orang ratu sultanah yaitu Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin Syah 1641, Sultanah Nurul Alam Naqiyyatuddin Syah 1641, Sultanah Zakiyatuddin Inayah
Syah 1678, dan Sultanah Kamalatuddin Syah 1688-1699 yang berkuasa selama 60 tahun dan mereka sukses melakukan berbagai terobosan baik sosial, ekonomi,
maupun politik.
63
Pada sisi yang lain, realitas sejarah pergerakan perempuan di Indonesia memiliki beberapa persamaan arah tujuannya dengan gerakan-gerakan perempuan
di belahan dunia lain, yaitu bertumpu pada usaha aktualisasi diri sebagai warga yang tersubordinasi. Mereka bangkit dari dominasi sosial yang membelenggu
eksistensi dirinya. Namun, gerakan-gerakan perempuan yang muncul itupun mempunyai bentuk dan arah yang bervariasi, karena pola gerakan perempuan
sangat dipengaruhi oleh situasi politik nasional yang tengah berkembang.
1. Pra kemerdekaan
Pada umumnya gerakan perempuan sebagai gerakan sosial tidak muncul tiba- tiba melainkan merupakan perkembangan dalam masyarakat di mana ada perasaan
cemas dan ada keinginan-keinginan individu yang menghendaki perubahan. Di Indonesia, proses itu sudah menjelma pada abad ke-19 dalam bentuk peperangan
di banyak daerah yang dipimpin langsung oleh para raja atau tokoh lain melawan masuknya dan meluasnya penjajahan Belanda, misalnya perlawanan para raja
wanita terjadi di Banten, Yogyakarta, Rembang, Maluku, Palembang, Minangkabau, Banyumas, Kalimantan Barat, Bali, Lombok, dan Aceh.
64
63
Utami, “Realitas Politik Perempuan di Indonesia,” h. 106.
64
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 39.
Pada permulaan abad ke-20 terjadi perubahan dari pola gerakan kaum perempuan di Indonesia, karena pada waktu itu segelintir wanita Indonesia telah
mengenyam pendidikan yang lebih baik. Salah satu ikon penting dari pergerakan perempuan Indonesia pada periode itu adalah Kartini. Keinginan Kartini –yang
lahir pada 1879– adalah membebaskan perempuan dari belenggu budaya feodal Jawa dan ingin mengangkat martabat perempuan melalui bidang pendidikan.
65
Keinginan untuk maju itulah yang menjadi landasan bagi nasionalisme Indonesia. Semangat nasionalisme ini juga mendorong terbentuknya berbagai organisasi-
organisasi yang menggemakan nasionalisme Indonesia.
66
Nasionalisme yang diperjuangkan Kartini dalam beberapa hal menjiwai berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pada era selanjutnya, Boedi Oetomo
pada tahun 1912
67
mendirikan Poetri Mardika sebagai sayap perempuan, dengan harapan kaum perempuan juga turut serta dalam perjuangan. Selain itu,
perempuan mulai bergerak dalam gerakan-gerakan sosial dan agama. Pada tahun 1914 berdiri sebuah perkumpulan perempuan yang dipimpin oleh istri pendiri
Muhammadiyah, Nyai Ahmad Dahlan bernama “Sopo Tresno” siapa suka, yang kemudian pada tahun 1917 berganti nama menjadi “Aisyiah”. Selang berapa
lama, pada tahun 1918 Siti Fatimah mendirikan bagian Sarekat Islam di Garut, di Yogyakarta ada Wanoedya Oetomo Wanita Utama pada tahun 1920, kemudian
organisasi-organisasi ini berfusi ke dalam Sarekat Puteri Islam atau sarekat Perempuan Islam Indonesia. Dari sekian banyak organisasi perempuan yang lahir
65
Marlita dan Poerwandari, “Pergerakan Perempuan Indonesia 1928-1965,” h. 83.
66
Suryochondro “Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia,” h. 42.
67
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 20.
semasa ini beberapa di antaranya bersifat lokal atau kedaerahan. Organisasi tersebut antara lain, “Wanita Soesilo” di Pemalang 1918, “Wanita Hadi” di
Jepara 1919, “Poetri Boedi Sedjati” di Surabaya 1919, “Wanito Moeljo” di Jogjakarta 1920, “Serikat Kaoem Ibu Soematra” di Bukit Tinggi 1920, dan
lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut bersinergi memprogandakan tujuan mereka
dalam usahanya memperjuangkan masyarakat dari berbagai masalah yang menimpanya. Adapun sarana yang digunakan dalam mempropagandakan
perjuangan adalah melalui penerbitan berkala. Di antara majalah yang cukup terkenal adalah “Wanita Swara” Pacitan, 1913, “Poetri Mardika” Jakarta,
1914, “Penoentoen Isteri” Bandung, 1918, “Isteri Oetomo” Sala, 1918, dan “Soeara Perempoean Bergerak”
Medan.
68
Ketika Sumpah Pemuda pada 28 Oktober tahun 1928 dikumandangkan sebagai pertanda persatuan Indonesia, maka untuk mewujudkan cita-cita tersebut
para perempuan Indonesia melakukan Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta.
69
Acara tersebut dihadiri oleh tiga puluh perkumpulan wanita, kemudian tanggal ini dikukuhkan sebagai Hari Ibu. Hasil
dari kongres tersebut sepakat melebur semua organisasi perempuan ke dalam satu wadah perjuangan dengan nama “Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia”
yang kemudian berganti nama menjadi “Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia”
68
Harminah dan Rauf, “Sejarah Pergerakan Perempuan di Indonesia,” h. 21-22.
69
Rini Soerojo, dkk., Perempuan dan Politik Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2001, h. 1.
pada tahun 1929 di Jakarta.
70
Perserikatan Perempuan ini sampai sekarang masih tetap eksis dengan nama Kowani sebagai hasil dari keputusan kongres pada
tanggal 14-16 Juni 1946.
71
2. Pasca kemerdekaan