Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing

menganggap korporasi langsung bertanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dalam organisasi korporasi, seperti seorang pengurus dari suatu korporasi. Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat dianggap ada dengan mempergunakan Pasal 1367 ayat 3 KUH Perdata seperti tersebut diatas, jadi secara tidak langsung.

D. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Illegal Fishing

Pola kejahatan illegal fishing mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan kejahatan lainya berkaitan dengan kejahatan di wilayah perairan negara Republik Indonesia baik yang dilakukan oleh orang perseorangan ataupun melibatkan pihak- pihak yang terkait sebagai organization crime dan dilakukan oleh korporasi yang kegiatan usahanya di bidang penangkapan ikan. Dalam prakteknya kegiatan-kegiatan penegakan hukum di laut khususnya di bidang perikanan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dapat diklasifikasikan menjadi dua tahap yakni: pertama, berupa kegiatan-kegiatan yang langsung menanggulangimengenai semua tindak pidana, baik pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi di laut khususnya pencurian ikan. Tahap kedua, berupa kegiatan-kegiatan penyelesaian akhir yang bersifat yuridis teknis oleh Departemeninstansi yang berwenang sesuai dengan bidangnya. Ternyata dalam praktek masing-masing Departemeninstansi dalam melaksanakan kegiatan pada tahap pertama secara sendiri-sendiri, sehingga terhadap suatu pelanggaran atau kejahatan ditangani oleh beberapa instansi. Hal yang demikian ini dapat menyulitkan untuk mencapai sasaran, karena masing-masing instansi bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum untuk kepentingannya masing-masing, sehingga Universitas Sumatera Utara sasaran penegakan hukumntersebut tidak bersifat menyeluruh. Sedangkan tindak lanjut penyelesaian akhir pada tahap kedua terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi di laut ditempuh tindakan repressif dengan mengajukan perkara-perkara tindak pidana tersebut kepada badan-badan peradilan dan badan-badan lain untuk mendapatkan penyelesaian hukum, seperti pencurian ikan illegal fishing. Kondisi strategis wilayah perairan Indonesia akan menarik bagi kapal- kapal penangkapan ikan asing untuk melakukan tindak pidana pencurian ikan illegal fishing di perairan Indonesia. Menurut Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pencurian ikan ilegal fishing adalah pcncurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan. Berdasarkan Pasal 103 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, tindak pidana perikanan dibagi atas 2 jenis tindak pidana yaitu: tindak pidana kejahatan di bidang perikanan Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93 dan Pasal 94 dan tindak pidana pelanggaran di bidang perikanan Pasal 87, 89,90,95,96,97,98,99, dan Pasal 100. Illegal fishing dikenal dengan Illegal, Unregulated Fishing IUU Fishing tidak hanya terjadi di Indonesia saja, beberapa neraga kawasan Asia Pasifik mengakui bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan. Upaya mengatasi bisa di implementasikan dengan inisiasi bentuk kerjasama bilateral antara Negara dalam rangka pengawasan perikanan misalnya, kerja sama RI dengan Australia , Philipina dan Thailad. Hal ini dimaksudkan supanya ada kesamaan persepsi antara Negara guna mengatasi berbagai masalah menyangkut illegal fishing. Pola kerjasama semacam ini sebagai implementasi Regional Plan of Universitas Sumatera Utara Action RPOA yang disepakati 10 sepuluh Negara pada saat Ministerial Meeting di Bali beberapa waktu lalu;dalam rangka “mendorong tumbuh berkembangnya responsible fishing practices”. Akibat maraknya illegal fishing Indonesia mengalami kerugian + Rp 30 triliun per tahun demersal 2008; perhitungan tersebut didasari asumsi bahwasanya hasil curian sekitar 25 dari stock assessment ikan atau sebesar 1,6 juta ton; jika harga ikan rata-rata 2 dolar per kilogram, nilai tersebut merupakan angka yang sangat fantastik. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Aji Sularso Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan sebagai berikut: 104 “Tidak salah kalau Departemen Kelautan dan Perikanan DPK kebakaran jenggot akibat ulah illegal fishing oleh nelayan asing, khawatir sumber daya ikan terkuras habis, dan sisi lain target Pendapatan Negara Bukan Pajak tidak terpenuhi. Oleh karena itu upaya menekan illegal fishing terus menerus dilakukan utamanya di perairan yang selama ini sangat rawan; yaitu Laut Arafura, perairan Natuna, dan Perairan Utama Sulawesi Utara; ternyata menuai hasil yang cukup menggembirakan”. Memahami akan arti dan pentingnya fungsi hukum sebagai alat hukum dalam kaitannya sebagai penegak hukum di laut perlu secara terus menerus dibina, dikembangkan tingkat kemampuan dan kewibawaannya. Hal ini dapat dicapai bila aparat itu sendiri tumbuh kesadaran hukumnya. Hal ini dapat dicapai bila aparat itu sendiri tumbuh kesadaran hukumnya, sehingga penghayatan akan hak dan kewajibannya terwujud ke arah tegaknya hukum yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang dihadapi dalam kegiatan- kegiatan penyelenggaraan penegakan hukum adalah kasus-kasus pencurian ikan yang 104 Ibid Universitas Sumatera Utara sering dilakukan kapal-kapal penangkap ikan dari luar negeri di perairan laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif. Penegakan hukum terhadap pencurian-pencurian ikan tersebut sering dilakukan dengan penyelesaian denda damai serta perintah meninggalkan perairan Indonesia, dan atau diadakan penyidikan untuk diajukan ke Pengadilan Negeri. Sarana dan aparatpersonil di laut teritorial khususnya di zona ekonomi eksklusif Indonesia perlu ditingkatkan untuk untuk mencegah pencurian-pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal penangkap ikan luar negeri di perairan tersebut. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang kekayaan negara khususnya di bidang perikanan yang memanfaatkan teknologi dalam penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. Hal ini ditandai dengan pelaku kejahatan bukan saja orang- perseorangan yang dapat diminta pertanggungjawaban atas kesalahan 105 berupa tindak pidana yang dilakukan, melainkan juga telah berkembang kepada suatu kejahatan yang berdimensi ekonomi dengan melibatkan jaringan yang terorganisir dalam melakukan modus operandi kejahatan. Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan pencurian ikan yang dilakukan oleh Polri Direktorat Polisi Perairan Polda Sumatera Utara bekerjasama dengan pengawasan perikannan dapat dideskripsikan pada penanganan kasus penangkapan ikan di jalur terlarang sesuai dengan Surat Ijin Penangkapan Ikan SIPI dengan alat tangkap Purse Seine gandeng dua di perairan Kwala Batu bara Kabupaten Batu bara Sumatera Utara dengan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada 105 Sudarto, Loc.cit. Universitas Sumatera Utara Pasal 7 ayat 2 huruf c Subsider Pasal 100 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kasus lain dapat dilihat dalam praktek penegakan hukum tindak pidana pencurian ikan dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan oleh Aji Sularso yakni: “pada bulan Maret lalu operasi Gurita IV Bakorkamla di perairan Laut Aru dan Laut Arafura sukses menangkap konvoi armada 7 tujuh kapal Cina dengan bobot rata-rata 300 GT. Kelihatannya kejahatan pencurian ikan telah terorganisir dengan rapi, pelaku hafal betul menganai potensi sumber daya ikan kawasan perairan laut yang dijarah; jadi illegal fishing sudah berlangsung lama”. Perairan ZEE Indonesia di Laut Natuna dan Laut Cina Selatan juga menjadi target illegal fishing, terbukti akhir-akhir ini DKP menangkap 6 enam kapal Cina tanpa melengkapi dokumen dan 11 sebelas kappa lasal Vietnam ; hal ini membuktikan keseriusan aparat pengawasan melakukan tugas diatas keberbatasan prasarana dan sarana yang tersedia. 106 Berikut beberapa kasus pelanggaran yang terjadi di pesisir dan lautan dan upaya penindakannya yang terekam pada akhir Juli 2010. Terhadap aspek penegakan hukum yang ada, menunjukkan bahwa dari 844 kapal asing yang ditangkap pada tahun 2008, hanya 117 yang diproses melalui jalur hukum, sedangkan 659 lainnya dilepaskan. Pada tahun 2009, dari 722 kapal yang ditangkap, yang diproses hukum hanya 58 kasus dan 648 lainnya dilepaskan. Apa yang tampak dari data tersebut baru merupakan sebagian gambaran illegal fishing dan pelanggaran yang dilakukan di perairan Indonesia dan dapat dipastikan gambaran sesungguhnya masih jauh lebih 106 Aji Sularso, Loc.cit Universitas Sumatera Utara besar seperti diungkapkan dari hasil laporan Duta Besar Indonesia untuk Thailand bahwa terdapat sekitar 3.180 kapal nelayan Thailand berbendera Indonesia yang belum diketahui kelegalan perijinannya dan Pemerintah Thailand sendiri sulit untuk menertibkannya karena kapal tersebut dimiliki pengusaha nakal. 107 Dengan karakteristik wilayah yang didominasi oleh wilayah lautan menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan mega-biodiversity terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara bahari yang juga terbesar di dunia. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sumberdaya pesisir dan lautan merupakan kekayaan alam yang mempunyai peluang yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang efektif dalam pembangunan. Tabel: 2 Jumlah pelanggaran yang tercatat dan ditangani sampai dengan Akhir Bulan Juli 2010 Jenis Pelanggaran Jumlah Kasus TNI AL PPNS Perikanan Polairud Penyidangan Putusan Penggunaan alat Tangkap 45 13 22 2 35 8 Tanpa Dokumen SPI 26 14 5 1 6 13 Penggunaan bahan peledak dan racun 18 7 5 6 7 8 Fishing ground 14 6 6 - 1 9 Pemalsuan Dokumen 7 6 - 1 6 1 Sumber: Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, 2010 107 Sekolah Pascasarjana IPB, Loc.cit Universitas Sumatera Utara Dari potensi perikanan yang dimiliki saja, hanya baru 9 persen atau sekitar 6 juta ton yang sudah dimanfaatkan. Bila pemanfaatan potensi ini dimaksimalkan, dan seiring dengan itu tindakan penanggulangan illegal fishing ditingkatkan maka dapat dipastikan dari sektor perikanan saja, akan menyumbangkan kontribusi yang tidak sedikit bagi pembangunan nasional. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HAMBATAN PENYIDIK POLRI SEBAGAI SUB SISTEM PERADILAN