kekakuan rigidity, dan hirarki hierarchy. Nilai rasionalitas formal misalnya, cenderung untuk menjadikan birokrasi lebih mengutamakan legalitas formal dalam
menjalankan tugas daripada mendalami esensi permasalahan. Sistem hirarki yang kaku juga menyebabkan orientasi birokrat tidaklah berpihak kepada rakyat,
melainkan justru kepada atasan, karena bagaimanapun penilai kinerja birokrat dalam model tradisional adalah atasan langsung, bukan masyarakat pengguna jasa.
Akibatnya muncul ABS Asal Bapak Senang dan keengganan para personel birokrasi untuk bertanggung jawab terhadap kinerja mereka masing-masing, dengan
alasan “hanya menjalankan perintah atasan”. Sementara itu sikap rigiditas dan kerahasiaan, menjadikan birokrasi cenderung mirip dengan organisasi militer. Pola
organisasi semacam ini lebih mengutamakan loyalitas terhadap organisasi dan senior daripada mengembangkan ruang konsultasi dan partisipasi bagi publik. Birokrat
cenderung melaksanakan apapun perintah atasan walaupun barangkali tidak sesuai dengan kehendak masyarakat sebagai customers.
2. 3. Reformasi Birokrasi
Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki rapor buruk, khususnya semasa orde baru, yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua,
masyarakat harus membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta
empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih dari itu, layanan birokrasi justru menjadi salah satu penyebab utama terhadap maraknya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
KKN. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintahan sangat dominan. Kondisi ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini
bahwa pejabat politik dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan. Ramlan Surbakti Santoso, 2008: 116 mengatakan, kewenangan besar
dimiliki birokrat sehingga hampir semua aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu, bahkan akhirnya menonjolkan peran
birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian
birokrasi dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat. Fenomena itu terjadi karena tradisi
birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh
praja daripada pamong praja.
Reformasi birokrasi pemerintahan saat ini memang belum sepenuhnya terlihat. Birokrasi pemerintahan masih kental dengan nuansa klasik, yaitu kekuasaan
tunggal ada di tangan pemerintah. Selain itu, rancangan besar yang lengkap dan tuntas mengenai penyelenggaraan birokrasi pemerintah belum terlihat. Struktur
organisasi pemerintahan bahkan tergolong gemuk, sehingga kegiatan yang dilakukan cenderung boros.
Menurut Miftah Thoha 2008, reformasi adalah suatu proses yang tidak bisa diabaikan. Reformasi secara naluri harus dilakukan karena tatanan pemerintahan
yang baik pada suatu masa, dapat menjadi tidak sesuai lagi karena perkembangan
jaman. Reformasi birokrasi yang mendasar semestinya memberikan perspektif rancangan besar yang akan dilakukan. Perbaikan di satu bidang harus menunjukkan
kaitannya dengan bidang yang lain. Apalagi dengan menganut sistem pemerintahan yang demokratis, maka setiap kebijakan publik harus mengakomodasi setiap
kebutuhan rakyat. Miftah menegaskan, pemimpin daerah seharusnya mengenal warganya secara baik, sehingga pelayanan publik tidak lagi berorientasi pada
kepentingan penguasa, tetapi lebih kepada kepentingan publik. Antrian panjang dalam memperoleh bantuan, padahal sudah ditimpa bencana, masih dipersulit dengan
birokrasi yang panjang, adalah contoh bahwa pelayanan publik belum berorietasi pada kepentingan publik. Kelemahan lain birokrasi di Indonesia antara lain karena
banyak kegiatan yang tidak perlu dilakukan, tetapi tetap dipaksakan untuk dijalankan oleh pemerintah.
Pemerintah bisa saja sebenarnya mengawali reformasi birokrasi dengan mengubah budaya aparatur negara yang menganut tradisi lisan, suka omong-omong
di seminar atau di berbagai forum tanpa ada keputusan yang konkret. Akibatnya tidak ada satupun yang bisa diminta pertanggungjawabannya. Namun untuk mengubah
budaya birokrasi memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama, sehingga pemerintah pun dituntut untuk segera memulainya.
Bila kita kembali menyimak perkataan Max Weber, birokrasi merupakan organisasi formal bersifat hirarki, yang ditetapkan oleh aturan-aturan legal rasional
untuk mengoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas administrasi agar mencapai tujuan dengan lebih efektif dan efisien. Birokrasi ditandai
dengan hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem reward dan sistem kontrol. Birokrasi diperlukan kehadirannya dalam suatu negara modern sebagai
penghubung antara pemerintah dengan rakyat, untuk memberikan layanan terbaik kepada publik. Dalam kenyataannya, tidak ada organisasi yang menyerupai tipe
birokrasi ideal. Sedikit sekali organisasi yang mendekati tipe birokrasi ideal, sedangkan sebagian besar organisasi jauh dari tipe ideal birokrasi Weber.
Weber pernah membuat delapan proposisi tentang birokrasi, salah satunya adalah “administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini
cenderung menjadikan kantor biro sebagai pusat organisasi modern”. Berdasarkan proposisi ini dapat diketahui bahwa budaya tulis menjadi ciri utama birokrasi. Sesuai
prisip impersonal dari birokrasi, budaya tulis merupakan perwujudan tanggung jawab dalam rangka pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan dokumentasi secara tertulis, juga
akan memperjelas tanggung jawab setiap eselon organisasi dalam menjalankan fungsinya.
Berangkat dari asumsi tersebut, maka kentalnya budaya lisan di kalangan birokrasi merupakan salah satu bentuk patologi birokrasi. Patologi birokrasi semacam
ini sangat berbahaya jika dibiarkan terlalu lama. Karena budaya ini akan menjadi senjata utama untuk menghindar dari tanggung jawab.
Setelah sekian lama reformasi bergulir, diperoleh data dari penelitian Agus Dwiyanto, bahwa kinerja pelayanan birokrasi pemerintah pada masa reformasi tidak
banyak mengalami perubahan signifikan. Para aparatur negara atau birokrat masih tetap menunjukkan derajat rendah pada akuntabilitas, responsivitas, dan efisiensi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Bahkan secara empirik di era reformasi tampak sekali KKN di kalangan birokrat lebih berani dan transparan. Kualitas
layanan publik juga diperparah oleh suatu kenyataan bahwa birokrasi sering mengedepankan fungsi lain daripada fungsi layanan publik Santoso, 2008: 120.
Tahun 1998 adalah pintu gerbang reformasi Indonesia. Reformasi ini dimaknai sebagai reformasi yang menyentuh berbagai aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara di Indonesia, seperti politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam aspek politik dan hukum pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang
sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi karena birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan
bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya
birokrasi yang kental dengan KKN. Tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi secara baik. Kurangnya
komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan
KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintah kita. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, tuntutan mendasar
dari reformasi salah satunya adalah memperbaiki pelayanan publik yang selama ini dinilai sangat bobrok dan terdapat banyak diskriminasi di dalamnya yang terjadi pada
masa orde baru. Namun setelah era reformasi, tantangan birokrasi sebagai pemberi pelayanan kepada rakyat mengalami suatu perkembangan yang dinamis seiring
dengan perubahan di dalam masyarakat itu sendiri. Dengan adanya tuntutan reformasi inilah kemudian birokrasi diharuskan untuk mengubah posisi dan perannya
revitalisasi dalam memberikan pelayanan publik. Dulu birokrasi dikenal suka mengatur dan memerintah, kini harus diubah menjadi suka melayani, dulu yang
menggunakan pendekatan kekuasaan harus diubah menjadi suka menolong menuju kearah yang lebih fleksibel kolaboratis dan dialogis serta yang dulu dari cara-cara
yang sloganis menuju cara-cara kerja yang lebih realistis pragmatis. Melalui revitalisasi ini, birokrasi publik diharapkan lebih baik dalam
memberikan pelayanan publik serta menjadi lebih profesional dalam menjalankan tugasnya serta kewenangannya. Guna mencapai suatu pelayanan publik yang baik
memang banyak hal-hal yang perlu diperbaiki dan salah satunya melakukan pembaharuan birokrasi. Birokrasi harus bisa mengurangi bebannya dalam
pengambilan keputusan dengan membaginya kepada lebih banyak orang yang mana memungkinkannya lebih banyak keputusan dibuat ke bawah atau kepada pinggiran
ketimbang mengkonsentrasikannya pada pusat yang akhirnya menjadi tidak berfungsi baik dalam memberikan pelayanan publik. Konsep desentralisasi kemudian yang
akan menciptakan birokrasi yang lebih fleksibel, efektif, inovatif, serta menumbuhkan motivasi kerja daripada yang tersentralisasi. Dan untuk menjalankan
fungsi pelayanan publik yang baik maka dibutuhkan mesin birokrasi yang rasional, yaitu yang terwujud dalam bentuk reformasi birokrasi.
Tujuan dilaksanakannya desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah sejatinya adalah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah. Di sisi lain, melalui pelaksanaan otonomi pemerintah daerah diharapkan lebih kreatif dalam
mengembangkan potensi di daerahnya masing-masing sehingga mereka akan mampu melakukan pembangunan daerah. Kesejahteraan rakyat sebagaimana hendak
diwujudkan melalui pelaksanaan otonomi ini hanya mungkin dapat dicapai jika daerah mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki sebagai model utama
untuk melakukan pembangunan. Oleh karena itu, aparat pemerintah daerah dituntut harus kreatif dalam mengembangkan setiap potensi yang mereka miliki sebagai usaha
untuk meningkatkan pendapatan asli daerah PAD. Peningkatan PAD ini dapat mereka peroleh melalui pengelolaan perusahaan daerah secara efisien sehingga
mampu menghasilkan keuntungan yang besar, pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam, atau melalui pajak, dan penarikan investasi ke daerah sehingga akan memacu
pertumbuhan ekonomi. Untuk menarik investasi ini, pemerintah daerah harus mampu
mengembangkan birokrasi yang efisien, tidak korup, demokratis dalam arti terdesentralisasi, dan ramah terhadap investasi. Pemerintah daerah masa lampau
lebih bersifat pasif, tidak akuntabel, kurang responsif, dan tersentralisasikan oleh pusat, sehingga tidak lagi memadai untuk menjawab tantangan yang muncul.
Singkatnya, otonomi daerah yang hendak dilaksanakan diharapkan akan memberikan manfaat yang besar terhadap daerah. Di antara manfaat yang diharapkan adalah
sebagai berikut :
• Peningkatan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan dan pembangunan di daerah
• Terciptanya hubungan yang harmonis dan saling membutuhkan antara pemerintah dengan masyarakat
• Mempertinggi daya serap aspirasi masyarakat dalam program pembangunan • Terjadinya penanganan masalah secara terpusat dan tepat dari berbagai
permasalahan aktual yang berkembang dalam masyarakat • Mendorong munculnya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan
pembangunan di daerah Budi Winarno, 2004: 178-189. Oleh karena itu, agar otonomi daerah yang tertuang dalam semangat
desentralisasi ini mendapatkan manfaat seperti yang telah dijelaskan di awal, kita membutuhkan wajah birokrasi yang baru yang mampu bertindak sebagai kreator dan
inovator dalam pembangunan daerah. Hal ini karena wajah birokrasi yang lama tidak lagi memadai untuk menopang otonomi daerah yang penuh dengan tantangan,
kompetisi, dan tentu saja kompleksitas permasalahan.
2. 3. 1. NPM Dalam Birokrasi : Solusi Red-Tape Birokrasi