berpikir lagi, apakah sesuai atau tidak pokoknya ikut perkembangan masa, dan remaja tersebut bersifat labil.
23
Sebenarnya masa remaja adalah masa peralihan, yang ditempuh oleh seseorang dari kanak-kanak menuju dewasa. Atau dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah
perpanjangan masa kanak-kanak sebelum mencapai masa dewasa. Anak-anak jelas kedudukkannya, yaitu yang belum dapat hidup sediri, belum matang dari segala segi,
hidup masih bergantung pada orang dewasa dan belum dapat diberi tanggung jawab atas segala hal. Masa dewasa juga jelas. Pertubuhan jasmani telah sempurna, kecerdasan dan
emosi telah cukup berkembang.
24
Definisi-definisi di atas dengan jelas memberikan pengertian bahwa remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir. Masa ini merupakan masa
peralihan di mana ia bukan lagi anak-anak tetapi belum juga sepenuhnya menjadi orang dewasa sifat dan tingkah lakunya belum sempurna atau labil dan mudah terpengaruh
terhadap lingkungan serta ingin mencoba hal-hal yang baru.Untuk itu pendidikan dan pembinaan kerukunan hidup beragama sangat penting di kalangan pelajar agar tidak
terjadinya hal-hal yang negatif seperti konflik khususnya yang dilatar belakangi oleh agama.
B. Landasan Kerukunan Hidup Umat Beragama
1. Landasan Global
Sejak dahulu hingga sekarang, masalah kebebasan beragama selalu menjadi perhatian umat manusia, ada beberapa keputusan penting dalam sejarah yang berkaitan
23
Mahdiah, Remaja, Dawah Islam Dan Perjuangan, Jakarta: Kalam Mulia, 1993, h.5-6.
24
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1970, 69-70.
dengan agama yang dikemukakan disini, yaitu Deklarasi tentang Hak Asasi Manusia, Piagam Madinah dan Konsili Vatikan.
25
a. Deklarasi Hak Asasi Manusia
Pada tanggal 10 Desember 1945 ditetapkan deklarasi tentang Hak Asasi Manusia The Universal Declaration of Human Right. Deklarasi ini memuat
kebebasan beragama pada pasal 18, yang menerangkan bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi manusia HAM.
b. Piagam Madinah
Sebelum lahir Diklarasi HAM, yaitu pada tahun 624 Masehi, Nabi Muhammad SAW telah menetapkan Piagam Madinah. Piagam ini meletakkan dasar-
dasar kebebasan dan kerukunan hidup beragama. Dengan piagam tersebut telah ditunjukan bagaimana hidup berdampingan secara damai penganut-penganut agama
dan semua golongan. c.
Konsili Vatikan Selanjutnya, konsili vatikan II Katolik juga telah menghasilkan keputusan
antara lain tentang kebebasan beragama dan sikap gereja terhadap agama-agama non- Kristen. Kebebasan beragama hak setiap orang yang harus dilindungi dan didukung
oleh masyarakat, pemerintah dan gereja-gereja menunjukan rasa hormat terhadap Hinduisme, Buddhisme dan terutama terhadap Islam yang juga menyembah Allah
Yang Maha Kuasa.
2. Landasan Nasional
25
M. Yusuf Arsy, Kerukunan Hidup Beragama di Kampus Jakarta Balitbang Agama, Departemen Agama RI, h.11-12
a. Landasan Ideal Pancasila
Pancasila, bagi bangsa Indonesia menjadi sebuah nilai yang sangat dijunjung tinggi dan sangat dihormati. Karena, pancasila sebagaimana terdapat dalam
pembukaan UUD 45 adalah telah diakui sebagai dasar Negara yang dapat digunakan sebagai falsafah, pandangan hidup dan landasan moral berbangsa.
Dari berbagai kajian dan pandangan umum masyarakat, isi dari butir-butir pancasila telah mencerminkan adanya nilai-nilai luhur keagamaan, kemanusian dan
nilai sosial yang sifatnya universal, serta dapat mendorong terwujudnya semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia menjadi suatu bangsa yang kokoh.
Secara singkat nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila, yang dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran untuk mencegah dan mewaspai konflik antar
umat beragama adalah sebagai berikut:
1 Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama yang menyatakan ketuhanan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa semua agama yang diakui di Indonesia mengakui dan menyakini
tentang adanya Tuhan Yang Satu, Yang Maha Kuasa dan Maha Besar, meskipun cara mengekspresikannya antara satu agama dengan agama yang lain bebeda.
Ketuhanan Yang Maha Esa juga mengandung makna bahwa bangsa Indonesia hendaknya bersifat religius, menjunjung tinggi manusia yang beragama,
percaya terhadap Tuhan yang Maha Esa apapun nama agamanya. Dengan dasar yang bersifat religius ini, seluruh umat beragama didorong untuk saling
menghormati dan menghargai keyakinan keagamaan masing-masing umat.
2 Kemanusian Yang Adil dan Beradab
Sila kedua, yang menyatakan kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai universal, bahwa bangsa Indonesia hendaknya memiliki rasa
kemanusiaan yang tinggi, menghargai hak asasi kemanusian, menghormati dan mencintai manusia tanpa pandang perbedaan agama, asal-usul suku bangsa dan
tingkat status sosial. Pernyataan kemanusiaan yang adil dan beradab juga mengandung nilai
luhur agar bangsa Indonesia tidak bersikap dan bertindak kepada siapapun juga dengan cara sewenang-wenang, menindas, eksploitatif, dzolim, aniaya dan
diskrimnatif.
3 Persatuan Indonesia
Sila ketiga dengan pernyataan persatuan Indonesia mengandung makna bangsa Indonesia yang sangat majemuk ini agar memiliki kesadaran tetap bersatu,
saling tolong menolong, hidup rukun, harmoni dan damai dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratanperwakilan. Pernyataan sila keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam perwakilan permusyawaratan, mengandung nilai yang mendukung sistem demokrasi. Pernyataan ini menghendaki agar bangsa Indonesia
menjunjung tinggi musyawarah dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Dengan
dasar musyawarah ini berarti bangsa Indonesia tidak menghendaki adanya tindakan atau keputusan yang sepihak, yang otoriter, yang sewenag-wenang.
Selain itu, nilai musyawarah juga dimaksudkan agar bangsa Indonesia mengakui dan menghargai eksistensi setiap orang, setiap kelompok, dan setiap komunitas
baik yang kecil maupun yang besar. 5
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Sila kelima, yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam prisip keadilan sosial yang terkandung pada sila kelima ini, merupakan nilai universal yang didukung oleh semua ajaran agama dan norma sosial.
Pernyataan tersebut mengandung makna agar rakyat Indonesia memiliki rasa keadilan antara sesama warga Indonesia, pada berbagai bidang kehidupan sosial.
Berbagai pemikiran dan kajian sosial menunjukan bahwa faktor keadilan sangat menentukan tingkat persatuan masyarakat dan bangsa. Untuk itu, keadilan sosial
bagi seluruh bangsa Indonesia harus diciptakan dan direalisasikan demi mencegah disintegrasi bangsa dan selalu terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. b.
Landasan Konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 UUD 45 Setiap warga Negara Indonesia sepatutnya mengerti dan memahami UUD 45.
Jika kita mengerti dan memahami UUD 45, maka kita akan mengetahui dasar yang kuat tentang kehidupan agama-agama di Indonesia. Dengan pemahaman ini, maka
umat beragama akan mampu memposisikan dirinya dalam masyarakat berbangsa, termasuk memposisikan sikap keberagamaan ditengah-tengah kehidupan masyarakat.
Pertama, pada pembukaan undang-undang 1945, alenia ketiga disebutkan: “atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa maka rakyat Indonesia menyatakan
dengan ini kemerdekaannya.” Pernyataan, “berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” ini merefleksikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius dan
menghargai nilai-nilai agama. Kedua, beberapa pasal dari UUD 45 dan amandemen pasal-pasal UUD 45
secara jelas menyatakan beberapa hal tentang masalah keagamaan, sebagai contoh diantaranya:
1 Pasal 28, point E ayat 1, disebutkan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadah sesuai menurut agamanya….”. Pernyataan dalam pasal ini juga memiliki makna bahwa seseorang, baik secara individu maupun kelompok tidak
diperkenankan untuk memaksa orang lain untuk menganut agama tertentu. Setiap orang harus diberi kebebasan menganut dan mengamalkan agamanya sesuai
dengan ajaran agama yang dipilihnya. 2
Pasal 28, point J ayat 1, disebutkan: Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam kaitan ini, memeluk agama dipandang sebagai salah satu hak asasi setiap orang yang harus dihormati dan dihargai, dalam rangka dalam arti setiap orang
berhak memeluk agama sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 3
Pasal 29, ayat 1 menyatakan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan ayat 2 menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
c. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional
Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan yang serba beragam dan bernilai strategis yang
mengutamakan persatuan dan kesatuan, menghargai dan menghormati kebhinekaan atau aneka ragam di dalam setiap aspek kehidupan nasional, untuk mencapai tujuan
nasional. Inti pemahaman wawasan nusantara adalah mengenal bahwa bangsa Indonesia dilihat dari berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek geografi, sumber
daya alam, sumber daya manusia, politik ekonomi, sosial budaya, termasuk idiologi dan agama sangat beraneka ragam, tetapi tetap dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Kebhinekaan artinya mengakui adanya keanakaragaman unsur, ciri, karakter,
kemampuan, potensi dalam masyarakat, dan juga memahami adanya kelebihan dan kekurangan setiap elemen dalam masyarakat. Sedangkan persatuan dan kesatuan,
menekankan terhadap adanya semangat nasionalisme bahwa kepentingan nasional itu di atas kepentingan individu atau kelompok. Makna persatuan dan kesatuan juga
menekankan pada pemahaman bahwa rakyat Indonesia yang sangat majemuk telah menyatu dalam satu bangsa, satu wilayah dan satu tanah air, satu bahasa dan satu
negara, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. d.
Ketahanan Nasional Sebagai Landasan Konsepsional Sebagai dasar konsepsional, ketahanan nasional pada prinsipnya merupakan
kondisi bangsa Indonesia yang mampu mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi.
26
Karena itu merupakan kemampuan, ketangguhan dan keuletan bangsa Indonesia
26
Departemen Pertahanan RI, Buku Induk Wawasan Nusantara Jakarta; Lembaga Ketahanan Nasional, 2001, h. 25
untuk terus berupaya menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan. Dengan semangat nilai ketahanan nasional, segenap elemen bangsa diharapkan memiliki
kesadaran yang tinggi untuk selalu mewaspadai datangnya anasir-anasir dari mana saja yang hendak menciptakan disintegrasi bangsa dan menghancurkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, termasuk kewaspadaan terhadap kemungkinan berkembangnya konflik antar umat beragama yang akan memperlemah integrasi
nasional. e.
GBHN 1999-2004 sebagai Landasan Operasional Garis-Garis Besar Haluan Negara GBHN 1999-2004, secara tak langsung
telah memberikan arah agar umat beragama menghindarkan diri dari konflik yang bernuansa SARA. Dalam kaitan ini, pengembangan agama yang perlu
diimplementasikan menurut GBHN adalah meningkatkan kerukunan hidup umat beragama sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling
menghormati dalam semangat kemajemukan melalui dialog antar umat beragama dan pelaksanaan pendidikan agama secara deskriptif yang tidak dogmatis untuk
pendidikan . Pernyataan dalam GBHN, memberikan arahan umum yang mengandung
makna bahwa konflik antar umat beragama sedapat mungkin harus diwaspadai dan dicegah jangan sampai meluas menjadi konflik kekerasan terbuka. Hal ini, karena
konflik antar umat beragama merupakan masalah yang sangat peka, menyangkut kehidupan manusia yang asasi, menyentuh rasa keyakinan dan emosi yang sangat
dalam. Pengalaman sejarah menunjukan bahwa konflik antar umat beragama yang
terjadi diberbagai Negara dapat menimbulkan akibat yang sangat serius, tidak saja mengakibatkan korban harta dan benda, tetapi juga disintegrasi bangsa.
f. Peraturan Perundang-undangan
Dalam rangka mencegah terjadinya konflik antar umat beragama, pemerintah telah membuat seperangkat aturan dalam bentuk perundang-undangan dan keputusan-
keputusan dan atau intruksi serta edaran-edaran. Kerukunan hidup beragama yang dicita-citakan ideal yaitu kerukunan yang lebih mantap dan dinamis serta hilangnya
sikap ekslusif dan berkembangnya kerukunan yang otentik dengan prinsip saling menghormati dan semangat kerjasama demi kesejahtraan sesama umat manusia.
sebagai contoh, diantaranya sebagai berikut:
1 Trilogi Kerukunan
Dengan bentuk-bentuk pengembangan kerukunan hidup beragama melalui pendidikan praktis pragmatis oleh H. Alamsyah Ratu Prawiranegara, sewaktu
menjabat Menteri Agama, dirumuskan Trilogi Kerukunan, yaitu
27
: a.
Kerukunan intern umat beragama b.
Kerukunan antar umat beragama c.
Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. 2
Penetapan Presiden Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1965, tanggal 27 Januari, tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, beserta
penjelasannya. Diantara isinya, menyatakan: Pasal 1, Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
27
Kompilasi Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI, 1993, h.
dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
3 Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor
01BERmdn-mag1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparat Pemerintah Dalam menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat
Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Diantara isinya, disebutkan: • Kepala daerah memberikan kesempatan kepada setiap usaha penyebaran
agama dan pelaksaan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya, sepanjang kegatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak
mengganggu keamanan dan ketertiban umum Pasal 1. • Kepala daerah membimbing dan mengawasi agar pelaksanaan penyebaran
agama dan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya tersebut: a.
tidak menimbulkan perpecahan diantara umat beragama, b.
tidak disertai dengan intimidasi, bujukan, paksaan atau ancaman dalam segala bentuknya.
c. tidak melanggar hukum serta keamanan dan ketertiban umum. Pasal 2,
ayat 1 4
Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978, tanggal 1 Agustus 1978 tentang Pedoman Penyiran Agama. Semangat penting dari Kepmen ini adalah
untuk menjaga stabilitas nasional dan pembangunan kerukunan antar umat beragama. Diantara pokok penting isi keputusan ini adalah bahwa pengembangan
dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, hormat menghormati antara umat beragama sesuai dengan nilai-nilai
pancasila. 5
Keputusan Menteri Agama Nomor 77 tahun 1978 tanggal 15 agustus 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga keagamaan di Indonesia. Diantara isi
kepmen ini adalah bahwa penggunaan tenaga asing untuk pengembangan dan penyiaran agama dibatasi, disamping perlu adanya izin dalam melakukan kegiatan
keagamaan. 6
Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1979, tanggal 2 Januari 1979 tentang tata cara penyiaran agama dan bantuan luar negeri;
Diantara lain adalah: • Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan,
tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan
kemerdekaan seseorang untuk memeluk atau menganut dan melakukan ibadat menurut agamanya. Pasal 3
• Pelaksanaan penyiran agama tidak dibenarkan untuk ditunjukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk atau menganut agama lain
Pasal 4, dengan cara: a
Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-
bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk atau memeluk agama yang disiarkan tersebut.
b Menyebarkan pamflet, majalah, buletin, buku-buku, dan bentuk barang
penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk atau menganut agama lain.
c Melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah memeluk
atau menganut agama lain. 7
Surat Edaran Menteri Agama SEMA Nomor ma4321981 tentang penyelenggaraan hari-hari besar keagamaan. Diantara poin yang disebutkan dalam
SEMA tersebut adalah: sejalan dengan pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh wadah muyawarah antar umat beragama tertanggal 25 agustus 1981 dan
petunjuk bapak presiden tanggal 1 september 1981, bahwa peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya hanya diselenggarakan dan dihadiri oleh para
pemeluk agama yang bersangkutan; namun sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah atau ajaran agamanya; pemeluk agama yang lain dapat turut menghormati
sesuai dengan asas kekeluargaan, bertetangga baik dan gotong royongan. Peraturan-peraturan tersebut, pada intinya merupakan aturan normatif, ibarat lalu
lintas ia mengatur jalannya kendaraan agar tidak mudah terjadi kecelakaan. Dalam kaitan ini, ia mengatur lalu lintas dan memberikan rambu-ranbu kegiatan umat beragama agar
terhindar dari benturan-benturan yang menyebabkan konflik yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Dalam konteks tulisan ini, aturan-aturan tersebut merupakan bagian
dari upaya mewaspadai dan mencegah timbul dan berkembangnya konflik antar umat beragama.
C. Prinsip Kerukunan Umat Beragama