Penerjemahan Dialog Film

2.3 Penerjemahan Dialog Film

Dalam hubungannya dengan perfilman dan pertelevisian, dikenal adanya dua cara untuk menerjemahkan dialog film atau acara, yaitu dubbing dan subtitling. Kedua bentuk penerjemahan ini memang sering dibandingkan satu sama lain, karena masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa, baik dubbing maupun subtitling sama-sama merupakan bentuk penerjemahan yang melibatkan bahasa lisan. Perbedaannya, jika pada dubbing baik sumber maupun hasil terjemahannya berupa bahasa lisan, maka dalam subtitling hanya sumbernya saja yang berbentuk lisan, sementara produknya berupa tulisan atau teks.

2.3.1 Dubbing (Sulih Suara)

Dubbing, yang disebut juga dengan istilah looping, dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan nama

. Menurut Ameri (2009), dubbing

adalah suatu proses perekaman atau penggantian suara pada gambar bergerak (film). Dubbing ini biasanya diasosiasikan dengan penggantian suara asli pada film dengan suara lain dari bahasa yang berbeda. Namun istilah dubbing ini sebenarnya juga dapat dipakai untuk menyebut proses perekaman atau pengisian suara pada film oleh pemain film bersangkutan, yang secara teknis dikenal dengan istilah ADR (Additional Dialog Recording/Automated Dialog Replacement).

Dalam proses dubbing, gambar-gambar hasil syuting disusun secara berurutan untuk kemudian diputar secara berulang-ulang di studio rekam suara sehingga pemain film/pengisi suara dapat menyesuaikan ucapannya dengan adegan film.(Monaco, 2000: 133).

Teknik dubbing sangat berguna dan telah banyak dimanfaatkan oleh produsen dalam penerjemahan dialog film karena dengan cara ini penonton sasaran akan lebih mudah memahami isi film. Penonton dapat berkonsentrasi pada adegan di layar tanpa harus membaca teks terjemahan secara bersamaan. Bahkan penonton yang tidak bisa membaca pun tetap akan bisa memahami jalan cerita film. Hanya saja dialog hasil sulih suara biasanya terdengar kaku dan tidak alami sehingga mengganggu kenyamanan menonton. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya unsur bahasa maupun aspek budaya sumber yang tidak bisa digantikan di dalam bahasa sasaran. Teknik dubbing ini kadangkala juga dimanfaatkan oleh pemerintah, atau pihak lain yang berkepentingan, sebagai sarana untuk melakukan sensor pada dialog film, yang dalam ilmu penerjemahan dikenal dengan istilah lokalisasi (domestication). Dari sisi produksi, proses dubbing ini juga membutuhkan lebih banyak pekerja maupun biaya jika dibandingkan dengan proses subtitling.

Secara lebih lengkap, Ameri (2009) memerinci karakteristik dubbing seperti di bawah ini:

1. mahal

2. dialog asli hilang

3. membutuhkan waktu lebih lama

4. tampak seperti produk lokal

5. lebih akrab

6. ucapan pengisi suara kadangkala hanya pengulangan

7. cocok untuk penonton yang berpendidikan rendah

8. mempertahankan gambar asli

9. pemahaman lebih utuh

10. memungkinkan terjadinya overlapping dialog

11. penonton dapat berkonsentrasi pada gambar

12. penonton dapat mengikuti alur meskipun tidak sedang memperhatikan layar

13. terikat pada gerak bibir pemain film

14. hanya menggunakan satu kode linguistik

15. dapat menimbulkan ilusi sinematis

16. cenderung otoriter

17. menyenangkan

2.3.2 Subtitling

Subtitling sering disebut pula dengan istilah captioning. Istilah subtitling sendiri berakar dari kata subtitle, yaitu bentuk tertulis atau teks dari ucapan karakter di dalam film yang ditempatkan pada bagian bawah layar. Bahasa yang dipakai subtitle bisa sama atau berbeda dengan bahasa sumbernya. Subtitle yang sebahasa dengan dialognya biasanya digunakan sebagai alat bantu bagi penonton yang berkebutuhan khusus pada pendengarannya, sedangkan subtitle dengan bahasa yang berlainan dengan dialognya adalah suatu bentuk penerjemahan. Dalam hal ini subtitle dapat dianggap sebagai produk penerjemahan sedangkan subtitling adalah prosesnya.

Cikal-bakal subtitle sendiri sebetulnya sudah lebih dulu ada sebelum teknik dubbing diperkenalkan. Menurut Ivarsson (2004), pada masa film hanya berupa gambar bergerak tanpa disertai suara, untuk menyampaikan jalan cerita atau dialog antarkarakter biasanya digunakan teks yang diselipkan di antara adegan satu dengan adegan yang lain. Teks pengganti dialog film semacam ini dinamakan intertitle. Teknik intertitle diperkenalkan oleh kartunis sekaligus pembuat film J. Stuart Blackton dan digunakan pertama kali pada tahun 1903 melalui film

garapan Edwin S Porter. Cara intertitling ini

pada awalnya hanya ditujukan untuk menggantikan suara pemain film yang karena alasan teknis tidak bisa dimunculkan dan bukan untuk keperluan penerjemahan. Meski demikian, penerjemahan pada era intertitle ini dapat dilakukan dengan mudah karena tinggal mengganti intertitle yang asli dengan intertitle bahasa yang diinginkan. Mulai tahun 1909 dan seterusnya secara perlahan istilah intertitle diganti menjadi sub-title karena letak teksnya dipindah sehingga menyatu dengan gambar.

Teknik subtitling dalam pengertian modern baru muncul ketika era film bisu berakhir dan digantikan oleh film-film yang dilengkapi dengan suara sekitar tahun 1927. Dengan sudah dapat ditampilkannya suara pada film membuat intertitle tidak dibutuhkan lagi. Akan tetapi di sisi lain, keadaan ini menimbulkan kesulitan tersendiri dalam proses penerjemahan film. Pada awalnya, ada gagasan untuk mengganti suara dengan suara pula, yang dikenal dengan istilah dubbing. Namun mengingat proses dubbing cukup kompleks dan memerlukan biaya besar, muncullah ide untuk menggunakan teks seperti pada masa film bisu dulu. Bedanya, kali ini teks ditempatkan pada bagian bawah layar mengikuti pergerakan Teknik subtitling dalam pengertian modern baru muncul ketika era film bisu berakhir dan digantikan oleh film-film yang dilengkapi dengan suara sekitar tahun 1927. Dengan sudah dapat ditampilkannya suara pada film membuat intertitle tidak dibutuhkan lagi. Akan tetapi di sisi lain, keadaan ini menimbulkan kesulitan tersendiri dalam proses penerjemahan film. Pada awalnya, ada gagasan untuk mengganti suara dengan suara pula, yang dikenal dengan istilah dubbing. Namun mengingat proses dubbing cukup kompleks dan memerlukan biaya besar, muncullah ide untuk menggunakan teks seperti pada masa film bisu dulu. Bedanya, kali ini teks ditempatkan pada bagian bawah layar mengikuti pergerakan

modern. Film produksi Amerika ini ketika diluncurkan di Paris diberi subtitle bahasa Prancis.

Jenis subtitle dapat kita bedakan dari segi teknis dan bahasa. Secara teknis, subtitle dapat dibedakan menjadi subtitle terbuka (open subtitle/hardsubs) dan tertutup (closed subtitle/softsubs), sedangkan menurut bahasa yang digunakan ada subtitle intrabahasa dan subtitle antarbahasa (Ameri, 2008). Subtitle terbuka adalah subtitle yang menyatu atau dengan gambar atau satu paket dengan produknya sehingga tidak dapat dihilangkan dari layar, sedangkan subtitle tertutup sifatnya tambahan. Subtitle ini dihasilkan oleh pesawat televisi yang dilengkapi dengan peralatan tertentu dan hanya bisa ditampilkan apabila penonton menghendaki.

Menurut Ida (2008: 1), ada sejumlah aturan yang harus ditaati oleh penerjemah dalam mengerjakan subtitling. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Dalam satu adegan (scene) maksimal terdiri dari 2 baris subtitle.

2. Subtitle ditempatkan pada bagian bawah layar dengan posisi di tengah.

3. Apabila di bagian bawah layar terdapat tulisan (misalnya: credit title, nama tokoh, nama lokasi atau subtitle bahasa lain), maka letak subtitle harus dinaikkan agar tidak tumpang tindih dengan tulisan tersebut.

4. Satu baris subtitle maksimum terdiri dari 40 karakter termasuk spasi dan tanda baca (35 karakter untuk negara-negara Eropa).

5. Apabila ada dua baris subtitle di munculkan secara bersama-sama, baris kedua diusahakan lebih pendek daripada baris pertama.

6. Durasi penayangan 1 baris subtitle minimal 3 detik dan maksimal 5 detik (2,5-5 detik di negara-negara Eropa); 2 baris subtitle minimal 7 detik dan maksimal 8 detik (5-6 detik di negara-negara Eropa). Dalam penayangan subtitle, sinkronisasi dengan gambar dan suara tetap harus dipertimbangkan.

7. Jika suatu kalimat subtitle harus dipenggal, kalimat penggalan harus dipahami oleh penonton/pembaca meskipun penggalan tersebut berdiri sendiri. Dengan demikian penonton/pembaca tetap dapat memahami maksud pembicaraan. Kemudian berkaitan dengan bahasa dan penerjemahan, ada beberapa

aturan yang harus ditaati dalam proses subtitling, sebagaimana dinyatakan oleh Caroll dan Ivarsson (1998):

1. Pengisi subtitle sebaiknya melengkapi diri transkrip dialog dan daftar kata-kata sukar, nama, dan rujukan khusus

2. Pengisi subtitle bertanggung jawab pada penerjemahan dan penulisan istilah asing yang diperlukan

3. Hasil penerjemahan harus berkualitas dengan mempertimbangkan unsur idiomatis dan nuansa budaya

4. Harus menggunakan satuan-satuan semantik yang gamblang (sederhana dan langsung)

5. Apabila dilakukan pemadatan dialog, hasilnya harus koheren

6. Pedistribusian teks perbaris maupun halaman harus memperhatikan satuan-satuan gramatikal

7. Tiap-tiap subtitle diusahakan memiliki makna sendiri

8. Register bahasa subtitle harus tepat dan sesuai dengan register dialog

9. Bahasa yang digunakan subtitle merepresentasikan intelektualitas

10. Seluruh informasi tertulis (misalnya: tanda dan pengumuman) pada gambar yang dianggap penting sedapat mungkin juga diterjemahkan dan dirangkaikan

11. Nama dan frase yang sering muncul tidak harus selalu dituliskan pada subtitle

12. Subtitle harus mencakup ekspresi-ekspresi emosional (misalnya ketakjuban dan kekagetan)

13. Harus ada kedekatan hubungan antara dialog dengan isi subtitle. Harus diusahakan agar ada kesesuaian antara BSu dan BSa. Salah satu kekurangan teknik subtitling adalah terbatasnya ruang dan

waktu untuk menampilkan baris-baris subtitle sebagai hasil transkripsi atau penerjemahan dialog yang menjadi sumbernya. Oleh karena itu dalam subtitling, penerjemah dituntut untuk memparafrase, meringkas, atau bahkan menghilangkan sebagian ucapan pemain. Kovacic (dalam Ameri, 2008) menyatakan bahwa seorang penerjemah film harus tahu bagian mana yang harus dan yang tidak perlu diterjemahkan. Subtitle lebih bertujuan untuk menyampaikan apa yang dimaksudkan oleh pembicara daripada bagaimana ungkapan itu disampaikan. Atau dengan kata lain makna lebih penting daripada bentuk (Ameri, 2008).

Dibandingkan dubbing, teknik subtitling lebih murah sekitar sepersepuluh hingga seperduapuluhnya. Selain itu pengerjaannya juga lebih cepat. Kelebihan lainnya, keaslian dialog film dan warna suara pemain dapat terjaga. Namun bagi penonton film, penggunaan subtitle mungkin akan sedikit mengganggu konsentrasi menonton karena pada saat yang bersamaan mereka harus menyaksikan adegan film sambil membaca teks terjemahannya.

Jika teknik dubbing dianggap sebagai salah satu bentuk lokalisasi atau domestication dalam penerjemahan, maka subtitling adalah salah satu bentuk foreignization, yaitu upaya mempertahankan keaslian aspek-aspek bahasa sumber dalam penerjemahan. Selain itu masih ada aspek-aspek lain yang membedakan subtitling dan dubbing, sebagaimana diungkapkan Ameri (2008):

1. murah

2. keutuhan dialog asli tetap terjaga

3. lebih cepat

4. membantu pembelajaran bahasa asing

5. kurang akrab

6. kualitas suara sesuai dengan aslinya

7. cocok bagi para imigran dan yang berkebutuhan khusus dalam pendengaran

8. mengganggu gambar

9. pemahaman cenderung terputus-putus

10. tidak memungkinkan terjadinya overlapping dialog

11. mengacaukan perhatian

12. penonton tidak akan mengerti apabila tidak memperhatikan layar

13. terbatasi oleh ruang dan waktu

14. melibatkan dua kode bahasa sehingga dapat menimbulkan kerancuan

15. dapat mengurangi ilusi sinematis

16. lebih demokratis

17. menimbulkan kelelahan