Sistem Petanggungjawaban Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana

sebab itu diperlukan peningkatan prinsip akuntabilitas lembaga peradilan. Dengan prinsip ini akan diketemukan proses penegakan hukum yang bersifat resfonsif, untuk pencapaian hal ini di dalam tindak pidana pecurian ikan yang menekankan pada tindakan refresif kepolisian.

C. Sistem Petanggungjawaban Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana

terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing Penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana illegal fishing diartikan penggunaan seluruh upaya baik setelah kejahatan terjadi maupun sebelum kejahatan. Pemberantasan illegal fishing adalah meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana dengan menerapkan sanksi hukum atas perbuatan yang telah dikriminalisasi, pertanggungjawaban pada sistem hukum pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah azas “culpibiltas” tidak ada pidana tanpa kesalahan dan selalu didasarkan pada unsur subjektif atau mens rea dan unsur obejektifnya atau actus reus. Di dalam mens rea yang harus dibuktikan yaitu mengenai atau patut diduga knowladge dan berkaitan erat bermaksud intends. Tindak pidana illegal fishing yang terjadi di wilayah perairan Indonesia mayoritas dilakukan oleh kapal-kapal penangkapan ikan dengan menggunakan teknologi canggih dan dikendalikan oleh korporasi-korporasi yang bidang usahanya adalah melakukan penangkapan ikan. Untuk itu sistem pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh kapal peningkatan ikan dan menggunakan teknologi dilakukan pendekatan sistem pertanggungjawaban korporasi. Ilegal fishing telah dikategorikan Universitas Sumatera Utara sebagai suatu tindak pidana extra ordinary crime dan kejahatan transnational crime untuk itu tindak pidana illegal fishing juga dikategorikan sebagai white collar crime. Korporasi dalam perkembangan masyarakat telah diterima sebagai subjek hukum pidana. Penerima ini dapat berakibat hukum yaitu dapat melakukan hubungan hukum dan dapat menanggung akibatnya berupa pertanggungjawaban pidana. Kejahatan korporasi atau kejahatan organisasi disebut juga dengan “corporate crime” dan harus dibedakan dengan kejatatan terorganisir atau “organized crime”. Perbedaannya dapat dilihat pada definisi dari keduanya. Kejatahan terorganisir adalah kejahatan yang mempunyai sindikat kejahatan organized crime, seperti yang dilakukan oleh para mafia. Sedangkan kejahatan korporasi adalah suatu bentuk kejahatan crime dalam bentuk “white collar crime”, merupakan tindakan yang melanggar hukum pidana, yang dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang bisnis, melalui pengurus atau yang diotorisasi olehnya, di mana meskipun perusahaan tidak pernah mempunyai niat jahat mens rea. Akan tetapi, dengan pertimbangan tertentu, perusahaan tersebut yang harus bertanggung jawab secara hukum dan karenanya perusahaan tersebutlah yang harus dihukum pidana meskipun terbatas pada hukuman denda, hukuman percobaan, atau hukuman tambahan seperti pencabutan izin dan sebagainya. 97 Paradigma Reksodiputro juga memberikan perbedaan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan terorganisasi. Paradigma tersebut membantu memberikan alternatif penyelesaian dilema perumusan tindak pidana korporasi serta membantu meluruskan kekeliruan pemahaman kejahatan oleh organisasi kejahatan korporasi 97 Munir Fuady, Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 26 Universitas Sumatera Utara yang dirancukan dengan kejahatan terorganisasi. Pada kejahatan oleh organisasi, perhatian ditujukan pada perilaku perusahaan yang melawan hukum. Beliau juga mengatakan bahwa : “……dalam kejahatan korporasi kita berbicara tentang organisasi yang sah legal bodies; upperworld crimes yang dapat dibedakan antara yang dilakukan korporasi perdata kejahatan oleh perusahaan dan yang dilakukan oleh korporasi publik, termasuk di sini adalah kejahatan oleh pemerintah dan lebih luas lagi oleh negara” 98 Kejahatan korporasi harus juga dibedakan dengan kejatatan lain pada umumnya, karena perilaku kejahatan ini termasuk apa yang dikenal sebagai “white collar crime” konsepsi ini pertama dipergunakan oleh Edwin H. Suthreland dalam bulan Desember 1939. Kedudukannya sebagai “white collar crime” inilah yang memberikannya perhatian khusus, baik dari kalangan akademisi ahli kriminologi dan ahli hukum pidana, maupun dari kalangan praktisi penegak hukum. 99 Disamping itu, Marshall B. Clinard memberikan pengertian tentang kejahatan korporasi sebagai “white collar crime”, tetapi “white collar crime” dengan bentuk khusus yang merupakan suatu kejahatan terorganisir organization crime yang terjadi dalam suatu hubungan relationship atau antar hubungan interrelationship yang tersturtur, kompleks, dan sangat bervariasi antara para direksi, pejabat eksekutif perusahaan, dan menajer di satu pihak, dengan perusahaan induk, divisi, atau anak perusahaan di lain pihak. 100 Hal ini terjadi karena ada kemungkinan perusahaanlah 98 Ibid, hal. 47 99 Marjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta: Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Pusat Layanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994, hal. 65 100 J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Bandung: Penerbit Eresco, 1994, hal. 28 Universitas Sumatera Utara yang melakukan kejahatan, baik perusahaan sendiri maupun bersama-sama dengan pengurus, komisaris, atau pemilik perusahaan. Para pakar hukum pada umumnya berpendapat sama tentang kejahatan korporasi sebagai bagian dari “white collar crime”. Reksodiputro berpendapat serupa bahwa kejahatan korporasi merupakan bagian dari “white collar crime”. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa : “Kejahatan korporasi selalu berhubungan dengan kegiatan ekonomi atau kegiatan yang berkaitan dengan dunia bisnis business related activities. Walaupun demikian, perlu ditegaskan perbedaan antara “corporate crimed” dengan “small business offenses” kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan kecil atau terbatas. Konsepsi kejahatan hanya ditujukan kepada kejahatan yang dilakukan oleh “big business” dan jangan dikaitkan dengan kejatahan oleh “small scalle business” seperti penipuan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor dan sebagainya”. 101 Mengutip dari tulisan Stevens Box, Susanto menjelaskan ruang lingkup kejahatan korporasi sebagai berikut : 1. Crimes for corporation, adalah pelanggaran hukum dilakukan oleh korporasi dalam usaha mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh profit ; 2. Criminal corporation, yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan ; 3. Crime against corporation, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi , yang dalam hal in yang menjadi korban adalah korporasi. 102 Dalam hukum perdata dikenal dasar konsepsi pertanggungjawaban hukum jika terjadi pelanggaran hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang mengatakan sebagai berikut: ‘ Tiap perbuatan melanggar hukum yang 101 Ibid, hal. 44 102 Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Strict Liability dan Vicarius Liability, Jakarta: Raja Grafindo, 1996, hal. 41 Universitas Sumatera Utara membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut’ . Pasal ini mengandung unsur pertanggujawaban hukum yang dibebankan kepada pelaku jika tindakannya disebabkan adanya kesalahan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Pasal tersebut merupakan rumusan umum tentang pertanggungjawaban hukum yang dapat diberlakukan pula pada korporasi. Adapun kesulitan dalam hal pertanggujawaban ini terletak pada penerapan asas kesalahan karena unsur ini sebenarnya hanya dapat diterapkan pada seorang manusia naturlijk persoonen. Menurut Wijorno Prodjodikoro, 103 adapun cara mengatasi kesulitan ini tergantung pada teori mana yang dianut tentang inti dari pengertian korporasi. Beliau hanya menyebut tiga teori saja, yaitu : a. Teori fiksi perumpamaan b. Teori organ peralatan c. Teori pemilikan bersama Oleh teori fiksi diakui bahwa unsur kesalahan jelas tidak ada pada korporasi, akan tetapi korporasi boleh dianggap seolah-olah sebagai seorang manusia perumpamaan. Karena korporasi diumpamakan seorang manusia, maka tindakan orang-orang manusia yang bertindak dalam lingkungan korporasi itu sebagai pengurus tidak dapat dianggap tindakan langsung dari korporasi itu, melainkan sebagai tindakan seorang lain, atas tindakan mana korporasi itu juga bertanggung jawab. Maka dalam sistem KUH Perdata hal yang dapat dipergunakan adalah bukan Pasal 1365, melainkan Pasal 1367 ayat 3, yaitu pertanggungjawaban seorang atas 103 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Sumur Bandung, , 1976, hal. 61 Universitas Sumatera Utara perbuatan “ondergeschikte” orang yang berada di bawah perintah orang lain. Adapun bunyi pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata sebagai berikut : “Majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan mereka , adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan atau bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang itu dipakainya”. Sedangkan teori organ memandang suatu korporasi tidak sebagai suatu perumpamaan fiksi akan tetapi sebagai suatu kenyataan realita, yang tidak berbeda dari pada seorang manusia dalam bertindak dalam masyarakat. Manusia bertindak dengan mempergunakan alat-alat berupa tangan, kaki, jari, mulut, otak dan lain-lain. Demikian juga korporasi mempunyai alat-alat organ berupa rapat anggota dan orang-orang pengurus yang bermacam-macam, yang semua bertindak sebagai alat belaka dari korporasi itu. Oleh karena itu, alat-alat itu berupa manusia juga, maka sudah selayaknya syarat-syarat dalam peraturan hukum yang melekat pada badan seorang manusia seperti kesalahan subjek pebuatan melanggar hukum dapat dipenuhi juga oleh korporasi-korporasi. Maka suatu perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh seorang manusia yang kebetulan merupakan suatu alat dari koporasi, boleh dianggap sebagai perbuatan langsung dari korporasi itu. Sudah tentu seorang itu harus secara langsung bertindak sebagai alat dari korporasi itu. Artinya harus tidak keluar dari lingkungan pekerjaan koporasi itu dan harus bertindak menurut anggaran dasar dari korporasi itu. Sedangkan menurut teori kepentingan bersama, korporasi tidak lain dari pada kepentingan-kepentingan segenap orang-orang yang menjadi latar belakang background dari korporasi itu, yaitu segenap anggota dari korporasi itu. Teori ini Universitas Sumatera Utara menganggap korporasi langsung bertanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dalam organisasi korporasi, seperti seorang pengurus dari suatu korporasi. Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat dianggap ada dengan mempergunakan Pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata seperti tersebut diatas, jadi secara tidak langsung.

D. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing