libur 30 hari, tetapi banyak dari mereka yang hanya mengambil libur selama lima atau enam hari saja”.
Kegilaan orang Jepang pada pekerjaan ini, dipengaruhi oleh salah satu ciri- ciri etos dan budaya kerja mereka yaitu “bekerja untuk kesenangan, bukan untuk
gaji saja” Fadhli, 2007:105-106. Orang Jepang bersedia menerima pekerjaan dari perusahaannya tanpa mengharap bayaran. Bahkan, mereka lebih senang jika
diberikan pekerjaan yang berat dan menantang. Dalam pikiran mereka, hanya ada keinginan mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin dan mencurahkan seluruh
komitmen pada pekerjaan. Hal ini berhubungan dengan sikap kesungguhan, disiplin ketat, usaha dan semangat kerja keras spirit bushido rakyat Jepang yang
diwarisi secara turun-temurun. Berdasarkan fakta-fakta dan informasi-informasi itulah yang akhirnya
membuat penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang sikap dan perilaku hatarakisugi
masyarakat Jepang. Tulisan ini mengambil bahan rujukan melalui komik yang berjudul Working Man. Dan akan ditulis dalam bentuk skripsi dengan
judul “SIKAP DAN PERILAKU “HATARAKISUGI” PADA TOKOH UTAMA DALAM KOMIK WORKING MAN KARYA MOYOCO ANNO.”
1.2 Perumusan Masalah
Membahas sejarah bangsa yang berbentuk kepulauan yang terbentang dari timur laut ke barat daya di lautan bagian timur Benua Asia, dengan luas kurang
lebih 15 luas Indonesia ini sungguh sangat menarik. Bangsa yang dulunya terkenal dengan politik isolasi yang sangat ketat dalam sejarah bangsa-bangsa
Universitas Sumatera Utara
besar pada Zaman Tokugawa, kini telah mengalami suatu lompatan jauh sebagai bangsa yang berjaya di dunia.
Sejak dibom atomnya kota Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, bangsa Jepang seolah-olah bangkit dari tidur. Bangsa yang dulunya menganggap
sebagai keturunan dewa, berusaha bangkit dari keterpurukan. Sejak saat itu, masyarakat Jepang menjadi manusia super sibuk dalam memulihkan dan
menumbuhkan perekonomian Jepang. Tidak dapat dipungkiri bahwa hatarakisugi-
lah yang menjadi alasan kuat sehingga Jepang dapat menjadi negara yang mempunyai perekonomian kuat.
Untuk itu, dalam hal ini penulis tertarik untuk membahas sikap dan perilaku hatarakisugi pada masyarakat Jepang yang digambarkan melalui komik
Working Man , yang permasalahannya akan dirumuskan dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut: 1.
Bagaimana sikap dan perilaku hatarakisugi yang digambarkan dalam komik Working Man?
2. Bagaimana etos kerja pada masyarakat Jepang?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Permasalahan akan dibatasi dalam ruang lingkup perilaku hatarakisugi yang menggunakan komik Working Man dari jilid 1-4 dengan jumlah 22 cuplikan,
untuk menganalisis sikap dan perilaku hatarakisugi yang digambarkan tokoh utama dalam komik tersebut. Selain itu, pada pembahasannya akan diuraikan
tentang konsep hatarakisugi, sikap dan perilaku hatarakisugi pada masyarakat Jepang, etos kerja masyarakat Jepang, dan juga diuraikan sejarah dan
Universitas Sumatera Utara
perkembangan komik di Jepang, serta riwayat pengarang dari komik yang akan dibahas pada tulisan ini.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1 Tinjauan Pustaka Menurut Abdul Irsan 2007:56 beberapa karakter umum bangsa Jepang
yang dapat mempengaruhi kebijakan politik dan interaksinya dengan bangsa lain, antara lain:
1. Sebagai bangsa yang pernah memiliki latar belakang sebagai petani dan
nelayan selama berabad-abad, pergaulan di dalam masyarakat Jepang menghasilkan suatu “rule of unanimous”. Mereka menganggap pentingnya
kebersamaan dan kecenderungan untuk tidak menentang keinginan kelompok, karena tidak ingin terkucil dari lingkungan kelompoknya.
Akibatnya tercipta “sense of harmony” yang mementingkan toleransi dan kebiasaan menyampaikan ungkapan yang bernada “ambiguity” atau sikap
yang tidak terus terang aimai, demi untuk menjaga suasana harmoni di masyarakat.
2. Bangsa Jepang sangat percaya pada keyakinannya yang disebut amakudari
rahmat yang turun dari surga, yang merupakan kepercayaan kuat bahwa sebagai suatu bangsa mereka selamanya akan survive, berdasarkan
kekuatan dan kemampuan ekonominya, semangat kerja samanya dan sistem pemerintahan yang dimilikinya.
3. Setelah berlangsungnya restorasi atau reformasi Meiji tahun 1868 ketika
Jepang membangun diri sebagai negara modern, dan setelah berakhirnya Perang Dunia II, Jepang dalam kurun waktu yang cepat mampu
Universitas Sumatera Utara
membangun kembali negaranya dari kehancuran, untuk kemudian menjadi negara ekonomi yang kuat di dunia. Bangsa Jepang dikenal memiliki
karakter sebagai bangsa yang tekun dan pekerja keras workaholic yang diekspresikan dalam bahasa Jepang sebagai gambari. Istilah ini
sebenarnya digunakan untuk menunjukkan sikap perorangan yang memiliki semangat tinggi untuk kerja keras mencapai apa yang dicita-
citakannya atau yang diinginkan oleh kelompoknya. Pada umumnya, bangsa Jepang merasa malu apabila tidak menyibukkan diri atau bersikap
santai dalam melakukan pekerjaan apapun, dan bangsa Jepang dikenal sangat serius dan inovatif. Kemauan yang kemudian menjadi kebiasaan
untuk bekerja keras sudah menjadi naluri dalam kehidupan sehari-hari bangsa Jepang sampai sekarang, yang mungkin semula sangat dipengaruhi
oleh kondisi alam Jepang yang sering mengalami bencana dan akibat sikap rutinitas sebagai bangsa petani dan nelayan yang selalu menghadapi
tantangan alam yang keras. Tanpa kerja keras dan disiplin tinggi mereka akan menghadapi kesulitan bahkan kematian, sebagai akibat dari alam
disekitarnya yang ganas dan mengancam jiwa setiap saat. 4.
Dalam pergaulan, orang Jepang tidak mudah dengan cepat saling akrab apabila baru berkenalan, baik dalam penggunaan kata-kata ataupun sikap
tindak tanduk dan perilaku pergaulan. 5.
Dibandingkan dengan negara lain di Asia seperti Korea, Taiwan, Hongkong, Singapura, China, dan India, Jepang ternyata merupakan
bangsa yang paling cepat yang mampu menyerap teknologi barat.
Universitas Sumatera Utara
6. Bangsa Jepang tidak terbiasa dengan negoisasi cara barat, yang selalu
mengajak pihak yang sedang berunding untuk langsung berdiskusi dan melakukan perdebatan sebelum tercapai kesepakatan bersama. Orang
Jepang cenderung untuk mencari solusi dengan cara pendekatan yang lebih bersahabat melalui kompromi yang didasari suatu groundwork yang jelas
nemawashi sebelum tercapai kesepakatan akhir. 7.
Pada masa lalu di masyarakat Jepang dikenal adanya “semangat Bushido” sebagai ciri watak kesetiaan samurai membela dan berkorban diri demi
kepentingan pemimpin. Semangat bushido sangat dipengaruhi oleh falsafah yang dikembangkan oleh Buddhism aliran Zen dan Confucianism
yang berasal dari China, yang menganggap kesetiaan dan pengorbanan sebagai bagian dari kehidupan manusia untuk mencapai derajat lebih
tinggi mencapai kehidupan kekal. 8.
Prinsip senioritas senpai-kohai dalam pergaulan masyarakat Jepang sudah berkembang sejak lama. Berdasarkan sejarah bangsa Jepang, prinsip
senioritas sangat dipengaruhi oleh ajaran Confucianism yang berasal dari China, yang dalam kehidupan sehari-hari berlaku baik di lingkungan
pergaulan di masyarakat, di sekolah, maupun perusahaan swasta dan organisasi pemerintahan, bahkan ikut memegang peranan penting dalam
hubungan antar manusia dan bagi kelancaran roda organisasi, khususnya dalam hubungan hirarki vertikal.
Kalau diperhatikan secara seksama pada nomor 3 di atas, jelas terlihat bahwa salah satu karakteristik bangsa Jepang adalah hatarakisugiworkaholic.
Hatarakisugi berasal dari dua kata yaitu hataraki dan sugi. Hataraki berarti kerja
Universitas Sumatera Utara
atau pekerjaan, sedangkan sugi berarti perbuatan yang berlebihan atau melampaui batas. Jadi, hatarakisugi berarti kerja yang berlebihan atau disebut juga
workaholic .
Sayidiman Suryohadiprojo 1982:89 menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan Jepang dalam bidang industri, yang salah satu
faktornya adalah kerajinan kerja orang Jepang yang melampaui jam kerja buruh negara-negara industri lainnya. Pada tahun 1978 jumlah jam kerja buruh Jepang
adalah rata-rata 2146 jam, sedangkan di negara-negara Barat hanya 1700-1900 jam. Selain itu tingkat absensi di Jepang lebih rendah, yaitu pada tahun 1977
adalah 0,9 persen, sedangkan di Inggris 6,7 persen. Sepertinya workaholichatarakisugi sudah menjadi budaya pada
masyarakat Jepang. Edward B. Taylor dalam Sadono 2004: 102 mengatakan bahwa konvensi, adat-istiadat, kebiasaan, tradisi dapat dikategorikan sebagai
bagian dari suatu praktek-praktek kebudayaan. Selanjutnya, Aryandini dalam Sadono 2004:102 mengatakan bahwa
kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karya manusia, yaitu upaya manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan yang dimaksud budaya,
adalah hasil dari kebudayaan, yaitu ‘budidaya’ manusia dalam cipta, rasa dan karya.
Kebudayaan biasanya berkaitan erat dengan sikap dan perilaku masyarakatnya. John H. Harvey dan William P. Smith Ahmadi, 2007: 150
mengatakan sikap adalah kesiapan merespons secara konsisten dalam bentuk positif atau negatif terhadap objek atau situasi. Zimbardo dan Ebbesen
mengatakan sikap adalah suatu predisposisi keadaan mudah terpengaruh
Universitas Sumatera Utara
terhadap seseorang, ide, atau objek yang berisi komponen-komponen cognitive, affective,
dan behaviour. Kemudian Ahmadi 2007: 151 mengambil kesimpulan dari beberapa pengertian sikap, yaitu konsep yang membantu kita untuk
memahami tingkah laku. Sejumlah perbedaan tingkah laku dapat merupakan pencerminan atau manifestasi dari sikap yang sama.
1.4.2 Kerangka Teori Penelitian ini dilakukan melalui komik yang merupakan salah satu hasil
karya sastra. Menurut Wellek dalam Melani Budianto 1997:109 bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium bahasa dalam menampilkan
gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Menurut Jan Van Luxemburg 1989:23 sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial.
Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu.
Dalam wikipedia disebutkan bahwa kata workaholic sendiri berasal dari dua kata yaitu, work dan alcoholic. Work berarti kerja dan alcoholic berarti
pecandu minuman beralkohol. Istilah ini diciptakan oleh psikolog Richard I. Evans. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan “…orang tersebut orang yang
terlalu banyak bekerja hampir dapat disamakan dengan pecandu alkohol dan dapat digambarkan sebagai workaholic.
Selain itu, Paul Thorne dan Michael Johnson http:www.ipaki.comcontenthtml371214.html, penulis “Workaholism”,
mendefinisikan workaholic sebagai “seseorang yang perlu bekerja telah menjadi
Universitas Sumatera Utara
begitu berlebihan sehingga mengganggu kesehatan fisik, kebahagiaan pribadi, hubungan interpersonal atau kemampuan untuk berfungsi secara sosial.”
Dalam hal ini, penulis berpijak pada konsep etos kerja. Menurut www.posindonesia.co.id, etos kerja mengandung beberapa pengertian, yaitu:
1. Keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang, sekelompok orang atau sebuah institusi.
2. Etos kerja merupakan perilaku khas suatu komunitas atau organisasi, mencakup motivasi yang menggerakkan, karakteristik utama, spirit dasar,
pikiran dasar, kode etik, kode moral, kode perilaku, sikap-sikap, aspirasi- aspirasi, keyakinan-keyakinan, prinsip-prinsip, standar-standar.
3. Sehimpunan perilaku positif yang lahir sebagai buah keyakinan fundamental dan komitmen total pada sehimpunan paradigma kerja yang
integral.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian