Pusat Penyajian Asrāru `sh-Shalāt

3. Pusat Penyajian Asrāru `sh-Shalāt

Pusat penyajian merupakan pembahasan yang disampaikan oleh pengarang. Dalam teks Asrāru `sh-Shalāt pengarang memberikan penjelasan mengenai permasalahan sembahyang serta ajaran-ajaran yang perlu dilakukan sesorang untuk mengenal Allah. Semua pengisahan teks adalah pengarang itu sendiri. Pengarang sebagai orang yang menyampaikan cerita atau ajaran tersebut menjadi pusat atau titik pandang cerita yang menyampaikan cerita atau ajaran kepada orang lain (Siti Chamamah Soeratno, et.al. 1982:172).

Teks Asrāru `sh-Shalāt merupakan salah satu jenis teks yang berupa monolog, meskipun penulisannya disampaikan dalam bentuk dialog (tanya- jawab). Dalam teks ini, pengarang berperan sebagai guru kepada pembacanya, yakni kaum Islam yang ingin mengenal Allah dengan jalan sufi. Ajarannya lebih difokuskan pada pengenalan sembahyang yang disertai uraian ma‟rifatu l-L āh.

Pengarang memiliki peran yang sangat besar, meskipun posisi pengarang bersembunyi di balik tokoh-tokohnya. Melalui tokoh-tokoh tersebut pengarang berusaha memberikan berbagai gambaran kepada pembaca dengan mencontohkan dalam bentuk dialog perihal ajaran-ajaran atau cara ibadah yang dilakukan oleh seorang sufi. Pengarang berharap dengan cara demikian pembaca kan lebih mudah memahaminya. Dengan kata lain, metode penyajian yang digunakan cenderung kepada metode orang ketiga objektif. Perhatikan pengalan teks berikut.

commit to user

“Soal apa sebab sembahyang subuh dua rakaat dan sembahyang / zuhur empat rakaat dan sembahyang asar empat rakaat / dan

sembahyang magrib tiga rakaat dan sembahyang isya / empat rakaat dan sembahyang subuh dua rakaat dan / sembahyang witir serakaat? Jawab: bahwasanya sabda / Rasulullah shall ā `l-Lāhu „alaihi wa sallam , ia kepada sahabatnya / Abu Bakar, dan Umar, dan Ustman, dan Ali mereka itu bertanya. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 9).

“Maka sembah // Sayyidinā Ali, ya Rasulullah apa sebab sembahyang / zuhur empat rakaat? ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 10).

4.

a. Kosa Kata

Teks Asrāru `sh-Shalāt merupakan sastra kitab yang banyak menggunakan kosa kata Arab. Berikut ini kosa kata Arab yang terdapat dalam teks tersebut.

1) Kosa kata Arab dalam teks Asrāru `sh-Shalāt yang sudah diserap dalam bahasa Indonesia.

4. af`āl

7. arwāh

9. asmā'

: asma

10. asrār

: asrar

11. awliyā'

: aulia

12. awwal : awal

13. bāthin : batin

14. bayān : bayan

15. dha`īf : daif

16. dunyā : dunia

17. fāidah : faedah

22. hādlir : hadir

commit to user

23. hājāt

25. hāram

27. hayawān

: hewan

28. hidāyah

31. ikhwānī

36. jawāb

40. ma‟rifat

42. mu‟min

44. murād

48. sabab : sebab

49. shalah : salat

52. suāl

: soal

53. syari‟at : syariat

54. thaharah : taharah

55. tahlil

: tahlil

56. ta‟zim : takzim

57. thama‟a : tamak

58. tamma : tamat

59. tariqa : tarekat

60. tasbih : tasbih

61. tauhid : tauhid

62. tawadhu‟ : tawadhu

63. wadī

: wadi

64. wājib

66. wāshil : wasil

67. wujūd : wujud

68. ya`nī

: yakni

69. yaqīn

: yakin

70. zakat

: zakat

commit to user

2) Kosa kata Arab dalam teks Asrāru `sh-Shalāt yang belum diserap dalam bahasa Indonesia.

4. Iththāha

5. ma„ānī

6. ma‟nawiyah

7. mu„ayanah

8. mu„ayanah

9. mubtadi

10. mubtadi

11. muhīth

12. muhtaj

13. muqābalah

14. muqāranah

15. murāqabah

16. mushali

17. musyāhadah

21. qu„ud

22. salbiyah

23. ta„ayyun

24. ta‟radl

25. tabdil

26. taqarubi

27. tashawwur

28. wahidiyyah

commit to user

b. Ungkapan

Ungkapan merupakan ungkapan-ungkapan khusus dalam bahasa Arab yang menjadi ciri khas karya-karya dalam jenis sastra kitab. Ungkapan-ungkapan khusus tersebut juga terdapat dalam teks Asrāru `sh- Shal āt, seperti berikut.

1) Taala Ungkapan Taala senantiasa mengiringi kata Allah. Ungkapan

Allah Taala yang berarti “Allah Maha Tinggi”. Ungkapan ini menunjukkan kekuasaan Allah yang tidak ada tandingannya.

“...maqām tabdil artinya tawakal kepada Allah / Taala serta menafilah insan, hanyalah wujud Allah / Taala ...” (Asrāru `sh- Shal āt, hlm. 13).

2) Shallā `l-Lāhu „alaihi wa sallam Ungkapan ini ditujukan kepada Nabi Muhammad, yang berarti “semoga salawat dan salam tercurah kepadanya”. Ungkapan tersebut diucapkan setelah mengucap nama “Nabi Muhammad”, kata “nabi” atau “nabi Allah”, seperti berikut.

“...berfirman Allah Taala akan / Nur Muhammad shallā `l-Lāhu / „alaihi wa sallam tatkala belum lagi ada / kenyataan segala suatu yang lain ...” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 8).

“Dan waktu asar itu dan magrib keluar daripada / dada nabi Allah shall ā `l-Lāhu „alaihi wa sallam. Dan / waktu isya itu keluar daripada «a»nggota nabi Allah / shall ā `l-Lāhu „alaihi wa sallam. Dan waktu subuh itu / keluar daripada ubun-ubun nabi shall ā `l- L āhu „alaihi wa sallam.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 26).

commit to user

3) „alaihi sallam Ungkapan ini ditujukan kepada nabi-nabi Allah, yang berarti

“damai padanya”, seperti berikut. “...adapun sembahyang subuh dua rakaat / Nabi Allah Adam

„alaihi sallam. Kedua sembahyang waktu / zuhur empat rakaat awal mengerjakan dia Nabi Ibrahim [ „alaihi sallam]. // Ketiga sembahyang waktu asar empat rakaat itu / mengerjakan dia Nabi Allah Yunus „alaihi sallam. / Keempat sembahyang waktu magrib tiga rakaat awal yang / mengerjakan dia Nabi Allah Isa „alaihi sallam . Kelima / sembahyang waktu isya empat rakaat awal menger<jaka> / jakan dia Nabi Allah Musa „alaihi sallam.” ( Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 7–8).

4) Sayyidinā Ungkapan ini dalam bahasa Arab berarti “tuan kami”.

Ungkapan tersebut digunakan untuk menghormati nama sahabat nabi. “Maka sembah Sayyidinā Ali, ya Rasul / Allah apa sebab

(semyaham) sembahyang isya empat / perkara? ” (Asrāru `sh- Shal āt, hlm. 10).

“Maka sembah Sayyidi // nā Ali, ya Rasulallah apa sebab sembahyang asar empat / rakaat? ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 11).

“Maka sembah <Sa>/ Sayyidinā Ali ya Rasulallah apa [sebab] sembahyang magrib itu / tiga rakaat? ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 11).

“Maka sembah Sayyidinā Ali, ya Rasul / Allah apa sebab (semyaham) sembahyang isya empat / perkara? ” (Asrāru `sh- Shal āt, hlm. 12).

commit to user

5) Radli `l-Lāhu „anhu Ungkapan ini dijutukan kepada Imam Ghazali sebagai umat yang berbakti pada tuntunan nabi. Ungkapan tersebut berarti “semoga Allah Taala meridhainya”

“...itulah keadaan diri kita karena apabila nyatalah diri / kita, maka nyata-nyata Tuhan, kata Imam Ghazali radli `l- Lāhu / „anhu.” ( Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 24).

6) Wa `l-Lāhu a‟lam Ungkapan Wa `l-L āhu a‟lam berarti “hanya Allah yang Tahu”. Ungkapan ini digunakan untuk menunjukkan kekuasaan Allah yang amat besar.

“...Dan “ra” itu maqām maliki, isyarat // akan sifat ma‟nawiyah. Wa `l-L āhu a‟lam.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 23).

c. Sintaksis

Karya sastra khususnya sastra kitab banyak ditulis dengan cara diterjemahkan langsung secara harfiah. Teks sastra kitab banyak dipengaruhi oleh struktur sintaksis Arab. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh John (dalam Siti Chamamah Soeratno, et. al. 1982:183) bahwa pada umumnya para penulis sastra keagamaan berpikir dalam bahasa Arab. Hal tersebut dikarenakan Alquran dan hadis sebagai sumber utama agama Islam dan ditulis dalam bahasa Arab.

Pengaruh sintaksis bahasa Arab dapat dilihat dari ciri penulisan yang tampak seperti diterjemahkan langsung, yang berupa interlinier dari kalimat-kalimat Arab. Perhatikan contoh berikut.

commit to user

“Al-hamdu li `Lāhi / hadanā [illā] syirātha `l-mustaqīm. Bermula segala puji-puji <puji>an / tertentu bagi Allah Tuhan yang menujuki

kami jalan yang betul. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 1).

“Wa „alā ālihī wa shahbihī // wa shallī „alā sabbidi `l-anbiyāi Muhammaddi `l-musthof ā <`l muh>/ `l-muhtāj. Dan mengucap salawat

kami atas / penghulu kami segala nabi yaitu Muhammad yang pilihan. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 1–2).

Dalam bahasa Arab terdapat penggunaan kata wa ( ) yang berarti “dan”, li ( ) yang bermakna “bagi”, dan fa ( ) yang artinya “maka”. Penggunaan ketiga kata tersebut juga terdapat dalam teks Asrāru `sh-

Shal āt yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Dan Kata “dan” dalam struktur sintaksis bahasa Arab biasa

digunakan untuk mengawali kalimat, sedangkan dalam bahasa Melayu kata “dan” sendiri tidak pernah dipakai untuk membuka kalimat.

Namun, pada teks Asrāru `sh-Shalāt, “dan” digunakan sebagai kata tumpuan. Misalnya :

“...Adapun tempat mani itu dalam / tulang dan sendi. Setelah keluarlah ia daripada tempat / itu dalam nikmat, maka jatuh ke dalam rahim perempuan / atau barang sebagainya dan yang dinamai itu yaitu (nar) / nur Allah. Dan Nur Muhammad pun namanya. Dan keluarnya / itu daripada sebab syahwat yang zhahir atau syahwat / yang terbua«t». Dan adalah syahwat itu daripada mazhahir / sifat jalalla dan m.ng.n.k.m itu yaitu semata-mata l.n / ialah m.ng.n.k.m namanya lagi lengkap segala masail ilmu / dalamnya. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 12).

Pemakaian kata “dan” tidak hanya sebagai kata tumpuan, namun juga sebagai kata penghubung. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut.

commit to user

“Dan jikalau ada ia / daripada orang yang mutawasith, takbirnya Allah, takbirnya / akbar “Allahu Akbar” hadir, dan hadir di sini

nyatalah / fana-Nya, af„al kepada af„al Allah, dan sifat-Nya / kepada sifat Allah, zat-Nya kepada zat Allah. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 19).

“Syahdan pada menyatakan syahadat dan taharah dan / sembahyang dan puasa dan zakat dan naik / haji dan sekayanya wajib ketahui supaya sempurna / jalan tiga perkara itu, yakni jalan syariat, / dan jalan tarekat, dan hakikat. ” (Asrār `sh-Shalāt, hlm. 26).

2) Bagi Ronkel (dalam Siti Chamamah Soeratno, et. al. 1982:184) berpendapat bahwa kata “bagi” dipakai sebagai penunjuk kepunyaan yang berarti milik. Kata tersebut juga ditemukan dalam teks Asrāru `sh-Shal āt seperti berikut.

“Adapun shalat maqām kala bagi segala abdi dan jati bagi / segala salik dan memuji bagi segala arif seperti / sabda nabi shall ā `l- Lahu „alaihi wa sallam “La tuqbalu `l-a‟ma [la illā] bī `sh- shallah ”. Tiada terima Allah Taala akan segala amal / yang lain melainkan dengan sembahyang itu. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 4).

3) Maka Pemakaian kata “maka” dalam bahasa Melayu juga berfungsi

sebagai kata tumpuan. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut. “Maka tatkala itu sujudlah ia akan mengesakan Tuhannya / kira-

kira lima ratus tahun lamanya. Maka itulah difardukan atasnya / segala umatnya mengerjakan sembahyang lima waktu pada sehari semalam.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 9).

“Maka sabdanya karena tajalli Tu / han itu dengan empat perkara. Pertama wujud. Kedua / ilmu. Ketiga nur. Keempat syuhud. Maka yang wujud / itu isbat pada menyata[kan] ta„ayyun zat karena jika tiada / wujud, zat pun tiada nyata. Maka [yang] ilmu itu isyarat / pada menyatakan ta„ayyun sifat karena jika tiada ilmu,

commit to user

sifat/ pun tiada. Maka yang nur itu isyarat pada menyatakan / ta„ayyun asma karena jika tiada nur, asma pun tiada / nyata. Maka yang syuhud itu pada menyatakan ta„ayyun af„al / karena jika tiada syahwat, fi„il pun tiada nyata.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 10).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa sastra kitab banyak tepengaruh struktur sintaksis bahasa Arab.

d. Sarana Retorika

Retorika merupakan suatu istilah yang secara tradisional diberikan pada suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun baik (Gorys Keraf, 2007:1). Sarana retorika merupakan salah satu cara yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan idenya melalui gaya bahasa. Sarana retorika yang dipakai dalam teks Asrāru `sh-Shalāt sebagai berikut.

1) Gaya Penguraian Gaya penguraian merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk mendeskripsikan isi pikiran pengarang, yakni menguraikan gagasan secara terperinci. Gaya bahasa penguraian dalam teks Asrāru `sh- Shal āt digunakan untuk menjelaskan suatu perkara yang diawali dengan menggunakan kata “adapun”, “bermula”, dan “syahdan” seperti pada kutipan berikut.

“Adapun shalat maqām kala bagi segala abdi dan jati bagi / segala salik dan memuji bagi segala arif seperti / sabda nabi shall ā `l-

L āhu „alaihi wa sallam “La tuqbalu `l-a‟ma [la illā] bī `sh- shallah ”. Tiada terima Allah Taala akan segala amal / yang lain melainkan dengan sembahyang itu. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 4).

commit to user

Kutipan tersebut menguraikan kedudukan sembahyang (salat) sebagai hukum atau ketentuan yang berasal dari Allah Swt. dan diperuntukkan kepada segala umat.

“Bermula makna / sembahyang itu yaitu sembah maka murād daripada sembah / itu yaitu memuliakan dan memesarkan dan mengangkatkan / dan berbuat [a]kan yang disuruh akan Allah Taala dan Nabi shall ā `l-Lāhu „alaihi wa sallam dan menjauhi segala larangan. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 4).

Kutipan tersebut menguraikan tentang makna sembahyang dan maksud sembahyang. “Syahdan ushali itu menyatakan(wa) / qashad itu yaitu tiada ia

mati, maka dinamai akan dia / niat. Maka itu sebenar-benar diri kita. Dan fardlu / itu menyatakan ta„radl itu menyatakan berhenti segala / rukun tiga belas. Maka niat itu antara ruh / dan badan manusia. Dan zhuhri itu akan ta„yyin / itulah keadaan diri kita karena apabila nyatalah diri / kita, maka nyata-nyata Tuhan, kata Imam Ghazali radli `l- Lāh / „anhu.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 24).

Kutipan tersebut menguraikan tentang niat sembahyang “ushali fardlu zhuhri”. “Adapun (tara) / taharah itu tiga perkara. Pertama taharah syariat.

Kedua taharah tarekat. Ketiga taharah hakikat. / Dan sembahyang pun demikian dan puasa [pun] demikian // dan zakat pun demikian dan haji pun demikian / jua. Adapun taharah syariat itu yaitu menyucikan / najis dan hadas asghar dan hadas akbar itu / dengan air atau dengan tanah. Dan taharah tarekat / menyucikan batinnya daripada «dendam»lah dan khianat / dan munafik dan mengadu akan samanya Islam. / Dan taharah hakikat itu yaitu menyucikan rahayunya / daripada yang lain daripada Allah Taala dalam hatinya. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm.

26 –27).

Kutipan tersebut menguraikan tentang macam-macam taharah.

commit to user

2) Gaya Pengulangan Gaya pengulangan (repetisi) merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Gorys Keraf, 2007: 127). Gaya pengulangan yang terdapat dalam teks Asrāru `sh- Shal āt sebagai berikut.

“Adapun fa / edah syariat itu memelihara tubuh dari dunia datang ke akhirat. / Dan faedah tarekat itu memelihara hati daripada kufur dan / maksiat. Dan faedah hakikat itu memelihara ruh / daripada musyrik akan Tuhan. Dan faedah makrifat / memelihara akan rahayu daripada syak karena Tuhannya. ” ( Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 31).

3) Gaya Penguatan Gaya penguatan dipakai untuk menyangatkan atau menguatkan

pernyataan dengan mengunakan kata “dan lagi”.

“Bahwa // sanya Aku Allah Tuhan yang tiada Tuhan hanya Aku, / maka sembah olehmu akan Daku dan berdirikan sembahyang pada / sehari semalam lima waktu. Dan lagi firman Allah Taala / “Qul in kuntum tuh ibbūna `l-Lā«ha» fāttabi„ūnī yūhbibkumu `l-Lāhu…” / Katakan olehmu ya Muhammad jika ada kamu mengasihi Allah Taala / bahwa ikut oleh kamu perbuatan-Ku supaya kamu kasihi / Allah Taala dan sembahyang itu pada insan taat, / dan pada malaikat istigfar, dan segala hayawan tasbih. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 4 –5).

“Karena Allah hendak menyatakan qadim dan / muhadist-nya, dan lagi Allah Taala hendak menyempurnakan / sifat rahman dan sifat rahim-Nya kepada insan. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 32).

commit to user

4) Gaya Pertentangan Gaya pertentangan merupakan salah satu sarana retorika yang dipakai untuk mempertentangkan dua hal atau lebih yang memiliki perbedaan.

“Setelah sudahlah / zat hadirkannya daripada “alif” Allah, yakni ingatnya akan // zat-Nya, da[n] akan sifat-Nya, da[n] akan asma- Nya, dan akan af„al- / Nya fana [wu]jud-Nya, tiada terbilang wujudnya. Hanya / zat Allah jua yang maujud dengan segala sifat- Nya, / dan asma-Nya, dan af„al-Nya daripada “alif” Allah hingga/ “ra” Akbar, “Allahu Akbar” maujud.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 19).

“Tiap-tiap / binasa melainkan zat-Nya yang adanya. Demikianlah takbira / tu `l-ihr ām orang yang muntahi. Dan jikalau ada ia / daripada orang yang mutawasith, takbirnya Allah, takbirnya / akbar

“Allahu Akbar” hadir, dan hadir di sini nyatalah / fana-Nya, af„al kepada af„al Allah, dan sifat-Nya / kepada sifat Allah, zat-Nya

kepada zat Allah. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 19).

“Dan jikalau ia / daripada orang yang mubtadi maka muqāranah- nya / Allahu Akbar atau sembahyang fardu zuhur atau la / innya.

Maka apabila selesailah si-mushali itu daripada / takbiratu `l- ihr ām, kemudian muqāranah maka hendaklah / ia kembali akan pandang kepada mu „ayyanah serta / muntahi yang di bawahi hingga sampailah kepada Islam. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 20).