BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Isu mengenai keterlibatan perempuan dalam politik merupakan soal yang akan terus mewarnai percaturan politik di belahan dunia manapun. Di banyak
negara yang sistem demokrasinya telah mapan sekalipun, permasalahan perempuan dan politik menjadi topik penting dalam setiap perhelatan demokrasi.
Terlebih di negara-negara berkembang, di mana budaya patriarki
1
masih sangat kental, tema peranan perempuan dan politik selalu memicu perdebatan sengit.
Politik yang sering diidentikkan dengan dunia penuh intrik dan licik, menjadi wilayah yang diharamkan dan harus disterilkan dari tangan-tangan lembut kaum
hawa, karena dianggap hanya keperkasaan kaum adam saja yang mampu survive menjelajahi keliaran belantara politik tersebut. Dengan perkataan yang lain, saat
ini terdapat disparitas yang begitu dalam antara kewenangan laki-laki dan perempuan dalam menjalani proses kehidupan.
Entah apa sebenarnya yang menjadi inti persoalan perempuan, mengingat begitu banyak dan kompleksnya masalah yang dihadapi kaum perempuan. Semua
1
Patriarki adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas perempuan. Sistem patriarki bisa
diterapkan di tingkat keluarga, masyarakat ataupun negara di mana laki-laki mendominasi dalam semua hal seperti SDM, ekonomi, politik dan sosial. Segala aturan yang dipakai dalam sistem
patriarki didasarkan pada kepentingan pihak laki-laki bapak. Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya Mengakhiri Depolitisasi Permpuan di Indonesia
Jakarta: Kibar Press, 2007, h. xiii. Ada yang berpendapat bahwa asal mula patriarki berkaitan dengan
mulai adanya pemilikan pribadi dan pewarisan yang berujung pada pengaturan jenis kelamin perempuan dalam satuan keluarga monogami. Namun hal ini kemudian dikritik karena mereduksi
subordinasi perempuan pada faktor ekonomi dan tidak menjelaskan ketimpangan gender dalam masyarakat pra dan pasca-kapitalis. Rita Felsky, “Feminisme Amerika dan Inggris,” dalam Peter
Beilharz, ed., Teori-Teori Sosial: Observasi Kritis Terhadap Para Filosof Terkemuka Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 18.
itu sudah menjadi realitas objektif yang tak terbantahkan. Kemiskinan, kekerasan, dan ketidakadilandiskriminasi sering disebut-sebut sebagai persoalan krusial yang
dialami kaum perempuan dari masa ke masa. Wajar jika muncul semacam prejudice
di sebagian kalangan perempuan bahwa pada zaman apapun, kaum perempuan akan selalu berada pada pihak yang tidak diuntungkan dan
tersubordinasi
2
kaum laki-laki.
3
Sinyalemen ini tentu bukan tanpa bukti, berbagai macam fakta sering dipakai sebagai alat analisis untuk melihat seberapa parah persoalan yang mengungkung
kehidupan kaum perempuan. Laporan United Nations Development Program UNDP tahun 1996, misalnya menyebutkan bahwa 20 dari 1,3 miliar penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah kaum perempuan. Fakta itu tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia, jika dilihat dari komposisi penduduk
miskin yang ada. Dilaporkan pula bahwa sekitar 67 dari total penduduk dunia yang buta huruf sekitar 600 juta jiwa juga dari kalangan perempuan. Di
Indonesia sendiri, perempuan menempati sekitar 70 dari penduduk yang buta huruf.
4
Begitu banyaknya persoalan yang mengepung kehidupan perempuan, kemudian memunculkan simpati yang sangat besar pada sebagian kalangan.
2
Subordinasi adalah kedudukan bawahan, kelas kedua perempuan terhadap pihak yang dominan laki-laki. Subordinasi perempuan umumnya tercipta akibat streotipe yang dikaitkan
dengan pembagian kerja secara seksual. Akibat posisi subrodinat itu, peranan dan hasil kerja perempuan selalu dinilai lebih rendah dengan peran dan hasil kerja laki-laki yang menempati
posisi dominan. Bustamin Basyir, “Kesetaraan Gender: Studi Atas Pemikiran Qasim Amin,” Dalam Kusmana, ed., Islam dan Gender: Wacana dan Praktis Buku Ajar Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007, h. 4.
3
Najmah Sa’idah dan Husnul Khatimah, Arief B. Iskandar, ed., Revisi Politik Perempuan: Bercermin Pada Shahabiyat
Bogor: CV. IdeA Pustaka Utama, 2003, h. 25.
4
Sa’idah dan Khatimah, Revisi Politik Perempuan, h. 26.
Simpati ini kemudian terkristalisasi menjadi sebuah ‘kesadaran’ kolektif untuk memperjuangkan nasib mereka dengan cara-cara atau metode tertentu. Terdapat
dua pendekatan dalam meneropong keterlibatan perempuan pada ranah sosial- politik. Yang pertama adalah gerakan ‘kesadaran’ perempuan
5
yang kita kenal dengan istilah feminisme.
6
Gerakan feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu,
harus ada upaya mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.
7
Meskipun para feminis mempunyai kesadaran yang sama mengenai ketidakadilan gender,
8
akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam sebab-sebab terjadinya ketidakadilan
gender tersebut dan juga dalam target yang akan dicapai dalam perjuangan
5
Gerakan menurut teori sosial digambarkan sebagai reaksi kolektif dari suatu kelompok masyarakat yang tersubdordinasi. Sedangkan gerakan perempuan adalah gerakan segelintir atau
kelompok perempuan yang muncul sebagai respon terhadap situasi yang berimplikasi terhadap ketidakadilan gender sehingga memotivasi segelintir atau sekelompok perempuan tersebut sebagai
warga negara untuk melakukan sebuah perlawanan. Lihat Tati Harminah dan Mu’min Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” dalam Pengantar Kajian Gender Pusat Studi
Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 11-12.
6
Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja dan dalam keluarga serta tingkatan sadar oleh perempuan
maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Euis Amalia, “Feminisme: Konsep, Sejarah dan Perkembangannya”, dalam Pengantar Kajian Gender Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003, h. 86
dan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, h. 5.
7
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003, h. 79.
8
Gender adalah sebuah istilah yang menunjukkan pembagian sosial antara laki-laki dan perempuan dan ini mengacu kepada pemberian ciri emosional dan psikologis yang diharapkan
oleh budaya tertentu yang disesuaikan dengan fisik laki-laki dan perempuan. Adapun dalam istilah seks mengacu kepada perbedaan secara biologis dan anatomis antara laki-laki dan perempuan.
Lihat Asriati Jamil dan Amany Lubis, “Seks dan Gender,” dalam Pengantar Kajian Gender yang ditulis oleh Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h. 54. Gender juga diartikan
sebagai peran-peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, peran-peran tersebut berkaitan dengan tugas, fungsi, hak dan kewajiban serta keempatan antara laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh ketentuan sosial, nilai-nilai yang berlaku, dan budaya lokal. Artinya, laki-laki dan perempuan harus bersikap dan berperan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakatnya, dalam
Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan, h. xii.
mereka.
9
Perbedaan perspektif inilah yang kemudian melahirkan empat aliran utama feminisme, yaitu feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal
dan feminisme sosialis.
10
Di abad globalisasi seperti saat ini, gelombang feminisme terus berupaya mendobrak sekat-sekat konstruksi sosial –yang sebenarnya dibuat oleh kaum pria–
yang menjadi penyebab utama dari ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Akhir dari tuntutan feminisme adalah terbebasnya kaum perempuan dari berbagai
macam belenggu, diskriminasi, keterbelakangan, dan terakomodirnya kepentingan perempuan dalam kontek kehidupan real dari sebuah sistem kenegaraan.
Pisau analisa kedua yang dapat memotret keberadaan perempuan dalam dunia politik adalah melalui teori partisipasi politik.
11
Dalam teori ini, perempuan melakukan gerakan untuk mendesak dan memengaruhi sebuah realitas sosial-
politik atau suatu putusan kebijakan melalui lembaga-lembaga formal atau sistem yang berlaku. Tujuan dari dilakukannya partisipasi politik perempuan tersebut
9
Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al Qur’an Klasik dan Kontemporer Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, h. 46-53.
10
Feminisme Liberal diarahkan pada perubahanpembaharuan undang-undang dan hukum, yang memberikan kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, peraturan
dan politik secara setara dengan lelaki. Feminisme Marxis lebih diarahkan untuk menghilangkan penindasan ekonomi perempuan dengan menghapus sistem pemilikan pribadi, yang ditempuh
dengan cara mengajak perempuan untuk memasuki sektor publik, sehingga perempuan menjadi produktif menghasilkan materiuang. Feminisme Radikal berpendapat bahwa sumber penindasan
perempuan bersumber dari system patriarki, yang menempatkan lelaki sebagai kepala keluarga dan merupakan figur dominan dalam keluarga. Feminisme Sosialis, merupakan sistesis dari Feminisme
Marxis dan Feminisme Radikal. Feminisme Sosialis lebih menfokuskan diri pada penyadaran perempuan akan kondisinya yang mengalami penindasan sistem patriarki dan penindasan
ekonomi. Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994, h. 55.
11
Secara umum partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara, dan
secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan
atau loby dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial, dan sebagainya. Dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
Jakarata: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007, h. 367.
adalah agar semua pihak khususnya penguasa politik lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan perempuan, dan pesan yang terpenting dari gerakan
perempuan yakni bahwa perempuan dan pria memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam setiap proses kehidupan di dunia ini.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa keterlibatan perempuan dalam kegiatan politik menjadi penting? Ada beberapa isu penting yang patut untuk
dicatat terkait dengan jawaban atas pertanyaan tersebut. Isu-isu mengenai kesehatan reproduksi, kesejahteraan keluarga, kepedulian terhadap anak, dan
kekerasan seksual
12
merupakan beberapa soal yang terus membayangi dan menjadi bagian dalam kehidupan perempuan. Oleh karena dunia perempuan juga
sangat kental dengan problem di atas, maka secara otomatis perempuan yang tercatat sebagai penghuni terbanyak dalam jagad raya ini menjadi sangat
dirugikan dan kelangsungan hidup perempuan terancam apabila permasalahan itu tidak segera ditangani. Tidak bisa tidak, untuk mengatasi berbagai problematika
yang membelit tersebut, partisipasi politik perempuan harus di posisikan secara istimewa, asumsi dasarnya adalah yang paling memahami persoalan-persoalan
perempuan adalah perempuan itu sendiri. Peranan perempuan pada ranah politik dalam konteks Indonesia telah melalui
proses panjang. Gerakan perempuan Indonesia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat di mana ada perasaan
cemas dan ada keinginan-keinginan individu-individu yang menghendaki perubahan dan kemudian terakumulasi dalam suatu tindakan bersama-sama. Dari
12
M. B. Wijaksana penyunting, Modul Perempuan Untuk Politik: Sebuah Panduan Tentang Partisipasi Perempuan dalam Politik
Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2004, h. 3.
masa ke masa, gerakan perempuan Indonesia terus melakukan kontekstualisasi gerakan agar berkesesuaian dengan kondisi zaman.
Perempuan dan politik dalam wacana keindonesiaan telah telah dimulai sejak zaman Indonesia klasik, yakni era kekuasaan dari kerajaan-kerajaan di sepanjang
kepualauan Nusantara. Ada beberapa bukti yang menguatkan temuan tersebut, yang pertama, sesuai catatan orang Cina yang mengatakan bahwa pada tahun 674
M, terdapat seorang pempimpin wanita di Kerajaan Holing kerajaan Kalinga di Jawa Tengah. Ratu perempuan itu bernama –yang dalam dialek Cina– disebut
Ratu Hsi-Mo Ratu Sima.
13
Dan menurut kabar orang-orang Cina itu, kerajaan yang dipimpin oleh Ratu Sima sangatlah baik dan adil. Fakta selanjutnya yang
tidak bisa dipungkiri bahwa perempuan pada abad silam juga pernah mengukir kanvas sejarah kepemimpinan, dengan terpilihnya Ratu Tribuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani sebagai raja putri dari kerajaan Majapahit pada tahun 1328.
14
Ratu Tribuanatunggadewi menjadi raja Majapahit pada usia 22 tahun menggantikan ayahnya yang mangkat dan tidak meninggalkan putra mahkota.
Pada era selanjutnya, ketika angkara kolonialisme mencengkeram bumi pertiwi Indonesia, wanita-wanita Indonesia tak pernah lelah dan gentar
menggemakan pekik perlawanan terhadap penindasan imperialisme. Ciri dari gerakan perempuan pada era penjajahan adalah mereka terjun langsung
memimpin rakyatnya untuk melawan kesewenang-wenangan para penjajah dan kaki tangannya. Pada masa ini kita mengenal keberanian Cut Nyak Dien wafat
13
Poesponegoro D. Marwati dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984, h. 94.
14
Marwati dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, h. 433.
1908 di ujung barat pulau Indonesiam yakni Aceh. Dia dengan gagah perkasa berperang melawan Belanda. Selain Cut Nyak Dien, kita juga mengenal Martha
Chrsitina Tiahahu wafat 1818, Cut Meutia wafat 1910, Nyi Ageng Serang wafat 1928,
15
dan lain-lain. Kesemuanya memberikan sumbangsih yang sangat signifikan dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan.
Memasuki abad ke-20 terjadi perubahan struktur peranan wanita Indonesia. Ide atau pemikiran dari Barat masuk bersamaan dengan diperkenalkan dan
disebarluaskan pendidikan cara Barat ini terkait dengan politik etis
16
yang diterapkan pemerintahan Hindia Belanda. Kesempatan mendapat pendidikan
yang layak dari pemerintahan Belanda kemudian menjadi setitik asa bagi para putra-putri bangsa untuk memberikan yang terbaik bagi tumpah darahnya, yaitu
Indonesia. Melalui media pendidikan inilah muncul keinginan untuk bisa bergerak bebas dan menjadi tuan di rumah sendiri, berbagai macam organisasi didirikan
untuk mewujudkan impian tersebut. Pada era ini dikenal nama-nama seperti R.A Kartini dari Jawa Tengah, Dewi Sartika Jawa Barat, Walanda Maramis
Sulawesi, dan Rohana Kudus Sumatera.
17
Isu utama dari pergerakan wanita pada era ini adalah tentang kebangkitan nasionalisme Indonesia.
15
Sukanti Suryochondro, “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” dalam T. O. Ihromi Penyunting, Kajian Wanita dalam Pembangunan Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1995, h. 39.
16
Politik etis ini didorong oleh rasa hutang budi kaum penjajah kepada negeri yang dijajahnya, karena sudah sekian lama mereka mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari tanah
jajahan tersebut. Namun, di tengah-tengah gelimang harta hasil rampasan tersebut, ternyata di sudut yang lain, penduduk pribumi hidup dalam kemelaratan dan penuh siksaan. Dan untuk
menebus kesalahan para penjajah, pemerintahan Hindia Belanda menggulirkan politik etis, yang diwujudkan dalam bentuk pemberian pendidikan yang layak bagi penduduk pribumi. Dalam
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 40.
17
Tita Marlita dan E. Kristi Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” dalam Rahayu Surtiarti Hidayat dan E. Kristi Poerwandari, Perempuan Indonesia dalam
Pada masa Orde Baru, perempuan lebih ditempatkan sebagai penggembira dengan wilayah garapan yang sangat terbatas, lazim disebut wilayah domestik.
Perempuan di bawah kekuasaan militeristik Soeharto hanya dijadikan warga negara kelas dua, di mana haknya di batasi oleh sekat-sekat yang membuai. Dan
kini gerakan perempuan memasuki babak baru dari sekian banyak episode kehidupan global yang sedang bergulir.
Desah kegelisahan gerakan perempuan masih dalam hembusan nafas yang sama, yakni melakukan perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan atas
sosok perempuan dan seluruh sisi kehidupan yang melingkupinya. Gerakan perempuan telah tampil ke permukaan dengan wajah yang jauh lebih baik, di
bandingkan pada masa-masa silam. Karena secara kuantitas dan kualitas, perempuan di beberapa tempat berhasil mengungguli kaum laki-laki. Dapat
dikatakan, –walaupun masih jauh dari sempurna– bahwa di masa kini perempuan sukses melakukan gerakan struktural maupun kultural untuk turut mengubah
wajah dunia.
18
Agenda-agenda krusial perempuan telah memasuki ruang-ruang rapat kabinet pemerintahan,
perdebatan di
parlemen, pembahasan
lembaga-lembaga internasional, hingga menjadi obrolan di tengah rakyat jelata. Mata setiap orang
Masyarakat yang Tengah Berubah: 10 Tahun Program Studi Kajian Wanita Jakarta: Program
Pasca Sarjana UI, 2000, h. 84.
18
Statistik lain hasil studi Patricia Morgan bertitel Runtuhnya Dunia Laki-laki 1996 menyebutkan bahwa jumlah karyawan perempuan di Amerika melonjak dari 36 persen pada awal
70-an menjadi 57 persen pada saat ini, penghasilan orang perempuan yang menjadi penopang utama rumah tangga di Inggris mencapai angka 30 persen, sementara di Amerika terdapat 34
persen kepala keluarga berkulit putih dan 56 persen berkulit hitam tidak mampu memberikan penghidupan kepada keluarganya secara layak. Dan laporan New York Review 21 Oktober
1999 menyebutkan masa antara 1960 sampai 1996 angka perempuan yang menyandang ijazah BA, di Amerika Serikat naik dari 38,5 menjadi 55,1, yang berijazah Doktor dari 10,5
menjadi 40,9, pengacara dari 2,5 ke 43,5, dan insinyur dari 0,4 menjadi 16,1. Harian Al-Hayat, 31 Oktober 1999.
dibuat terbelalak dengan banyaknya perempuan yang merambah sektor publik. Namun demikian bukan berarti kepentingan perempuan telah terakomodir secara
maksimal, karena ternyata wacana keterlibatan perempuan dalam ranah sosial- politik seringkali menemui batu sandungan. Hambatan tersebut bisa berbentuk
penolakan budaya, kesalahpahaman atas tafsir teks agama, dan kalkulasi politik belaka.
Upaya perempuan untuk melepaskan jeratan terali besi kultural kaum laki- laki telah memasuki tahapan yang paling menentukan. Tuntutan tradisional yang
hanya sebatas menuntut kesetaraan dalam status sosial ekonomi, telah berubah menjadi tuntutan yang lebih modern. Tuntutan moderen dimanifestasikan ke
dalam bentuk kesetaraan dalam hal pengambilan keputusan stratejik dalam bidang politik.
Khusus keterlibatan perempuan dalam politik pada era reformasi menemukan momentumnya ketika pada tanggal 18 Februari 2003, DPR mengesahkan Undang-
Undang Pemilu, di mana salah satu klausul penting yang dianggap progresif dan sekaligus kontroversial adalah dicantumkannya ‘kuota 30 persen perempuan’
dalam nominasi calon legislatif di berbagai tingkatan, seperti tercantum dalam pasal 65 1. Secara lengkap pasal itu berbunyi : Setiap partai politik peserta
pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
19
Kuota 30 persen tersebut diakui merupakan langkah awal bagi partisipasi politik perempuan di Indonesia.
20
Aturan ini kemudian menjadi salah satu jalan bagi hadirnya perbaikan nasib perempuan
melalui mekanisme legislasi parlemen. Masuknya perempuan dalam lembaga legislatif diharapkan dapat menjadi
kekuatan penekan sekaligus eksekutor dalam isu-isu publik khususnya yang menyangkut hajat hidup perempuan. Partisipasi perempuan di parlemen juga
membersitkan secercah harapan, di mana perempuan dapat mengeliminasi kebijakan publik yang selama ini cenderung bercorak maskulin.
Yang perlu ditekankan adalah kaum perempuan ingin bermain dalam bidang politik karena didasari oleh suatu dalil, bahwa melalui bidang politiklah segala
kebijakan yang bersentuhan dengan masalah publik baca: wanita dapat dibuat secara proporsional. Secara implisit bermakna, perempuan harus merubah tatanan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik. Suatu kesadaran baru yang merupakan akumulasi dari
serentetan perjuangan yang pernah dilakukan kaum perempuan. Dalam setiap negara demokrasi, peranan partai politik menempati posisi
sentral sebagai salah satu pilar tegaknya demokrasi. Di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru, partai politik kembali memainkan peranan penting
dalam menentukan arah pengambilan keputusan dari suatu kebijakan pemerintahan. Dari sekian banyak partai politik yang berdiri di Indonesia, di sana
19
Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana Jakarta: Kompas, 2005, h. 42-43.
20
Ulasan lengkap mengenai kuota 30 persen dapat dilihat dalam tulisan “Kuota 30 persen Perempuan Langkah Awal Bagi Partisipasi Perempuan di Indonesia, yang dimuat dalam Jurnal
Politik Islam No. 19, 2003.
terdapat Partai Kebangkitan Bangsa yang didirikan K.H. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur.
Partai Kebangkitan Bangsa adalah partai politik dengan basis dukungan berasal dari kalangan tradisionalis khususnya warga NU. Namun, walaupun
demikian dalam Mabda Siyasi partai, PKB menegaskan diri sebagai partai terbuka dalam pengertian lintas agama, suku, ras dan lintas golongan yang
dimanifestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan. Artinya, keterbukaan PKB tidak hanya disimbolkan dalam
kehadiran kepengurusan atau keanggotaan yang pluralistik namun yang lebih subtansial lagi adalah keterbukaan dalam sikap dan perilaku politik serta rumusan
cita-cita partai tersebut. Lebih jauh lagi PKB menempatkan diri sebagai partai terbuka sebagai implementasi dari keyakinan terhadap pluralisme, demokrasi dan
humanisme. Pada kerangka itulah PKB menjadi partai yang banyak mengakomodir isu-
isu politik kontemporer yang tengah berkembang pada ranah politik global, termasuk salahsatunya peranan politik perempuan. PKB yang memiliki
keterkaitan erat dengan para ulama-ulama pondok pesantren tradisional melakukan tafsir ulang terhadap nash-nash al-Qur’an dan kitab-kitab fiqh yang
pada masa lalu menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua.
21
Pada era selanjutnya kegiatan-kegiatan tersebut memicu munculnya wacana- wacana tafsir fiqh baru terhadap perempuan yang dilakukan intelektual muda
Islam. Kondisi ini memunculkan kesadaran untuk menggagas kembali beberapa
21
Gerakan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan yang dianggap mendiskriminasi kaum perempuan di pimpin langsung oleh istri Gus Dur Ibu Shinta Nuriah Wahid.
tafsir kaidah Fiqh Al-Nisa yang dianggap kurang memberikan keadilan bagi perempuan. Dan terlepas dari pro dan kontra terhadap gagasan para penganut
paham fiqh moderat tersebut, tradisi baru ini juga menjadi pemicu menguatnya wacana kesetaraan gender dalam masyarakat. Dan Partai Kebangkitan Bangsa
berada pada baris terdepan dalam mempromosikan gagasan tersebut. Untuk merealisasikan ide pemberdayaan perempuan, PKB kemudian membentuk sayap
perempuan yang dinamai Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa PPKB. Pada titik ini dapat kita simpulkan bahwa Partai Kebangkitan Bangsa adalah
salah satu partai politik yang menyambut baik keterlibatan aktif kaum perempuan dalam dunia politik. Hal ini ditegaskan dalam garis besar program kerja yang
ditetapkan dalam Muswil PKB Jawa Tengah, di sini sangat jelas menunjukkan adanya amanat yang diemban dalam menegakkan keadilan, kesetaraan dan
keberpihakan pada perempuan. Dalam rumusan dijelaskan problem kesetaraan atau keadilan gender merupakan satu problem populis, yang mau tidak mau harus
diakomodasi oleh PKB. Apalagi di tengah kenyataan, jumlah pemilih sebagian besar perempuan. Dalam hal ini, PKB perlu mendorong tumbuhnya percepatan
kesetaraan gender dalam masyarakat, baik melalui organisasi, kajian ilmiah, pelatihan, maupun forum-forum dan kesempatan lainnya.
Keberpihakan PKB terhadap kaum perempuan dibuktikan pada saat pemilu 2004, di mana calon anggota legislatif perempuan diberikan jatah 30 dan
menempati nomor urut jadi. Hal lain dari komitmen PKB terhadap perempuan adalah ketika DPP PKB menunjuk Ida Fauziah menjadi ketua fraksi PKB di DPR,
penunjukkan ini sekaligus juga menempatkan Ida Fauziyah menjadi satu-satunya
perempuan yang menduduki jabatan ketua fraksi di DPR.
22
Dan yang berita teranyar dari PKB adalah penunjukkan Yenni Wahid menjadi pejabat teras partai
dalam Munaslub yang diadakan di Parung pada awal bulan Mei 2008, walaupun kemudian Yenny harus rela tergusur dari jabatannya karena PKB kemudian
dilanda konflik internal, yang melibatkan kubu Gus Dur termasuk Yenny di dalamnya dengan kubu Muhaimin Iskandar.
23
Berlandaskan keterangan-keterangan yang diungkapkan di atas, di mana pergerakan politik kaum perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa menjadi satu
hal yang fenomenal –di tengah minimnya dukungan terhadap perempuan– menjadikan penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam sebuah penelitian
skripsi. Penyusunan skripsi ini akan menelusuri geliat politik perempuan di PKB
dengan judul “Peranan Politik Perempuan di Partai Kebangkitan Bangsa PKB”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah