancara dengan Penyidik Pada Direktorat Polisi Perairan, tanggal 26 Juli 2010
87
Setiap instansi hanya bisa melakukan patroli maksimal 16 kali setiap tahun. Dengan luasnya perairan yang dimiliki, terutama pantai barat Sumut yang langsung berhadapan dengan
Samudra Hindia, patroli yang kami lakukan tidak cukup untuk bisa menghentikan aktivitas illegal fishing. Kerugian akibat “Illegal Fishing” Capai Rp 875 Miliar. Sumber: Kompas, 23 Januari 2008
88
Perwujudan kerjasama regional ini diwujudkan sebagai bentuk responsible fishing practices dan implementasi Regional Plan of Action RPOA yang telah disepakati pada Regional
Workshop on MCS to Support the Implementation of the Regional Plan Of Action RPOA on Promoting Responsible Fishing Practices including Combating IUU Fishing In the Region di Bali 46
Maret 2008. Tekan Illegal Fishing, Dukung Produksi Ikan, Majalah Demersal 2008. 16 April 2008
Universitas Sumatera Utara
Misalkan untuk perbuatan illegal Fishing atau penangkapan ikan secara ilegal per tahun mengalami kerugian mencapai Rp 30 triliun.
89
Namun data kerugian yang di wilayah perairan Sumatra utara mencapai Rp 875 miliar. Dalam pelaksanaannya
tindakan ini bergerak secara “team” karena tidak hanya kapal penangkap ikan yang bergerak tetapi ada kapal lain yang membantu secara logistik untuk operasionalnya.
90
Sehingga ada beberapa bentuk kapal yang dilarang diantaranya 1 kapal ikan baik dari dalam maupun luar negeri yang tidak terdaftar. 2 kapal ikan dengan alat
tangkap yang dilarang, seperti trawl, sianida, atau bom. 3 kapal ikan yang menjual hasil tangkapnya di laut. Bentuk kejahatan ini sering pula disebut dengan Praktek
IUU Fishing Illegal, unreported, unregulatedfishing. IUU Fishing sebenarnya telah diatur secara detail dalam UU 31 tahun 2004
yang merupakan pembaharuan dari UU No 9 tahun 1985. Bahkan didalam UU tersebut diatur pula proses beracaranya sehingga memiliki mekanisme pengadilan
tersendiri pula. UU Perikanan ini berlaku untuk: a. setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan
hukum Indonesia maupun badan hukum asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
b setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia;
89
http:www.tempointeraktif.comhgnasional20050824brk,2005082465695 , id.html
90
Kapal ini berfungsi untuk menyediakan bahan bakar serta keperluan logistic lainnya. Menyingkirkan Kapal Asing Demi Nelayan Nusantara. Laporan Utama, Gatra , 17 April 2008
Universitas Sumatera Utara
c setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan diluar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; dan
d setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan, baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, dalam bentuk kerja sama dengan pihak
asing. UU ini telah memiliki sensitifitasnya terhadap lingkungan sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 serta ketentuan pidananya dalam Bab XV Pasal 84.
91
Selain itu subyeknya sudah mencakup pemilik kapal dan perusahaan.
Lingkungan strategis di perairan timur Sumut yang berada di selat malaka panjang patai timur Sumut yang memanjang dari perbatasan perairan aceh sampai
kepada perbatasan perairan riau adalah 173 MIL baik secara demografi maupun
91
Pasal 84, yakni 1 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan danatau pembudidayaan ikan dengan menggunakan
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat danatau cara, danatau bangunan yang dapat merugikan danatau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 enam tahun dan denda paling banyak Rpl.200.000.000,00 satu miliar dua ratus juta rupiah. 2 Nakhoda
atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat danatau cara, danatau bangunan yang dapat merugikan danatau membahayakan kelestarian sumber daya ikan danatau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rpl.200.000.000,00 satu miliar dua ratus juta rupiah. 3
Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, danatau operator kapal perikanan yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat danatau cara, danatau bangunan yang dapat merugikan danatau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan danatau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 dua miliar rupiah. 4 Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, danatau penanggung jawab perusahaan pembudidayaan ikan yang
dengan sengaja melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, flat danatau cara, danatau
bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan danatau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 dua miliar rupiah.
Universitas Sumatera Utara
sumberdaya alam sangat potensial karena berbatasan dengan perairan Negara Malaysia dan perairan Negara Singapura merupakan alur pelayaran internasional
yang setiap hari ramai dilalui kapal-kapal dagang dan kapal-kapal distribusi yang rawan dengan kejahatan penyeludupan, imigrasi gelap, illegal logging, illegal mining,
pembajakan, penyanderaan dan perompakan. Di samping itu, perairan pantai timur selat malaka kaya akan sumber daya perikanan yang sangat potensial sehingga diincar
oleh kapal-kapal nelayan berbendera asing untuk melakukan penangkapan ikan secara illegal diperbatasan perairan sumut.
Di sepanjang pantai timur perairan Sumut yang berbatasan dengan Malaysia terdapat 4 empat pulau terluar yaitu pulau berhala, pulau salah nama, pulau pandan
dan pulau jemur yang rawan dimasuki oleh negara asing untuk melakukan pencurian ikan karena keempat pulau tersebut tidak mempunyai penduduk tetap. Dengan
memperhatikan perkembangan hakekat ancaman berupa rawannya tingkat kriminalitas di wilayah perbatasan dan pulau terluar yang mungkin timbul sehingga
terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat, maka perlu adanya langkah- langkah yang komprehensif dari Polri khususnya Dir Pol Air Polda Sumatera Utara
dalam sistem penyelenggaraan pembinaan Keamanan dan Ketertiban masyarakat melalui kerjasama lintas sektoral, yang didalam sistem itu terdapat komponen lain
yang turut berperan melalui patnership building dengan penguatan jaringan sebagaimana digariskan di dalam renstra Polri 2010-2014.
Langkah-langkah tersebut berupa Implementasi Manajemen Operasional Keamanan dan Ketertiban yang dapat dimengerti dan dipedomani, hal ini sangat
penting bagi upaya terwujudnya kemandirian Polri dalam penyelenggaraan
Universitas Sumatera Utara
Kamtibmas di wilayah perbatasan berupa pengamanan pulau-pulau terluar. Dihadapkan pada perkembangan hakekat ancaman berdasarkan lingkungan strategis
dengan berbagai aspek yang ditimbulkannya terhadap kondisi pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar maka Dit Pol Air Polda Sumatera Utara telah
melakukan langkah-langkah pengamanan dan penegakan hukum, namun pelaksanaan tugas tersebut belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
92
Hal ini terlihat dari kondisi semakin peningkatannya hakekat ancaman berupa tindakan kriminalitas di wilayah selat malaka dari tahun ke tahun. Permasalahan
utama yang berimplikasi terhadap kurang optimalnya pelaksanaan tugas pengamanan wilayah perbatasan dan pulau terluar antara lain dikarenakan adanya berbagai
keterbatasan sumber daya kesatuan Dit Pol Air Polda Sumatera Utara dalam mendukung optimalisasi pengamanan wilayah perbatasan dan pulau terluar baik
aspek sumber daya manusia, sarana prasarana, dukungan anggaran maupun sistem dan metode. Disamping itu pelaksanaan penangamanan belum dilakukan melalui
penyusunan perencanaan yang matang dengan melibatkan lintas sektoral berupa instansi samping, sehingga upaya-upaya yang dilakukan dalam kegiatan operasi
pengamanan wilayah perbatasan dan pulau terluar belum sepenuhnya mampu menyentuh berbagai aspek yang berkaitan dengan upaya srategis melalui koordinasi,
komunikasi antar instansi. Penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri terhadap terjadinya tindak
pidana pencurian ikan adalah melakukan serangkaian tindakan Kepolisian yang salah
92
Hasil wawancara dengan dengan Bidang Operasi Direktorat Polisi Perairan Polda Sumatera Utara, tanggal 22 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
satunya melakukan tindakan penyidikan terhadap pelaku dan merupakan bahagian dari criminal justice system yang meliputi proses pra ad jukasi dan proses
judikasi. Pada proses pra ad judikasi dilakukan setelah Polri mengetahui terjadinya tindak pidana pencurian ikan, baik melalui patroli di wilayah perairan, dari hasil
penyelidikan tindak pidana ataupun laporan dari masyarakat, maka Polri selaku penyidik melakukan proses lebih lanjut. Penyidik dalam melakukan rangkaian
kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan sebagai korporasi mengindikasikan bahwa perbuatan
yang dilakukan adalah merupakan perbuatan berlanjut delictum continuatumvoortgezettehandeling,
93
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 64 KUH Pidana yang menyatakan bahwa ada perbuatan berlanjut apabila seseorang
melakukan perbuatan, perbuatan tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran, antara perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Adapun dasar yang memberikan kewenangan bagi Polri dalam melakukan
penyidikan atas tindak pidana adalah Hukum Acara Pidana khusus tentang penyidik adalah Polri.
94
Secara garis penyidikan terhadap kasus tindak pidana pencurian ikan di lakukan berdasarkan dua sumber yaitu:
93
Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1999, hal. 49
94
Loebby Loqman, Kekuasaan kehakiman Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana, Jakarta: RajaGrafindo Persada,1990, hal. 36, bahwa secara teoritis kepolisian mempunyai tugas untuk
melakukan penyelidikan dengan cara menyidik fakta-fakta yang ada untuk mengetahui apakah memang seorang terdakwa secara faktual melakukan suatu tindak pidana seperti yang dituduhkan
kepadanya sedangkan kejaksaan mempunyai tugas secara yuridis mendakwakan ke depan pengadilan dan membuktikan secara yuridis yang didasarkan pada fakta yang dikumpulkan oleh pegawai
penyidik. Demikian erat hubungan antara fakta dan yuridis di dalam membuktikan kesalahan seorang terdakwa, tidak dapat dihindari harus ada hubungan yang tidak sekedar hubungan kerja antara penyidik
Universitas Sumatera Utara
1. Dari laporan terjadinya pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia,
berdasarkan laporan tersebut Polri c.q penyidik melakukan penelitian mendalam lebih lanjut, karena laporan tersebut bersifat informasi yang
harus dilakukan penelitian atau peyelidikan akan kebenarannya berbeda dalam hal ketangkap tangan melalui kegiatan patroli di wilayah perairan
Indonesia. 2.
Setelah dilakukan penelitian dan dirasa dapat ditingkatkan ke dalam penyidikan maka laporan tersebut dituangkan dalam laporan polisi model
A, yaitu laporan polisi yang dibuat oleh anggota polisi, langkah selanjutnya adalah mengumpulkan alat bukti.
95
Langkah selanjutnya dilakukan penyidik adalah mengumpulkan alat bukti yang terkait kegiatan pencurian ikan. Alat bukti dimaksud berupa :
1. Alat bukti sebagaimana diatur didalam Hukum Acara Pidana pasal
184 KUHAP, yaitu : a.
Keterangan Saksi. b.
Keterangan Ahli. c.
Surat – surat. d.
Petunjuk.
dan penuntut umum, akan tetapi diharapkan adanya hubungan yang saling mengisi atara keduanya. Agar hubungan di atas dapat terjadi pembentuk undang-undang memang telah memunculkan lembaga
yang dikenal sebagai “pra-penuntutan” Pasal 138 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Jaksa mempunyai wewenang untuk mengembalikan berkas perkara kepada penyidik polisi jika hasil
penyidikan dirasakan oleh jaksa belum lengkap. Persoalannya apakah lembaga pra-penuntutan ini dapat berjalan seperti yang dikehendaki apabila kedua lembaga penegak hukum mempunyai persepsi
yang berbeda terhadap suatu kasus.
95
Sutanto, Peran Polri Untuk Peningkatkan Efektifitas Penerapan UU TPPU, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Keynote Address Pada Pelatihan Anti Tindak Pidana
Pencucian Uang, Medan, tanggal 15 September 2005, hal. 7
Universitas Sumatera Utara
e. Keterangan terdakwa.
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic atau serupa dengan itu. 3.
Dokumen sebagaimana dimaksud didalam pasal 1 angka 7 yaitu ; data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca danatau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain
kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. Tulisan, suara atau gambar;
b. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;
c. Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Langkah selanjutnya adalah pemeriksaan terhadap para saksi, ahli dan tersangka secara projustisia yang diarahkan kepada unsur pasal yang akan
dipersangkakan, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti dokumen dan atau bukti yang memberikan keterangan atas suatu peristiwa tindak pidana dimaksud.
Langkah terakhir yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dari rangkaian proses penyidikan adalah menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum untuk
melakukan penuntutan dengan penyerahan tersangka dan barang buktinya setelah berkas perkara dinyatakan lengkap.
Universitas Sumatera Utara
Proses judikasi berupa penyidikan tindak pidana pencurian ikan. Proses penyidikan merupakan rangkaian dari proses penegakan hukum pidana pencucian
melalui criminal justice system di Indonesia sebagai mana diatur dalam KUHAP, karena dalam UU Perikanan dikemukakan bahwa Penyidikan, Penuntutan, dan
pemeriksaan di Sidang pengadilan dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana,
96
kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang. Berdasarkan Hukum Acara Pidana yakni UU No. 8 tahun 1981 dimana dirumuskan bahwa Polri sebagai
penyidik. Yang dimaksudkan penyidikan menurut UU No. 8 tahun 1981 adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dengan mendasari pada pengertian tersebut, maka dalam Proses Penyidikan ini Polri khususnya penyidik akan mewujudkan suatu perbuatan yang dikatakan
pencurian ikan sehingga memenuhi unsur-unsur pasal-pasal di dalam undang-undang perikanan yang kemudian perbuatan tersebut dapat diadili. Proses peradilan
merupakan perwujudan dari proses penegakan hukum pidana dengan menyatakan bahwa tersangka adalah benar dan patut diyakini sebagai pelaku tindak pidana, oleh
96
Setelah berlakunya KUHAP terjadi perubahan yang sangat penting, perubahan yang dibawa KUHAP mengakibatkan pembagian kewenangan sebagai berikut: 1. kepolisian mempunyai
kewenangan untuk melakukan penyidikan sebagai penyidik tindak pidana umum, kewenangan melakukan penyidikan tambahan, berperan sebagai koordinator dan pengawas penyidik pegawai negeri
sipil. 2. Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan sebagai penyidik tindak pidana khusus yang meliputi tindak pidana survei, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana ekonomi
walaupun bersifat sementara, penyidikan tindak pidana umum polisi memegang kewenangan penyidikan penuh sedangkan jaksa tidak berwenang. Dalam perkembangan selanjutnya dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, menyatakan polisi dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Pernyataan ini seolah ingin menangkis anggapan bahwa untuk penyidikan tindak
pidana khusus hanya jaksa yang berwenang, padahal menurut Pasal 284 KUHAP wewenang jaksa itu bersifat sementara, dengan lahirnya undang-undang ini lembaga kepolisian menyatakan bahwa
kemampuannya untuk menyidik perkara-perkara yang sulit seperti tindak pidana ekonomi, korupsi dan pencucian uang.
Universitas Sumatera Utara
sebab itu diperlukan peningkatan prinsip akuntabilitas lembaga peradilan. Dengan prinsip ini akan diketemukan proses penegakan hukum yang bersifat resfonsif, untuk
pencapaian hal ini di dalam tindak pidana pecurian ikan yang menekankan pada tindakan refresif kepolisian.
C. Sistem Petanggungjawaban Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana
terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing
Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana illegal fishing diartikan penggunaan seluruh upaya baik setelah kejahatan terjadi maupun sebelum kejahatan.
Pemberantasan illegal fishing adalah meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dengan menerapkan sanksi hukum atas perbuatan yang telah dikriminalisasi,
pertanggungjawaban pada sistem hukum pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan dan selalu didasarkan
pada unsur subjektif atau mens rea dan unsur obejektifnya atau actus reus. Di dalam mens rea yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut diduga knowladge dan
berkaitan erat bermaksud intends. Tindak pidana illegal fishing yang terjadi di wilayah perairan Indonesia
mayoritas dilakukan oleh kapal-kapal penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi canggih dan dikendalikan oleh korporasi-korporasi yang bidang usahanya
adalah melakukan penangkapan ikan. Untuk itu sistem pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh kapal peningkatan ikan dan menggunakan teknologi dilakukan
pendekatan sistem pertanggungjawaban korporasi. Ilegal fishing telah dikategorikan
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu tindak pidana extra ordinary crime dan kejahatan transnational crime untuk itu tindak pidana illegal fishing juga dikategorikan sebagai white collar crime.
Korporasi dalam perkembangan masyarakat telah diterima sebagai subjek hukum pidana. Penerima ini dapat berakibat hukum yaitu dapat melakukan hubungan
hukum dan dapat menanggung akibatnya berupa pertanggungjawaban pidana. Kejahatan korporasi atau kejahatan organisasi disebut juga dengan “corporate crime”
dan harus dibedakan dengan kejatatan terorganisir atau “organized crime”. Perbedaannya dapat dilihat pada definisi dari keduanya. Kejatahan terorganisir adalah
kejahatan yang mempunyai sindikat kejahatan organized crime, seperti yang dilakukan oleh para mafia. Sedangkan kejahatan korporasi adalah suatu bentuk
kejahatan crime dalam bentuk “white collar crime”, merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana, yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum
yang bergerak di bidang bisnis, melalui pengurus atau yang diotorisasi olehnya, di mana meskipun perusahaan tidak pernah mempunyai niat jahat mens rea. Akan
tetapi, dengan pertimbangan tertentu, perusahaan tersebut yang harus bertanggung jawab secara hukum dan karenanya perusahaan tersebutlah yang harus dihukum
pidana meskipun terbatas pada hukuman denda, hukuman percobaan, atau hukuman tambahan seperti pencabutan izin dan sebagainya.
97
Paradigma Reksodiputro juga memberikan perbedaan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan terorganisasi. Paradigma tersebut membantu memberikan
alternatif penyelesaian dilema perumusan tindak pidana korporasi serta membantu meluruskan kekeliruan pemahaman kejahatan oleh organisasi kejahatan korporasi
97
Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 26
Universitas Sumatera Utara
yang dirancukan dengan kejahatan terorganisasi. Pada kejahatan oleh organisasi, perhatian ditujukan pada perilaku perusahaan yang melawan hukum. Beliau juga
mengatakan bahwa : “……dalam kejahatan korporasi kita berbicara tentang organisasi yang sah
legal bodies; upperworld crimes yang dapat dibedakan antara yang dilakukan korporasi perdata kejahatan oleh perusahaan dan yang dilakukan
oleh korporasi publik, termasuk di sini adalah kejahatan oleh pemerintah dan lebih luas lagi oleh negara”
98
Kejahatan korporasi harus juga dibedakan dengan kejatatan lain pada umumnya, karena perilaku kejahatan ini termasuk apa yang dikenal sebagai “white
collar crime” konsepsi ini pertama dipergunakan oleh Edwin H. Suthreland dalam bulan Desember 1939. Kedudukannya sebagai “white collar crime” inilah yang
memberikannya perhatian khusus, baik dari kalangan akademisi ahli kriminologi dan ahli hukum pidana, maupun dari kalangan praktisi penegak hukum.
99
Disamping itu, Marshall B. Clinard memberikan pengertian tentang kejahatan
korporasi sebagai “white collar crime”, tetapi “white collar crime” dengan bentuk khusus yang merupakan suatu kejahatan terorganisir organization crime yang
terjadi dalam suatu hubungan relationship atau antar hubungan interrelationship yang tersturtur, kompleks, dan sangat bervariasi antara para direksi, pejabat eksekutif
perusahaan, dan menajer di satu pihak, dengan perusahaan induk, divisi, atau anak perusahaan di lain pihak.
100
Hal ini terjadi karena ada kemungkinan perusahaanlah
98
Ibid, hal. 47
99
Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta: Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
1994, hal. 65
100
J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung: Penerbit Eresco, 1994, hal. 28
Universitas Sumatera Utara
yang melakukan kejahatan, baik perusahaan sendiri maupun bersama-sama dengan pengurus, komisaris, atau pemilik perusahaan.
Para pakar hukum pada umumnya berpendapat sama tentang kejahatan korporasi sebagai bagian dari “white collar crime”. Reksodiputro berpendapat
serupa bahwa kejahatan korporasi merupakan bagian dari “white collar crime”. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa :
“Kejahatan korporasi selalu berhubungan dengan kegiatan ekonomi atau kegiatan yang berkaitan dengan dunia bisnis business related activities.
Walaupun demikian, perlu ditegaskan perbedaan antara “corporate crimed” dengan “small business offenses” kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan
kecil atau terbatas. Konsepsi kejahatan hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan oleh “big business” dan jangan dikaitkan dengan kejatahan oleh
“small scalle business” seperti penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor
dan sebagainya”.
101
Mengutip dari tulisan Stevens Box, Susanto menjelaskan ruang lingkup kejahatan korporasi sebagai berikut :
1. Crimes for corporation, adalah pelanggaran hukum dilakukan oleh
korporasi dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh profit ;
2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk
melakukan kejahatan ; 3.
Crime against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi , yang dalam hal in
yang menjadi korban adalah korporasi.
102
Dalam hukum perdata dikenal dasar konsepsi pertanggungjawaban hukum jika terjadi pelanggaran hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata
yang mengatakan sebagai berikut: ‘ Tiap perbuatan melanggar hukum yang
101
Ibid, hal. 44
102
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Strict Liability dan Vicarius Liability, Jakarta: Raja Grafindo, 1996, hal. 41
Universitas Sumatera Utara
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut’ . Pasal ini mengandung unsur
pertanggujawaban hukum yang dibebankan kepada pelaku jika tindakannya disebabkan adanya kesalahan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Pasal tersebut
merupakan rumusan umum tentang pertanggungjawaban hukum yang dapat diberlakukan pula pada korporasi. Adapun kesulitan dalam hal pertanggujawaban ini
terletak pada penerapan asas kesalahan karena unsur ini sebenarnya hanya dapat diterapkan pada seorang manusia naturlijk persoonen.
Menurut Wijorno Prodjodikoro,
103
adapun cara mengatasi kesulitan ini tergantung pada teori mana yang dianut tentang inti dari pengertian korporasi.
Beliau hanya menyebut tiga teori saja, yaitu : a.
Teori fiksi perumpamaan b.
Teori organ peralatan c.
Teori pemilikan bersama Oleh teori fiksi diakui bahwa unsur kesalahan jelas tidak ada pada korporasi,
akan tetapi korporasi boleh dianggap seolah-olah sebagai seorang manusia
perumpamaan. Karena korporasi diumpamakan seorang manusia, maka tindakan orang-orang manusia yang bertindak dalam lingkungan korporasi itu sebagai
pengurus tidak dapat dianggap tindakan langsung dari korporasi itu, melainkan sebagai tindakan seorang lain, atas tindakan mana korporasi itu juga bertanggung
jawab. Maka dalam sistem KUH Perdata hal yang dapat dipergunakan adalah bukan Pasal 1365, melainkan Pasal 1367 ayat 3, yaitu pertanggungjawaban seorang atas
103
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Sumur Bandung, , 1976, hal. 61
Universitas Sumatera Utara
perbuatan “ondergeschikte” orang yang berada di bawah perintah orang lain. Adapun bunyi pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata sebagai berikut : “Majikan dan
mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan mereka , adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan atau bawahan
mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang itu dipakainya”. Sedangkan teori organ memandang suatu korporasi tidak sebagai suatu
perumpamaan fiksi akan tetapi sebagai suatu kenyataan realita, yang tidak berbeda dari pada seorang manusia dalam bertindak dalam masyarakat. Manusia bertindak
dengan mempergunakan alat-alat berupa tangan, kaki, jari, mulut, otak dan lain-lain. Demikian juga korporasi mempunyai alat-alat organ berupa rapat anggota dan
orang-orang pengurus yang bermacam-macam, yang semua bertindak sebagai alat belaka dari korporasi itu. Oleh karena itu, alat-alat itu berupa manusia juga, maka
sudah selayaknya syarat-syarat dalam peraturan hukum yang melekat pada badan seorang manusia seperti kesalahan subjek pebuatan melanggar hukum dapat dipenuhi
juga oleh korporasi-korporasi. Maka suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seorang
manusia yang kebetulan merupakan suatu alat dari koporasi, boleh dianggap sebagai perbuatan langsung dari korporasi itu. Sudah tentu seorang itu harus secara langsung
bertindak sebagai alat dari korporasi itu. Artinya harus tidak keluar dari lingkungan pekerjaan koporasi itu dan harus bertindak menurut anggaran dasar dari korporasi itu.
Sedangkan menurut teori kepentingan bersama, korporasi tidak lain dari pada kepentingan-kepentingan segenap orang-orang yang menjadi latar belakang
background dari korporasi itu, yaitu segenap anggota dari korporasi itu. Teori ini
Universitas Sumatera Utara
menganggap korporasi langsung bertanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dalam organisasi korporasi, seperti seorang pengurus dari suatu
korporasi. Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat dianggap ada dengan mempergunakan Pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata seperti tersebut diatas, jadi secara
tidak langsung.
D. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing
Pola kejahatan illegal fishing mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan
kejahatan lainya berkaitan dengan kejahatan di wilayah perairan negara Republik Indonesia baik yang dilakukan oleh orang perseorangan ataupun melibatkan pihak-
pihak yang terkait sebagai organization crime dan dilakukan oleh korporasi yang kegiatan usahanya di bidang penangkapan ikan. Dalam prakteknya kegiatan-kegiatan
penegakan hukum di laut khususnya di bidang perikanan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dapat diklasifikasikan menjadi dua tahap yakni: pertama,
berupa kegiatan-kegiatan yang langsung menanggulangimengenai semua tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi di laut khususnya pencurian
ikan. Tahap kedua, berupa kegiatan-kegiatan penyelesaian akhir yang bersifat yuridis teknis oleh Departemeninstansi yang berwenang sesuai dengan bidangnya. Ternyata
dalam praktek masing-masing Departemeninstansi dalam melaksanakan kegiatan pada tahap pertama secara sendiri-sendiri, sehingga terhadap suatu pelanggaran atau
kejahatan ditangani oleh beberapa instansi. Hal yang demikian ini dapat menyulitkan untuk mencapai sasaran, karena masing-masing instansi bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dan kepastian hukum untuk kepentingannya masing-masing, sehingga
Universitas Sumatera Utara
sasaran penegakan hukumntersebut tidak bersifat menyeluruh. Sedangkan tindak lanjut penyelesaian akhir pada tahap kedua terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
di laut ditempuh tindakan repressif dengan mengajukan perkara-perkara tindak pidana tersebut kepada badan-badan peradilan dan badan-badan lain untuk mendapatkan
penyelesaian hukum, seperti pencurian ikan illegal fishing. Kondisi strategis wilayah perairan Indonesia akan menarik bagi kapal- kapal
penangkapan ikan asing untuk melakukan tindak pidana pencurian ikan illegal fishing di perairan Indonesia. Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan pencurian ikan ilegal fishing adalah pcncurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun,
bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan. Berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, tindak
pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu: tindak pidana kejahatan di bidang perikanan Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94 dan tindak pidana
pelanggaran di bidang perikanan Pasal 87, 89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100. Illegal fishing dikenal dengan Illegal, Unregulated Fishing IUU Fishing
tidak hanya terjadi di Indonesia saja, beberapa neraga kawasan Asia Pasifik mengakui bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan
berkelanjutan. Upaya mengatasi bisa di implementasikan dengan inisiasi bentuk kerjasama bilateral antara Negara dalam rangka pengawasan perikanan misalnya,
kerja sama RI dengan Australia , Philipina dan Thailad. Hal ini dimaksudkan supanya ada kesamaan persepsi antara Negara guna mengatasi berbagai masalah menyangkut
illegal fishing. Pola kerjasama semacam ini sebagai implementasi Regional Plan of
Universitas Sumatera Utara
Action RPOA yang disepakati 10 sepuluh Negara pada saat Ministerial Meeting di Bali beberapa waktu lalu;dalam rangka “mendorong tumbuh berkembangnya
responsible fishing practices”. Akibat maraknya illegal fishing Indonesia mengalami kerugian + Rp 30 triliun per tahun demersal 2008; perhitungan tersebut didasari
asumsi bahwasanya hasil curian sekitar 25 dari stock assessment ikan atau sebesar 1,6 juta ton; jika harga ikan rata-rata 2 dolar per kilogram, nilai tersebut merupakan
angka yang sangat fantastik. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aji Sularso Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan sebagai
berikut:
104
“Tidak salah kalau Departemen Kelautan dan Perikanan DPK kebakaran jenggot akibat ulah illegal fishing oleh nelayan asing, khawatir sumber daya
ikan terkuras habis, dan sisi lain target Pendapatan Negara Bukan Pajak tidak terpenuhi. Oleh karena itu upaya menekan illegal fishing terus menerus
dilakukan utamanya di perairan yang selama ini sangat rawan; yaitu Laut Arafura, perairan Natuna, dan Perairan Utama Sulawesi Utara; ternyata
menuai hasil yang cukup menggembirakan”.
Memahami akan arti dan pentingnya fungsi hukum sebagai alat hukum dalam kaitannya sebagai penegak hukum di laut perlu secara terus menerus dibina,
dikembangkan tingkat kemampuan dan kewibawaannya. Hal ini dapat dicapai bila aparat itu sendiri tumbuh kesadaran hukumnya. Hal ini dapat dicapai bila aparat itu
sendiri tumbuh kesadaran hukumnya, sehingga penghayatan akan hak dan kewajibannya terwujud ke arah tegaknya hukum yang bertujuan untuk menciptakan
ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang dihadapi dalam kegiatan- kegiatan penyelenggaraan penegakan hukum adalah kasus-kasus pencurian ikan yang
104
Ibid
Universitas Sumatera Utara
sering dilakukan kapal-kapal penangkap ikan dari luar negeri di perairan laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif.
Penegakan hukum terhadap pencurian-pencurian ikan tersebut sering dilakukan dengan penyelesaian denda damai serta perintah meninggalkan perairan
Indonesia, dan atau diadakan penyidikan untuk diajukan ke Pengadilan Negeri. Sarana dan aparatpersonil di laut teritorial khususnya di zona ekonomi eksklusif
Indonesia perlu ditingkatkan untuk untuk mencegah pencurian-pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan luar negeri di perairan tersebut.
Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang kekayaan negara khususnya di bidang perikanan yang memanfaatkan teknologi dalam penangkapan
ikan di wilayah perairan Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini ditandai dengan pelaku kejahatan bukan saja orang-
perseorangan yang dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan
105
berupa tindak pidana yang dilakukan, melainkan juga telah berkembang kepada suatu
kejahatan yang berdimensi ekonomi dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi kejahatan.
Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan pencurian ikan yang dilakukan oleh Polri Direktorat Polisi Perairan Polda Sumatera Utara bekerjasama
dengan pengawasan perikannan dapat dideskripsikan pada penanganan kasus penangkapan ikan di jalur terlarang sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan SIPI
dengan alat tangkap Purse Seine gandeng dua di perairan Kwala Batu bara Kabupaten Batu bara Sumatera Utara dengan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
105
Sudarto, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 7 ayat 2 huruf c Subsider Pasal 100 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Kasus lain dapat dilihat dalam praktek penegakan hukum tindak pidana pencurian ikan dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan oleh Aji
Sularso yakni: “pada bulan Maret lalu operasi Gurita IV Bakorkamla di perairan Laut Aru dan Laut Arafura sukses menangkap konvoi armada 7 tujuh kapal Cina dengan
bobot rata-rata 300 GT. Kelihatannya kejahatan pencurian ikan telah terorganisir dengan rapi, pelaku hafal betul menganai potensi sumber daya ikan kawasan perairan
laut yang dijarah; jadi illegal fishing sudah berlangsung lama”. Perairan ZEE Indonesia di Laut Natuna dan Laut Cina Selatan juga menjadi target illegal fishing,
terbukti akhir-akhir ini DKP menangkap 6 enam kapal Cina tanpa melengkapi dokumen dan 11 sebelas kappa lasal Vietnam ; hal ini membuktikan keseriusan
aparat pengawasan melakukan tugas diatas keberbatasan prasarana dan sarana yang tersedia.
106
Berikut beberapa kasus pelanggaran yang terjadi di pesisir dan lautan dan upaya penindakannya yang terekam pada akhir Juli 2010. Terhadap aspek penegakan
hukum yang ada, menunjukkan bahwa dari 844 kapal asing yang ditangkap pada tahun 2008, hanya 117 yang diproses melalui jalur hukum, sedangkan 659 lainnya
dilepaskan. Pada tahun 2009, dari 722 kapal yang ditangkap, yang diproses hukum hanya 58 kasus dan 648 lainnya dilepaskan. Apa yang tampak dari data tersebut baru
merupakan sebagian gambaran illegal fishing dan pelanggaran yang dilakukan di perairan Indonesia dan dapat dipastikan gambaran sesungguhnya masih jauh lebih
106
Aji Sularso, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
besar seperti diungkapkan dari hasil laporan Duta Besar Indonesia untuk Thailand bahwa terdapat sekitar 3.180 kapal nelayan Thailand berbendera Indonesia yang
belum diketahui kelegalan perijinannya dan Pemerintah Thailand sendiri sulit untuk menertibkannya karena kapal tersebut dimiliki pengusaha nakal.
107
Dengan karakteristik wilayah yang didominasi oleh wilayah lautan menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan mega-biodiversity terbesar di dunia dan
merupakan salah satu negara bahari yang juga terbesar di dunia. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sumberdaya pesisir dan lautan merupakan kekayaan alam
yang mempunyai peluang yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalam pembangunan.
Tabel: 2 Jumlah pelanggaran yang tercatat dan ditangani sampai dengan Akhir Bulan Juli 2010
Jenis Pelanggaran
Jumlah Kasus
TNI AL
PPNS Perikanan
Polairud Penyidangan Putusan
Penggunaan alat
Tangkap 45
13 22
2 35
8
Tanpa Dokumen
SPI 26
14 5
1 6
13
Penggunaan bahan
peledak dan racun
18 7
5 6
7 8
Fishing ground
14 6
6 -
1 9
Pemalsuan Dokumen
7 6
- 1
6 1
Sumber: Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, 2010
107
Sekolah Pascasarjana IPB, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
Dari potensi perikanan yang dimiliki saja, hanya baru 9 persen atau sekitar 6 juta ton yang sudah dimanfaatkan. Bila pemanfaatan potensi ini dimaksimalkan, dan
seiring dengan itu tindakan penanggulangan illegal fishing ditingkatkan maka dapat dipastikan dari sektor perikanan saja, akan menyumbangkan kontribusi yang tidak
sedikit bagi pembangunan nasional.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV HAMBATAN PENYIDIK POLRI SEBAGAI SUB SISTEM PERADILAN
PIDANA CRIMINAL JUSTICE SYSTEM DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA ILLEGAL FISHING
A. Hambatan dalam Tatanan Kebijakan Peraturan Perundang-undangan
terkait Pengaturan Perikanan
Secara garis besar kendala-kendala penanganan tindak pidana pencurian ikan di perairan Inconesia adalah masih lemahnya pcngawasan masih terbatasnya sarana
prasarana dan fasilitas pengawasan, sumber daya pengawasan yang masih belum memadai terutama dan sisi kuantitas, belum lengkapnya peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan, masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak: hukum baik pusat maupun daerah, belum berkembangnya lembaga pengawasan,
penerapan system yang belum optimal, belum tertibnya perizinan yang memberikan peluang terjadinya permalsuan izin dan masih lemahnya Law Enforcement yang
menyebabkan menurunnya kewibawaan hukum, kurangnya rasa keadilan bagi masyarakat dan maraknya pelanggaran.
Dilihat dari banyak kebijakan yang berkaitan dengan perikanan maka akan terdapat pula adanya instansi atau departemen terkait yang memiliki kewenangan di
bidang kelautan dan perikanan yaitu:
108
1. Depatemen Kelautan dan Perikanan Secara khusus berwenang menangani
persoalan pesisir dan pulau-pulau kecil, perikanan tangkap dan budidaya. 2.
Departemen Perhubungan berwenang menangani kesyahbandaran dan izin berlayar
3. Departemen Kehutanan berwenang menangani konservasi taman laut, hutan
mangrove dan pengawasan biota laut 4.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup berwenang menangani pengendalian pencemaran di laut.
108
Hasil wawancara dengan PPNS Perikanan Belawan, tanggal 22 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
5. Badan Perencanaan dan Pengembangan Teknologi BPPT dan LAPAN
menangani inventarisasi sumber daya laut 6.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI menangani program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang.
7. Satpol Airud, berwenang melakukan penyidikan pelanggaran hukum di laut TNI-
AL, berwenang melindungi kepentingan nasional di lautpertahanan dan keamanan territorial
8. Pemerintah Provinsi memiliki kewenangan dalam pengelolaan laut sejauh 12 mil
9. Pemerintah KabupatenKota memiliki kewenangan pengelolaan laut dalam zona 4
mil 0-4 mil 10.
Departemen Perindustrian berwenang menangani ekspor dan impor hasil laut 11.
Departemen Energi dan Sumber daya Mineral berwenang tentang eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral di laut
12. Departemen Pariwisata berwenang dalam pengelolaan wisata di wilayah pessir
dan laut wisata bahari. 13.
Departemen Pertanian sebelum adanya Departemen Kelautan dan Perikanan, pengelolaan pesisir dan laut menjadi kewenangan Departemen Pertanian.
Dampak dari sebuah kebijakan di sektor kelautan dan perikanan sangat luas baik kepada masyarakat maupun terhadap keberlangsungan lingkungan. Salah satu
komponen masyarakat yang secara langsung mengalami dampaknya adalah nelayan. Sebagi contoh, sejak keluarnya Keppres 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan
Pengunaan Pukat Harimau Trawl yang hingga saat ini masih menyisakan perdebatan panjang baik dari segi hukum, ekologi, sosiologis dan politik.
109
Dilihat dari aspek hukum, dapat diperdebatkan karena posisi Keppres dalam tata urutan
perundang-undangan sangat lemah, apalagi dengan keluarnya UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang telah diamendemen menjadi UU No.31 Tahun 2004.
Implikasinya, berbagai kasus yang dialami nelayan sering berbenturan oleh karena persoalan tumpang tindih kebijakan dan kewenangan.
Kasus penggunaan trawl misalnya, Satpol Airud mengambil tindakan, kadangkala juga Angkatan laut, bahkan kedua instansi tersebut seringkali saling
109
Ibid
Universitas Sumatera Utara
lempar tanggung jawab dalam pelanggaran tindak pidana di wilayah laut.
110
Dampak buruk dari tumpang tindih kebijakan dan kewenangan tersebut selain memunculkan
kekaburan dalam penyelesaian sengketa kasus-kasus perikanan, juga berimplikasi bagi iklim investasi karena akan menempuh birokrasi yang cukup panjang sehingga
terkena biaya tinggi. Persepsi masyarakat terhadap kebijakan yang ada selama ini menunjukkan ketidakpastian hukum mengenai persoalan di laut.
Tidak jarang, kasus-kasus di laut tidak masuk ke dalam meja pengadilan, karena tidak satupun kebijakan yang bisa dijadikan sebagai pijakan. Berdasarkan
identifikasi kebijakan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan konvensi yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan laut, ditemukan potensi
terjadinya permasalah hukum yang krusial, yaitu: 1 tumpang tindih dan disharmoni antar kebijakan; 2 konflik antar undang-undang dengan hukum adat; Tumpang
tindih kebijakan yang mengatur kawasan lindung dan konservasi bisa dilihat UU tentang Kehutanan, UU tentang Konservasi Sumber daya Alam hayati dan
Ekosistemnya, Keppres No.32 tentang Pengelolaan Kawasan lindung. Kemudian contoh lain yaitu; Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status
kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, pada Pasal 4 dinyatakan, status sumber daya alam
perairan pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik Negara state property. Selain hal-hal tersebut, hal lainya yaitu; kebijakan yang ada secara umum
lebih banyak mengatur masalah perizinan, larangan dan pungutan atau bersifat ekonomis daripada mempertimbangkan unsur keberlanjutan lingkungan. Antara
110
Hasil wawancara dengan penyidik pada Direktorat Polisi Perairan Polda Sumatera Utara, tanggal 24 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan nilai kelestarian sumber daya dengan ekonomi masih terlihat timpang. Memang sudah ada beberapa kebijakan yang memuat pentingnya konservasi antara
lain: UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Hayati dan Ekosistemnya, UU tentang Pengelolaan lingkungan Hidup, UU No. 31 tahun 2004
tentang Perikanan, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No.69 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, PP No.7
Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, PP no. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Peraturan lainnya seperti Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor KB.550264Kpts41984 dan Nomor 082Kpts-II1984,
tanggal 30 April 1984, yang menyebutkan bahwa lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat Keputusan tersebut kemudian dijabarkan oleh Departemen
Kehutanan dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 507IV-BPHH1990 yang berisi penentuan lebar sabuk hijau pada hutan mangrove, yaitu sebesar 200 meter di
sepanjang pantai dan 50 m disepanjang tepi sungai. Keputusan tersebut diperkuat dengan Keputusan Presiden No.32 tahun 1990 tentang pengelolaan Kawasan
Lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sepadan pantai dilakukan untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu
kelestarian fungsi pantai, dimana kriteria sepadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi
pantai, minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi daratan. Secara ekologis juga disarankan lebar sabuk hijau pada kawasan pantai berhutan mangrove minimal
selebar 130 dikalikan nilai rata-rata perbedaan antara air pasang tertinggi dan
Universitas Sumatera Utara
terendah tahun diukur dari air surut terendah ke arah darat. Misalnya pada suatu kawasan pantai berhutan mangrove, nilai rata-rata selisih antara pasang tertinggi dan
surut terendah tahunan sebesar 1,5 meter, maka lebar sabuk hijau mangrove yang harus dipertahankan sepadan pantai adalah 130 x 1,5 meter = 195 meter.
Mencermati berbagai kebijakan yang dikeluarkan terdapat dua undang-undang yang dapat dikatakan sebagai momentum penting perkembangan hukum kelautan dan
perikanan yakni; UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dan UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dengan terbitnya
kedua kebijakan tersebut di atas maka beberapa peraturan lain terkait kelautan dan perikanan selama ini, sudah banyak yang tidak relevan. Kedua kebijakan tersebut
menjadi pengisi kekosongan hukum atau ketiadaan pengaturan pengelolan sumber daya pesisir dan laut selama ini. Dengan kebijakan tersebut menempatkan sektor
kelautan dan perikanan pada posisi strategis dalam pembangunan nasional dan menjadi referensi utama bagi pembuatan kebijakan lain terkait perikanan dan
kelautan baik pada tingkat daerah maupun nasional. Meskipun demikian kedua UU tersebut masih perlu dikritisi menyangkut beberapa hal, salah satunya UU No.31
Tahun 2004 sejak proses pembentukannya hingga disahkan kurang mengakomodir berbagai stakeholder di bidang perikanan dan kelautan hal ini terlihat minimnya
konsultasi publik dan perwakilan nelayan. Dengan demikian UU ini masih belum banyak diketahui terutama di kalangan nelayan. Dilihat dari substansi isi, undang-
undang ini mengutamakan kepentingan ekonomi, terlihat dengan banyaknya pasal khususnya yang mengatur usaha perikanan dan perijinan. Kelemahan lain, belum
adanya ketegasan pelarangan trawl dan sejenisnya. Selain itu pasal yang mengatur
Universitas Sumatera Utara
tentang pemberdayaan nelayan bisa dikatakan minim. Defenisi nelayan dalam UU ini juga masih sangat kabur, sehingga dikhawatirkan menimbulkan berbagai penafsiran
terutama dalam operasional di lapangan. Sisi konservasi sudah terlihat baik apalagi adanya pasal yang secara tegas untuk melarang memasukkan rekayasa genetika, obat-
obatan dan sejenisnya yang berbahaya bagi kelestarian sumber daya ikan. Dengan dikeluarkannya UU No. 312004 ini maka Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1985 tentang Perikanan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299dan
ketentuan tentang pidana denda dalam Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260 khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perikanan,dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selain itu, beberapa kebijakan sebagai turunan teknis pelaksanaan UU
Perikanan No.9 Tahun 1985 lama dengan sendirinya perlu disesuaikan dicabut dan direvisi sesuai dengan UU yang baru antara lain:
111
1. PP Nomor 15 Tahun 1990 Tentang Usaha Perikanan dan PP Nomor 46 tahun
1993 Tentang Perubahan Atas PP 15 Tahun 1990 dan PP Nomor 141 tahun 2000 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tentang Usaha
Perikanan.
2. Ketentuan Pidana denda dalam pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tidak berlaku lagi sesuai Bab Ketentuan Penutup dengan pasal 110
3. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 473aKPtsIK.25061985: tentang
Jumlah Tangkapan Ikan yang diperbolehkan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
111
Hasil wawancara dengan PPNS Perikanan Belawan, tanggal 22 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
4. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 475KptsIK.12071985 tentang
Perizinan bagi orang atau Badan Hukum Asing untuk Menangkap Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
5. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 476KptsIK.1201985 tentang
Penetapan Tempat Melapor bagi Kapal Perikanan yang mendapat Izin Menangkap Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
6. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 477KptsIK.120.71988 tentang
Perubahan Besarnya Pungutan Penangkapan Ikan bagi orang atau Badan Hukum Asing yang Melakukan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
7. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 277Kpts.IK.12051987 tentang
Perizinan Usaha di Bidang Penangkapan Ikan di Perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
8. Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 816KptsIK.120111990 tentang
Perizinan Usaha Perikanan 9.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392KptsIK.120499 tentang Jalur-jalur penangkapan ikan.
B. Hambatan Penegakan Hukum oleh Polri terhadap Pemberantasan Praktek
Illegal Fishing
Penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan di perairan Indonesia menurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu: tindakan
pencegahan prevention, tindakan represif dari tindakan-tindakan lain dari pemerintah Indonesia dalam upaya meningkatkan sosial ekonomi masyarakat dan
pemanfaatan sumber daya alam secara profesional. Hambatan yang ditemui oleh Polri dalam penegakan hukum di bidang perikanan yakni penyusunan perencanaan
pelibatan khususnya yang berkaitan dengan kualifikasi dan kuantitas sumber daya manusia belum sepenuhnya didasarkan atas arah dan tujuan perencanaan operasi,
sehingga terjadi miss komunikasi serta kesalahan dalam penentuan sasaran.
112
Hal ini dapat dilihat dari sarana prasarana berupa alut dengan pelibatan personil dalam
perencanaan operasi pemberantasan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.
112
Hasil wawancara dengan Penyidik pada Dit Pol Air Polda Sumatera Utara, tanggal 24 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
Optimalisasi pengamanan wilayah perbatasan dan pulau terluar di selat malaka yang dilakukan oleh Dit Pol Air Polda Sumatera Utara khusunya dalam
penegakan hukum, dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Dalam prakteknya, keberadaan faktor-faktor ini dapat mendukung
pencapaian optimalisasi yang memadai dan dapat pula menjadi penghambat. Oleh karena itu, keberadaan faktor-faktor ini harus dapat dikelola dengan baik agar dapat
memberikan kontribusi positif bagi pengoptimalan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau terluar. Dengan melakukan analisa terhadap kondisi faktual yang
mempengaruhi optimalisasi pengamanan wilayah perbatasan dan pulau terluar di selat malaka, maka diperoleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
113
1. Internal
a. Kekuatan
1 Melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Konvensi
PBB hukum laut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konversi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, UU NO 61996
Tentang Perairan Indonesia, UNCLOS 1982, PP NO 382002 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan
Indonesia merupakan kerangka hukum yang dijadikan dalam rangka pengamanan wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar serta
perlindungan terhadap kedaulatan NKRI 2
Melalui Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri telah memulai melakukan reformasi
melalui redefinisi, reposisi dan restrukturisasi kelembagaan dengan
113
Ibid
Universitas Sumatera Utara
lebih menitikberatkan pada peningkatan pelayanan yang profesional, pencegahan kejahatan dan penegakan hukum, untuk mewujudkan
keamanan; 3
KEP KAPOLRI NO POL : KEP28XII2007 Tentang Strategi Pengembangan Polri Di Wil Perbatasan Tahun 2007-2009
4 Grand Strategi Polri yang meliputi tiga tahap yakni trust building,
patnership building dan strive for excelence. 5
Telah ditetapkannya SOP pengamanan wilayah perbatasan dan pulau tertuar oleh pimpinan Polri.
6 Kerjasama Polri dengan PDRM untuk melaksanakan patroli
terkoordinasi di perairan perbatasan Indonesia dan Malaysia yang meliputi antara lain jaringan komunikasi untuk saling tukar menukar
informasi dengan melaksanakan Rendezvous RV pada titik pertemuan yang telah disepakati.
7 Latihan bersama Aman Malindo dan patroli bersama oleh Ditpol Air
Polda Sumut dengan polisi Marin PDRM Kontijen Langkawi dan Kontijen Pulau Pinang untuk menangani masalah-masalah kejahatan
yang terjadi di perairan perbatasan.
b. Kelemahan
1 Penempatan personil dalam rangka pengamanan wilayah perbatas dan
pulau-pulau terluar belum di dasarkan pada hakekat ancaman dan lingkungan strategis yang didasarkan pada manajemen operasional
Kepolisian.; 2
Kuantitas dan kualitas personil Dit Pol Air Polda Sumut yang belum memadai terutama menyangkut pemahaman tentang tindakan-tindakan
kepolisian di wilayah perairan selat malaka dan pulau-pulau terluar.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya pemahaman tentang ketentuan-ketentuan hukum Internasional tentang batas negara.
3 Patroli yang dilakukan hanya sebatas rutinitas tanpa mengkaji dan
menganalisis terhadap permasalah-permasalah yang timbul terutama
dikaitkan dengan hakekat ancaman cenderung reaktif bukan proaktif
4 Belum optimalnya kerjasama lintas sektoral yang dilakukan oleh Dit
Pol Air Polda Sumatera Utara dengan instansi samping yang ada. 5
Adanya perbedaan penentuan batas wilayah perairan selat malaka antara Indonesia dan Malaysia, Indonesia menentukan batas wilayah
perairan di selat malaka sesuai dengan UNCLOS tahun 1982 yang diberlakukan di Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1985, sedangkan
Malaysia menentukan batas wilayah perairan berdasarkan landasan kontinental akibatnya ditemukan banyak kapal-kapal nelayan malaysia
menangkap ikan di perairan Indonesia yang menurut mereka masih diperairan Malaysia.
6 Belum optimalnya pemberdayaan pos-pos polisi perairan di berbagai
lokasi yang strategis sepanjang selat malaka terutama pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain.
7 Anggaran yang disediakan untuk mendukung pengamanan wilayah
perbatasan dan pulau terluar belum sebanding dengan kompleksitas permasalahan yang muncul. Hal ini seringkali menjadi penghambat
bagi personil yang ditugaskan untuk melakukan pengamanan secara optimal;
8 Dit Pol Air Polda Sumut belum memiliki sarana prasarana yang
memadai guna mendukung tindakan pengamanan wilayah perbatasan dan pulau terluar yang memadai dikaitnya dengan luasnya selat
malaka;
Universitas Sumatera Utara
9 Kode etik Profesi Polri dapat dijadikan sebagai pedoman moral dan
tingkah laku bagi penyidik dalam melaksanakan tugas penegakan hukum termasuk dalam penanggulangan tindak pidana kasus
menonjol.
2. Eksternal