Latar atau Setting adalah tempat terjadinya peristiwa-peristiwa atau waktu berlangsungnya tindakan. Jadi, peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam latar tempat
dan waktu Pradopo dalam Sangidu, 2007:139. Latar dalam karya sastra tidak harus berbentuk realitas yang bersifat objektif, tetapi dapat juga berbentuk realitas
yang bersifat imajinatif. Latar di dalam komik “Working Man” karya Moyoco Anno meliputi
setting tempat dan setting waktu. Latar tempat yang dimaksud adalah Tokyo yang merupakan ibukota Jepang, sedangkan latar waktunya adalah tahun 2004-2005.
Kota Tokyo dimanfaatkan di dalam komik tersebut untuk menggambarkan kondisi kota yang sibuk, yang mayoritas penduduknya bekerja, baik pria maupun
wanita. Selain itu, terdapat latar tempat yang lainnya, yaitu sebuah perusahaan penerbitan yang bernama Gotansha, yang di dalamnya terdapat salah satu majalah
terbitan minggua n yang bernama Jidai. Di sanalah tokoh utama bekerja selama lebih kurang tujuh tahun.
2.2 Etos Kerja Masyarakat Jepang Hatarakisugi
Bangsa Jepang dikenal dunia sebagai bangsa yang giat bekerja dan pantang menyerah. Terbukti dengan keberhasilan mereka membangun negaranya
setelah terjadinya pemboman di kota Hiroshima dan Nagasaki 1945 oleh Amerika. Dengan semangat dan kerja keras, bangsa Jepang mampu bangkit dari
kehancurannya dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun. Bahkan, pada pertengahan tahun 1990-an, angka Produk Nasional Bruto PNB Jepang
mencapai US 37,5 miliar yang sekaligus mengantarkan Jepang pada posisi kedua
Universitas Sumatera Utara
setelah Swiss yang memiliki angka PNB tertinggi di dunia yang berjumlah US 113,7 miliar.
Keberhasilan Jepang membangun negaranya menjadikan salah satu negara yang memiliki perekonomian kuat, berkaitan erat dengan etos dan budaya kerja
bangsa Jepang. Pada dasarnya etos dan budaya kerja orang Jepang tidak jauh berbeda
dengan etos kerja bangsa Asia lainnya. Jika bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang pekerja keras, maka bangsa Cina, Korea dan bangsa Asia lainnya juga
pekerja keras. Namun, perbedaan bangsa Jepang dengan bangsa Asia lainnya adalah bahwa bangsa Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa
mengharapkan bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi meningkat
dan perusahaan mendapat keuntungan besar, maka secara otomatis mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan jiwa mereka, hanya ada
keiginan melakukan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Menurut Fadhli 2007:105-107, ciri-ciri etos kerja dan
budaya kerja orang Jepang adalah: Pertama, bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja
orang Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi, kalau gajinya lumayan orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Bagi orang
Jepang kerja itu seperti permainan dengan teman yang akrab. Biasanya, di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan dan ingin
menaikkan kemampuan diri sendiri. Karena permainan terlalu menarik, terkadang sampai lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut workaholic oleh orang asing.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, mendewakan langganan. Etos kerja orang Jepang mendewakan langganan sebagai Tuhan. Okyaku sama wa kamisama desu yang artinya
langganan adalah Tuhan. Kata itu dikenal semua orang Jepang. Kata ini sudah menjadi motto bisnis Jepang. Perusahaan Jepang berusaha mewujudkan
permintaan dari langganan sedapat mungkin dan berusaha mengembangkan hubungan erat dan panjang dengan langganan.
Ketiga, bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap bisnis sebagai perang yang melawan perusahaan lain. Budaya bisnis
Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur.
Orang Jepang mengerjakan pekerjaan mereka tidak berdasarkan pada motif banyaknya keuntungan di atas nilai kerja. Komentator sosial yang
terkemuka Yamamoto Sichihei sebagai contoh, ia mencatat etos kerja orang Jepang sebagai tradisi penganut Budha Jepang yang kuat. Seperti yang dijelaskan
Yamamoto, kegiatan bekerja diterima sebagai disiplin spiritual dengan hati dan ajaran Budha, bukan keuntungan ekonomi, hadiah akan diperoleh melalui
kesetiaan yang tidak mementingkan diri sendiri untuk suatu pekerjaan. Sekarang pun, orientasi ini hidup di perusahaan-perusahaan Jepang, dan ini adalah alasan
utama mengapa orang Jepang bekerja sangat keras. Jepang memang dikenal dunia sebagai bangsa yang gila kerja
hatarakisugi. Hatarakisugi disebut juga dengan workaholic oleh orang asing. Ini
dapat dibuktikan dengan jumlah jam kerja Jepang yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain. Pada 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah
2.450 jamtahun. Pada 1992, jumlah itu menurun menjadi 2.017 jamtahun.
Universitas Sumatera Utara
Namun, jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja di negara lain, misalnya Amerika 1957 jamtahun, Inggris 1911 jamtahun,
Jerman 1870 jamtahun, dan Perancis 1680 jamtahun. Pada tahun 2005, Jepang menduduki peringkat lebih tinggi dari Amerika Serikat, Inggris dan
Jerman pada rata-rata jam kerja per tahun dalam sebuah laporan oleh Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi.
Gila kerja hatarakisugi dapat digambarkan sebagai ketidakmampuan untuk berhenti bekerja, baik ketika berada di kantor, di rumah, dan lain-lain.
Dalam wikipedia disebutkan bahwa kata workaholic sendiri berasal dari dua kata yaitu, work dan alcoholic. Work berarti kerja dan alcoholic berarti pecandu
minuman beralkohol. Istilah ini diciptakan oleh psikolog Richard I. Evans. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan “…orang tersebut orang yang terlalu banyak
bekerja hampir dapat disamakan dengan pecandu alkohol dan dapat digambarkan sebagai workaholic.
Sampai saat ini banyak orang gila kerja digambarkan sebagai kecanduan terhormat, dan setengah berpikir bahwa itu adalah sebuah atribut mengagumkan.
Namun, kondisi tersebut sekarang diakui sebagai masalah serius dan banyak teori telah diajukan untuk mencoba dan lebih memahami apa yang memotivasi pecandu
kerja. Beberapa teori melihat gila kerja sebagai strategi mengatasi untuk menutupi masalah-masalah emosional yang mendasarinya seperti kegelisahan,
rasa rendah diri, depresi dan sifat-sifat obsesif-kompulsif Jeffrey P Kahn MD dalam http:www.ipaki.comcontenthtml371214.html. Paul Thorne dan
Michael Johnson, penulis Workaholism, mendefinisikan pekerja keras sebagai orang yang perlu bekerja telah menjadi begitu berlebihan sehingga mengganggu
Universitas Sumatera Utara
kesehatan fisik, kebahagiaan pribadi, hubungan interpersonal atau kemampuan untuk berfungsi secara sosial.
Thorne dan Johnson http:www.ipaki.comcontenthtml371214.html mengidentifikasi dua jenis workaholic: aktif dan pasif. Workaholic aktif bekerja
untuk kenikmatan. Mereka memiliki energi untuk bekerja dengan waktu yang lebih lama dan mereka percaya bahwa pengabdian seperti itu membawa
penghargaan khusus. Workaholic
pasif didorong untuk bekerja dengan ketidakamanan, ketakutan atau paranoia sampai terlalu banyak pekerjaan menjadi mendarah
daging dan kebiasaan, nyaris merusak keseimbangan hidup mereka, tanpa mereka menyadarinya.
Kegilaan bekerja orang Jepang menyebabkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat mereka bekerja. Mereka lebih suka berada di
tempat kerja daripada duduk bersantai di rumah. Waktu orang Jepang bersama- sama keluarga sangat terbatas. Namun, bagi yang berumah tangga dan
berkeluarga, situasi ini tidak menimbulkan banyak masalah. Istri mereka sudah terbiasa dan dapat menerima situasi itu. Oleh karena itu, jarang sekali terjadi
perceraian yang disebabkan oleh kegilaan bekerja suami mereka. Istri-istri orang Jepang merasa bangga bila suami mereka gila kerja dan bekerja keras. Ia menjadi
kebanggan seluruh keluarga karena ia menjadi pertanda status sosial yang tinggi. Sebaliknya, orang yang pulang kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma
negatif, dianggap sebagai pekerja yang tidak penting, malas, dan tidak produktif. Orang Jepang memiliki disiplin yang tinggi saat bekerja. Mereka tidak
mencampur-adukkan masalah pribadi pada pekerjaannya. Setiap pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
dilakukan dengan fokus. Bangsa Jepang juga tidak menyia-nyiakan waktu saat bekerja. Tidak heran jika hasil kerja mereka melebihi bangsa-bangsa lain.
Kegilaan orang Jepang pada pekerjaan ini, menjadi masalah yang semakin serius, karena menyebabkan kematian. Fenomena kematian karena kerja yang
berlebihan ini dikenal dengan istilah kar ōshi .
Karōshi telah menjadi simbol dari sebuah masyarakat gila kerja di Jepang. Di antara berbagai pekerjaan ada tiga bidang utama yang memiliki resiko tertinggi
karōshi di Jepang. Mereka adalah: wartawan, supir dan pekerja mesin. Namun, kasus
karōshi Jepang juga terjadi antara guru, manajer dan pekerja yang berpindah-pindah
http:www.syl.comhbtheworkaholicandthepricepaidfor success.html.
Tetsunojo Uehata, ahli medis yang menciptakan kata kar ōshi,
mendefinisikan karōshi sebagai sebuah kondisi di mana proses kerja yang tidak
sehat secara psikologis diijinkan untuk melanjutkan dengan cara yang mengganggu pekerjaan pekerja yang normal dan ritme kehidupan, yang mengarah
ke penumpukan kelelahan dalam tubuh dan kondisi kronis yang disertai oleh memburuknya tekanan darah dan pengerasan arteri dan akhirnya mengakibatkan
kerusakan fatal. Penelitian menunjukkan bahwa Jepang memiliki jumlah workaholic
terbesar di seluruh dunia dan bertanggung jawab atas 10.000 kematian setiap tahun http:www.ipaki.comcontenthtml371214.html.
Pemerintah Jepang telah melakukan berbagai upaya agar masyarakatnya tidak bekerja dengan waktu yang sangat lama dan menyarankan agar mereka
mengambil cuti. Di sebuah situs http:www.management-
Universitas Sumatera Utara
issues.com2006824research japan -cracks -down -on- workaholic - corporate culture.asp, terdapat sebuah artikel yang berjudul ‘Japan Cracks Down on
Workaholic Corporate Culture’ menyebutkan:
“Pemerintah Jepang mengambil langkah radikal untuk membersihkan diri dari citra sebagai bangsa pecandu kerja yang jarang mengambil liburan dan
kadang-kadang bekerja sendiri sehingga menyebabkan kematian dini. Kementerian Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan negara
mengusulkan undang-undang yang akan memaksa perusahaan mendorong orang- orang untuk mengambil liburan mereka.
Seorang pejabat kementerian mengatakan kepada kantor berita Reuters: Kami merasa bahwa orang tidak mengambil cuti yang cukup. Kita perlu
mencegah orang-orang dari bekerja terlalu banyak sehingga mereka dapat menyeimbangkan pekerjaan dengan keluarga.
Menurut Kementerian Perburuhan negara, dari total cuti tahunan diberikan kepada staf, persentase cuti diambil di Jepang jatuh ke rekor rendah 46,6 persen
hingga Maret 2005.” Usaha pemerintah ini dilakukan demi kelangsungan kehidupan bangsa
Jepang di masa depan. Karena angka kelahiran yang menurun, sedangkan jumlah kematian terus meningkat. Pemerintah mengkhawatirkan dari tahun ke tahun
penduduk Jepang akan terus berkurang.
Universitas Sumatera Utara
BAB III ANALISIS SIKAP DAN PERILAKU HATARAKISUGI PADA KOMIK