Tinjauan Yuridis Terhadap Peralihan Hak Milik Kekayaan Negara Melalui Perjanjian Tukar Guling (Ruilslag)
ii
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK MILIK
KEKAYAAN NEGARA MELALUI PERJANJIAN TUKAR
GULING (RUILSLAG)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 060200041
DEASY AVRIESTA
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
iii
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK
MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA MELALUI
PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 060200041
DEASY AVRIESTA
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
iv
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERALIHAN HAK MILIK
KEKAYAAN NEGARA MELALUI PERJANJIAN TUKAR
GULING (RUILSLAG)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Oleh:
NIM: 060200041
DEASY AVRIESTA
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW
NIP: 196603031985081001 DR. Hasim Purba,SH.M.Hum
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Prof.Dr. Tan Kamello S.H.M.S
NIP: 1962042119808031004 NIP: 131961354
(4)
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat, serta kasih karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Peralihan Hak Milik Atas Kekayaan Negara Melalui Perjanjian Tukar Guling (Ruilslag).
Skripsi ini dibuat dengan untuk memenuhi syarat kelulusan guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung.
Penulis secara khusus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Tan Kamello S.H.M.S sebagai pembimbing utama dan Ibu Rosnidar S. SH,MHum sebagai co. pembimbing, atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing, serta memberikan saran, arahan dan koreksi dalam penyempurnaan skripsi penulis.
Pada kesempatan ini juga, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Seluruh Staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas ilmu dan bimbingannya yang telah diberikan sehingga penulis dapat menuangkan suatu konstruksi berpikir dalam penulisan skripsi ini.
2. Seluruh Staff Administrasi (SBA) dan seluruh staff Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
(5)
vi
3. Terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tuaku, Papa Mama ku serta Kakak-kakak dan, abang-abangku, atas segala dukungan, moril dan materiil, kesabaran, kasih sayang, serta do’a yang tak henti-hentinya dipanjatkan.
4. Seluruh teman-teman angkatan 2006 Fakultas Hukum Universitas Suamtera Utara, atas bantuan dan dukungannya.
5. Serta berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan tugas akhir ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Medan, 10 Maret 2011
(6)
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Abstrak
………...….……..……. i
Kata Pengantar ………...….. ii
Daftar Isi ……….………...……. iv
Daftar Lampiran……….…………...………….vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian…………...………...1
B. Identifikasi Masalah………...………...8
C. Tujuan Penelitian………...………...8
D. Manfaat Penelitian………...…...8
E. Kerangka Pemikiran………...9
F. Metode Penelitian………...15
(7)
viii
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN SAHAM PERSEROAN TERBATAS
A. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya ...…………...20
1. Pengertian Perjanjian ...……..…….………...21
2. Unsur-unsur Perjanjian ...….……….…...24
3. Jenis-jenis Perjanjian ...……….………...27
4. Syarat Sahnya Perjanjian ....……….……...….41
5. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian……...45
6. Asas-Asas dalam Perjanjian...46
7. Pengertian dan Akibat Hukum dari Wanprestasi...47
B. Perjanjian Pemberian Kuasa...48
1. Pengertian...48
2. Kewajiban-kewajiban Si Kuasa...49
3. Kewajiban-Kewajiban Si Pemberi Kuasa ... 50
4. Berakhirnya Pemberian Kuasa...51
C. Pengertian Modal dan Saham Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas ... 56
1. Modal Perseroan Terbatas...56
2. Pengertian dan Klasifikasi Saham...57
3. Pengeluaran Saham Perseroan...58
4. Pemindahan Hak Atas Saham...59
(8)
ix
BAB III PERJANJIAN NOMINEE SAHAM ANTARA MERBABU CORP DENGAN NOMINEE PEMEGANG SAHAM
A. Latar Belakang Perjanjian Nominee Saham Antara Merbabu
Corp dengan Nominee Pemegang Saham……...…….. 50
B. Perihal Perjanjian Nominee Saham Antara Merbabu Corp dengan Nominee Pemegang Saham... 51
1. Para Pihak dalam Perjanjian...………... 51
2. Kewenangan Pelaksanaan Perjanjian Nominee saham... 53
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian.……... 55
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN NOMINEE SAHAM ANTARA MERBABU CORP SEBAGAI PEMEGANG SAHAM YANG SEBENARNYA DENGAN NOMINEE PEMEGANG SAHAM DIKAITKAN DENGAN UU NO. 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS A. Perjanjian Nominee Saham Antara Merbabu Corp Dengan Nominee Pemegang Saham Ditinjau Dari Hukum Perjanjian 74
B. Perjanjian Nominee Saham Antara Merbabu Corp Dengan Nominee Pemegang Saham Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas ... 78
C. Perliindungan Terhadap Nominee Pemegang Saham (Legal owner/regisstered owner) dan Pemegang Saham Sebenarnya (beneficiary owner) Ditinjau dari Hukum Positif Indonesia ... 80
(9)
x
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan...…...……… 103 B. Saran ... 104
(10)
xi
PERALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA MELALUI PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG)
ABSTRAK
Deasy Avriesta Sembiring 060200041
Perjanjian nominee saham menjadi satu dari sekian banyak cara yang dipakai oleh investor luar negeri untuk masuk ke dalam yurisdiksi hukum Indonesia dan mendirikan perusahaan yang bukan sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) namun disamarkan menjadi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai perjanjian nominee saham dalam Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.
Penelitian yang dilakukan penulis ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktek pelaksanaan yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif, yaitu penelitian yang berpegang teguh pada ilmu hukum dan segi-segi yuridis.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas tidak mengatur mengenai perjanjian nominee saham ini secara jelas, namun hanya beberapa bagian saja. Diantaranya adalah Pasal 1338 KUH Perdata menjadi dasar hukum perjanjian nomine saham ini berdiri. Namun jika ditelaah lebih dalam lagi ternyata perjanjian nominee saham yang penulis teliti tidak memenuhi syarat keempat dari syarat sahnya perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata, jadi jika ditelaah dari kaca mata hukum maka perjanjian ini batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat objektif dari perjanjian. UUPT hanya mengenal dan melindungi pemegang saham secara hukum
(legal owner) dan sekaligus pemegang saham ini menjadi pemegang saham
yang sebenarnya (beneficial owner) pada saham. Jadi UUPT menganggap bahwa kedua jenis kepemilikan ini secara hukum dipegang oleh satu orang. Sistem nominee ini mempunyai kemiripan dengan sistem “trust” yang lahir dan berkembang pada “Common Law System” dan saat ini telah diterapkan pada Pasar Modal Indonesia, yaitu pada perjanjian perwaliamanatan.
(11)
xi
PERALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA MELALUI PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG)
ABSTRAK
Deasy Avriesta Sembiring 060200041
Perjanjian nominee saham menjadi satu dari sekian banyak cara yang dipakai oleh investor luar negeri untuk masuk ke dalam yurisdiksi hukum Indonesia dan mendirikan perusahaan yang bukan sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) namun disamarkan menjadi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan mengenai perjanjian nominee saham dalam Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.
Penelitian yang dilakukan penulis ini bersifat deskriptif analitis yang menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktek pelaksanaan yang menyangkut permasalahan yang diteliti. Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif, yaitu penelitian yang berpegang teguh pada ilmu hukum dan segi-segi yuridis.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan terbatas tidak mengatur mengenai perjanjian nominee saham ini secara jelas, namun hanya beberapa bagian saja. Diantaranya adalah Pasal 1338 KUH Perdata menjadi dasar hukum perjanjian nomine saham ini berdiri. Namun jika ditelaah lebih dalam lagi ternyata perjanjian nominee saham yang penulis teliti tidak memenuhi syarat keempat dari syarat sahnya perjanjian seperti yang diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata, jadi jika ditelaah dari kaca mata hukum maka perjanjian ini batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat objektif dari perjanjian. UUPT hanya mengenal dan melindungi pemegang saham secara hukum
(legal owner) dan sekaligus pemegang saham ini menjadi pemegang saham
yang sebenarnya (beneficial owner) pada saham. Jadi UUPT menganggap bahwa kedua jenis kepemilikan ini secara hukum dipegang oleh satu orang. Sistem nominee ini mempunyai kemiripan dengan sistem “trust” yang lahir dan berkembang pada “Common Law System” dan saat ini telah diterapkan pada Pasar Modal Indonesia, yaitu pada perjanjian perwaliamanatan.
(12)
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.1 Hegel di dalam thesisnya membagi Negara hukum ke dalam dua bentuk, yaitu : Negara hukum dalam arti sempit, dan Negara hukum dalam arti formal. Yang menarik dari pendapat Hegel tersebut adalah pengertian dari Negara hukum dalam arti formil, yaitu Negara boleh ikut campur tangan dalam urusan kemakmuran rakyatnya, akan tetapi dibatasi dengan Undang-Undang, agar supaya Negara tidak berbuat sewenang-wenang.2 Ciri-ciri khas Negara hukum itu sendiri adalah :3
a. “Pengakuan dan perlindungan hak-hak azasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;
b. Peradilan yang bebas dari tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga; c. Legalitas dalam arti segala bentuknya”.
Hal yang sama mendasari sifat Negara hukum yang dianut oleh Negara Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dimana di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 terdapat indikasi terhadap Negara hukum. Pada Pembukaan UUD 1945 dijelaskan
1
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum FH UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hlm. 153
2
Ibid., hlm. 158
3
(13)
xiii
mengenai tujuan Negara Indonesia, yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Tujuan dan arah Pembangunan Nasional Indonesia tertuang kembali dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 yang menetapkan Visi Pembangunan Nasional Tahun 2004-2009 adalah sebagai berikut:
1. Terwujudnya kehidupan masyarakat bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai.
2. Terwujudnya kehidupan bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan Hak Asasi Manusia, serta;
3. Terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Berdasarkan Visi Pembangunan Nasional tersebut ditetapkanlah Misi Pembangunan Nasional tahun 2004-2009, yaitu:
1. Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai 2. Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis 3. Mewujudkan Indonesia yang sejahtera
Ini membuktikan bahwa pemerintah Indonesia memberi perhatian yang sangat besar untuk menciptakan suatu Negara hukum yang ideal, dimana Negara ikut campur di dalam usahanya menciptakan kemakmuran bagi warga negaranya. Apabila kita melihat kembali ke dalam Batang Tubuh
(14)
xiv
UUD 1945 banyak pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan Negara hukum tersebut, salah satunya terdapat di dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang berbunyi :
2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara
3 Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sangat perlu diatur dan dimonopoli oleh Negara. Hal ini disebabkan, bahwa Negara Indonesia menghendaki adanya kesejahteraan dalam masyarakat, bukan kesejahteraan secara individu. Oleh sebab itu, Negara mempunyai hak lebih untuk menguasai dan mengatur seluas-luasnya untuk kepentingan masyarakat. Bumi dan air yang dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut menggambarkan mengenai kekayaan alam yang terkandung di dalam tanah Negara, maupun tanah itu sendiri.
Pemerintah sebagai agen atau organisasi pekerja Negara, memiliki peranan untuk menguasai (bukan memiliki) kekayaan alam tersebut, sepanjang kekayaan alam tersebut dipergunakan seluas-luasnya demi kepentingan hajat hidup orang banyak. Fungsi dari kekayaan alam itu sendiri adalah sebagai alat atau sarana bagi suatu organisasi Pemerintah untuk mendukung dan menunjang pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Dalam hal ini, pemerintah perlu melakukan pengawasan dan pengaturan yang ketat mengenai kekayaan alam tersebut.
(15)
xv
Untuk memaksimalkan pemberdayaan kekayaan alam yang dikuasai Negara tersebut, yang berupa kekayaan alam yang dapat dipergunakan bagi kepentingan hajat hidup orang banyak, maka Pemerintah menyadari perlu membentuk suatu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mempunyai spesialisasi di setiap bidang usaha masing-masing. Semua Badan Usaha Milik Negara tersebut berkewajiban untuk mengusahakan setiap kekayaan alam yang dimandatkan kepada mereka, misalnya: Pertamina, berkewajiban untuk mengelola aset atau kekayaan Negara berbentuk gas dan minyak bumi (yang terdapat di bawah tanah). Pertamina diwajibkan memaksimalkan pengelolaan atas kekayaan alam tersebut untuk kepentingan hajat hidup orang banyak.
Selain kekayaan alam yang berada di bawah tanah yang telah disebutkan di atas, maka terdapat juga kekayaan alam yang juga dimandatkan kepada Pemerintah untuk dipergunakan sebaik-baiknya demi kepentingan hajat hidup orang banyak salah satunya adalah tanah. Bagi bangsa Indonesia, tanah mempunyai pengaruh besar di dalam kehidupan bermasyarakat, diantaranya dipergunakan untuk prasarana permukiman, prasarana jalan dan jembatan, prasarana pendukung di bidang ekonomi, pendidikan, peribadatan, rekreasi, serta keperluan lainnya.
Atas dasar ketentuan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, mendasari Pasal 1 ayat (2) UUPA, dinyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa yang terkandung di dalam wilyah Republik Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan menjadi kekayaan nasional. Dalam
(16)
xvi
Pasal 2 UUPA disebutkan, bahwa tanah pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Pengertian tanah negara dalam arti sempit menurut Boedi Harsono adalah :4
“Tanah yang dikuasai oleh departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah non departemen lainnya dengan hak pakai dan hak pengelolaan, yang merupakan aset atau bagian kekayaan negara yang penguasaannya ada pada menteri keuangan”.
Hal ini berarti bahwa setiap Badan Usaha Milik Negara juga memiliki bagian di dalam penguasaan tanah negara tersebut. Penguasaan atas tanah tersebut diberikan oleh Negara untuk memaksimalkan kinerja dari setiap BUMN yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia.
Akan tetapi, banyak juga BUMN yang tidak dapat memaksimalkan aset tanah yang dimilki tersebut. Hal ini dikarenakan minimnya sumber daya modal yang dimilki oleh BUMN yang bersangkutan. Agar dapat memaksimalkan pemberdayaan dari aset tanah negara tersebut kepada masyarakat, maka berdasarkan hak menguasai yang dimiliki oleh negara, pemerintah dapat memberikan atau mengalihkan hak-hak atas tanah negara tersebut kepada seseorang, beberapa orang secara bersama-sama atau suatu badan hukum untuk diberdayakan bagi kepentingan masyarakat banyak. Pemberian hak itu berarti pemberian wewenang untuk mempergunakan tanah dalam batas-batas yang diatur dalam perundang-undangan. Dalam hal ini, Hak menguasai yang dimiliki oleh negara tidak
4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
(17)
xvii
dapat dipindahkan kepada pihak lain, melainkan hanya diberikan dengan suatu hak atas tanah negara kepada kepada pihak lain.
Pemberian hak atas tanah negara kepada seseorang atau badan hukum, bukan berarti melepaskan hak menguasai tersebut dari tanah yang bersangkutan. Tanah tersebut tetap berada di dalam penguasaan Negara. Negara tidak melepaskan kewenangannya terhadap tanah yang bersangkutan.
Pengalihan atas tanah negara yang dimilki oleh sebuah BUMN dapat dilakukan melalui perjanjian. Dalam hal ini, penulis mengambil bahan kajian pengalihan tanah negara yang dimiliki oleh sebuah BUMN, dalam hal ini BULOG, melalui perjanjian tukar guling yang dilakukan dengan PT. Goro Batara Sakti. Dari pihak BULOG sendiri bersedia menukar lahan yang diperuntukkan bagi BULOG dengan luas sekitar kurang lebih 50 Ha yang terdapat di kawasan Kelapa Gading, dengan tanah pengganti seluas kurang lebih 125 Ha yang dimilki oleh PT. Goro Batara Sakti. Akan tetapi di dalam pelaksanaan perjanjian tukar guling tersebut telah terjadi penyimpangan-penyimpangan, diantaranya : bahwa tanah yang ditukar guling tersebut tidak dipergunakan seluas-luasnya bagi kepentingan masyarakat, melainkan untuk kepentingan individu dan negara malah mengalami kerugian sebesar Rp. 95.407.486.0005
5
Varia Peradilan, “Tindak Pidana Korupsi Kasus Ruislaght Tanah dan Gudang BULOG”, No. 183 Desember 2000, hlm. 8
setelah perjanjian tukar guling ini dilaksanakan. Kerugian yang dialami oleh negara disebabkan proses tukar menukar
(18)
xviii
ketentuan ruilslag yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK/03/1994. Ketentuan ruilslag yang telah dilanggar adalah proses ruilslag itu sendiri, yaitu adanya campur tangan Presiden dalam pengambil alihan aset Bulog oleh PT. Goro Batara Sakti; proses ruilslag tidak dijalankan melalui proses tender; aset yang hendak dilepas oleh Bulog telah dipergunakan terlebih dahulu oleh PT. Goro Batara Sakti; dan adanya uang Bulog yang dipakai untuk membeli tanah aset pengganti yang seharusnya disediakan oleh PT. Goro Batara Sakti.
Oleh karena itu, pemerintah melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 K/Pid/2000 membatalkan perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, karena akibat dari perjanjian tukar guling tersebut negara telah dirugikan, dan para pihak baik BULOG (dalam hal ini terdakwa Beddu Amang) maupun PT. Goro Batara Sakti (dalam hal ini terdakwa Ricardo Galael dan Tomi Soeharto) telah terbukti dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi. Didasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang
Pengalihan Hak Milik Atas Kekayaan Negara Melalui Perjanjian Tukar Guling (RUILSLAG) Antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti Dihubungkan Dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 20 Tahun 2001
(19)
xix
B. Identifikasi Masalah
1. Apakah hak milik atas kekayaan negara yang dikelola oleh BUMN dapat dialihkan atau dikuasai oleh Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) menurut peraturan hukum yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimana akibat hukum dibatalkannya Perjanjian Tukar Guling
(ruilslag) antara BULOG dengan PT. Goro Batara Sakti?
3. Bagaimana tanggungjawab pidana pihak BULOG terhadap kerugian negara yang timbul dari Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) tersebut dihubungkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan memahami tentang tentang pengalihan hak milik atas kekayaan negara yang dikuasai oleh BUMN atau dikuasai menurut peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Mengetahui dan memahami akibat hukum dibatalkannya Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti tersebut.
3. Mengetahui dan memahami tentang pertanggungjawaban pidana pihak BULOG terhadap kerugian negara yang timbul dari perjanjian tukar guling (ruilslag) tersebut dengan dihubungkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
(20)
xx
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a) Diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dalam berbagai upaya pengembangan ilmu hukum dan pembaharuan hukum nasional khususnya tentang Perjanjian Tukar Guling (ruilslag).
b) Diharapkan dapat memberikan bahan referensi bagi kepentingan yang bersifat akademis baik dalam penelaahan hukum secara monodisipliner, maupun multidisipliner dan sebagai tambahan bagi kepustakaan.
2. Kegunaan Praktis
a) Memberikan sekedar informasi bagi pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian tukar guling (ruilslag) khususnya mengenai ketentuan wanprestasi beserta eksistensi dari perjanjian tukar guling itu sendiri.
b) Memberikan masukan bagi instansi pemerintah atau departemen yang terkait serta pihak swasta khususnya bagi para pihak yang sedang atau telah melakukan rangkaian proses di dalam mencapai tujuan dari tukar guling ataupun bagi para pihak yang hendak melakukan perjanjian tukar guling dikemudian hari.
(21)
xxi
E. Kerangka Pemikiran
Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum, seperti yang termaktub di dalam UUD 1945 telah melakukan amandemen di dalam UUD 1945. Hal ini dilakukan untuk mendukung terciptanya suatu tujuan negara hukum, salah satunya adalah menciptakan masyarakat adil dan makmur. Hasil dari Amandemen tersebut diantaranya adalah :
a. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (dan warga negara); b. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
c. Pemerintah di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Untuk menciptakan negara hukum, diperlukan adanya suatu sistem hukum. Suatu sistem hukum memiliki elemen-elemen pendukung untuk terciptanya penegakan hukum itu sendiri, diantaranya adalah :6
a. Kelembagaan (institutional); b. Kaedah aturan (instrumental);
c. Perilaku para subjek hukum yang menunjang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan tersebut (elemen subyektif dan kultural).
Pemerintah sebagai organisasi pekerja Negara (elemen kelembagaan) memiliki peranan untuk mengatur dan menguasai seluruh kekayaan dan aset-aset negara yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat 3
6
(22)
xxii
UUD 1945). Untuk itu, Negara sebagai organisasi kekuasaan bertanggungjawab untuk mengelola sumber kekayaan alam dan aset-aset tersebut (elemen instrumental). Pengelolaan atas kekayaan negara dan aset-aset tersebut dapat saja dialihkan kepada pihak swasta apabila negara (BUMN) memiliki keterbatasan sumber daya modal untuk mengelolanya, sepanjang pengalihan tersebut dilakukan untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Pengalihan atas hak negara untuk mengelola kekayaan dan aset-aset tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian, salah satunya adalah perjanjian tukar guling (ruilslag).
Didasarkan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK.03/1994. tanggal 13 Juli 1994 Tentang Tukar Menukar Barang Milik atau Kekayaan Negara, Perjanjian Tukar Guling (ruilslag) adalah suatu pengalihan pemilikan dan/atau penguasaan barang tidak bergerak milik negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan negara.7
Perjanjian tukar guling (ruilslag) merupakan perkembangan dari salah satu bentuk perjanjian yang telah diatur dalam KUH Perdata, yaitu perjanjian tukar-menukar. Pasal 1541 KUH Perdata menyebutkan, yang dimaksud dengan perjanjian Tukar Menukar adalah:
. Salah satu objek dari perjanjian tukar guling tersebut adalah tanah.
“suatu perjanjian, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik, sebagai gantinya suatu barang lain.
7
Munir Fuadi, Pembiayaan Perusahaan Masa Kini (Tinjauan Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 216.
(23)
xxiii
Algra mengartikan perjanjian tukar-menukar adalah : “suatu perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama lain.”8
Selain itu, ada juga yang mendefenisikan perjanjian tukar menukar sebagai suatu perjanjian yang dibuat antara pihak yang satu dengan pihak lainnya, dalam perjanjian itu pihak yang satu berkewajiban menyerahkan barang yang ditukar, begitu juga pihak lainnya berhak menerima barang yang ditukar.9
Unsur-unsur yang tercantum di dalam defenisi di atas adalah:10 1. Adanya subjek hukum (individu maupun badan hukum)
2. Adanya kesepakatan subjek hukum;
3. Adanya objek, yaitu barang bergerak dan tidak bergerak (tanah); 4. Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek
tukar menukar tersebut.
Didasarkan Kepmenkeu No.350/KMK.03/1994, bahwa siapapun dapat melakukan perjanjian tukar guling tersebut, baik departemen-departemen, instansi atau suatu badan usaha milik negara yang mengusai suatu tanah dapat melakukan perjanjian ini dengan pihak swasta manapun dengan ketentuan penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak yang mempunyai nilai tukar yang sama, sehingga tidak menyebabkan keuangan negara mengalami kerugian. Sepanjang perjanjian tersebut dilakukan dengan ketentuan-ketentuan tersebut, maka perjanjian tukar
8
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm.57
9
Ibid., hlm.57
10
(24)
xxiv
guling tersebut menjadi sah bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian tukar guling tersebut.
Lahirnya perjanjian tukar guling ini, mengacu kepada salah satu sifat yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata, yaitu sifat terbuka. Yang dimaksud dengan sifat terbuka ini adalah para pihak diberi kebebasan untuk membuat perjanjian yang mereka inginkan, selama perjanjian tersebut tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat. Hal ini tersirat pula di dalam Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatakan bahwa :
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.”
Seperti telah disebutkan di atas di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak tersebut telah menjadi undang-undang bagi setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut. Namun, dalam kenyataannya terjadi penyimpangan-penyimpangan atau dapat dikatakan para pihak di dalam perjanjian tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena objek yang dipertukarkan dalam perjanjian tukar guling tersebut adalah milik negara dan memberikan kerugian pada negara.
Perbuatan melawan hukum sendiri telah di atur di dalam Pasal 1365 KUH Perdata, dimana disebutkan :
(25)
xxv
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) yang dikenal di dalam Hukum Perdata memiliki arti yang sama dengan pengertian perbuatan melawan hukum pada hukum Pidana (wederrechtelijkheid), seperti yang terdapat di dalam makalah yang dibuat oleh Indriyanto Seno Adji, dalam seminar tentang Asas-Asas Hukum Pidana Nasional, dikatakan oleh beliau bahwa pengertian onrechtmatigdaad Hukum Perdata mempunyai arti yang sama dengan pengertian wederrechtelijheid Hukum Pidana.11
Perbuatan melawan hukum (wederrechtelijheid) sendiri telah dituangkan oleh pembentuk undang-undang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Hal ini diantaranya dapat kita lihat pada :
12
a. Pasal 406, mengartikan wederrechtelijheid sebagai “tanpa hak sendiri”
b. Pasal 333, mengartikan wederrechtelijheid sebagai “bertentangan dengan hukum obyektif”
c. Pasal 167 dan Pasal 522 mengartikan wederrechtelijheid sebagai “bertentangan dengan hukum”.
Selain itu, Mahkamah Agung sendiri pernah membuat keputusan dalam suatu kasus No. 30 K/Kr/1969 tanggal 6 Juni 1970, dimana disebutkan
11
Indriyanto Seno Adji, “Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dan Masalahnya Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia”, Azas-azas Hukum Pidana Nasional, Hotel Ciputra Semarang, 2004, hlm.1
12
(26)
xxvi
bahwa sifat melawan hukum itu sedemikian pentingnya sehingga ditegaskan, bahwa :13
1. Dalam setiap tindak pidana selalu ada unsur “sifat melawan hukum” dari perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, walaupun dalam rumusan delik tidak selalu dicantumkan.
2. Walaupun rumusan delik penadahan tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum, tidak berarti perbuatan (1) yang dituduhkan telah merupakan delik penadahan walaupun sifat melawan hukum tidak ada sama sekali.
Jadi dalam hal ini, pembentuk undang menegaskan bahwa undang-undang pidana tersebut berisikan hal-hal yang tidak diperkenankan kepada setiap orang. Dan alasan dipergunakannya kata “sifat melawan hukum” atau
wederrechtelijheid, karena pembuat undang-undang mengkhawatirkan
adanya bahaya, yaitu tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan undang, terutama yang bertentangan dengan undang-undang pidana.
Indriyanto Seno Aji di dalam seminar tentang Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perbuatan melawan hukum formal dan
perbuatan melawan hukum materiil.14
13
R. Achmad S. Soema di Praja, Pengertian Serta Sifatnya Melawan Hukum Bagi
Terjadinya Tindak Pidana, Armico, Bandung, 1983, hlm. 17
Menurut beliau, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum formil, lebih dititikberatkan pada pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap peraturan-peraturan perundangan yang tertulis, sedangkan perbutan melawan hukum materiil, lebih dititikberatkan kepada perbuatan yang merupakan pelanggaran
14
(27)
xxvii
terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Apabila kita merujuk kembali kepada pendapat Mochtar Kusumaatmadja di dalam bukunya dan telah dikutip ulang oleh Komariah Emong Sapardjaja di dalam bukunya yang berjudul “Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia”, dikatakan bahwa :“Selain
oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila,
kesopanan, adat kebiasaan, dan kaidah-kaidah sosial lainnya” 15
Kaidah-kaidah tersebut dapat menjadi tuntunan orang untuk berperilaku atau menjadi norma-norma perilaku dan selanjutnya kaidah-kaidah tesebut ada yang dikukuhkan menjadi norma hukum oleh negara melalui pembuat undang-undang.16
Salah satu bentuk perbuatan melawan hukum yang secara implisit telah disebutkan pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dan ditambah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Pasal 2 ayat (1). (Selanjutnya dalam tulisan ini, penulis akan menyebut Undang-Undang tersebut sebagai Undang-Undang-Undang-Undang Korupsi).
Norma hukum tersebut ada yang menjadi bagian dari hukum pidana, hukum perdata, maupun hukum administrasi. Salah satu penerapan norma tersebut dapat kita lihat di dalam perjanjian tukar guling (rischlaght) yang notabene terdapat dalam lingkup hukum perdata, karena dalam hal ini, perjanjian tukar guling tersebut termasuk ke dalam hukum perjanjian.
15
Ny. Komariah Emong S., Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Alumni, Bandung, 2002, hlm. 1
16
(28)
xxviii
Tindak pidana didefenisikan sebagai perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum.17 Korupsi adalah suatu perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.18 Apabila istilah tersebut digabungkan dengan kata korupsi akan membentuk tindak pidana korupsi sehingga mudah kita pahami bahwa pengertian Tindak Pidana Korupsi ialah rumusan-rumusan tentang segala perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Korupsi. Undang-Undang tersebut telah merumuskan 44 (empat puluh empat) kategori perbuatan yang dapat dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan dasar-dasar tertentu, tindak pidana korupsi tersebut dapat dibedakan ke dalam beberapa kelompok berdasarkan pembaginya. Salah satu pembagian Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat dibedakan berdasarkan dapat atau tidaknya merugikan keuangan dan atau perekonomian Negara.19
Bagian penjelasan Undang-Undang Korupsi memberikan definisi keuangan negara yang merupakan objek dari Tindak Pidana Korupsi tesebut. Keuangan negara yang dimaksud kedalam objek perbuatan korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan. Termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
17
Jan Remmelink, Hukum Pidana “Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 61
18
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia 1976
19
Chaznawi Adami, hukum Pidana materiil dan formil korupsi di Indoesia, Bayumedia, Malang, 2003, hlm. 30
(29)
xxix
a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. b) Berada dalam pengurusan, pengurusan dan pertanggung jawaban
Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ke tiga berdasarkan perjanjian dengan negara20.
Objek perjanjian ruilslag antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti merupakan tanah negara yang berada dalam pengurusan dan pertanggungjawaban BULOG sebagai Badan Usaha Milik Negara, dimana harus dipergunakan seluas-luasnya untuk kemakmuran rakyat.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian sangat penting dalam rangka memperoleh hasil penelitian yang akurat, untuk itu penulis akan melakukan penelitian berdasarkan metode-metode sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif analisis yaitu penelitian yang bertujuan memaparkan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang ada. Dengan demikian penelitian ini akan menggambarkan masalah hukum, fakta dengan gejala lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, kemudian menganalisanya sehingga diperoleh suatu gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang permasalahan yang akan diteliti.
20
Indonesia, Undang-Undang No.31/1999 jo Undang-Undang No.20/2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bagian penjelasan.
(30)
xxx
2. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menginventarisasi, mengkaji dan meneliti data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian ini, dan bagaimana peraturan tersebut diterapkan dalam praktiknya.
3. Tahap Penelitian
Penyusunan skripsi ini melalui 2 (dua) tahapan penelitian yaitu penelitian kepustakaan terhadap sumber data sekunder dan data primer untuk memperoleh fakta-fakta di lapangan melalui wawancara yang dapat menunjang hasil penelitian kepustakaan. Sumber data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan antara lain:
a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian, yaitu:
1) Undang-undang Dasar 1945;
2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi;
3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
4) UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA);
5) Keputusan Menteri Keuangan No. 350/KMK.03/1994 tentang Tata Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik atau Kekayaan Negara.
(31)
xxxi
b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer antara lain adalah beberapa buku-buku serta tulisan-tulisan beberapa ahli yang berhubungan dengan perjanjian
dan tindak pidana korupsi.
c. Bahan hukum tersier yang menunjang penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain adalah jurnal, majalah, koran, kamus dan data yang diperoleh melalui internet. 4. Lokasi Penelitian
a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jalan Imam Bonjol Nomor 21 Bandung;
b. Perpustakaan Universitas Padjadjaran Jalan Dipati Ukur nomor 46 Bandung;
c. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat;
d. Kantor saksi ahli BPKP yang menangani perkara antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti.
e. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 5. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode analisa kualitatif. Artinya data yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah terkumpul sebagai penunjang penulisan skripsi ini akan disusun secara sistematis dan lengkap kemudian dianalisa secara kualitatif sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh tentang permasalahan yang akan diteliti.
(32)
xxxii
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dan pemahaman permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka sistematika penulisan dibagi menjadi 5 bab. Setiap bab diusahakan akan mengupas lebih dalam mengenai maksud dan tujuan dari pembahasan skripsi ini serta menggambarkan seluruh masalah yang dihadapi. Sistematika penulisan ini terdiri dari:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini akan mengemukakan secara sistematis mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah, maksud dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran dan metode penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA
Bab ini terbagi menjadi tiga sub bab. Pertama akan membahas pengertian hak milik dalam konteks negara hukum yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kedua akan membahas mengenai hak milik dalam sistem hukum di Indonesia, ketiga membahas tindak pidana dalam pengelolahan kekayaan negara.
BAB III PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG) ANTARA BULOG DAN PT. GORO BATARA SAKTI
Pada bab ini akan dibahas mengenai objek penelitian. Bab ini terbagi menjadi tiga sub bab. Pertama akan menguraikan
(33)
xxxiii
tentang latar belakang dan terjadinya perjanjian tukar guling, kedua akan menguraikan perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, dan yang ketiga akan membahas indikasi tindak pidana korupsi dalam perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti.
BAB IV TINDAK PIDANA DALAM PENGALIHAN HAK MILIK MELALUI PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG) ANTARA BULOG DAN PT. GORO BATARA SAKTI
Bab ini terbagi menjadi dua sub bab. Pertama akan menganalisa terhadap perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, kedua akan menganalisa terhadap indikasi tindak pidana korupsi dalam perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini terbagi menjadi 2 sub bab. Pertama berupa kesimpulan, sedangkan sub bab yang kedua berupa saran.
(34)
xxxiv
BAB II
PENGALIHAN HAK MILIK ATAS KEKAYAAN NEGARA
A. Hak Milik Dalam Konteks Negara Hukum Yang Berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa
Indonesia sebagai Negara hukum yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Negara, yaitu pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan pada Pasal 1 UUD 1945. Ditegaskan dalam Penjelasan tentang UUD 1945, di dalam Pokok-Pokok Pikiran dalam “Pembukaan” poin keempat, mengatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Selanjutnya di dalam Pasal 33 UUD 1945, ditegaskan bahwa :
(3) Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Segala sumber kekayaan Negara bukanlah milik Negara, melainkan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kedudukan Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat, memiliki kekuasaan tertinggi dan bertanggungjawab untuk mengelola segala sumber kekayaan Negara tersebut demi kepentingan masyarakat dari generasi ke generasi.
Sehubungan dengan itu, di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya akan disebut UUPA) antara lain ditegaskan bahwa seluruh
(35)
xxxv
bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat 2 di atas adalah hubungan yang bersifat abadi (Pasal 1 ayat 3).
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diartikan bahwa pengakuan terhadap hak menguasai Negara di Indonesia dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat untuk mengelolah kekayaan nasional demi kepentingan masyarakat dari generasi ke generasi. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Sehubungan dengan itu, selanjutnya di dalam Pasal 2 ayat (2), poin (a), (b), dan (c) Undang-Undang Pokok Agraria diuraikan tentang tanggungjawab Negara terhadap kekayaan nasional yang berkaitan dengan tanah.
Di dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan mengenai hal penguasaan Negara atas tanah ini. Hak menguasai atas tanah oleh Negara adalah istilah yang diberikan oleh Undang-Undang Pokok Agraria kepada lembaga Negara sebagai organisasi pekerja Negara dan hubungan hukum konkret antara Negara dan tanah di Indonesia, yang lebih rinci isi dan tujuannya
(36)
xxxvi
terdapat pada Pasal 2 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Pokok Agraria, yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 2
(1) : “mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
(2) : “menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;
(3) : “menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan yang dimiliki negara atas tanah tersebut merupakan suatu bentuk pelimpahan tugas bangsa, baik sebagai pemegang kekuasaan dan sebagai organisasi pekerja Negara.
Dalam hubungan dengan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, selaku organisasi kekuasaan seluruh rakyat, Negara bertindak dalam kedudukannya sebagai kuasa dan petugas bangsa Indonesia.21 Dalam melaksanakan tugas tersebut, pemerintah merupakan organisasi kekuasaan rakyat tertinggi, yang terlibat sebagai petugas bangsa tersebut bukan hanya penguasa legislatif dan eksekutif saja, tetapi juga penguasa yudikatif.22
21
Boedi Harsono, op.cit., hlm.229 22
(37)
xxxvii
Didasarkan pada Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria, dijelaskan lebih lanjut mengenai hak menguasai Negara, yaitu :
Pasal 4
(1) : “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud
dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum.”
(2) : “hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”
Hak-hak atas tanah yang bersifat individual dan pribadi dalam konsepsi hukum tanah nasional mengandung unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas tanah, karena semua hak atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama.
Hak-hak atas tanah yang bersumber pada hak bangsa adalah apa yang disebut hak-hak primer, yaitu hak milik, hak guna usaha, dan hak pakai yang diberikan oleh Negara sebagai organisasi pekerja Negara. Hak-hak
(38)
xxxviii
yang bersumber tidak langsung dari hak bangsa, adalah yang disebut hak-hak sekunder, yaitu: hak-hak-hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak-hak primer, seperti hak sewa, bagi hasil, gadai, dan lainnya.23
Dalam konsep “Negara menguasai”, Negara yang memperoleh kewenangan dari seluruh rakyat Indonesia, diberi kedudukan sebagai badan penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang untuk mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka segala tindakan Negara berkaitan dengan pembuatan kebijaksaan dan pengawasaan atas terlaksananya segala peraturan dan kebijakan itu harus dipertanggungjawabkan kembali terhadap masyarakat.
Hubungan hukum yang termaktub dalam UUD 1945 dirumuskan dengan menggunakan istilah “dikuasai” itu, ditegaskan sifatnya sebagai hubungan hukum publik oleh Pasal 2 UUPA, dimana dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA diberikan rincian kewenangan Negara dalam menguasai kekayaan Negara tersebut. Rincian kewenangan yang dimaksud berisikan mengenai: mengatur, menentukan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 UUPA tersebut. Undang-Undang Pokok Agraria memeberikan interpretasi resmi mengenai “hak menguasai Negara”, yaitu hanya sebatas hubungan hukum yang bersifat publik semata-mata. Didasarkan dengan hal tersebut, tidak ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai dalam UUD 1945 tersebut.
23
(39)
xxxix
Sebagai bukti atas hak penguasaan oleh Negara, dan bukan pemilikkan Negara atas tanah, maka haruslah setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila pemerintah melanggar ketentuan ini, akan membuat masyarakat mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi pergeseran makna, yaitu yang awalnya sebagai pengelola menjadi pemilik. Sebagai contoh adalah perjanjian tukar guling antara BULOG dan PT. Goro Batara Sakti, dimana proses tukar guling tersebut tidak dijalankan dengan prosedur yang ada.
A 2. Hak Milik Dalam Sistem Hukum di Indonesia
Yang dimaksud dengan hak “kemilikan” adalah hak milik dalam arti umum (luas), tidak terbatas hanya pada hak milik atas tanah, bangunan, mobil, sepeda, dan sebagainya, akan tetapi seluruhnya sepanjang hak kemilikan ini mempunyai objek yang diperbolehkan hukum, yaitu benda (berwujud dan tidak berwujud)24
2.1. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
. Hak “kemilikan” diakui dan mempunyai landasan hukum yang kuat di Indonesia, diantaranya diatur pada:
Istilah Hak “kemilikan” tidak dikenal pada sistem hukum yang terdapat di negara Indonesia. Istilah yang lebih dikenal dan diakui hanyalah hak “milik”. Undang-Undang Dasar 1945 tidak mempunyai ketentuan yang mengatur mengenai hak milik. Namun hak milik ini diakui di dalam UUD
24
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1977, hlm. 43
(40)
xl
1945 yang dapat disimpulkan dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (Tap MPR No. IV/1970) dan konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).25
2.2. Di Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
Pengakuan atas hak milik secara tegas dituangkan dalam “Ciri-ciri Demokrasi Ekonomi (Arah Pembangunan Jangka Panjang)”, yaitu:
“Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum”.26 Selanjutnya dasar hukum dari lembaga hak milik dapat ditemukan di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, walapun tidak secara nyata lembaga hak milik ini disebutkan, akan tetapi pengakuan tersebut nyata, yang dapat dijabarkan dari Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Konsideran Undang-Undang Pokok Agraria juga menguatkan hal ini, sebab dasar pembentukan UUPA sendiri dilandasi oleh Pasal 33 UUD 1945.
2.3. Undang-Undang Pokok Agraria 196027
Di dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa, ”hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”.
25
Ibid., hlm. 43 26
Ibid., hlm. 44 27
(41)
xli
Di dalam Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa, “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.
Didasarkan Pasal 20 UUPA tersebut di atas, dijelaskan bahwa hak milik mempunyai ciri yang berbeda dari hak-hak lainnya. Meskipun dikatakan bahwa hak milik merupakan hak terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki oleh seseorang atas tanah, bukan berarti hak tersebut bersifat mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Pengertian terkuat dan terpenuh itu, bermaksud “untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak milik yang “ter” (paling) kuat dan terpenuh.28
2.4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 570 KUH Perdata Pasal 570 :
“Hak kemilikan (hak milik pada umumnya) adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan sepenuhnya, asal tidak sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”29
Didasarkan pada pasal 570 ini, dapat kita ambil enam ciri dari hak kepemilikan tersebut, yaitu :30
i. Berhak menikmati kegunaan pada sesuatu benda dengan bebas;
28
Ibid., hlm. 45 29
Ibid., hlm. 46
30
(42)
xlii
ii. Merupakan hak menguasai terkuat;
iii. Tidak melanggar undang-undang atau peraturan umum;
iv. Jika perlu dapat dicabut untuk kepentingan umum dengan memberikan ganti rugi;
v. Tidak menyalahgunakan hak dalam pelaksanaannya.
Para ahli hukum Perdata seperti Suyling, Pitlo, Asser, pada umumnya sepakat untuk mengatakan bahwa hak kepemilikan merupakan hak terkuat yang memberikan sejumlah wewenang menguasai yang maksimal untuk menikmati dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas benda.31
2.5. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) Pasal 26 dan 27
Pasal 26
(1 ):”Setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain”.
(2):”Seorang pun tidak boleh dirampas hak miliknya dengan semena-mena”
(3):”hak milik itu adalah suatu fungsi sosial”. Pasal 27
(1):”Pencabutan hak milik untuk kepentingan umum atas sesuatu benda atau hak tidak diperbolehkan, kecuali dengan mengganti kerugian dan menurut aturan undang-undang”.
(2):”Apabila suatu benda harus dibinasakan untuk kepentingan umum, ataupun baik untuk selama-lamanya maupun untuk beberapa lama harus dirusakkan samapai tak terpakai lagi, oleh kekuasaan umum, maka hal itu dilakukan dengan mengganti kerugian dan menurut aturan undang-undang kecuali jika ditentukan yang sebaliknya oleh aturan-aturan itu”.
31
(43)
xliii
A.3. Hak Milik Atas Tanah
Di dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria ditegaskan bahwa, ”hak milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Berdasarkan ketentuan ini, hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
3.1. Batasan Hak Milik
Undang-Undang Pokok Agraria, mengatur secara tegas ketentuan mengenai batas-batas dari hak milik, yaitu:32
i. Hak atas tanah tidak boleh semata-mata dipergunakan untuk kepentingan pribadi, akan tetapi harus seimbang dengan kepentingan umum;
ii. Tidak boleh menimbulkan kerugian bagi orang lain; iii. Harus dipelihara baik-baik;
iv. Pemerintah mengawasi penyerahan hak atas tanah; v. Pemerintah mengawasi hak monopoli atas tanah.
Undang-Undang Pokok Agraria memberi batasan, bahwa hak milik tersebut bukan merupakan lambang kekuasaan yang tidak terbatas, akan tetapi dibatasi oleh kepentingan umum yang diungkapkan oleh Hukum Publik.33
32
Ibid., hlm. 52
Hukum publlik memberikan arahan kepada kita perintah dan larangan terhadap pemilik mengenai apa yang boleh dilakukan dengan hak miliknya. Apabila pemilik melakukan perbuatan melawan hukum atau atau
33
(44)
xliv
menimbulkan gangguan kepada pihak lain, maka ia dapat digugat untuk memberikan ganti rugi, demikian juga jika ia menyalah gunakan jabatannya.34
3.2. Subjek Hak Milik
Subjek dari hak milik adalah:
a. Warga Negara Indonesia
b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia
3.3. Asas-Asas Hak Kemilikan
a. Asas hak terkuat atau terpenuh; b. Asas fungsi sosial; c. Asas kemanfaatan; d. Asas sistem tertutup; e. Asas mengikuti benda; f. Asas kepastian hukum; g. Asas publisitas; h. Asas spesialitas; i. Asas totalitas; j. Asas perlekatan; k. Asas dapat diserahkan; l. Asas perlindungan.
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Pengertian
Perjanjian ini terdapat di dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Dari pengertian ini, dapat diartikan bahwa, perjanjian atau perikatan adalah
34
(45)
xlv
“hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih yang
terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi prestasi”.35
Suatu perjanjian dapat berbentuk lisan maupun tulisan, pada umumnya perjanjian yang berbentuk tulisan dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah bila terjadi perselisihan.36 Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka (open system), yaitu para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan syarat-syaratnya, pelaksanaannya, dan bentuk perjanjian nantinya, yaitu berbentuk lisan ataupun tertulis.37
Setiap perjanjian harus memenuhi syarat sah agar perjanjian tersebut dapat dilaksanakan dan tidak menyalahi ketentuan hukum yang berlaku. Syarat sahnya perjanjian ini diatur pada pasal 1320 KUH Perdata, dimana di
Dalam perkembangannya, selain perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang diatur diluar KUH Perdata, inilah yang disebut sebagai Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst), berbeda dengan Perjanjian Bernama (Benoemd) yang telah diatur di dalam KUH Perdata. Contoh dari perjanjian yang bernama adalah: jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain, sedangkan contoh perjanjian yang tidak bernama adalah: kontrak karya, Buid Operate and Transfer (BOT), kontrak Production Sharing, dan juga Perjanjian Tukar guling (Ruilslag) yang akan dijelaskan selanjutnya.
35
Mariam Darus Badrulzaman, et al, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet III, PT. Citra aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.1
36
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, PT. Alumni, Bandung, 1994, halm.18 37
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm.1
(46)
xlvi
dalam pasal ini diatur bahwa untuk suatu perjanjian agar dapat dianggap sah maka harus memenuhi empat syarat,yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai para pihak atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Tidak terpenuhnya syarat-syarat subyektif, maka perjanjian dinyatakan batal demi hukum. Apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat objektif, maka perjanjian dinyatakan dapat
dibatalkan.
Sepakat atau konsensus, merupakan syarat pertama bagi para pihak sebelum mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian, dalam hal ini para pihak dapat menentukan keinginannya masing-masing dan dapat mencapai kata sepakat mengenai kewajiban-kewajiban para pihak, sehingga tidak terdapat paksaan, penipuan ataupun kekhilafan yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian (Pasal 1321).
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah, adanya kecakapan para pihak, dalam hal ini para pihak yang dianggap cakap menurut hukum adalah mereka yang telah dinyatkan dewasa menurut undang-undang dan sehat secara jasmani dan rohani.
(47)
xlvii
Syarat ketiga, “suatu hal tertentu” berbicara mengenai apa yang menjadi objek dari perjanjian tersebut. Barang yang menjadi objek dari perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan yang hidup dalam masyarakat.
Syarat terakhir mewajibkan bagi para pihak untuk melaksanakan isi perjanjian dengan itikad baik, dimana para pihak melaksanakan perjanjian dengan kepatutan dan keadilan, sehingga tidak ada satu pihak yang merasa dirugikan.
2. Subjek Perjanjian dan Objek Perjanian
Pihak-pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian disebut sebagai subjek perjanjian. Didasarkan Pasal 1340 KUH Perdata, perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Menurut undang-undang, subjek perjanjian terdiri dari dua, yaitu:
a. Individu yang telah memenuhi syarat-syarat menurut undang-undang;
b. Badan hukum yang sah.
Objek perjanjian adalah hal-hal yang dijanjikan oleh para pihak, dalam hal ini para pihak wajib melaksanakan dan memenuhi apa yang telah diperjanjikan sebelumnya, apabila tidak dilaksanakan maka pihak yang tidak memenuhi klausa tersebut dapat dimintakan membayar ganti rugi kepada pihak yang berhak.
(48)
xlviii
3. Berakhirnya Perjanjian
Didasarkan Pasal 1381 KUH Perdata, cara hapus dan berakhirnya suatu perjanjian, yaitu :
a. Karena pembayaran;
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti denganpenyimpanan atau penitipan;
c. Karena pembaharuan utang;
d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi; e. Karena percampuran utang;
f. Karena pembebasan utangnya;
g. Karena musnahnya barang yang terutang; h. Karena kebatalan dan pembatalan;
i. Karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini;
j. Karena lewat waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.
Selain dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, suatu perjanjian dapat dinyatakan hapus atau berakhir disebabkan oleh:
a. Persetujuan para pihak, dimana para pihak telah menetapkan jangka waktu kontrak tersebut berlangsung;
b. Telah ditentukan oleh Undang-Undang, bahwa perjanjian tertentu hanya dapat berlaku sampa jangka waktu tertentu saja;
c. Karena suatu peristiwa tertentu yang telah ditentukan oleh para pihak atau Undang-Undang;
(49)
xlix
d. Pernyataan menghentikan perjanjian yang dapat dilakukan salah satu pihak ataupun kedua belah pihak;
e. Karena putusan hakim;
f. Karena telah terpenuhinya tujuan perjanjian tersebut.
C. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Tukar Guling (Ruilslag)
Didasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, dikatakan bahwa hak atas tanah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Yang dimaksud dengan beralih adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia maka haknya itu dengan sendirinya menjadi milik dari ahli warisnya tersebut, dengan kata lain bahwa telah terjadi peralihan hak secara alamiah (tanpa perbuatan hukum). Sedangkan sebaliknya, yaitu dialihkan. Pengertian dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi hak pihak lain dengan kata lain bahwa peralihan hak tersebut terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan hukum.38
Pemindahan hak atas tanah berbeda dengan beralihnya hak atas tanah. Pemindahan hak atas tanah terjadi karena hukum, jadi walaupun belum terjadi pewarisan sekalipun, pemindahan hak atas tanah dapat terus berlangsung apabila si pemegang hak atas tanah telah meninggal dunia. Lain halnya dengan beralihnya hak atas tanah, dalam hal ini harus terlebih
38
(50)
l
dahulu terjadi pemindahan hak atas tanah melalui suatu perjanjian ataupun melalui pejabat yang berwenang (Pejabat Pembuat Akta Tanah).
Bentuk pemindahan hak dapat dilakukan dengan cara:39 a. Jual beli;
b. Tukar menukar; c. Hibah;
d. Pembelian menurut adat;
e. Pemasukan dalam perusahaan (inbreng); f. Hibah atau Wasiat;
Dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas membuat aktanya.
Tukar menukar atau ruilslag barang atau kekayaan milik negara telah diatur di dalam Kepmenkeu No. 350/KMK/03/1994 tanggal 13 Juli 1994. Tujuan utama dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan ini agar departemen/lembaga dapat memanfaatkan aset lebih tepat guna dan berhasil guna, penyediaan prasarana dan sarana yang tidak mengganggu anggaran negara, membantu rencana umum tata ruang sesuai dengan target yang telah ditetapkan.40
Didasarkan Pasal 2 Kepmenkeu No. 350/KMK/03/1994, yang dimaksud dengan Tukar menukar (ruilslag) Barang Milik atau Kekayaan Negara adalah pengalihan pemilikan dan atau penguasaan barang tidak
39
Boedi Harsono, op. cit., hlm. 333 40
(51)
li
bergerak milik Negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan Negara.
Para pihak dalam perjanjian ruilslag diantaranya adalah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara atau pun Daerah, Koperasi dan Swasta. Jadi, apabila salah satu pihak (Negara) yang disebutkan di atas mempunyai kendala dalam pemenuhan sarana dan prasarana, maka departemen atau lembaga Negara yang membutuhkan dapat mengajukan rencana pemenuhan rencana ruilslag tersebut.
D. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
1. Tindak Pidana Secara Umum
Untuk menjabarkan lebih jelas mengenai hukum pidana, terdapat tiga rumusan yaitu rumusan pertama dimana terdapat dua aspek hukum pidana yaitu mengenai Aturan umum hukum pidana dan Aspek larangan berbuat disertai ancaman pidana. Rumusan kedua yaitu mengenai kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. Rumusan ketiga dalam rangka mencapai tujuan hukum pidana yaitu ketertiban umum apabila tidak dilaksanakan. Hukum pidana yang berfungsi sebagai dasar-dasar untuk melaksanakan hukum pidana materil adalah hukum pidana dalam arti ketiga41
41
Chazawi Adami. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, PT.RajaGrafindo. Jakarta.2001.hlm 3-8
. Secara mudah, maka dapat dikategorikan bahwa rumusan pertama dan rumusan kedua hukum pidana merupakan hukum pidana materil, dan rumusan ketiga merupakan hukum pidana formil.
(52)
lii
Dalam rumusan pertama hukum pidana, mengenai Aspek larangan berbuat yang disertai ancaman pidana, hal ini lebih dikenal dengan sebutan tindak pidana/delik dalam hukum pidana.
Secara mudah, tindak pidana dapat diartikan sebagai perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir, dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana42
Tindak pidana (straafbaar feit) yang secara literlijk terdiri dari tiga kata, yaitu Straaf, diterjemahkan pada pidana/hukuman, baar diterjemahkan dengan kata boleh dan dapat sedangkan feit diartikan ke dalam empat istilah, yaitu tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
.
Beberapa ahli, berusaha untuk mendefiniskan tindak pidana dalam beberapa rumusan, diantaranya:
Menurut Moeljatno, Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tertentu.
Pompe, merumuskan Straafbaar feit, itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
42
(53)
liii
Vos, merumuskan straafbaar feit, adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
Simons, merumuskan straafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh sesorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.
a. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Di atas telah dirumuskan beberapa rumusan mengenai Tindak Pidana Straafbaat feit oleh beberapa ahli hukum pidana, maka penulis berusaha untuk memberikan unsur Tindak Pidana baik menurut doktrin ataupun menurut Undang-Undang. Dalam Undang-Undang dapat diketahui 11 unsur Tindak Pidana, yaitu:
• Unsur Tingkah laku
• Unsur Melawan Hukum
• Unsur Kesalahan
• Unsur Akibat Konstitutif
• Unsur Keadaan yang menyertai
• Unsur Syarat Tambahan Untuk Dapatnya dituntut Pidana
• Unsur Syarat Tambahan Untuk Memperberat Pidana
• Unsur Syarat Tambahan Untuk dapatnya diPidana
• Unsur Objek hukum Tindak Pidana
• Unsur Kualitas Subjek Hukum Tindak Pidana
• Unsur Syarat Tambahan Untuk Memperingan Pidana43.
43
(54)
liv
Selain menurut Undang-Undang, dari rumusan mengenai Tindak Pidana yang diberikan oleh para ahli, maka dalam rumusan tersebut, terdapat Unsur-Unsur mengenai Tindak Pidana, Antara lain adalah:
Menurut Moeljatno, Unsur tindak pidana adalah:
• Perbuatan
• Yang dilarang (oleh aturan hukum)
• Ancaman pidana (Bagi yang melanggar larangan)
Menurut Vos, unsur tindak pidana adalah:
• Kelakuan manusia
• Diancam dengan pidana
• Dalam peraturan perundang-undangan Menurut R Tresna Unsur tindak pidana adalah:
• Perbuatan/rangkaian perbuatan
• Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
• Diadakan tindakan penghukuman b. Cara Merumuskan Tindak Pidana.
Dari sudut ini, dapat dilihat bahwa setidak-tidaknya ada tiga cara perumusan, yaitu:”
“1) Dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana.
2) Dengan mencantumkan semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan mencantumkan ancaman pidana.
3) Sekedar mencantumkan Kualifikasinya saja tanpa unsur-unsur dan mencantumkan ancaman pidana44”.
Unsur pokok adalah unsur yang membentuk pengertian yuriidis dari tindak pidana tertentu ini, Unsur pokok ini, terdiri
44
(55)
lv
dari unsur objektf dan unsur subjektif. Unsur objektif memuat mengenai perbuatan yang dilarang diantaranya, perbuatan aktif/delik komisi atau perbuatan pasif (membiarkan)/delik omisi. Sedangkan unsur subjektif adalah unsur yang memuat tujuan/pelaku dari perbuatan tersebut, antara lain, memperkaya diri sendiri/barang siapa.
2. Tindak Pidana Korupsi. a. Pengertian Korupsi
Korupsi yang saat ini sudah menjadi masalah global dan digolongkan sebagai kejahatan transanasional dan extra
ordinary crime sehingga pemerintah harus
menganggulanginya dengan mengagendakan sebagai bagian dari program pemulihan kepercayaan rakyat dan dunia internasional dalam rangka meingkatkan pertumbuhan ekonomi negara. Korupsi yang berasal dari bahasa latin “corruptio” yang berarti perbuatan tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama materil, mental dan hukum45
Transparency Internasional mendefinisikan korupsi sebagai
“menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi”
.
46
45
Adami Cahzawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia.Malang.hlm 1
.
46
(56)
lvi
J.S.Nye berpendapat bahwa korupsi adalah perilaku yang
menyimpang dari atau melanggar peraturan kewajiban-kewajiban normal peran instansi pemerintah dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh, status, dan gengsi untuk kepentingan pribadi47
Carl j friesrich, berpendapat korupsi dari kepentingan umum
adalah, apabila seseorang yang memegang kekuasaan atau yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu mengharapkan imbalan uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan Undang-Undang; membujuk untuk mengambil langkah atau menolong siapa saja yang menyediakan hadiah sehingga benar-benar membahayakan kepentingan umum
.
48 .
b. Rumusan Para Pakar Tentang Tindak Pidana Korupsi. Para pakar, mencoba merumuskan mengenai Tindak Pidana Korupsi antara lain oleh:
Andi Hamzah, Delik Korupsi Pasal 1 ayat (1) sub a UUPTPK urutannya adalah sebagai berikut:1) Melawan hukum, 2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, 3) yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara49.
Sudarto, menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagai berikut 1) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan 2)bersifat melawan hukum, baik secara formil maupun materil, 3) perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut di sangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara50
47
Ibid. hlm 9
48
Ibid. hlm 9
49
Evi Hartati, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Semarang.2005.hlm 17.
50
(57)
lvii
Selo Sumardjan, korupsi, kolusi dan nepotisme adalah dalam satu napas karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum. Adapun faktor-faktor sosial pendukung KKN adalah, 1)Pranata-pranata sosial kontrol tidak efektif lagi, 2) Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan harta, 3)Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan pembangunan sosial51.
c. Beberapa Bentuk Tindak Pidana Korupsi Dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi.
Bentuk tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal UU No.31/1999 yang diubah dengan UU No.20/2001.
Dalam Undang-Undang tersebut, secara jelas dirumuskan mengenai unsur-unsur tertentu yang diancam dengan ancaman pidana dan pemidanaan tertentu pula. Bentuk-bentuk tindak pidana yang akan dijelaskan saat ini adalah bentuk hukum materil Korupsi.
1) Tindak Pidana Korupsi Dengan Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain atau Suatu Korporasi
Bentuk pertama Tindak Pidana Korupsi berdasarkan pasal 2 yaitu Tindak Pidana Korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
51
(58)
lviii
Secara substantif, perbedaan korupsi dalam pasal 8 dan pasal 2 (dan pasal 3) jika dilihat dari sebab beradanya objek dalam kekuasaan koruptor, maka dalam pasal ini, objek kejahatan berada dalam kekuasaannya yang disebabkan langsung oleh perbuatan yang dilarang in casu memperkaya.
Dalam rumusan ini, perbuatan tersebut, secara melawan hukum berasal dari kata Wedderrechttelijk yang dimaksudkan dengan cara melawan hukum, yakni jika si pembuat dalam mewujudkan perbuatan memperkaya adalah tercela, dia tidak berhak untuk melakukan perbuatan dalam rangka memperoleh atau menambah kekayaannya.52
Dapat merugikan Keuangan Negara atau perekonomian negara (disingkat Kerugian Keuangan Negara) bukanlah menjadi syarat untuk terjadinya tindak pidana korupsi pasal 2 secara sempurna, melainkan akibat kerugian keuangan negara dapat timbul dari perbuatan memperkaya dengan melawan hukum tersebut53
Penjelasan umum dalam UU ini, dimaksudkan bahwa keuangan negara merupakan seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik yang dipisahkan atau yang
52
Adami Chazawi, Op cit..hlm 43
53
(59)
lix
tidak dipisahkan, trermasuk segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:berada dalam penguasaan , pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.54
2) Tindak Pidana Korupsi Dengan Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan, Sarana Jabatan atau Kedudukan.
Dalam rumusan ini, maka Tindak Pidana Korupsi ini memiliki unsur-unsur yaitu unsur objektif yaitu perbuatan
a) Menyalahgunakan kewenangan, menyalah gunakan kesempatan, menyalahgunakan sarana, yang ada padanya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara:
(1)karena jabatan (2)karena kedudukan Unsur Subjektif yaitu dengan tujuan
a. Menguntungkan diri sendiri
54
(60)
lx
b. Menguntungkan orang lain c. Menguntungkan suatu korporasi 3) Tindak Pidana Korupsi Suap.
Dalam Tindak pidana korupsi ini, dirumuskan mempunyai unsur-unsur yaitu unsur objektif berupa Perbuatan memberikan (sesuatu), menjanjikan (sesuatu) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, unsur subjektifnya adalah dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuat dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya.
(61)
lxi
BAB III
PERJANJIAN TUKAR GULING (RUILSLAG) ANTARA BULOG DAN PT. GORO BATARA SAKTI
A. Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Tukar Guling
Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beragam macam aset atau kekayaan alam yang sangat besar, barang Milik atau Kekayaan Negara (aset) adalah barang bergerak atau barang tidak bergerak yang dimiliki atau dikuasai oleh instansi Pemerintah yang sebagian atau seluruhnya dibeli atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari perolehan lain yang syah, tidak termasuk kekayaan Negara yang dipisahkan (yang dikelola BUMN) dan kekayaan Pemerintah Daerah.55
55
Salinan
Pemerintah sebagai organisasi kekuasaan masyarakat memiliki wewenang untuk menguasai aset-aset tersebut untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Hal ini sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Salah satu aset negara yang tersedia di alam ini dalam jumlah yang sangat besar adalah tanah. Seiring dengan kemajuan pembangunan, kebutuhan akan tanah tersebut turut meningkat pula, sedangkan luas tanah, yang walaupun tersedia dalam jumlah yang besar, tidak bertambah sehingga tidak heran jika nilai tanah menjadi meningkat. Kebutuhan akan tanah ini di setiap sektor (depatemen-departemen atau instansi-instansi negara) berbeda jumlahnya, oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan akan tanah
(62)
lxii
ini bagi setiap departemen maka dimanfaatkanlah tanah milik negara. Pemanfaatan tanah aset Negara (instansi pemerintah) antara lain dengan sistem bangun, guna, serah (built, operate and transferred-BOT). Keuntungan dari sistem ini selain pemerintah dapat memperoleh prasarana dan sarana kerja yang dibutuhkan tanpa menyediakan anggaran, juga sela masa pengoperasian oleh pihak ketiga pemerintah memperoleh pemasukan berupa uang yang disetor ke Kas Negara sedangkan tanahnya menjadi aset negara dan terakhir setelah jangka waktu BOT diserahkan kepada pemerintah, sehingga aset menjadi lebih besar yaitu berupa tanah, bangunan, dan prasarana pelengkap.
Selain pemanfaatan dengan cara di atas, dapat pula dilakukan tukar guling terhadap tanah milik Negara. Hal-hal mengenai tukar guling ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 350/KMK.03/1994 tentang Tata Cara Menukar Barang Milik/Kekayaan Negara. Tukar guling dapat menjadi alternatif untuk pemecahan kebutuhan departemen/lembaga khususnya berupa gedung/kantor karena untuk membangunnya belum atau tidak dapat dipenuhi dari APBN. Tukar menukar Barang Milik/Kekayaan Negara adalah pengalihan pemilikan dan atau penguasaan barang tidak bergerak milik Negara kepada pihak lain dengan menerima penggantian utama dalam bentuk barang tidak bergerak dan tidak merugikan Negara. Pelaksanaan tukar-menukar barang milik atau kekayaan Negara dilakukan berdasarkan tata cara yang telah diatur dan ditetapkan oleh peraturan yang berlaku, agar pelaksanaannya tidak merugikan negara dan benar-benar sesuai dengan maksud serta tujuan dimungkinkannya tata
(63)
lxiii
cara dengan tukar guling tersebut, segala sesuatunya harus dapat dilakukan secara transparan. Di samping itu penyelenggaraannya telah didukung oleh suatu ketentuan yang jelas dan baku agar semua pihak bisa mengetahui apabila dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. 56
Dalam rangka pengamanan aset Negara, pelaksanaan tukar-menukar barang milik atau kekayaan negara sebagai penjabaran Pasal 13 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994, perlu diatur dalam suatu pedoman yang baku mengenai tata cara pelaksanaan tukar-menukar barang tidak bergerak milik negara yang berlaku bagi seluruh Departemen atau Lembaga, maka dikeluarkanlah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 350/KMK.03/1994 Tentang Tata Cara Tukar Menukar Barang Milik Kekayaan Negara, yang mempunyai tujuan untuk:57
a. Meningkatkan tertib administrasi pelaksanaan tukar-menukar dalam rangka pengamanan aset negara;
b. Mencegah terjadinya kerugian negara sebagai akibat dari adanya tukar-menukar;
c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna aset negara untuk kepentingan Departemen atau Lembaga sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Departemen atau instansi pemerintah tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri-sendiri atas tanah atau bangunan yang dikuasainya. Dalam arti bahwa Departemen tersebut memang menguasai dan menggunakan tanah tersebut, namun tanah tersebut tetap milik negara. Sehingga bila akan dilepaskan atau ditukar, maka selain memerlukan izin dari Menteri yang bersangkutan, juga memerlukan izin Menteri Keuangan
56 www. 57
(1)
rill). Sehingga dapat dikategorikan ke dalam kegiatan penyalahgunaan kesempatan.
Dikarenakan perjanjian tukar guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum secara materil (karena dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tidak disebutkan) namun, pada dasarnya perjanjian tukar guling tersebut telah memuat unsur-unsur dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yaitu dilakukan orang/korporasi dimana Bulog sebagai Badan Usaha Milik Negara dan PT. Goro Batara Sakti sebagai Badan Usaha Milik Swasta..
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tanah dalam objek perjanjian tukar guling tersebut dapat dikategorikan ke dalam keuangan Negara, karena keuangan Negara dapat dikategorikan berupa kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan yang timbul berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah.
Unsur merugikan keuangan negara, dalam pasal 2 yang terdapat kata “dapat” dimana menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur
(2)
xcvi
perbuatan yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat.
Sehingga dalam perjanjian ini unsur merugikan atas kekayaan Negara telah terpenuhi.
(3)
BAB V PENUTUP
KESIMPULAN
Hak milik atas kekayaan Negara yang merupakan hak eksklusif Negara untuk menguasainya dan mempergunakannya untuk hajat hidup orang banyak, dalam hal ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara untuk pemberdayaannya supaya maksimal, dapat dialihkan kepada pihak swasta (BUMS), sepanjang pengalihannya tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam perjanjian tukar guling antara Bulog dan PT. Goro Batara Sakti telah terjadi penyimpangan di dalam pelaksanaannya, yaitu tidak terpenuhinya syarat objektif. Apabila ketentuan ini tidak terpenuhi, maka akibat hukum dibatalkannya perjanjian tukar guling ini adalah batal demi hukum. Untuk itu, semua keadaan harus dikembalikan seperti semula, sebelum perjanjian ini terjadi.
Dikarenakan telah terjadinya kerugian atas keuangan Negara dalam pelaksanaan perjanjian tukar guling ini, maka para pihak wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya. Para terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Bagi para pihak wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya, selain itu juga para terdakwa wajib mengganti rugi atas
(4)
xcviii
kerugian Negara yang timbul atas terbitnya perjanjian tukar guling ini.
SARAN
Perjanjian tukar guling sebenarnya sah menurut peraturan hukum Indonesia. Untuk mencegah kerugian Negara yang timbul dikemudian hari, maka seharusnya mekanisme dari perjanjian tukar guling tersebut harus dilakukan secara tepat. Bagi BUMN yang hendak melakukan perjanjian ini hendaknya mengutamakan kepentingan masyarakat di dalamnya, sehingga cita-cita bangsa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur dapat terlaksana.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Achmad Yani, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis PT, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2004
Gatot Supramono, Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru, Djambatan, Jakarta, 1996
Mariam Darus Badrulzaman, et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
Michael Parkin, Macroeconomics, Addison Wesley, 1995
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 2000
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung 1986
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, PT. Alumni, Bandung 2004
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 1993
Riduan Syahrani, Seluk Beluk Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 1992
R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1994 R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
(6)
c
Salim.H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003
Subekti, Hukum Perikatan, Arbitrase, dan Peradilan, Alumni, Bandung, 1980 ______, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta 1987
Sudargo Gautama dalam Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Dalam Transaksi Bisnis Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung 2000
Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas
Sumber Artikel:
Artikel dalam Majalah: Boy, “Ketika Kepercayaan Tak Lagi Amanah”, Ombudsman, PT. Alusia Au Indonesiasejati, Jakarta, 2004, hlm 8-9
Sumber lain:
Wawancara dengan petugas pengadilan bagian arsip perkara perdata Black’s Law Dictionary, Book 2, West Group, St Paul, Minn 1999
Tidak Langsung, tanggal 3 Februari 2006 download tanggal 15 Juni 2006