dan wewenang, serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri melalui berbagai aksi bersama, diskusi, sharing, dalam prinsip kesetaraan dan keadilan.
Politik adalah salah satu sarana yang dapat mendorong perempuan untuk mencurahkan semua kecemasannya.
Keterlibatan perempuan politik dapat pula kita tinjau dari beberapa pendekatan teori. Dan di bawah ini akan dijabarkan mengenai relasi antara
perempuan dan politik dalam beberapa perspektif.
A. Perspektif Islam
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Alah SWT di tanah Arab pada abad VII, termasuk agama-agama Semitik Abrahamis Religion Yahudi, Kristen,
dan Islam.
27
Dalam tradisi bangsa-bangsa Semit, kaum lelaki selalu dianggap sebagai mahluk superior, bahkan Tuhan-pun dibayangkan dalam wujud lelaki,
sehingga menjadikan budaya patriarkal sangatlah kuat. Padahal jika ditelaah lebih dalam, sesungguhnya tradisi tersebut sangatlah bertentangan dengan apa yang
telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad. Jadi dapat dikatakan bahwa mengenai persoalan boleh-tidaknya perempuan beraktifitas
dalam sektor publik, sepenuhnya merupakan perbedaan dalam tafsir terhadap teks-teks keagamaan.
Menurut buku Argumentasi Kesetaraan Gender karangan Dr. Nasarrudin Umar menyebutkan bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki hanya sebatas
dalam ajaran yang bersifat ibadah ubudiyah, bukan dalam hal pergaulan sosial
27
Wiwi Siti Sajaroh, “Gender dalam Islam,” dalam Tim Penulis Pusat Studi Kajian Wanita PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pengantar Kajian Gender Jakarta: PSW UIN Jakarta,
2003, h. 205.
kemasyarakatan muamalah.
28
Lebih lanjut, menurut Islam, politik al siyasah dirumuskan sebagai cara mengatur urusan kehidupan bersama untuk mencapai
kesejahteraan di dunia dan akhirat. Jadi politik adalah ruang maha luas, seluas ruang kehidupan itu sendiri. Ia muncul dalam ruang domestik maupun publik,
kultural maupun struktural, personal dan komunal. Tapi penyebutan politik dalam pikiran banyak orang telah menyempit menjadi istilah politik praktis, politik
struktural, perebutan kekuasaan untuk kepentingan diri atau sebagian orang dan sesaat, bukan untuk kepentingan masyarakat luas dan masa depan yang panjang.
29
Ditegaskan pula bahwa bidang politik merupakan bagian dari pergaulan sosial kemasyarakatan, maka perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan
laki-laki, tidak terdapat pengistimewaan yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Sangatlah jelas bahwa dalam Islam, perempuan dan laki-laki mempunyai
fungsi, dan eksistensi yang sama di mata Allah SWT. Dan posisi pria dan wanita juga sama dalam bidang publik, tidak ada peraturan dalam Islam yang secara
tekstual menempatkan perempuan sebagai second person.
30
Senafas dengan argumentasi di atas, Imam Khomeini mengatakan bahwa wanita dalam Islam memiliki peranan penting dalam pembangunan masyarakat
Islam, sehingga menurutnya kaum wanita juga mempunyai tanggung jawab yang
28
Nasarrudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender …
29
Husein Muhammad, “Partisipas Politik Perempuan,” dimuat pada tanggal 14062004 yang diakses dari http:islamlib.comidindex.php?page=articleid=605.
30
Tari Siwi Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” dalam Proseding Seminar Internasional, Keterwakilan Perempuan dan Sistem Pemilihan Umum Jakarta: National
Democratic Meneg Pemberdayaan Perempuan RI, 2001, h. 106.
sama beratnya dengan laki-laki dalam mengatasi problematika di pemerintahan Islam.
31
Wacana di atas diperkuat dengan tidak ditemukannya ayat al-Qur’an yang melarang kaum perempuan untuk aktif dalam dunia politik. Bahkan sebaliknya,
Al-Quran dan hadis banyak mengisyaratkan tentang kebolehan perempuan aktif menekuni dunia tersebut. Perempuan berhak menduduki jabatan politik dengan
syarat menaati hukum syari’at Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas melarangnya. Betapa Allah menganggap pentingnya persoalan wanita, Allah
menurunkan langsung surat yang diberi nama Surah An-Nisaa’.
32
Bahkan dalam teks al-Qur’an terungkap, bahwa Allah telah menciptakan manusia dua jenis, laki-laki dan perempuan, dan keduanya ditakdirkan untuk
hidup bersama dalam suatu masyarakat. Keduanya diberi potensi yang sama dari sisi insaniahnya, yakni berupa potensi akal dan potensi hidup naluri dan
kebutuhan jasmani. Potensi-potensi inilah yang mendorong manusia untuk terjun dalam kancah kehidupan. Keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain untuk
bekerjasama dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan bersama di antara mereka, sebagaimana firman-Nya :
+ ,
- .
. +
01 2- 3
45 + 6 6789
: +
31
Imam Khomeini, Kedudukan Wanita dalam Pandangan Imam Khomeini Jakarta: Lentera, 2004, h. 79-98.
32
Faiqoh, “Wanita Dalam Kultur Islam Indonesia,” dalam Azizah al-Hibri, dkk., Wanita Dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan
Kesempatan Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001, h. 259.
6 ;= ? +
AB C D
.EGH I
K; LM-.C
N 3
= 5 O+P
Q ,3.R 0STU
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh
menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan shalat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.
QS. At- Taubah [9]:71. Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki
Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas
politik, yaitu amar ma’ruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegas lagi bahwa sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban
untuk berpolitik dan mempunyai hak kepemimpinan publik. Terbukti keduanya berhak menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang munkar,
mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa.
33
Walaupun dalam Islam tidak ada larangan –dalam teks Al-Qur’an dan riwayat hadits– bagi perempuan untuk menjadi seseorang kepala negara, tetapi
semasa hidup Rosulullah dan Khulafa’ur Rasyidin memang belum pernah ada seorang perempuan yang memimpin kaum muslimin. Namun ini bukan berarti
perempuan tidak boleh menjadi seorang pemimpin, karena pada masa rasulullah
33
Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan: Relasi Jender menurut Tafsir Al-Sya’rawi Jakarta: Teraju, 2004, h. 182-183.
semua urusan agama, sosial, budaya, ekonomi, dan politik –dalam beberapa hal tertentu terjadi kompromi– terpusat di bawah kendali Nabi Muhammad SAW.
Dan menjadi satu hal yang wajar jika seluruh potensi yang dimiliki kaum muslimin –termasuk perempuan– berada dalam arahan rasulullah SAW.
Ketiadaan pemimpin politik dari kalangan muslimah pada era Nabi dan Khulafaur Rasyidin menimbulkan polemik tersendiri di kalangan internal ulama
Islam, khususnya mengenai boleh atau tidaknya perempuan menjadi seorang pemimpin negara. Hampir sebagian besar ulama klasik menjadikan dalil Tidak
akan berjaya satu kaum jika menjadikan wanita sebagai pemimpin ,
34
hal ini kemudian menjadikan wanita diharamkan untuk memimpin suatu negara.
Kondisi ini coba ditengahi oleh Nasaruddin Umar dengan melakukan pendekatan sejarah historic approuch. Di mana ia mencoba melihat wacana
kepemimpinan perempuan melalui fakta-fakta sejarah yang telah terbentang sepanjang sejarah umat manusia dan kaum muslimin. Sebagaimana al-Qur’an
telah mendokumentasikan secara baik –dalam Surat An Naml– mengenai kehebatan Ratu Balqis yang memimpin negeri Saba’ pada masa Nabi Sulaiman.
Kemudian terdapat pula fakta sejarah yang mengakui kepemimpinan Sajaratud Durr –putri keturunan Salahuddin Al Ayyubi– yang menjadi kepala negara pada
Dinasti Mamalik. Terlepas dari boleh tidaknya perempuan menjadi seorang kepala negara,
dalam sektor lainnya kiprah perempuan telah banyak menghiasi langit-langit
34
Hadis ini oleh kalangan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin dikategorikan sebagai hadis umum ini yang dikhususkan untuk Maharani bernama Buran bt Kisra yang
memimpin Kerajaan Parsi pada era Nabi Muhammad.
sejarah peradaban kaum muslimin. Perempuan-perempuan muslimah sangat banyak memberikan andil dalam membangun peradaban Islam. Kondisi ini
tercipta karena Nabi Muhammad saw dapat digolongkan sebagai aktivis gerakan perempuan. Beliau adalah pemimpin revolusioner yang mengangkat derajat
perempuan dan menempatkannya pada posisi yang sangat tinggi dengan melawan mainstream
kultur pada masanya.
35
Sejarah mencatat bahwa sebagian besar perempuan muslimah juga turut ikut memainkan peran-peran penting bersama
kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Umm Salamah, dan para isteri nabi yang lain, Fathimah anak, Zainab cucu dan Sukainah cicit.
36
Perempuan Islam di masa Rasulullah juga tidak segan pula bertindak terhadap pemimpin negara sekali pun. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari,
Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal, serta menentukan
batas-batasnya. Seorang wanita protes dan mengingatkan Umar tentang satu ayat dalam al-Quran: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara
mereka harta yang banyak.” Qs. an-Nisaa’ [4]: 20. Umar mencabut kembali
peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah”. Kisah ini menunjukkan kebebasan perempuan untuk melakukan protes politik, dan betapa
Islam sebagai sebuah ajaran agama –dalam hal muamallah– tidak membeda- bedakan seseorang berlandaskan jenis kelamin.
37
35
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Agama Bandung: Mizan, 2005, h. 515.
36
Muhammad, Partisipasi Politik Perempuan.
37
Muhammad Ismail Yusanto, “Peran Politik Perempuan Dalam Islam,” artikel diakses www. hti. or. Id.
Dari pemaparan beberapa catatan sejarah dan teks hadits ini, terlihat bahwa para perempuan awal Islam telah memerankan kiprah politik yang cukup penting.
Apalagi jika melihat pada latar belakang sosial mereka, yang awalnya tidak diperhitungkan sama sekali oleh masyarakat Arab jahiliyah. Memang kiprah
mereka masih sangat sederhana, tetapi setidaknya bisa disimpulkan bahwa peran dan politik perempuan adalah bukan barang haram dalam Islam. Dengan melihat
peran para perempuan awal Islam ini, banyak pihak pada akhirnya mengakui bahwa kiprah politik bukan persoalan jenis kelamin. Tetapi persoalan tanggung
jawab bersama untuk memperbaiki kehidupan sosial.
B. Persfektif Barat