Ma’rifatu `l-Lāh

2. Ma’rifatu `l-Lāh

Kata makrifat berasal dari bahasa Arab „ma‟rifah‟ yang secara etimologi berarti pengetahuan atau pengenalan (Asmaran As., 2002:104). Makrifat juga dapat dihubungkan dengan kata Arab ma‟rifatun yang berarti „pengetahuan‟, „pengenalan‟. Arif artinya „orang yang mengetahui‟, „yang mengenal‟ (Marbawy, 1935:17 dalam Istadiyantha, 2002:403).

Makrifat dalam konsep tasawuf diartikan sebagai pengenalan tentang kemahabesaran Tuhan dengan penghayatan batin melalui kesungguhan dalam peribadatan (Istadiyantha, 2002:403). Makrifat juga diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (kalbu). Pengetahuan tersebut sedemikian lengkap dan jelas, sehingga jiwa merasa satu dengan yang diketahuinya itu (Asmaran As, 2002:104).

Dalam ilmu tasawuf dikenal istilah ma‟rifatu`l-Lāh yang artinya mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Menurut Ibn Ataillah (dalam Asmaran As, 2002:105), ma‟rifatu`l-Lāh adalah melihat Allah dengan pandangan mata hati, dengan pandangan batin, bukan dengan pandangan mata kepala.

Pembahasan mengenai Ma‟rifatu `l-Lāh, terdapat dalam teks Asrāru `sh-Shal āt adalah sebagai berikut.

commit to user

a. Ibadah-ibadah dalam Tataran Syariat, Tarekat, dan Hakikat

1) Taharah “Adapun (tara) / taharah itu tiga perkara. Pertama taharah syariat.

Kedua taharah tarekat. Ketiga taharah hakikat. / Dan sembahyang pun demikian dan puasa [pun] demikian // dan zakat pun demikian dan haji pun demikian / jua. Adapun taharah syariat itu yaitu menyucikan / najis dan hadas asghar dan hadas akbar itu / dengan air atau dengan tanah. Dan taharah tarekat / menyucikan batinnya daripada «dendam»lah dan khianat / dan munafik dan mengadu akan samanya Islam. / Dan taharah hakikat itu yaitu menyucikan rahayunya / daripada yang lain daripada Allah Taala dalam hatinya. / ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 26 –27).

Bapak Ahmad Dahlan menjelaskan mengenai taharah pada kutipan tersebut. Taharah dibagi menjadi tiga macam, yaitu taharah menurut syariat, tarekat, dan hakikat. Taharah adalah bersuci atau membersihkan diri. Berdasarkan teks Asrāru `sh-Shalāt, taharah secara syariat adalah dengan menyucikan najis, hadas kecil, dan hadas besar dengan menggunakan air atau tanah. Taharah tarekat dilakukan dengan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Taharah tarekat diartikan sebagai menyucikan batin. Pada jenis taharah ketiga, yakni taharah hakikat, beliau tidak dapat menjelaskan karena kurang paham.

Ustad Novel menguraikan permasalahan taharah sebagai berikut. Taharah secara syariat adalah dengan menyucikan najis, hadas kecil, dan hadas besar dengan menggunakan air atau tanah. Taharah syariat itu merujuk pada kebersihan lahir (badan). Taharah zahir mempunyai waktu tertentu setiap satu hari satu malam. Taharah tarekat dilakukan dengan membersihkan hati dari sifat-sifat tercela. Taharah tarekat diartikan sebagai menyucikan batin yaitu mensucikan

commit to user

diri dari sifat sombong, dendam, mengumpat, mengadu-ngadu, dan bohong atau dosa badan. Wudu tarekat (batin) adalah bersuci dengan taubat yang ikhlas dan memperbaharui kembali kepada Allah dengan menyesali semua dosa-dosa tadi langsung dari sumber batinnya. Taharah batin waktunya tidak terbatas (seumur hidup). Taharah hakikat dilakukan dengan membersihkan ketentraman hatinya dari mengeduakan Allah. Taharah hakikat merujuk pada keadaan untuk mencapai keyakinan hatinya, bahwa hanya Allah semata yang wajib disembah.

Bapak Agus Himawan menjelaskan bahwa taharah syariat adalah menyucikan lahiriah (badan) sesuai dengan hukum-hukum. Taharah tarekat adalah menyucikan batin, yakni membersihkan dari sifat-sifat tercela. Taharah hakikat adalah sudah mengambil hikmah bahwa baik secara lahiriah dan batiniah telah bersih dari segala sesuatu selain Allah Swt.

2) Syahadat Syahadat juga dibahas dengan membaginya ke dalam tiga tataran, seperti pada kutipan berikut. “Adapun syahadat itu tiga perkara. Pertama syahada[t] / syariat.

Kedua syahadat tarekat. Ketiga syahadat / hakikat. Maka yang syahadat syariat itu yaitu / meninggikan ketuanan pada makhluk. Dan syahadat / tarekat itu yaitu meninggikan ketuhanan dirinya / diteguhkan a.n.k.r.h Tuhannya. Dan syahadat // hakikat itu yaitu dikaram dirinya kepada Haq / Taala pada tiap-tiap jalalnya. ” / ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 27–28).

Bapak Ahmad Dahlan tidak dapat menguraikan maksud dari kutipan tersebut. Ustad Novel menjelaskan bahwa syahadat secara

commit to user

syariat adalah meninggikan ketuanan pada makhluk, yaitu meikrarkan kalimat syahadat dengan ucapan. Syahadat tarekat dilakukan dengan meyakini dalam hati kalimat syahadat. Syahadat hakikat adalah keadaan di mana hati betul-betul yakin bahwa hanya tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya.

Bapak Agus Himawan berpendapat bahwa syahadat syariat adalah sebatas ucapan atau ikrar kalimat syahadat. Syahadat tarekat berarti bahwa Allah sudah menyambut ketuhanan kita. Syahadat hakikat, yakni dalam diri kita yang ada hanya keagungan Allah.

3) Sembahyang Sembahyang diuraikan dalam tiga hal seperti pada kutipan berikut. “Adapun sembahyang itu / tiga perkara. Pertama sembahyang

syariat. [Kedua sembahyang tarekat]. Ketiga sembahyang / hahikat. Maka sembahyang syariat itu yaitu ketahui / segala fardu dan sunat dalam sembahyang serta mengerja / kan dia. Dan sembahyang tarekat itu memelihara akan / hadirat Tuhan, yakni hukumnya, amarnya, dan nahi / seperti sabda nabi shall ā `l-Lāhu „alaihi wa

sallam “ --- / „ani `l-jawari li `sh-shalāti”. Berdiam perbuatan yang haram / itu seperti sembahyang jua. Dan sembahyang hakikat / itu yaitu meninggikan dirinya kepada Haq Taala dalam / mur āqabah dan musyāhadah-nya dan muqābalah dengan / Dia.” ( Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 28).

Berdasarkan kutipan teks tersebut, Bapak Ahmad Dahlan dan Bapak Agus Himawan menjelaskan bahwa sembahyang secara syariat adalah sembahyang secara lahir, yaitu sembahyang fardu dan sunat pada umumnya, yang ketentuannya sudah terdapat dalam hukum- hukumnya. Sembahyang tarekat dilakukan dengan meyakini bahwa

commit to user

Allah senantiasa berada dalam setiap melakukan perbuatan yang disuruh dan dilarang. Pada sembahyang hakikat Bapak Ahmad Dahlan tidak begitu paham, sehingga tidak dapat menafsirkan kutipan tersebut, sedangkan Bapak Agus Himawan berpendapat bahwa sembahyang hakikat adalah keadaan telah mengetahui Allah melalui pendekatan, penyaksian, dan penghadapan.

Ustad Novel memberi penjelasan mengenai sembahyang sesuai kutipan tersebut, seperti berikut. Sembahyang secara syariat adalah sembahyang secara lahir, yaitu sembahyang fardu dan sunat pada umumnya sesuai dengan hukum-hukum (ilmu syariat). Sembahyang syariat adalah salat seluruh badan yang zahir dengan gerakan tubuh. Sembahyang syariat mempunyai waktu tertentu di dalam suatu hari satu malam lima kali. Sunatnya sembahyang syariat dilakukan di masjid dengan berjamaah sama- sama menghadap ka‟bah dan mengikuti Imam, tanpa riya ‟ dan sum„ah. Sembahyang tarekat dilakukan dengan meyakini bahwa Allah senantiasa berada dalam setiap melakukan perbuatan yang disuruh dan dilarang. Sembahyang tarekat dapat dikatakan sebagai sembahyang hati selama-lamanya, di mana masjidnya adalah hati. Berjamaahnya ialah terpadunya kesucian batin dengan selalu memperdengarkan tauhid dengan lisan batin, imamnya adalah rasa rindu di dalam hati untuk sampai kepada Allah, kiblatnya adalah hadirat Allah yang maha tunggal dan keindahan ketuhanan. Sembahyang hati dilakukan dengan hidupnya hati tanpa suara, berdiri dan duduk. Kita selalu berhadapan dengan Allah dan

commit to user

senantiasa siaga dengan ucapan: “kepada-Mu kami beribadah dan kepada-Mu kami memohon pertolongan, dan mengikuti Nabi

Muhammad saw. Saembahyang hakikat diartikan sebagai keadaan telah mencapai pendekatan, penyaksian, dan penghadapan dengan Allah Swt.

4) Puasa Puasa dalam tataran syariat, tarekat, dan hakikat terdapat pada kutipan berikut. “Dan adapun puasa itu tiga perkara. / Pertama puasa syariat. Kedua

puasa tarekat. // Ketiga puasa hakikat. Maka puasa syariat / itu meninggalkan dirinya daripada makan dan minum dan / jimak. Dan puasa tarekat itu meningal meninggalkan / daripada loba dan tamak dan «dendam»lah dan khia / nat akan samanya Islam. Dan puasa hakikat / itu yaitu meninggalkan dirinya daripada lain daripada / Allah Taala serta menyeungulkan Dia dan menghayat Dia. / ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 28–29).

Berdasarkan kutipan tersebut, Bapak Ahmad Dahlan dan Bapak Agus Himawan mengartikan puasa secara syariat adalah tidak makan dan minum. Puasa syariat mengacu pada puasa secara lahir (badan). Puasa tarekat merujuk pada puasa batin yang dilakukan menghilangkan sifat-sifat jelek dalam hati. Puasa hakikat tidak dapat dijelaskan oleh Bapak Ahmad Dahlan, sedangkan Bapak Agus Himawan mengartikan puasa hakikat sebagai keadaan telah meninggalkan penghambaan kepada yang lain seperti kesenangan duniawi dan hanya menghambakan diri kepada Allah.

Ustad Novel menguraikan puasa pada kutipan tersebut sebagai berikut. Puasa secara syariat adalah tidak makan dan minum. Puasa

commit to user

syariat mengacu pada puasa secara lahir (badan). Puasa syariat mempunyai waktu tertentu atau di batasi oleh waktu. Kebahagiaan puasa menurut syariat adalah kebagahiaan ketika berbuka dengan memakan makanan di waktu magrib. Rukyat menurut syariat adalah melihat bulan di malam lebaran pertanda selesainya tugas puasa ramadan.

Puasa tarekat merujuk pada puasa batin, yakni menahan seluruh anggota tubuh dari segala perbuatan yang diharamkan dan dilarang, serta menjauhi sifat-sifat tercela, seperti ujub dan sebagainya secara lahir dan batin pada waktu siang maupun malam. Bila melakukan hal tadi maka batallah puasa tarekatnya. Puasa tarekat tidak di batasi waktu (seumur hidup). Kebahagiaan puasa menurut tarekat ialah kebahagiaan yang pertama ketika masuk surga menikmati kenikmatan surga. Rukyat menurut tarekat adalah melihat Allah pada hari kiamat dengan pandangan. Puasa hakikat adalah keadaan telah meninggalkan penghambaan kepada yang lain seperti kesenangan duniawi dan hanya menghambakan diri kepada Allah.

5) Zakat Zakat diuraikan dengan tiga tataran, yakni syariat, tarekat, dan hakikat, seperti tercantum pada kutipan berikut.

“Dan adapun zakat itu tiga perkara. Pertama / zakat syariat. Kedua zakat tarekat. Ketiga / zakat hakikat. Maka zakat syariat itu yaitu / mengeluarkan yang difardukan Allah daripada arta-nya yang kemudian / daripada sampai nisabnya atau haulnya. Dan zakat / tarekat meneguhkan janji daripada Tuhannya itu. Dan zakat hakikat itu (ma) mengeluarkan kekasihnya, // yakni

commit to user

fana fi `l-L āha dan baqa bi `l-Lāha.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 29– 30).

Bapak Ahmad Dahlan dan Bapak Agus Himawan berpendapat bahwa zakat syariat adalah mengeluarkan sebagian harta seperti ketentuan agama. Zakat tarekat dilakukan dengan meneguhkan janji bahwa Allah semata yang disembah. Zakat hakikat tidak dapat dijelaskan oleh Bapak Ahmad Dahlan, sedangkan menurut Bapak Agus Himawan, zakat hakikat adalah keadaan telah mencapai kecintaan kepada Allah hingga merasa diri fana dan kekal bersama Allah.

Ustad Novel berpendapat bahwa zakat syariat adalah seseorang memberikan hasil usahanya yang telah ditentukan dan pada waktu tertentu pula setiap tahun dengan nisab yang telah ditentukan. Zakat tarekat adalah meneguhkan janji kepada Allah dengan memberikan hasil usaha pendalaman hal-hal mengenai akhirat dan Allah kepada orang fakir agama dan miskin akhirat. Zakat hakikat adalah kondisi merasa diri ini lebur (fana) dan bersatu (kekal) bersama Allah.

6) Haji Pembahasan ibadah terakhir yang dibahas dalam tataran syariat, tarekat, dan hakikat adalah haji, seperti pada kutipan berikut.

“Dan adapun haji / itu yaitu tiga perkara. Pertama haji syariat. Kedua / haji tarekat. Ketiga haji hakikat.

Maka haji syariat / itu pergi ia mengujuki tempat yang mulia, yakni ka ‟bah / Allah. Dan haji tarekat itu yaitu menilik maqām

commit to user

ihram / serta ikhlas. Dan haji hakikat itu yaitu menilik / kepada maqām zat jati serta meminum dia.” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 30).

Bapak Ahmad Dahlan dan Bapak Agus Himawan berpendapat, haji syariat yaitu mengunjungi ka‟bah dengan melakukan rukun-rukun

haji sesuai dengan ketentuan agama. Haji tarekat yaitu melihat segala sesuatu dengan jernih dan ikhlas, tanpa ada buruk sangka di dalam hati. Haji hakikat tidak dapat diuraikan oleh Bapak Ahmad Dahlan, sedangkan menurut Bapak Agus Himawan, haji hakikat, yaitu keadaan melihat kedudukan Allah sebagai zat yang paling sejati.

b. Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Makrifat

Pada teks Asrāru `sh-Shalāt perihal syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat diuraikan sebagai berikut.

“Syahdan / syariat itu perbuatan Islam maqām pada tubuh. / Dan tarekat itu perbuatan iman dan maqām pada <ha> / hati. Dan hakikat itu perbuatan tauhid dan maqām-nya / pada ruh. Dan mu ( „a)raqābah itu pertuannya makrifat dan / maqām-nya pada sirr. Adapun Islam pada kita ini ilmu / pada Allah. <Dan> Dan iman pada kita yakni ta„ayyun pada Allah. Dan / tauhid pada kita ini rahasia pada Allah Taala. <Dan> // Dan makrifat pada kita ini nur pada Allah Taala. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 30–31).

Pada pembahasan ini, Bapak Ahmad Dahlan tidak dapat menafsirkan karena ketidakpahaman. Ustad Novel menjelaskan bahwa kutipan tersebut merupakan komponen-komponen (alat-alat) untuk mengenal Allah. Alat tersebut terdiri dar empat macam, yakni tubuh, hati, ruh, dan sirr. Tubuh adalah komponen utnuk melakukan perbuatan ibadah-ibadah dalam Islam. Hati itu komponen untuk meyakini Allah

commit to user

Swt. Ruh itu komponen untuk mencapai hakikat. Sirr (nurani) untuk mengenal Allah lebih dekat.

Menurut Bapak Agus Himawan, kutipan tersebut menerangkan mengenai syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Syariat menyatakan perbuatan Islam yang kedudukannya pada tubuh. Dapat dicontohkan, orang yang tubuhnya melakukan gerakan-gerakan salat berarti dia Islam. Meskipun demikian perbuatan iman dalam hati tidak dapat diketahui. Seseorang yang melakukan sembahyang belum tentu dalam hatinya beriman. Hal itu juga berlaku pada ruh yang tidak dapat diketahui keadaannya apakah mengesakan Allah dan sirr-nya dapat mengenal Allah.

“Soal apa / faedah Islam dan iman dan tauhid <dan> / dan makrifat? Jawab: Adapun faedah Islam (dan) / itu akan memasukkan ke dalam syariat. Dan faedah iman / itu akan rukyatu `l-Lah Taala. Dan tauhid itu muntahī / yang „inabah Allah. Dan faedah makrifat itu akan mengenal / antara qadim dan muhadist-nya tiadalah ia jadi bertukar-tukar / dan bersamaan antara keduanya itu. ” (Asrāru `sh-Shal āt, hlm. 31).

Kutipan tersebut hanya dijelaskan oleh ustad Novel, yakni bahwa Islam merupakan ilmu untuk mengenal Allah. Iman berarti menerapkan (mengamalkan) ilmu tersebut secara terus-menerus. Tauhid adalah puncak dari pengamalan ilmu-ilmu tersebut, sehingga benar-benar mengenal Allah sebagai zat yang terdahulu dan yang lain adalah yang kemudian, di mana keduanya tidak mungkin bertukar-tukar.

“Soal // tubuh itu kenyataan apa? Dan hati itu kenyataan apa? Dan / ruh kenyataan apa? Dan sirr itu kenyataan apa? Jawab: / Adapun tubuh itu menyatakan af„al Allah. Dan / hati itu menyatakan asma Allah. Dan ruh / menyatakan sifat Allah. Dan sirr itu menyatakan zat / Allah. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 32).

commit to user

Pada kutipan tersebut, Bapak Ahmad Dahlan dan bapak Agus Himawan tidak dapat memberikan penjelasan, sedangkan ustad Novel menjelaskan bahwa kenyataan diartikan sebagai tempat perwujudan. Maka tubuh itu tempat perwujudan af„al Allah, hati itu perwujudan asma Allah, ruh itu tempat perwujudan sifat Allah, dan sirr adalah tempat perwujudan zat Allah.

“Soal apa sebab Allah Taala menjadikan insan? / Jawab: Karena Allah hendak menyatakan qadim dan / muhadist- nya, dan lagi Allah Taala hendak menyempurnakan / sifat rahman dan sifat rahim-Nya kepada insan. / ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 32).

Berdasarkan kutipan tersebut, ketiga pembaca memberi pengertian yang sama, yakni Allah menciptakan manusia adalah untuk menunjukkan bahwa Dia-lah yang pertama (zat awal). Hal tersebut sama dengan bahwa Allah itu terdahulu dan berdiri dengan sendiri-Nya, sedangkan manusia dan lainnya adalah yang berikutnya dan adanya manusia itu karena kuasa Allah Swt.

“Soal apa makanan tubuh? Dan apa makanan hati? / Dan apa makanan ruh? Dan makanan sirr? Jawab: / Adapun makanan tubuh yaitu makanan dan minu / mannya sekalian jasmani, maka diperolehlah ialah nikmat tu / buh dengan dia dan zikirnya “lā malika illā „l-Lāh”. Tiada Tuhan // yang disembah sebenar-benarnya hanya Allah. Dan makanan / hati itu yaitu hadir dan akan Tuhannya, maka berolehlah nikmat hati itu dengan dia zikirnya / “lā ilāha illā `l-Lāh”. Hanya Allah jua yang maujud. <Dan> / Dan maka«nan» ruh itu yaitu makanan nurani / dan pun dan minumannya pun (r) nurani, / yaitu mengucap tasbih dan tahlil, maka diperoleh / nikmat ruh itu dengan dia dan zikirnya

“Allāh Allāh” / yang yakni Allah yang hakikat. Dan makanan sirr itu / yaitu senantiasa dimeri akan pada musy āhadah / dan muraq ābah kepada zat jati maka putuslah ia / dengan Dia, dan zikirnya “hūwa hūwa” yakni [Ia] jua / zat mutlak dan Ia jua zat hakikat dan / Ia jua zat Allah. ” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 32–33).

commit to user

Kutipan tersebut hanya diartikan oleh Bapak Agus Himawan dan ustad Novel karena Bapak Ahmad Dahlan tidak memahami kutipan tersebut. Kutipan tersebut diartikan bahwa masing-masing bagian tubuh, hati, ruh, dan sirr. Anggota tubuh memerlukan makanan dan minuman. Hati memerlukan kehadiran Tuhan. Ruh membaca perlu tasbih dan tahlih untuk memperoleh hakikat Allah. Sirr membutuhkan pengenalan dan pendektakan kepada Allah dengan berusaha menyaksikan dan mendekatkan diri kepada Allah.

“Soal mana dinamai ter«pan»dang kita / kepada Haq Taala? Dan gaib kita daripadanya musy ā / hadah kita <kepada-Nya di hadir kita dengan Dia, Dan / sampai kita kepada-Nya> di hadir kita dengan Dia. Dan / sampai kita kepada-Nya itu? Jawab: Adapun jadi ter / «pan»dang kita ini kepada Haq Taala karena kita pandang / semata akan wujud Allah, zat Allah, dan sifat Allah, / dan asma Allah. Dan gaib kita akan Haq Taala ini / karena membesarkan hawa nafsu dan dunia. Dan / dari mana gaib kita dan dari mana hadir kita gaib / kita akan Dia dan hadir kita dengan Haq Taala ini, / telah gaiblah daripada musy āhadah empat perkara // washil kita kepada Haq Taala ini fanalah Ia daripada / papa dan hina dan daif dan lemah dan bebal / pada pandangannya itu. Ia jua yang kaya dan Ia yang / jadi barang yang dikehendak daripada suatu dengan dikatanya dengan / lidahnya “La haula wa la quwwata illā bi `l-Lāh „aliyu `l-„adzim” ini / inilah alamat orang yang waasil berjalan kepada jalan / ahl u „l-Lāh yang dinamai sufi dan aw liya‟ Allah Taala. /” (Asrāru `sh-Shalāt, hlm. 35–36).

Bapak Agus Himawan dan ustad Novel mengartikan kutipan tersebut sebagai kesempurnaan manusia di hadapan Allah. Manusia akan dipandang oleh Allah karena manusia senantiasa mendekatkan diri kepada Allah. Dengan mendekatkan diri, maka manusia benar-benar akan mengenal Allah. Sebaliknya, manusia yang senantiasa membesarkan hawa nafsu dan kesenangan dunia akan jauh dari Allah. Manusia yang

commit to user

membesarkan hawa nafsu tidak akan mencapai makrifat, yaitu penyaksiannya akan Allah itu lenyap dikarenakan Allah terkalahkan dari harta karena manusia takut miskin dan takut lemah. Padahal sesungguhnya hanya Allah yang kaya dan yang dikehendaki untuk mencapai ketentraman hidup.

Tanggapan-tanggapan pembaca didasarkan pada pemahaman pembaca ketika melakukan proses pembacaan. Bentuk tanggapan pembaca dapat berbentuk dalam berbagai macam, seperti teks Asrāru `sh-Shalāt yang ditanggapi dengan menafsirkan satu persatu ulasan yang tertulis dalam teks tersebut. Masing-masing pembaca memiliki gudang pengalaman yang berbeda-beda. Selain itu pembaca juga merupakan anggota dari kumpulan masyarakat yang dalam kelompoknyya memiliki konvensi masing-masing. Hal tersebut menyebabkan perbedaan penafsiran. Akan tetapi dari penafsiran yang berbeda-beda tersebut tidak ada penafsiran yang salah.

Penafsiran yang dilakukan pada teks Asrāru `sh-Shalāt terdapat persamaan

dan perbedaan. Persamaan pendapat banyak ditemukan pada penafsiran mengenai sembahyang.

1. Kedudukan sembahyang sebagai perintah Allah adalah ibadah manusia kepada Allah. Jika sembahyang seseorang itu tidak dilakukan dengan baik, hanya sebatas melakukan tanpa adanya niat ibadah mengagungkan Allah, maka ibadah-ibadah lain tidak diterima oleh Allah.

commit to user

2. Sejarah pelaksanaan sembahyang, yakni mengenai sembahyang lima waktu merupakan penggabungan dari sembahyang-sembayang yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw.

3. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk memperoleh hakikat sembahyang, yakni dengan mengetahui ilmunya, memiliki perasaan malu dan takut kepada Allah.

4. Pembahasan mengenai rukun-rukun sembahyang yang terdiri dari tiga belas urutan.

5. Penjelasan mengenai golongan orang sembahyang yang dibedakan menjadi tiga golongan, yakni golongan muntahi, mutawasith, dan mubtadi.

6. Perihal uraian ma‟rifatu `l-Lāh yang berkaitan dengan taharah, syahadat, sembahyang, puasa, zakat, dan haji yang dibahas berdasarkan syariat, tarekat, dan hakikat.

7. Persoalan Allah menjadikan insan, yakni yakni Allah menciptakan manusia adalah untuk menunjukkan bahwa Dia-lah yang pertama (zat awal). Hal tersebut sama dengan bahwa Allah itu terdahulu dan berdiri dengan sendiri- Nya, sedangkan manusia dan lainnya adalah yang berikutnya dan adanya manusia itu karena kuasa Allah Swt. Perbedaan penafsiran oleh pembaca ditemukan pada pembahasan berikut.

1. Alasan difardukan sembahyang yang berkaitan dengan Nur Muhammad. Bapak Ahmad Dahlan menafsirkan bahwa sebab difardukan sembahyang lima waktu berkaitan dengan penciptaan manusia. Berdasarkan naskah, diterangkan mengenai perjanjian ruh dengan Allah Swt. Sebelum ruh dimasukkan dalam jasad. Pada dasarnya semua manusia itu beragama Islam, yakni ketika masih dalam alam ruh, manusia mengakui bahwa hanya Allah

commit to user

Swt. Ustad Novel menguraikan bahwa nur Muhammad yang menjawab pertama kali ketika Allah bertanya siapa Tuhan mereka. Bapak Agus Himawan menjelaskan bahwa nur Muhammad bersujud kepada Allah. oleh karena itu, sebagai makhluk yang berasal dari nur Muhammad, sudah seharusnya kita juga bersujud kepada Allah.

2. Rupa (penampakan) ketika sembahyang yang ditafsirkan oleh Bapah Ahmad Dahlan dan Bapak Agus Himawan, bahwa rupa orang sembahyang itu hanya memiliki kemiripan dengan huruf-huruf Arab. Menurut Ustad Novel, selain bentuknya mirip dengan huruf-huruf Arab, sesungguhnya ada maksud tertentu dari setiap bentuk-bentuk huruf tersebut.

Selain persamaan dan perbedaan, dapat disimpulkan pula bahwa pembaca kesulitan dalam penafsirkan teks secara utuh karena kurangnya pemahaman pembaca dengan pembahasan tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kutipan yang tidak bisa ditafsirkan, seperti berikut.

1. Jumlah rakaat dalam sembahyang hanya diuraikan sedikit oleh ustad Novel.

2. Waktu-waktu sembahyang yang tidak diketahui maksudnya oleh ketiga pembaca.

3. Faedah faedah Islam, iman, tauhid, dan makrifat yang tidak dapat ditafsirkan oleh Bapak Ahmad Dahlan.

4. Persoalan kenyataan tubuh, hati, ruh, dan sirr yang hanya ditafsirkan oleh ustad Novel secara ringkas.

5. Persoalan makanan makanan tubuh, hati, ruh, dan sir yang hanya dijelaskan oleh ustad Novel secara ringkas.

commit to user

Secara keseluruhan, tanggapan ketiga pembaca setelah membaca teks

Asrāru `sh-Shalāt, yaitu menilai pengarang teks memiliki ilmu yang sangat luas. dengan keluasan ilmunya berusaha mengajak pembaca menyadari bahwa salat bukan sekedar ucapan lisan dan gerakan tubuh saja, akan tetapi di balik kalimat dan gerakan tubuh tersebut terdapat makna yang luas. Secara syariat penulis membahas mulai dari sejarah shalat hingga rukun-rukunnya. Teks tersebut sangat bermakna dan berbobot, akan tetapi tidak semua orang dapat memahaminya. Teks ditulis bukan untuk dikonsumsi semua orang. Teks tersebut hendaknya dikaji bersama seorang guru yang mengerti ilmu syariat, tarekat dan hakikat, sehingga ia dapat menjelaskan dengan tepat maksud dari pengarang.

commit to user