Analisis Kehidupan Penari Keliling Dalam Cerpen ’’Izu No Odoriko" Karya Kawabata Yasunari

(1)

ANALISIS SOSIOLOGI KEHIDUPAN PENARI KELILING DALAM CERPEN “IZU NO ODORIKO” KARYA KAWABATA YASUNARI

KAWABATA YASUNARI NO SAKUHIN NO [ IZU NO ODORIKO] TO IU SHOUSETSU NI OKERU TABIGEININ NO SEIKASTU NO SAKAIGAKUTEKINA

BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang

DISUSUN OLEH : RISA HUDIL FADILAH

0707080O3

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

ANALISIS SOSIOLOGI KEHIDUPAN PENARI KELILING DALAM CERPEN “IZU NO ODORIKO” KARYA KAWABATA YASUNARI

KAWABATA YASUNARI NO SAKUHIN NO [ IZU NO ODORIKO] TO IU SHOUSETSU NI OKERU TABIGEININ NO SEIKASTU NO SAKAIGAKUTEKINA BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang DISUSUN OLEH :

RISA HUDIL FADILAH 0707080O3

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum

NIP.196009191988031001 NIP. 196106282006042001 Hj. Siti Muharami M,S.S,M.Hum

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

Disetujui Oleh:

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua,

NIP.19600919 198803 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum


(4)

KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat penguasa alam semesta, Allah Azza Wa Jalla karena atas berkat rahmat dan petunjuk dariNya skripsi yang sederhana ini akhirnya dapat selesai dalam kurun waktu yang telah diharapkan sebelumnya. Cukup banyak hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan skripsi ini tetapi semua itu dihadapi dengan kesabaran, kerja keras yang tinggi serta doa yang selalu dihadiratkan kepada Yang Maha Kuasa, sehingga semua dapat dijalankan dengan lancar. Namun kesulitan-kesulitan yang dihadapi diharapkan juga bisa dijadikan motivasi. Selain itu, bantuan dari berbagai pihak sangat mendukung dalam penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul ANALISIS KEHIDUPAN PENARI KELILING DALAM CERPEN ’’IZU NO ODORIKO" KARYA KAWABATA YASUNARI ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana pada jurusan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis akan mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Univeritas Sumatera Utara Medan.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen S-1 sekaligus dosen pembimbing I Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.


(5)

3. Ibuk Hj. Siti Muharami M,S.S.,M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang banyak berjasa kepada penulis atas segala perhatian, motivasi serta bimbingannya yang bertujuan agar skripsi ini menjadi sempurna

4. Seluruh dosen Sastra Jepang USU, yang telah memberikan pengajaran kepada penulis hingga saat ini

5. Ucapan terima kasih yang sebesar-besar untuk Orang Tua yang sangat saya cintai, ibunda saya Atik Sri Lestari yang sangat aku sayangi dan ayahanda saya M. Rivai, untuk semua kasih sayang, kesabaran, do’a, kebahagiaan dan keberhasilan untuk anaknya serta dukungan materil yang tak terhingga untuk pendidikan anak-anaknya. Semoga Allah membalas kebaikan mereka.

6. Dan ucapan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam kepada kakak saya tersayang Risti Astutik, Risma Tunsa’diah, beserta abang saya M. Ridwan Arasid, yang banyak memberikan dukungan moril dan materil. Semoga Allah memberikan rezeki yang melimpah atas kebaikan mereka.

7. Kepada adik-adik saya, Riki, Rifi, Ridwan , Risman, Ririn, Riatul hamidi, Rima serta keponakan saya yang lucu, Aji, Zaki. Yang telah memberi semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Kepada Teman saya, Ade Armansyah, Medina, Ratna, Siti, Dini, Rahma, bang joko, Aji, Wahyu yang telah berbesar hati membantu dan memberikan motivasi dan dukungan hingga selesainya skripsi ini.

9. Kepada adek kos saya Liza, Febi, Santi yang memberikan motivasi dan dukungan hingga selesainya skripsi ini.

10.Serta kepada teman-teman angakatan ’07 yang telah membatu penulis dalam proses pengerjaan skripsi ini.


(6)

Penulis sadar skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun. Akhir kata Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi para pembaca

Wassalam

Medan, 12 januari 2012

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumusan Masalah...5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan...7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori...7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian...12

1.6 Metode penelitian...13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP CERPEN “IZU NO ODORIKO”, SEJARAH PENARI KELILING DAN SETTING CERITA 2.1 Sejarah Penari Keliling ………..15

2.2 Eksistensi Penari Keliling Pada Zaman Taisho………19

2.3 Status Penari Keliling di Jepang Pada Paman Taisho………....21

2.4 Setting Cerpen Izu No Odoriko………..23

2.5 Biografi Pengarang……….29


(8)

BAB lll ANALISIS SOSIOLOGI KEHIDUPAN SOSIAL PENARI KELILING DALAM CERPEN “IZU NO ODORIKO” KARYA KAWABATA YASUNARI.

3.1 Sinopsis Cerita ……….39 3.2 Analisis Kehidupan Sosial Penari Keliling Dalam Cerpen………..46

Izu NoOdoriko

3.2.1 Kehidupan Penari Keliling Dalam Lingkungan Keluarga……....46 3.2.2 Kehidupan Penari Keliling Dalam Komunitas Penari Keliling….50 3.2.3 Kehidupan Penari Keliling Dalam Lingkungan Masyarakat …..52

BAB lV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan ………58 4.2 Saran ………..59

DAFTAR PUSTAKA


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Jepang adalah salah satu negara maju yang telah melahirkan sastrawan sastrawan yang karya-karya sastranya telah dibaca dan di terjemahkan kedalam banyak bahasa. Seperti halnya kesusastraan lisan yang disebut dengan koosho bungaku dan kesusastraan tulisan yang disebut dengan kisai bungaku.

Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastran, standar kesusastraan yang dimaksud adalah pengunaan kata-kata yang indah, gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik Zainudin (1992:99), sedangkan menurut Rene Wellek dalam Badrun (1983:16) bahwa istilah sastra hendaknya dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang dikemukakan dalam karya sastra bukanlah pengalaman jiwa atau peristiwa yang sesungguhnya tetapi merupakan sesuatu yang dibayangkan saja.

Pada umumnya karya sastra memiliki karya yang bersifat fiksi dan non fiksi. Karya sastra fiksi berupa novel, cerpen, roman, essei, dan cerita rakyat, sedangkan karya sastra non fiksi meliputi puisi, drama dan lagu.

Ajip Rosidi dalam Tarigan (1986:176) menyatakan bahwa cerpen merupakan cerita yang pendek dan merupakan suatu kebulatan ide. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa didalam sebuah cerita pendek terdapat suatu kesatuan yang utuh yang mampu menampilkan cerita yang baik dan menarik dengan isi cerita yang pendek. Sedangkan cerpen dalam bahasa Jepang disebut dengan tanpen shousetsu. Tanpen shousetsu secara garis besar adalah cerpen yang menggambarkan kehidupan sehari-hari didalam masyarakat,


(10)

meskipun kejadian yang tidak nyata, tetapi dapat dipahami dengan prinsip yang sama dengan kehidupan sehari-hari yang lebih menitikberatkan pada tokoh manusia (peran) didalam karangan dari pada kejadianya.

Pada umumnya setiap karya sastra memiliki dua unsur yang berpengaruh dalam membangun karya sastra tersebut, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Yang dimaksud unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membagun karya sastra itu sendiri atau dengan kata lain unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Unsur-unsur yang dimaksud misalnya tema, plot, latar, penokohan, sudut pandang pencerita, bahasa atau kaya bahasa dan lain-lain.

Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang ada diluar karya sastra itu, tapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra tersebut atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian didalamnya. Unsur-unsur ekstrinsik tersebut adalah kebudayan, sosial, spikologi, ekonomi, politik, agama, dan lain-lain yang dapat mempengaruhi pengarang dalam karya yang ditulisnya.

Salah satu sastrawan Jepang yang sangat terkenal yaitu Kawabata Yasunari yang telah banyak memberi sumbangannya dalam dunia sastra yang berupa karya sastra fiksi. Karya sastra dari Kawabata Yasunari banyak dikagumi oleh pembaca karya sastra seluruh dunia. Salah satu hasil karya sastra fiksi Kawabata Yasunari adalah cerita pendek (cerpen). Banyak Cerpen yang telah dihasilkan Kawabata Yasunari salah satunya adalah cerpen yang berjudul Izu No Odoriko.

Cerpen Izu No Odoriko yang di tulis Kawabata Yasunari merupakan cerpen yang melukiskan gambaran dan cerminan sosial mengenai kehidupan penari Jepang zaman Taisho. Profesi penari keliling sudah ada sejak zaman Edo. Pada zaman Edo Tokugawa memberlakukan sebuah sistem hirarki sosial yang berdasarkan konfusianisme yang di kenal


(11)

dengan noo-koo-shoo, yaitu sistem yang memerintah dan yang diperintah. Dari istilah shi-noo-koo-shoo dapat dilihat pembagian kelas dalam hirarki sosial kedudukan yang tinggi dan kedudukan rendah. Pembagian serta susunan kelas ini berdasarkan fungsi dari setiap kelas dalam masyarakat, yaitu:

(a) Shi : Bushi ‘samurai’

(b) Noo : Noumin ‘petani’

(c) Koo : kousakunin ‘pengrajin’

(d) Shoo: Shounin ‘pedagang’

Kemudian pembagian kelas ini melahirkan berbagai diskriminasi sosial, seperti domisili, perkawinan, pergaulan, makanan, dan cara bahasa. Bahkan deskriminasi sosial yang terjadi pada zaman Edo berlangsung turun temurun sampai awal zaman Meiji.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan shounin menjadi status terendah dalam masyarakat. Pertama, shounin bukanlah noumin yang bertempat tinggal menetap dan mempunyai lahan pertanian. Selanjutnya shounin adalah golongan pedagang, orang-orang yang hidupnya nomaden dan mengembara yang melakukan pertunjukan dengan berkeliling kampung untuk mencari nafkah dengan cara melakukan pertunjukan.

Bagi masyarakat yang bertempat tinggal tidak menetap diistilahkan dengan sebutan geinin atau tabigeinin (selanjutnya penulis menyebut dengan penari keliling). Penari keliling juga termasuk ke dalam golongan shounin, karena mereka hidupnya nomaden yang hidup berpindah-pindah, maka mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan yang akrab. Oleh sebab itu penari keliling tidak mendapat kepercayaan dari warga yang tinggal menetap, dan diperlakukan sebagai gairaijin (pendatang dari luar), yosomono (orang luar), ihojin (orang yang tak dikenal) ataupun tabibito (pengembara). Keberadaan penari keliling dalam


(12)

masyarakat Jepang dihina dan dibedakan oleh penduduk yang memiliki kekerabatan dan tempat tinggal menetap merupakan sejenis profesi pelipur lara yang berjalan keluar masuk kampung sambil menghibur penduduk (http://studijepang.blogspot .com/2011/09/

Keberadaan penari keliling dalam masyarakat Jepang pada zaman Taisho tercermin lewat cerpen Izu No Odoriko karya Kawabata Yasunari, yang menceritakan tentang kehidupan penari keliling. Hubungan kelompok penari yang berpindah-pindah tempat dengan masyarakat yang tinggal menetap kurang harmonis karena ada yang menerima dan ada pula yang menolak keberadaan mereka. Oleh sebab itu dalam setiap perjalanan penari keliling ini tidak selalu mulus karena tidak mendapat kepercayaan dari warga yang tinggal menetap.

). Dari pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa penari keliling adalah sekelompok masyarakat yang mengadakan pertunjukan secara berpindah-pindah atau nomaden, dan melakukan pertunjukan keliling kampung untuk mempertahankan hidupnya .

Walaupun kelompok-kelopok penari keliling ini di dalam masyarakat tidak begitu dihargai keberadannya, hubungan sesama kelompok penari keliling tidak ada memiliki rasa persaingan, malah sesama kelompok penari keliling saling harga-menghargai dan saling mendukung satu sama lain.

Kehidupan penari keliling dalam keluarganya sangatlah harmonis, kelompok penari keliling terdiri dari satu keluarga yaitu ayah, ibu, anak, atau orang yang masih memiliki hubungan saudara. Hal ini yang membuat penulis tertarik untuk menganalisis kehidupan penari keliling dalam cerpen Izu No Odoriko karya Kawabata Yasunari.

1.2 Perumusan Masalah

Novel ini merupakan cerminan dari realita hidup penari-penari keliling dalam masyarakat Jepang, yang hidupnya selalu berpindah-pindah, mengembara dan melakukan


(13)

pertunjukan dengan berkeliling kampung demi mencari nafkah untuk mempertahankan hidupnya. Meskipun penari-penari tersebut didalam lingkungannya senantiasa diremehkan dan dikecilkan, dengan kata lain hidupnya sering di diskriminasikan dari masyarakat sekitarnya. Karena mereka hidup nomaden yang selalu berpidah-pidah sehingga tidak memiliki kekerabatan yang akrab.

Sedangkan hubungan sesama kelompok penari keliling tidak begitu ada perbedaan karena berasal dari kelas atau golongan yang sama. Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk saling menghina sesama profesi. Kelompok penari keliling yang pada awalnya berasal dari kelas pedagang yang beralih profesi menjadi penari keliling karena tidak memiliki modal lagi untuk melanjutkan usaha.

Kelompok penari keliling merupakan satu keluarga pedagang yang kurang mampu dalam segi ekonomi, keanggotaan dari kelompok penari terdiri 4 atau 5 orang. Kelompok penari keliling berasal dari keluarga pedagang yang miskin. Walaupun mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu tapi setiap mereka saling mendukung, saling memberi motivasi.

Hubungan penari keliling dengan keluarganya sangat harmonis, walaupun mereka selalu kekurangan dari segi apapun dan dikucilkan oleh masyarakat tetapi mereka saling menyayangi, bertanggung jawab, saling mendukung, dan saling bekerjasama dalam setiap melakukan pertunjukan.

Sesuai dengan judul proposal, yaitu “Analisis Sosiologi Kehidupan Penari Keliling Dalam Cerpen Izu No Odoriko Karya Kawabata Yasunari” maka penulis akan membahas mengenai kondisi sosial penari-penari keliling dalam kehidupan sehari-harinya melalui teks-teks yang terdapat dalam cerpen.

Berdasarkan hal tersebut, permasalahan penelitian ini mencoba menjawab masalah yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:


(14)

2. Bagaimana kondisi sosial kehidupan panari-penari keliling yang terungkap dalam cerpen “Izu No Odoriko”

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan masalah. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak terlalu luas.

Pada analisis ini penulis hanya membatasi ruang lingkup pembahasan yang difokuskan pada masalah kehidupan sosial penari-penari keliling dalam keluarga, dalam komunitasnya, juga dalam lingkungan masyarakat yang diungkapkan pada cerpen “Izu No Odoriko”. Pembahasan selanjutnya lebih di arahkan kepada penjelasan bagaimana penari keliling hidup dilingkungan keluarganya, hidup didalam komunitasnya dan didalam masyarakat.

Alasan peneliti membatasi ruang lingkup pembahasan yang di fokuskan pada masalah kehidupan penari-penari keliling dalam lingkungan, keluarga komunitas, masyarakat, karena didalam cerpen “Izu No Odoriko” lebih memaparkan atau menonjolkan tentang kehidupan penari keliling dalam keluarga, komunitas, dan masyarakatnya.

Untuk mendukung data-data dan pembahasan yang akurat, maka penulis akan menjelaskan juga mengenai sejarah penari keliling, eksistensi penari keliling, status penari keliling di Jepang pada zaman Taisho, setting cerpen Izu No Odoriko, biografi pengarang dan sosiologis sastra.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori


(15)

Cerita pendek adalah cerita berbentuk prosa yang relatif pendek, karena genre ini hanya mempunyai efek tunggal, karakter, plot dan setting yang terbatas, tidak beragam dan tidak kompleks. Dengan kata lain cerpen memiliki karakter plot dan latar yang terbatas Saini (1988:30). Proses penulisan sebuah cerpen cenderung lebih mudah dibanding penulisan sebuah novel. Genre ini lebih banyak dimanfaatkan oleh para penulis untuk menyampaikan ide dan gagasan mereka kepada khalayak. Sifat cerpen sangat elastis dan cepat mengakomodasi persoalan yang sedang berkembang di masyarakat. Dengan posisinya yang seperti itu, cerpen bisa dijadikan gambaran dan cermin sosial mengenai kondisi sosial atau budaya suatu tempat saat cerpen itu ditulis Nurgiyantoro (2005:4).

Sosiologi sastra menurut Ratna (2003:2) yaitu pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung didalamnya. Sosiologi sastra mewakili keseimbangan antara kedua komponen, yaitu sastra dan masyarakat. Oleh karenanya, analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsi-fungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.

Laurenson dalam Fananie (2001:133) berpendapat bahwa terdapat tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu;

1. Perpektif yang memandang sastra sebagai dokumen sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut di ciptakan. 2. Perpektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya.

3. Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial budaya atau peristiwa sejarah.

Unsur-unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra, khususnya prosa yaitu tema, penokohan, plot, setting, dan lain sebagainya. Tokoh dan penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Penikmat sastra secara bebas menafsirkan watak, perwatakan,dan karakter dan merujuk pada sifat dan sikap para tokoh.


(16)

Tokoh cerita menempati posisi strartegis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral atau sesuatu yang ingin di sampaikan kepada pembaca. Tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiantoro (1995:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan pembaca.

Tokoh cerita dalam suatu karya sastra naratif merupakan hasil karya pengarang yang murni yang berasal dari alam pikirannya, Boulton dalam Aminuddin (2000:79) mengungkapkan, bahwa cara pengarang mengambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat berbagai macam, mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya hidup dalam mimpi, pelaku yang memiliki semangat dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia.

Boulton dalam Aminuddin (2000:37) juga mengungkapkan, bahwa cipta sastra selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberi kepuasan batin pembacanya juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan manusia. Karya sastra adalah karya seni seperti seni suara, seni lukis, seni pahat, dan lain-lain. Yang membedakan dengan seni adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.

Disamping itu bahasa itu sendiri adalah suatu sistem komunikasi yang syarat dengan pesan kebudayaan. Kehidupan manusia tidak terlepas dari kebudayan yang atas dasar bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah sistem tanda, oleh karena itu bahasa merupakan sistem yang terpenting dalam manusia. Ratna (2003:111)


(17)

Penelitian ini dilakukan melalui cerpen sebuah kaya sastra. Menurut Rene wellek dalam Nababan (2008:9) bahwa sastra adalah gambaran lembaga sosial yang memakai medium bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan itu sendiri adalah kenyatan sosial.

Dalam sebuah penelitian diperlukan suatu teori pendekatan yang menjadi suatu acuan bagi penulis’ dalam menganalisis karya sastra tersebut. oleh karena itu penulis dalam membahas masalah pokok skripsi ini, menggunakan pendekatan sosiologi dan pendekatan semiotik.

Roucek Warren dalam Soekanto (2000:20) mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang pempelajari hubungan antara manusia dan kelompok-kelompok. Dan objek sosiologi adalah masyarakat yang dilihat dari hubungan antara manusia dan proses itu timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.

Adapun pembagi tiga klafikasi wilayah sosiologis yaitu;

1) Sosiologis pengarang yakni mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, lain-lain yang menyangkut pengarang

2) Sosiologis karya sastra yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan dan amanat yang akan di sampaikan

3) Sosiologis sastra yakni yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.

Menurut Nyoman Kutha (2004:60) dasar filosofis pendekatan sosiologis sastra adalah andanya hubungan hakiki antara karya sastra degan masyarakat. Hubungan-hubungan yang di sebabkan oleh ; (a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang (b) pengarang itu sendiri anggota masyarakat, dan (c) pengarang memamfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) hasil karya itu dimamfaatkan lagi oleh masyarakat. Teori sosiologis


(18)

sastra bertolak dari pandangan bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat. Telaah sastra yang terfokus pada segi-segi sosial kemasyarakatan yang terdapat dalam suatu karya sastra dan mempersoalkan segi-segi yang menunjang pembinaan dan peningkatan pengembangan dalam tata cara kehidupan.

Menurut pendekatan sosiologis sastra karya sastra terlihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan, kenyataan disini mengadung arti cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada diluar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Sastra menyajikan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri dari sebagian besar terdiri dari kenyatan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencangkup hubungan antara masyarakat dengan orang-orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi didalam batin seseorang. Dari teori sosiologi dalam penelitian ini penulis akan mencoba menganalisis kondisi kehidupan sosial penari-penari keliling di Jepang, yang dilihat dari tanda-tanda yang mengambarkanya didalam cerpen tersebut dengan menggunakan teori semiotik.

Hoed dalam Nurgiantoro (1995:40) berpendapat bahwa semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah suatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Tanda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerakan mata, mulut, bentuk tulisan, patung, film, tari, musik dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita. Atau menurut Eco dalam Faruk (1999:44) secara general semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-perisiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda.

Teori Sausure dalam Nurgiantoro (1995:39) berpendapat bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Dalam bahasa diinterpretasikan sebagai makna terdapat nilai sosiologis yang bertitik pangkal dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.


(19)

Berdasarkan teori diatas, maka penulis menginterpretasikan sikap dan kondisi penari keliling di Jepang dengan pendekatan sosiologis dan pendekatan semiotik dalam cerpen “Izu No Odoriko” dengan melihat dari cuplikan-cuplikan teks yang ada.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang sebagaimana telah di kemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan tanggapan masyarakat Jepang terhadap penari-penari keliling.

2. Untuk mendeskripsikan kehidupan sosial penari keliling di Jepang yang tercemin dalam cerpen Izu No Odoriko

b. Manfaat penelitian

Adapun harapan penulis mengenai manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi peneliti dan pembaca diharapkan dapat menambah informasi mengenai kehidupan penari-penari keliling di Jepang.

2. Dapat dijadikan referensi bagi pembaca apabila ingin melakukan penelitian dengan topik yang sejenis.

1.6 Metode penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitiaan, sangatlah dibutuhkan metode dalam pengerjaan. Metode yang digunakan dalam sebuah penelitian akan mempermudah peneliti dalam melakukan penelitiannya. Metode juga digunakan sebagai penunjang dalam sebuah penelitian. Sehingga dengan adanya metode dalam sebuah penelitian maka akan dapat memperlancar proses penelitian tersebut.


(20)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode deskriptif ini digunakan untuk mengukur dengan cermat fenomena yang terjadi atau berlangsung. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang berdasarkan atau bersifat deskriptif dapat memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Metode deskriptif ini juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data atau bahan yang telah dikumpulkan sebelumnya dalam proses penelitian tersebut.

Metode deskriptif sering juga disebut dengan metode penulisan studi dokumenter atau yang biasa disebut dengan studi kepustakaan (Library Research). Menurut Nawawi (1991:133), Studi kepustakaan merupakan suatu metode penulisan penelitian yang mengumpulkan data dengan atau melalui peninggalan tertulis, berupa arsip-arsip, termaksud buku-buku tentang pendapat, teori, dalil (hukum) dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah pencarian dan pengumpulan data yang diperlukan dalam proses penulisan penelitian tersebut. Dengan kata lain studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan tema penulisan. Data yang diperoleh dari referensi tersebut akan dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran.


(21)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP CERPEN “IZU NO ODORIKO”, SEJARAH PENARI KELILING DAN SETTING CERITA

2.1. Sejarah Penari Keliling

Penari keliling mulai ada semenjak zaman Edo dan terus berkembang hingga zaman Meiji dan masih tetap bertahan pada zaman Taisho.

Zaman Edo (1600-1868) merupakan zaman ketika keluarga Tokugawa berkuasa. Sebelum Tokugawa, shogun yang memerintah adalah Toyomi Hideyoshi. Pada masa pemerintahannya, ia bisa menguasai dan menyatukan Jepang. Kemudian Shogun Hideyoshi menunjuk lima orang tairo atau menteri utama untuk memimpin seluruh negeri. Salah satu dari kelima tairo yang ditunjuk yaitu Tokugawa Ieyasu. Tokugawa Ieyasu memanfaatkan kepercayaan Hideyoshi dengan memupuskan harapan tersebut dan melakukan pemberontakan untuk perebutan kekuasaan. Tokugawa Ieyasu kemudian berhasil berkuasa secara turun temurun selama kurang lebih 250 tahun dan untuk memperkuat daerah kekuasaan, Tokugawa Ieyasu mengeluarkan kebijakan – kebijakan, salah satunya adalah pembentukan stratifikasi sosial masyarakat.

Stratifikasi sosial pada zaman Edo dikelompokkan sesuai dengan status sosial masyarakat masing-masing yang disebut dengan shi-noo-koo-shoo (1) Shi : Bushi–samurai, (2) Noo : Noumin-petani, (3) Koo : Kousakunin–pengrajin, (4) Shoo : Shounin–pedagang.


(22)

Tujuan dari stratifikasi sosial ini yaitu untuk memperkokoh kekuasaan Tokugawa di kalangan rakyat biasa, sampai terjadinya modernisasi pada zaman Meiji.

Pada masa Edo, saat kondisi politik relatif stabil, perdagangan Jepang menjadi sangat maju. Pedagang yang tinggal di perkotaan hidup di sekitar benteng Daimyo, masing-masing memiliki batasan wilayah. Pada saat itu banyak para pedagang yang diangkat menjadi samurai karena adopsi atau pernikahan antar kelas pedagang dan samurai. Pernikahan seperti ini sebagian besar dilatarbelakangi oleh permasalahan hutang. Hutang para samurai kepada para pedagang yang dibayar dengan pernikahan dan pengangkatan kelas bagi pedagang menjadi kelas samurai. Pedagang yang kaya berpergian selalu menggunakan kago (sejenis kereta berbentuk segi empat yang ditarik oleh manusia), sedangkan pedagang miskin hanya berjalan kaki. Setiap pedagang yang mau masuk ke Edo harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan Edo merupakan ibukota Jepang dan hanya orang-orang yang memiliki kelas tertentu yang bisa masuk dan tinggal di ibukota seperti shogun dan samurai. Akan tetapi, pedagang kaya selalu menjanjikan banyak imbalan untuk mendapatkan kenyamanan di mana pun mereka berada. Pedagang kaya dapat masuk ke ibukota untuk menjual dagangannya.

Umumnya pedagang kaya mempunyai dana untuk menonton pertunjukan seperti kabuki. Sedangkan pedagang miskin yang tidak memiliki dana untuk menonton pertunjukan kabuki, hanya menikmati hiburan yang dimainkan oleh pedagang yang lainnya. Pedagang yang melakukan pertunjukan hiburan tersebut adalah pedagang yang kehabisan dana untuk berdagang keliling. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan penghasilan kembali, mereka melakukan pertunjukan keliling seperti memainkan alat musik, menampilkan tarian.

Sebagian besar seni, sastra, musik dan drama dari periode Edo dihubungkan dengan pedagang. Pelaku seni ini hampir semua berasal dari pedagang, tetapi para penikmat pertunjukan mereka tidak dibatasi pada kelas mereka sendiri, tetapi juga kelas shogun,


(23)

samurai dan petani. Kehidupan pedagang yang seperti itu disebut Tabigeinin atau seniman keliling, Kondansha (1983:300-304) .

Zaman Meiji atau periode Meiji, berlangsung selama 45 tahun Kaisar Meiji sebagai kaisarnya. Menurut kalender Gregorian, dari 23 Oktober 1868 hingga 30 Juli 1912, sesudah zaman Keio (Keiou jidai) dan sebelum zaman Taisho

Selama masa ini, Jepang memulai modernisasi secara besar-besaran dan menunjukkan kekuatannya pada dunia. Nama zaman ini berarti ‘aturan pencerahan’. Pemerintah menyatakan shiminbyodo (persamaan empat strata sosial), yaitu: bangsawan feodal menjadi kazokui, kaum samurai menjadi shizoku, petani, tukang, dan pedagang menjadi heinin. Berdasarkan hal tersebut, masyarakat biasa pun berhak memiliki nama keluarga, pekerjaan, ataupun tempat tinggal dengan bebas.

Zaman Meiji disebut juga zaman Jepang Modern (1862- 1912). Pada zaman ini dimulainya pekembangan dari berbagai segi dan bidang seperti bidang budaya, pemikiran, politik, ekonomi, masyarakat, seni, ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemerintah memusatkan perkembangan pada bidang tekhnologi, sedangkan penari keliling tidak terlalu diperhatikan. Pada tahun 1872 (Meiji 5), pemerintah menetapkan sistem pendidikan sehingga masyarakat yang memiliki pekerjaan dan status macam apapun dapat mengikuti pendidikan. Selain itu, pemerintah Meiji pun mengirimkan mahasiswa-mahasiswanya ke negara-negara Eropa dan Amerika dan mengundang ahli-ahli teknik dari negara-negara Barat. Kebudayan Barat yang maupun diadopsi oleh pemerintah. Di bidang kehidupan sehari-hari, diberlakukan kalender solar Gregorian. Kebudayaan di kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang paling inovatif di dunia, menghasilkan kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, puisi Haiku, mode pakaian, dan kebanyakan terikat dengan geisha atau perempuan yang hadir di setiap kota tempat hiburan.


(24)

Keberadaan dari penari keliling pada zaman Meiji masih tetap statusnya di tengah masyarakat. Meskipun muncul kebudayaan baru, penari keliling masih bertahan dengan keberadaannya. Dalam pertunjukannya, penari keliing masih tetap mengenakan pakaian tradisional Jepang dengan dandanan wajah dan rambut shimada. keanggotaan penari keliling tidak terbatas kepada golongan shounin saja tapi kepada seluruh masyarakat yang memiliki jiwa seni dapat menjadi penari keliling (http:www.studyjepang.worldpress.com).

Zaman Taisho atau Era Taisho, dimulai sejak 30 Juli 1912 hingga 25 Desember 1926, bertepatan dengan mulai berkuasanya Kaisar Taisho. Kesehatan kaisar baru ini sangatlah lemah, sehingga mendorong pergeseran kekuatan politik dari kelompok negarawan tua (atau genrou) partai-partai demokratis. Zaman ini dianggap sebagai awal berdirinya gerakan liberal bernama Demokrasi Taisho. Pengaruh kebudayaan asing yang dirasakan pada zaman Meiji berlanjut. Kobayashi Kiyochika yang mengadopsi gaya melukis Barat di samping melukis ukiyo-e. Okakura Kakuzo memiliki minat terhadap lukisan tradisional Jepang. Mori Ogai dan Natsume Soseki melanjutkan sekolah di Barat dan memperkenalkan lebih banyak pandangan modren mengenai kemanusiaa Pada zaman Taisho bagi masyarakat modernitas menjadi pujaan. Modernitas yang dimaksud adalah perilaku dan ide yang dikaitkan dengan Barat. Berbeda dengan kota kecil terutama di pedalaman kehidupan berjalan seperti masa lalu tidak ada pembaharuan begitu juga dengan pandangan masyarakat terhadap penari keliling meskipun stratifikasi sudah dihapuskan. Kegiatan terpusat di Tokyo dan kota besar lainnya terlihat dari bentuk bangunan dan desain pakaian yang mengarah ke Barat

Sebagian besar perkembangan dalam kesusastraan dan seni dapat dikatakan spontan yang merupakan respons orang pada perubahan keadaan. Daya tarik kesusastraan dan seni meningkat seiring dengan banyaknya media-media baru yang ditemukan seperti majalah


(25)

bergambar, radio, televisi akibatnya budaya berubah menjadi gaya Barat. Penari keliling termasuk kesenian asli Jepang yang masih bertahan hingga zaman Taisho yang masih memegang kebudayaan Jepang. Pakaian penari keliling masih menggunakan kimono tradisional dan dalam penampilannya mereka menggunakan alat musik taiko dan shamisen.

2.2 Eksistensi Penari Keliling Pada Zaman Taisho

Berdasarkan kemunculannya pada zaman Edo, penari keliling yang berasal dari kelas pedagang, melakukan perjalanannya sambil melakukan hiburan karena kehabisan dana. Hal tersebut dilakukan oleh penari keliling sampai zaman Meiji dan zaman Taisho. Penari keliling hidupnya berkeliling dari satu kota ke kota lainnya untuk mencari nafkah sama halnya dengan pemain sandiwara kabuki yang mengadakan pertunjukan keliling, tetapi pertunjukan kabuki dilakukan secara profesional, teratur dan tertata rapi dalam setiap penampilan. Keberadaan penari keliling yang berkeliling ke daerah-daerah menyebabkan dalam kehidupan mereka tidak memiliki hubungan kekerabatan yang akrab.

Kehadiran penari keliling tidak diharapkan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat yang menetap tidak mengakui keberadaan penari keliling yang bekerja secara nomaden. Kelompok penari tidak tinggal menetap di suatu tempat selama mengadakan pertunjukan. Para penari keliling tetap melakukan pertunjukan di setiap kampung yang mereka datangi dengan tujuan mencari nafkah untuk mempertahankan kehidupan mereka

Kelompok penari keliling biasanya merupakan satu keluarga pedagang yang tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan keluarga. Keanggota dari kelompok penari keliling terdiri dari 4 sampai 5 orang. Dari anggota kelompok penari keliling ada yang memiliki hubungan keluarga yang berasal dari keluarga pedagang yang miskin. Banyak juga di dalam satu kelompok penari keliling yang bukan dari satu keluarga. Keanggotaan penari yang bukan dari


(26)

satu keluarga dikarenakan dalam keluarga mereka tidak mempunyai anggota yang pintar dan menarik untuk melakukan pertunjukan. Kelompok penari menyewa seseorang yang menarik untuk bersama dengan mereka melakukan pertunjukan keliling. Dalam keanggotaan penari keliling terdapat juga anggota yang bukan dari keturunan pedagang. Masyarakat yang memiliki darah seni yang berminat bergabung untuk mengadakan pertunjukan

Pertunjukan yang mereka lakukan adalah berupa tarian dan memainkan alat musik seperti taiko dan shamisen. Tarian dimainkan oleh penari-penari perempuan yang masih muda. Pertunjukan dilakukan di rumah-rumah teh atau ryoriya.

Di setiap kampung yang mereka lewati kelompok penari tersebut selalu melakukan pertunjukan. Para penari dalam kelompok seniman keliling masih muda dan didandani semenarik dan secantik mungkin untuk menarik perhatian para pelanggan. Model rambut yang dipakai pada masa itu adalah shimadamage yang terkenal pada abad 17. Kepandaian penari dalam melakukan tarian dan alat musik dipelajari dari penari yang lebih senior dalam suatu kelompok kesenian. Dari cara berpakaian, dalam melakukan pertunjukan penari menggunakan pakaian tradisional Jepang yang dikenal dengan yukata dengan riasan rambut, Kondansha (1983:83)

2.3 Status Penari Keliling Pada Zaman Taisho

Penari keliling muncul pada zaman Edo karena adanya stratifikasi sosial yang dikenal dengan shinokosho yang dibentuk pada pemerintahan Tokugawa. Penari keliling termasuk ke dalam golongan Shounin. Penari keliling masih tetap ada sampai zaman berikutnya, meskipun pada zaman Meiji pembagian kelas sudah ditiadakan tapi tingkatan sosial penari keliling masih dianggap rendah. Begitu juga pada zaman Taisho.


(27)

Telah disinggung sebelumnya bahwa penari keliling merupakan sejenis profesi pelipur lara yang berjalan keluar masuk kampung sambil menghibur penduduk, berikut ada beberapa pengertian dari geinin (orang seni) /tabigeinin yaitu:

1.Geinin adalah orang yang pandai atau ulung dalam melakukan pertunjukan dan menghibur. Kondansha (1983:655).

2. Penghibur yang berkerja mencari nafkah dengan berjalan keliling daerah. Kokugojiten (1976:628)

3. Tabigenin juga berarti penari keliling dengan kerahmatan budha dimulai dari perjalanan para pemain sandiwara kabuki yang mencari nafkah mengelilingi tanah air Jepang. Daijiten (1970:1338).

Jadi penari keliling adalah sekelompok masyarakat yang mata pencahariannya menghibur masyarakat dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kampung ke kampung lain. Penari keliling berawal dari golongan pedagang miskin yang beralih profesi menjadi pelaku kesenian, karena hidup sebagai pedagang miskin tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Kondansha (1983:300-304)

Tabigeinin atau penari keliling adalah seniman yang bekerja dengan menunjukan keahliannya dalam kesenian. Mereka berasal dari satu kampung dan hidup secara berpindah-pindah dikarenakan pekerjaan penari yang berkeliling untuk mempertunjukan keahlian mereka untuk mendapatkan uang. Kesenian yang mereka dapatkan didapat secara belajar baik ke sesama anggota penari atau kepada sesama kelompok penari. Dalam setiap perpindahan dari kampung ke kampung perjalanan penari tidak mulus karena tidak semua kampung yang dapat menerima keberadaan penari keliling.

Hubungan kelompok penari keliling tidak ada perbedaan karena berasal dari kelas atau golongan yang sama pada zaman Edo. Kelompok penari keliling pada awalnya berasal dari


(28)

kelas pedagang yang beralih profesi menjadi penari keliling karena tidak memiliki modal lagi untuk melanjutkan usaha.

Hubungan penari keliling dengan keluarganya menunjukan adanya kasih sayang dan kerjasama yang baik, dalam setiap melakukan pertunjukan. Meskipun penampilan mereka tidak begitu diminati oleh masyarakat tapi mereka selalu berusaha untuk menapilkan pertunjukan yang baik kepada masyarakat. Dengan cara menandani penari keliling agar wajahnya terlihat anggun. Mereka berusaha memberikan tampilan yang indah untuk menunjang penampilan mereka yang sederhana.

2.4 Setting Cerpen Izu No Odoriko

Tiap karya sastra fiksi mempunyai unsur-unsur yang mendukung karya fiksi tersebut, baik unsur dari dalam sastra itu sendiri (unsur intrinsik) ataupun unsur dari luar (unsur ekstrinsik) karya sastra itu yang secara tidak langsung mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra.

Cerpen Izu No Odoriko sebagai karya sastra fiksi juga memiliki unsur-unsur tersebut. Untuk melihat unsur-unsur yang turut serta yang membangun cerpen Izu No Odoriko akan dibicarakan beberapa unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang terdapat didalam cerpen Izu No Odoriko. Beberapa unsur intrinsik yang akan di bicarakan adalah : tema, plot/alur cerita, tokoh dan setting. Sedangkan unsur ekstrinsiknya adalah biografi pengarang.

a. Tema

Setiap cerita mempunyai dasar. Penulis melukiskan tokoh dengan dasar atau tema yang telah ditentukan, mengingat kenyatan tersebut maka tema menduduki tempat utama dalam cerita M.S. Hutagalung dalam Badrun (1995:85)


(29)

Istilah tema menurut Scharbach dalam Aminuddin (2000:91) berasal dari bahasa latin yang berarti tempat untuk meletakan suatu perangkat, disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakanya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan membaca umumnya terbalik. Seorang pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum dilaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur signifikan yang menjadi media pemapar tema tersebut.

Lebih lanjut Brooks dalam Aminuddin (2000:92) mengungkapkan bahwa dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pegarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Tema dalam hal ini tidaklah berada diluar cerita, tetapi inklusif didalamnya, akan tetapi, keberadaan tema meskipun inklusif didalam cerita tidaklah terumus dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar dibalik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemapar prosa fiksi. Dalam upaya pemahaman tema, pembaca perlu memperhatikan beberapa langkah berikut secara cermat.

1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca.

2) Memahami penokohan dan perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca. 3) Memahami suatu peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi

yang dibaca.

4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.

5) Menghubungkan pokok-pokok pikiran yang satu dengan lainnya yang disimpulkan dari satuan-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.


(30)

7) Mengidentifikasi tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran yang ditampilkanya.

8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkanya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan pengarangnya. Sesuai dengan judul ”Izu No Odoriko” yang menceritakan tentang kehidupan sosial penari keliling dalam masyarakat Jepang, disetiap perjalananya tidak selalu mulus karena tidak mendapat kepercayaan dari warga yang tinggal menetap. Kondisi kehidupan sosial penari keliling inilah yang menjadi fokus utama cerita dalam cerpen ”Izu No Odoriko” karya Kawabata Yasunari.

b. Alur (plot)

Alur atau plot ialah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusun satu persatu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir Aminuddin (2000:89). Alur atau plot merupakan suatu rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun yang menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur itu merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Menurut Aminuddin (2000:90) pada umumnya alur pada cerita prosa fiksi disusun berdasarkan urutan sebagai berikut:

1. Perkenalan, pada bagian ini pengarang menggambarkan situasi dan memperkenalkan tokoh-tokohnya.

2. Pertikaian, pada bagian ini pengarang mulai menampilkan pertikaian yang dialami sang tokoh.

3. Perumitan, pada bagian ini pertikaian makin menghebat 4. Klimaks, pada bagian ini puncak perumitan mulai muncul 5. Peleraian, di sini persoalan demi persoalan mulai terpecahkan.


(31)

Menurut susunannya atau urutanya, alur terbagi dalam dua jenis, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju adalah alur yang susunannya mulai dari peristiwa pertama, peristiwa kedua, ketiga, keempat dan seterusnya sampai cerita itu berakhir. Sedangkan alur mundur adalah alur yang susunannya dimulai dari peristiwa terakhir kemudian kembali ke peristiwa pertama.

Berdasarkan uraian tersebut cerpen “Izu No Odoriko” adalah cerpen yang mempunyai alur maju. Karena peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerpen tersebut dimulai pada saat tokoh utama “aku” seorang murid Sekolah Menengah melakukan perjalanan didaerah Izu dengan maksud berjumpa dengan penari keliling dan berakhir pada saat “aku” harus kembali ke pulau Oshima untuk bersekolah.

c. Latar (Setting)

Yang dimaksud dengan latar atau setting adalah penggambaran situasi, tempat, dan waktu serta suasana terjadinya peristiwa Aminuddin (2000:94). Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Latar tempat menjelaskan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Dan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Dalam cerpen Izu No Odoriko rangkaian peristiwa yang terjadi di sekitar daerah Izu, peristiwa tersebut terjadi pada musim gugur. Cerita Izu No Odoriko mengambarkan kehidupan penari keliling pada Zaman Taisho.


(32)

Yang dimaksud dengan penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh-tokoh-tokoh tersebut Aminuddin (2000:92). Tokoh dalam karya fiksi tidak hanya berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema, dan tokoh juga menempati posisi strategis sebagai pembawa dan menyampaikan pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca

Keberhasilan pengarang menyajikan cerita rekaan atau fiksinya tercermin melalui pengungkapan setiap unsur cerita itu. Salah satu diantaranya adalah ketepatan pelukisan tokoh cerita. Rupa, pribadi, dan watak sang tokoh harus tergambar sedemikian rupa sehingga berterima oleh khalayak ramai. Pengarang melukiskan tokoh melalui imajinasi atau fantasinya dengan cara berikut ini.

1. Pengarang melukiskan secara langsung bentuk lahir tokoh, misalnya raut muka, kepala, rambut, dan ukuran tubuh.

2. Pengarang melukiskan jalan pikiran tokoh atau apa yang terlintas dalam pikirannya. 3. Pengarang melukiskan reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, misalnya, memenuhi

rasa ingin tahu yang besar si tokoh.

4. Pengarang melukiskan keadaan sekitar tokoh, misalnya keadaan kamar dan pekarangan rumah tokoh.

5. Pengarang melukiskan pandangan seorang tokoh terhadap tokoh lain, misalnya tokoh yang dilukiskannya berwatak keras, sabar, atau suka menolong orang yang ditimpa kesusahan.

6. Pengarang melukiskan atau menciptakan percakapan (dialog) antar tokoh (bawahan) tentang keadaan, watak, atau pribadi tokoh lain, misalnya tokoh utama.

Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerpen Izu No Odoriko terbagi dalam tokoh utama dan tokoh pembatu/tokoh tambahan. Kawabata Yasunari mengambarkan tokoh utama


(33)

sebagai seorang manusia yang berprofesi sebagai seorang murid Sekolah Menengah yang melakukan perjalanan kedaerah Izu dengan tujuan bertemu dengan rombongan penari keliling. Sedangkan tokoh tambahan digambarkan sebagai penari keliling yang diberi nama Eikichi, Chiyoko, Kouru, Yuriko dan orang-orang yang berada di sekitar daerah Izu.

2.5. Biografi Pengarang

Biografi yaitu uraian tentang kehidupan seseorang, baik orang itu masih hidup atau sudah meninggal. Biografi berisi tentang perjalanan hidup, deskripsi kegiatan dan prestasi, ekspresi, serta pandangan seorang tokoh. Biografi dalam bahasa Indonesia berarti riwayat hidup seseorang. Dalam biografi seorang tokoh biasanya banyak ditemukan suatu pelajaran yang dapat dipakai dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari awal hidup sampai menjelang ajal banyak yang dapat ditarik hikmahnya.

Tujuan dari penulisan biografi ini adalah agar pembaca dan penulis dapat menghetahui perjalanan hidup seorang tokoh yang ia baca, dapat meneladani dan mengambil pelajaran dari seorang tokoh yang ia baca untuk dipakai dalam kehidupan sehari-harinya, dapat memberikan sesuatu yang berharga pada diri penulis dan pembaca setelah membacanya, serta penulis dan pembaca dapat meniru cara bagaimana tokoh tersebut sukses.

Kawabata Yasunari dilahirkan di Tenmakohona, Osaka pada tanggal 14 juni 1899 (3Meiji) dari pasangan Kawabata Eikichi dan Gen. Ayah Kawabata Yasunari adalah seorang dokter yang menjadi wakil kepala sekolah sebuah rumah sakit di Osaka. Dia mempunyai kegemaran menggambarkan sastrawan-sastrawan China yang sering menulis puisi. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga Kuroda yang mepunyai hubungan dekat dengan keluarga Kawabata Yasunari. Kawabata Yasunari mempunyai satu orang kakak perempuan bernama Yoshiko.


(34)

Ketika Kawabata Yasunari berumur dua tahun ayahnya meninggal dunia karena penyakit TBC, setahun kemudian ibunya juga meninggal dunia dengan sakit yang sama, akhirnya Kawabata Yasunari dibawa kakeknya ke tanah asal mereka yang terletak di desa Toyokawa daerah Misihima Osaka. Sedangkan kakaknya dititipkan pada bibinya di kota Osaka, namun berapa tahun kemudian kakaknya pun meninggal dunia karena penyakit yang sama dengan orang tuanya. Kematian keluarga yang berturut-turut menimpa Kawabata Yasunari yang sangat membekas di hatinya.

Dalam satu karyanya yang berjudul Fuboe No Tagami, ia menggungkapkan bahwa hal yang paling membekas disanubari kanak-kanaknya adalah rasa takut terhadap penyakit dan kematian yang sangat cepat.

Kawabata Yasunari akhirnya dibesarkan oleh kakeknya. Nenek Kawabata Yasunari sangat memanjakannya. Neneknyalah yang mengajarkanya Iroha dan abjad bahasa Jepang ketika ia belum masuk sekolah, namun pada saat berusia 7 tahun, yaitu pada saat ia masuk SD neneknya meninggal dunia. Sehingga Kawabata Yasunari hanya hidup bersama dengan kakeknya yang buta. Mereka hidup dari hasil peninggal orang tua Kawabata Yasunari. Mereka berdua juga sering mendapat bantuan dari tetangga disekitar rumahnya.

Kawabata Yasunari pada saat duduk di kelas lima dasar sangat gemar membaca buku. Seluruh buku yang ada di perpustakaan ia baca. Pada masa Heian meskipun belum paham artinya ia mulai membaca karya sastra Jepang yaitu Genki Monogatari dan Makura No Shoshi. Lulus SD, Kawabata Yasunari melanjutkan sekolah Ibaraki di Osaka. Pada pelajaran ia unggul pada mata pelajaran Kanbun. Minatnya pada dunia baca sangat kuat. Ia memfokuskan bacaan pada buku-buku sastra. Ia rajin membaca majalah Shincho, Shinshosetsu, Bungakuhai, Chuokoron.

Pada tahun 3 Taisho, menjelang kelas 3 SMP, kakek Kawabata Yasunari meninggal dunia. Dan ia menjadi sebatang kara. Kematian kakeknya menjadi dasar penulisan Jurokusai


(35)

No Nikki (catatan harian usia 16 tahun) yang diterbitkan 1925. Kawabata Yasunari banyak membaca karya-karya asing, ia banyak membaca buku kesustraan rusia. Perasaan sebatang kara yang dirasakan Kawabata Yasunari sejak ia kecil adalah satu hal yang penting yang tidak dapat diabaikan jika hendak meneliti karya-karya Kawabata Yasunari.

Dalam karyanya pun Kawabata Yasunari mengungkapkan bahwa ia sering merasakan gelisah karena ia sebatang kara, tidak dapat membayangkan wajah orang tuanya. Ia sangat merindukan kasih sayang orang tuanya sehinggga ia sedih dan merasa kosong. Ia tumbuh menjadi anak yang kerap bertanya-tanya tentang dirinya sendiri. Adakalanya ia berhasil menganggap bahwa apa yang terjadi pada dirinya hanyalah semacam kegalauan dari sebuah cerita. Namun pada saat lain kegelisahannya muncul kembali. Walaupun ia berusaha melupakan kesedihannya dengan menghilangkan potret-potret ayahnya.

Dalam kumpulan Kawabata Yasunari yang diterbitkan oleh Shinchohahan Kawabata Yasunari yang mengungkapkan hal berikut ”Saya pikir ini hanya merupakan perasaan saya sendiri, disaat berumur 24-25 tahun. Perasaan ini sukar diungkapkan dengan kata-kata. Kadang-kadang saat saya ingin menulis sesuatu, ternyata setelah saya coba tulis maksudnya tidak terpengaruh oleh perasaan “sebatang kara” saya. Namun dengan seiring bertambahnya usia, saya bisa sedikit… mungkin perasaan “sebatang kara” ini akan mempengaruhi karya-karya saya, dan sepanjang hidup akan terus mengalir. Tapi tentu saja tidak bisa memastikannya. Namun dengan begitu adanya, saya tidak akan memusingkannya lagi”. Seperti itulah yang membuat Kawabata Yasunari berusaha untuk membunuh perasaan sedihnya sebagai yatim piatu, yang dianggap sebagai sesuatu yang sentimentil.

Setelah tamat SMP pada bulan Maret 1917 (6 Taisho) KawabataYasunari tinggal di rumah bibinya di Akasuka Kuramae untuk sementara waktu selama ia mengikuti bimbingan tes. Bulan September ia diterima di salah satu SMA terbaik jurusan sastra Inggris. Pada saat itu sistem pendidikan Jepang 6 tahun SD, 5 tahun SMP, 3 tahun SMA, Kawabata Yasunari


(36)

menamatkan SMA tahun 1920 (9 Taisho) dan diterima di Universitas Tokyo, juga jurusan sastra Inggris. Tahun berikutnya pindah ke jurusan sastra Jepang, karena sastra Inggris memperhitungkan kehadiran di kelas, sementara sastra Jepang tidak begitu. Melalui Kikuchikan, Kawabata Yasunari berkenalan dengan Yokumitsu Riichi salah seorang pengarang seangkatannya. Bersamaan dengan Toka Tappei, mereka menerbitkan majalah Bungei Jadai tahun1924 yang menjadi wadah kelompok pengarang muda yang menyebut dirinya Sinkanhakuha (aliran persepsionis baru).

Keharuman nama Kawabata Yasunari sebagai pengarang muda kian semerbak ketika tahun 1926 mengumumkan Izu No Odoriko (Penari Izu), sebuah cerita cemerlang yang merupakan salah satu karya Kawabata Yasunari yang paling populer dan digemari di Jepang. Sampai sekarangpun pelajar maupun pembaca umumnya masih tetap membacanya. Selain menulis novel, mengkritik dan menterjemahkn karya asing, Kawabata Yasunari juga banyak menulis cerita pendek. Diataranya adalah Kanjo No Shosetsu, Te no Hira no shosetsu, Aisuru Hitotachi, dan Kogen.

Banyak kritikus yang memberikan penafsiran yang berbeda terhadap karya Kawabata Yasunari. Ada kritikus yang menyatakan bahwa karya Kawabata Yasunari bertalian dengan maut. Diataranya adalah Gwenn Boardman Pettersen, ada juga kritikus yang mencari sumber-sumber karya Kawabata Yasunari pada riwayat hidupnya setelah yatim piatu sejak masih kecil. Mishima Yukio dalam salah satu ulasannya tentang Kawabata Yasunari yang berjudul Eien No Tabibito (33 Showa) menyatakan bahwa Kawabata Yasunari adalah seorang pemuja keperawanan dan pengambaran gadis yang disukainya, itu terbatas karena ia tidak pernah akrab dengan gadis.

Pada tahun 1921 (10 Taisho) ketika berumur 22 tahun, ia melangsungkan pertunangan dengan seorang gadis dari daerah Gifu bernama Ito Hatsuyo, yang baru berusia 15 tahun, tapi akhirnya dibatalkan. Kawabata Yasunaripun merasa terpukul dengan peristiwa itu.


(37)

Akhirnya ia banyak menulis cerita pendek yang menceritakan tunangannya itu, diantaranya Ashita No Yokushoku, Aoi Umi Kuroi Umi, Izu No Kaeri, Fuboe No Tegami, dan lain-lain. Selama karirnya ia banyak mendapat penghargaan. Tahun 1944 ia mendapatkan hadiah Kikuchi untuk karyanya Yuuhi, tahun 1954 memperoleh sastra Noma untuk karyanya Yama No Oto, tahun 1961 ia dianugrahi mendali kebudayaan oleh pemerintah Jepang, kemudian terpilih menjadi ketua pen Club Jepang pada tahun 1948, ketika kongres Pen Club Internasional di Tokyo pada tahun 1957, ia terpilih menjadi wakil ketua Pen Club Internasional. Kawabata Yasunari dalam pidatonya pada acara penerimaan hadiah nobel, dengan jelas ia mengatakan ketidak setujuannya terhadap tindakan bunuh diri. Tetapi ia sendiri melakukan tindakan bunuh diri sehingga banyak orang terkejut. Ia bunuh diri dengan menggunakan gas pada tanggal 16 April 1972, kurang lebih 4 tahun setelah ia menerima nobel. Banyak anggapan yang muncul tentang sebab-sebab ia bunuh diri. Salah satu artikel yang termuat dalam koran Asashi Shinbun terbitan 18 April 1972 menyatakan bahwa alasan Kawabata Yasunari melakukan tindakan bunuh diri adalah pertama karena kematian Mishiyama Yukio, juniornya yang bunuh diri dua tahun sebelumnya. Hubungan mereka sangat akrab, dan Kawabata Yasunari sangat kagum dengan karya Yukio, sampai-sampai ia merasa bahwa Yukiolah yang pantas menerima hadiah nobel. Hal itu yang membebani pikirannya. Alasan lainya adalah karena ia merasa sudah tidak berguna diusianya yang sudah 72 tahun itu.

Beberapa orang beranggapan bahwa hadiah nobel itulah penyebab ia bunuh diri, hadiah itu ia terima justru pada saat ia sudah lama tidak menghasilkan karya kreatif lagi. Karya terakhirnya sebelum ia menerima hadiah novel adalah Kata Ude yang ditulis pada tahun1963. Kegersangan penciptaannya membuat ia merasa malu mendapat hadiah tertinggi sastra, sementara ia sudah tidak mampu lagi berkarya.


(38)

2.6 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sosio (Yunani), (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman), dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logo/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifat umum, rasional dan empiris. Dalam bahasa sansekerta sastra berasal dari akar kata sas berarti mengarahkan, mengajar, memberikan petunjuk dan instruksi. Akhiran kata tra berarti alat, untuk mengajar, buku petunjuk, atau buku pengajaran yang baik. Maka kata sastra lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian yaitu kesusastraan, yang artinya kumpulan hasil karya yang baik, Ratna (2003:1-2).

Sosiologi sastra adalah penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra tidak dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau yang sukses yaitu yang mampu merefleksi zaman Endraswara (2008:77).

Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala-gejala alam. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan mengahsilkan kebudayaan. Perbedaannya, apabila sosiologi melukiskan kehidupan manusia dan masyarakat melalui analisis ilmiah dan objektif, sastrawan mengungkapkanya melalui emosi, secara subjektif dan evaluatif. Sastra juga memanfaatkan pikiran, intelektualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosional. Karena itu, menurut Damono (1978:6-8), apabila ada dua sosiolog yang melakukan penelitian terhadap suatu masalah masyarakat yang sama, maka kedua penelitiannya itu cenderung sama.


(39)

Sebaliknya, apabila dua orang seniman menulis mengenai masalah masyarakat yang sama, maka hasil karya pasti berbeda. Hakikat sosiologi adalah objektifitas dan kreatifitas, sesuai dengan panjang masing-masing pengara. Karya sastra yang sama dianggap plagiat.

Karya sastra bukan semata-mata kualitas otonom atau dokumen sosial, melainkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kenyataaan yang ada dalam sosiologi bukanlah kenyataan objektif, tetapi kenyataan yang sudah ditafsirkan, kenyataan sebagai kontruksi sosial. Alat utama dalam menafsirkan kenyataan adalah bahasa, sebab bahasa merupakan milik bersama, didalamnya terkandung persediaan pengetahuan sosial. Lebih-lebih dalam sastra, kenyataan bersifat interpretative subjektif, sebagai pernyataan yang dicipatakan. Pada gilirannya kenyataan yang tercipta dalam karya menjadi model, lewat mana masyarakat pembaca dapat membayangkan dirinya sendiri. Karakterisasi tokoh misalnya, tidak diukur atas dasar persamaannya dengan tokoh masyarakat yang dilukiskan. Sebaiknya, citra tokoh masyarakatlah yang mesti meneladani tokoh novel, karya seni sebagai model yang diteladani. Proses penafsiran bersifat bolak-balik, dwiarah, yaitu antara kenyataan dengan rekaan, Teeuw (1984:224-249).

Sastra merupakan refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Itulah sebabnya memang beralasan jika penelitian sosiologi sastra lebih banyak memperbincangkan hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik aspek bentuk maupun isi karya sastra akan terbentuk oleh suasana lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Dalam hal ini teks sastra dilihat sebagai suatu pantulan zaman. Sekalipun aspek imajinasi dan manipulsi tetap ada dalam sastra, aspek sosial juga tidak bisa diabaikan. Aspek-aspek kehidupan sosial akan memantul penuh kedalam karya sastra.


(40)

Hal terpenting dalam sosiologi sastra adalah konsep cermin (miror). Dalam kaitan ini, sastra dianggap mimesis (tiruan) masyarakatat. Kendati demikian, sastra tetap diakui sebagai suatu ilusi atau khayalan dari kenyatan. Dari sini, tentu sastra tidak semata-mata menyodorkan fakta secara mentah. Sastra buka sekedar copy kenyataan, melainkan kenyataan yang telah ditafsirkan. Kenyataan tersebut bukan ciplakan yang kasar, melainkan sebuah refleksi yang halus dan estetis.

Secara ensesial sosiologi sastra adalah penelitian tentang : a. Studi ilmiah manusia dan masyarakat secara objektif. b. Studi lembaga-lembaga sosial lewat sastra dan sebaliknya.

c. Studi proses sosial, yaitu bagaimana masyarakat mungkin, dan bagaimana mereka melangsungkan hidupnya.

Studi semacam itu secara ringkas merupakan penghayatan teks sastra terhadap stuktur sosial. Aspek-aspek sosiologis yang terpantul dalam karya sastra tersebut selanjutnya dihubungkan dengan beberapa hal, yaitu :

a. Konsep stabilitas sosial.

b. Konsep kesinambungan dengan masyarakat yang berbeda.

c. Bagaimana seorang individu menerima individu lain dalam kolektifnya. d. Bagaiman proses masyarakat lebih berubah secara bertingkat.

e. Bagaimana perubahan besar masyarakat, misalnya dari feodalisme ke kapitalisme. Padangan yang amat popular dalam sosiologi sastra adalah pendekatan cermin. Melalui pendekatan ini, karya sastra dimungkinkan menjadi cermin bagi zamannya. Dalam pandangan sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi pada masyarakat yang berbeda dan juga cara individu mensosialisasikan diri melalui stuktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks, cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan


(41)

langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan lewat karyanya, tampa terlalu banyak diimajinasikan. Karena sastra yang cendrung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau menjadi saksi zaman. Dalam kaitannya ini, sebenarnya pengarang ingin mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.

BAB III

ANALISIS SOSIOLOGI KEHIDUPAN SOSIAL PENARI KELILING DALAM CERPEN “IZU NO ODORIKO” KARYA KAWABATA YASUNARI

3.1. Sinopsis Cerita

“Aku” adalah salah seorang tokoh yang terdapat dalam novel Izu No Odoriko. Namanya tidak disebutkan mungkin, “Aku” dalam hal ini adalah pengarang sendiri. “Aku” pada saat melakukan perjalanan berusia 20 tahun.dan murid SMA. Itu terlihat dari topi, dan hakama di bawah kimono berwarna biru tua dengan corak putih yang dipakai. Sambil menyandang tas sekolah pada bahu. Pada saat melakukan perjalanan bagi “aku” adalah hari


(42)

langsung segala aktifitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara real memantulkan keadaan lewat karyanya, tampa terlalu banyak diimajinasikan. Karena sastra yang cendrung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau menjadi saksi zaman. Dalam kaitannya ini, sebenarnya pengarang ingin mendokumentasikan zaman sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya.

BAB III

ANALISIS SOSIOLOGI KEHIDUPAN SOSIAL PENARI KELILING DALAM CERPEN “IZU NO ODORIKO” KARYA KAWABATA YASUNARI

3.1. Sinopsis Cerita

“Aku” adalah salah seorang tokoh yang terdapat dalam novel Izu No Odoriko. Namanya tidak disebutkan mungkin, “Aku” dalam hal ini adalah pengarang sendiri. “Aku” pada saat melakukan perjalanan berusia 20 tahun.dan murid SMA. Itu terlihat dari topi, dan hakama di bawah kimono berwarna biru tua dengan corak putih yang dipakai. Sambil menyandang tas sekolah pada bahu. Pada saat melakukan perjalanan bagi “aku” adalah hari


(43)

keempat berjalan seorang diri ke daerah Izu. Malam pertama “Aku” menginap di pemandian air panas Shunzenji. Dua malam berikutnya di pemandian air panas Yugashima dan sekarang menuju jalan ke Amagi dengan memakai geta yang tinggi. Sambil menikmati pemandangan musim gugur, dan hujan yang turun membasahi tubuh “. Dengan susah payah “Aku” tiba di sebuah warung teh yang terletak di sebelah utara puncak Amagi. “Aku” merasa lega, tapi seketika itu juga tertegun di depan pintu masuk warung itu, harapan “Aku” terwujud dengan muncunya serombongan anak wayang atau disebut penari keliling, yang sedang beristirahat.

Seorang penari wanita yang melihatku tertegun bangkit dan menarik zabuton yang dipakainya, kemudian membalikkannya dan menaruh di sampingku. “Ooo”, begitu kataku dan aku duduk di atas zabuton itu. Setelah berlari-lari menempuh jalan yang mendaki “Aku” yang masih terengah-engah dan begitu terperanjat, sehingga ucapan terima kasihku tersekat di kerongkongan, karena tepat benar berhadapan dengan penari itu. “Aku” gugup mengambil rokok dari tomoto kimonoku. Penari itu mengambil tempat abu rokok dari depan seorang wanita kawannya, lalu meletakkannya di dekatku. “Aku” diam saja.

Penari itu kukira berumur 17 tahun. Rambutnya diandam besar-besar secara model lama yang aneh bentuknya, sehingga “Aku” pun tidak mengenal Andaman itu. Anggota rombongan itu terdiri atas perempuan yang berumur 40 tahun, dua orang perempuan muda, dan seorang laki-laki yang kira-kira berusia 25 tahun atau 24 tahun yang memakai hanten yang bertuliskan nama rumah penginapan di tempat air panas Nagaoka. Itu menurut perkiraan “Aku”.

Sebelumnya “Aku” pernah melihat rombongan ini dua kali. “Aku” berkata dalam hati “Aku” akan bias mengejar mereka di tengah jalan gunung yang berliku-liku di sekitar Amagi. Dengan harapan seperti itu, “Aku” belajar bergegas, tetapi ternyata “Aku” bertemu dengan mereka di warung teh, ketika berteduh dari hujan. Sehingga saat pertemuan “Aku” menjadi gugup.


(44)

Kemudian “Aku” melihat perempuan tua yaitu pelayan warung itu pergi ke depan dan berbicara dengan perempuan dalam rombongan anak wayang itu. Dan berkata “Oh, begitu ya. Jadi sudah sebesar ini anak kecil yang dahulu kau bawa ya. Dia anak baik dan kau beruntung sekali. Dia menjadi secantik ini”. Anak gadis memang cepat menjadi besar. Kira-kira satu jam kemudian terdengar suara-suara yang menandakan bahwa rombongan itu akan berangkat. “Aku” merasa kikuk dan cemas, dan “Aku” berfikir untuk mengejar mereka. “Aku” berfikir walaupun mereka sudah berjalan, tetapi “Aku” akan mampu mengejar mereka karena mereka wanita. “Aku” kemudian bertanya pada pelayan tua itu, mereka menginap di mana malam ini? Kemudian pelayan tua itu berkata “makhluk seperti itu tidak pernah diketahui di mana akan menginap. Kalau ada peminat di mana saja mereka mau bermalam, saya kira mereka tidak punya rencana akan menginap malam ini”. Perkataan pelayan tua yang sangat menghina mereka itu, menyinggung perasaanku, sehingga “Aku” sampai berfikir untuk mengundang mereka menginap di kamarku saja.

Hujan mulai reda. Walaupun pelayan tua itu mengatakan berulang-ulang untuk tetap menunggu sepuluh menit lagi, namun “Aku” tidak bisa duduk tentram. Kemudian “Aku” pamitan pada pelayan tua itu dan mengatakan untuk menjaga kesehatan dan memberi sekeping logam lima puluh sen. “Aku” merasa terharu sehingga terasa air mataku tergenang. Tetapi “Aku” ingin mengejar rombongan penari itu.

“Aku” akhirnya bisa menyusul para rombongan penari itu. “Aku” berjalan bersama dengan seorang laki-laki dan rombongan penari lainnya. Perempuan yang berumur 40 tahun itu sekali-sekali mengajak “Aku” berbicara. Kemudian penari yang lain berbisik dan berkata “Dia siswa SMA”, bisik anak gadis yang paling tua kepada si penari. Ketika “Aku” menolehnya, ia tersenyum. “Aku” memandangi lagi rambut penari yang indah itu. Setelah berbicara panjang lebar. Tiba sampai di rumah penginapan yang sederhana di Yugano, perempuan 40 tahun itu mau mengatakan bahwa kita berpisah, tetapi Eikichi yang bersama


(45)

penari itu berbaik hati berkata “Tuan ini mau menyertai kita”. “Ooo, begitu. Dalam perjalanan lebih baik berkawan. Begitu juga dalam hidup, saling tolong-menolong. Mungkin tuan dapat menghilangkan rasa jemu, kalau bersama kami, walaupun kami hina. Silahkan naik dan beristirahat sebentar”, sahutnya dengan acuh tak acuh. Gadis-gadis itu serentak melihat kepadaku dan membisu dengan wajah tidak peduli, tetapi kemudian mereka jadi agak kemalu-maluan memandangku.

Pada saat duduk bersama-sama, si penari saat menghidangkan teh tangannya gemetar dan wajahnya merah padam, sehingga air teh yang dibawanya tertumpah. Ia begitu kemalu-maluan sehingga “Aku” sendiri merasa heran. “Oh, sungguh menjengkelkan! Anak kecil ini rupanya sudah mulai tahu cinta. Bagaimana ini?”. Demikian kata perempuan itu takjub sambil mengernyitkan kening, lalu dilemparkannya sehelai handuk. Handuk itu dipungut oleh si penari dan dipelnya tatami dengan persaan kikuk. Setelah itu “Aku” dan pelayan tua itu berbicara banyak. Sesudah beristirahat kira-kira satu jam, Eikichi membawa “Aku” ke rumah penginapan yang lain. Tadinya “Aku” berfikir menginap bersama mereka di tempat penginapan sederhana itu, tetapi ternyata tidak bersama mereka, melainkan sebaliknya ”Aku” dibawa ke seberang jembatan, di situlah letak penginapan “Aku”.

Kemudian sampai di penginapan yang berbeda, kemudian “Aku” mandi berendam dalam pemandian di dalam penginapan, datanglah Eikichi. Dia bercerita umurnya 24 dan istrinya mengalami dua kali kematian anak, karena keguguran dan karena lahir terlalu dini. Tadinya “Aku” berfikir bahwa laki-laki itu terpisah dari rombongan penari itu. “Aku” berfikir bahwa Eikichi itu pemilik air panas Nagaoka, karena dia memakai pakaian yang memakai cap tempat itu. Dan berfikir bahwa Eikichi itu menggabungkan diri dengan si penari itu karena telah jatuh cinta pada salah seorang penari tersebut. Tetapi ternyata bukan demikian.

Para penari itu mengadakan pertunjukan di ruang tamu sebuah ryoriya yang terletak berhadapan dengan penginapan mereka, “Aku” mendengar bunyi taiko dimainkan, suara tawa


(46)

ramai, dan juga teriakan perempuan yang panjang-panjang. ”Aku” berharap sebenarnya para penari itu datang ke tempat penginapannya setelah pertunjukan.

“Aku” merasa tak tahan, kalau bunyi taiko berhenti, seolah tenggelam ke dasar gemericik hujan. Kemudian terdengar derap langkah, entah mereka bekejar-kejaran, entah mereka menari berputar-putar, lalu tiba-tiba berhenti dan suasana hening. “Aku” mencoba melihat mengapa sebabnya maka suasana menjadi hening. “Aku” ingin melihat menembus gelap malam. “Aku” risau jangan-jangan dinodai orang yang dihibur malam itu.

Setelah lewat jam 9 pagi, Eikichi mengunjungiku di rumah penginapanku. Hari itu “Aku” mengajak Eikichi itu pergi mandi. Tetapi terasa oleh “Aku” risau tadi malam bagaikan mimpi belaka. Dan menyapa Eikichi itu dan bertanya, “Bagaimana keadaan semalam, sehingga sampai larut malam mengadakan pertunjukan ?”. Tetapi laki-laki itu menjawab biasa, seolah-olah tidak peduli. Sehingga “Aku” pun terdiam.

Seiring berjalan waktu, “Aku” senangtiasa bersama-sama dengan rombongan penari, bermain bersama, seperti bermain go. “Aku” dan Eikichi bermain go. Sementara “Aku” tidak tentram, rupanya penari itu hendak pulang. Eikichi meneriakkan salam dari halaman, “Selamat malam!”. “Aku” keluar ke lorong dalam penginapan dan mengajak mereka masuk. Sementara mereka berbisik-bisik. Lalu masuk kepintu depan. Eikichi seorang suami dan ketiga gadis member hormat sambil duduk bersimpuh membungkukkan kepala seperti geisha. Dalam penginapan itu banyak tamu menginap dari mulai pedagang, tukang kertas, tukang burung, yang menyaksikan pertunjukan sipenari dan semalam suntuk bermain gomoku narabe bersama.

“Aku” berjanji akan berangkat meninggalkan yugano jam delapan pagi keesokan harinya. Tetapi mereka mengatakan minta maaf, karena menunda keberangkatan untuk berjalan bersama-sama, mereka mengatakan besok mereka akan berangkan, dan nanti bisa


(47)

bertemu lagi di Shimodo. Karena mereka pun rencananya akan menginap di Koshuya, maka akan mudah menemui mereka. “Aku” berpikir bahwa mereka seolah-olah menolak “Aku”.

Tetapi kemudian Eikichi itu mengatakan pada “Aku” bagaimana kalau berangkat besok bersama-sama mereka. Ibu itu tetap mau menunda keberangkatan sampai besok. Lebih baik melanjutkan perjalanan dengan berkawan. Mari kita berangkat bersama besok saja, kata Eikichi dan ditambah oleh perempuan empat puluh itu.

“Ya begitu saja, tuan berangakat besok, ya. Kami minta maaf Karen kami berbuat sesuka hati meskipun tuan sangat baik hati menyertai kami. Walau bagaimana juga besok pasti kami berangkat. Lusa adalah hari ke-49 untuk memperingati bayi kami yang mati dalam perjalanan. Pada hari itu kami bermaksud hendak mangadakan selamatan ala kadarnya di Shimoda.

“Aku” setuju menunda keberangakatan satu hari. Kemudian akhirnya mereka berbicara tentang kehidupan masing-masing. Kemudian Eikichi itu berkata lagi, bahwa gadis yang paling tua itu adalah istri saya. Umurnya satu tahun lebih muda dari pada tuan, jadi sekarang ia 19 tahun dan dalam perjalanan ia melahirkan bayi yang ke-2, sebelum genap bulannya, Dan istriku masih belum sembuh. Dan perempuan tua itu ibu kandung istri saya. Penari itu adik saya. “Oh, begitu. Saya ingat bung pernah bilang bahwa punya adik yang berumur 14 tahun,..”, kata “Aku”. Dialah maksud saya. Saya tidak ingin hidup seperti ini, tetapi sayang ada berbagai hal yang memaksa kami hidup begini. Lalu Eikichi menceritakan bahwa ia bernama Eikichi dan istrinya Chiyoko dan adiknya bernama Kaoru. Dan yang satu lagi bernama Yuriko yang berumur 17 tahun dan kami mempekerjakannya. Eikichi menjadi sangat sentimentil sehingga wajahnya nampak seperti mau menangis dan tetap menatap air sungai yang mengalir.

Sekembali dari perjalanan-perjalan itu ku dapati si penari yang sudah mencuci bersih bedak dari mukanya, berjongkok ditepi jalan sambil mengelus-elus seekor anjing. “Aku”


(48)

sangat senang bergaul dengan mereka. sampai-sampai “Aku” diajak untuk tinggal dirumah mereka yang dihuni oleh seorang kakek tua, tetapi “Aku” menolak dengan alasan karena urusan sekolah. Mereka bersama-sama akhirnya sampai dirumah penginapan sederhana di Koshuya. Banyak hal yang sudah terjadi bersama si penari, bermain bersama, berjalan bersama. Tetapi dari semua yang mereka alami bersama, mereka harus berpisah juga. “Aku” harus balik untuk bersekolah, sedangkan Kaoru tetap menjadi seorang penari. Perpisahan itu sangat memilukan. Namun demikian “Aku” banyak mendapatkan pelajaran dan perubahan dari perjalanan hidup itu.

3.2Analisis Kehidupan Sosial Penari Keliling Dalam Cerpen Izu No Odoriko

3.2.1Kehidupan Penari Keliling Dalam Keluarga

1. Cuplikan (hal:18)

“Teryata perjalanan kepadaku mereka tidak begitu terburu-buru seperti yang kukira semula, melainkan santai tanpa melewatkan bau ladang. Terasa juga kepadaku mereka semua diikat oleh kasih kekeluargaan karena mereka anak beranak sesaudara.

2. Cuplikan (hal:22)

Rumah penginapan sederhana Koshuya segera kami dapati setelah masuk ke Shimoda dari arah utama. Aku masuk kebilik tingkat dua serupa loteng mengikuti rombongan anak


(49)

wayang itu. Tak ada lagi langit. Kalau duduk di samping jendela yang menghadapi jalan, kepala kami menyundul bagian bawah atap.

Si penari meniru dengan indahnya cara memukul taiko.

“Apa bahu mu tidak sakit ?” begitu si ibu berkali-kali bertanya kepada si penari.”apa tanganmu tidak sakit?”

“tidak. Saya bisa main. Saya bisa main.” “wah mujur sekali.”

Aku mencoba menjinjing taiko itu. “ini cukup berat, ya.”

“itu lebih berat daripada yang tuan duga. Lebih berat daripada tas tuan,” kata penari sambil ketawa.

Analisis :

Dari cuplikan diatas juga terdapat tanda yang mengambarkan bahwa kehidupan penari keliling di lingkungan keluarganya sangat harmonis, penuh dengan kasih sayang dan penuh perhatian, cuplikan yang mengambarkan bahwa seorang ibu yang sangat peduli kepada keluarganya terutama kepada anaknya, yang mana si ibu selalu bertanya kepada anaknya apakah anaknya mengalami kesakitan atau tidak, dengan cuplikan “apakah bahu mu tidak sakit?” “apakah tangan mu tidak sakit”, begitulah berkali-kali si ibu bertanya kepada anaknya tersebut. Itu menandakan bahwa diatara mereka terjalin hubungan yang penuh dengan kasih sayang, meskipun mereka adalah keluarga yang serba kekurangan tapi kasih sayang diatara mereka tetap ada, jadi bukan tahta atau harta yang membuat seseorang itu bisa hidup harmonis didalam keluarganya, tapi kasih sayang dan perhatian yang selalu ada kapanpun, dimanapun dalam kondisi apapun. Kasih sayang (amae) yang ada diantara ibu dan anak yang saling menguatkan juga merupakan salah satu dari cerminan budaya masyarakat jepang yang terlihat dalam kehidupan penari keliling.


(50)

3. Cuplikan (hal:5)

Aku merasa lega dan mulai berjalan bersama dengan laki-laki itu. Ia tidak henti-hentinya bertanya kepadaku tentang berbagai macam hal. Melihat kami bercakap-cakap, perempuan-perempuan dari rombongan itu berderap berlari mengejar kami.

Laki-laki itu mengendong sebuah yanagigori yang besar. Perempuan yang berumur empat puluh itu mendekap seekor anak anjing dan gadis paling tua menjinjing bungkusan dari kain dan gadis yang tengah membawa yanagigoro juga. Mereka masing-masing membawa barang bawaan yang cukup besar.

4. Cuplikan (hal:16)

Pada malam hari ketika aku mengunjungi rumah penginapan mereka yang sederhana, gadis penari itu berlatih bermain shamisen, diajari oleh si ibu

Analisis :

. Ketika dia melihat aku dia berhenti berlatih, tapi segera mengambil shamiennya karena diperhatikan oleh ibunya.

Dari cuplikan diatas, terdapat tanda yang mengambar bahwa kehidupan penari keliling di lingkungan keluarganya sangat kompak baik dalam melakukan sesuatu maupun dalam melakukan pekerjaan. karena dari cuplikan diatas terdapat tanda-tanda bahwa penari keliling dengan keluarganya sangat kompak dalam melakukan tugas. yang mana laki-laki yang satu membawa sebuah yanagigori dan perempuan yang berumur empat puluh tahun membawa seekor anak anjing dan gadis yang paling tua menjinjing bungkusan dari kain dan gadis yang tengah juga membawa yanagigoro. Jadi mereka semua masing-masing membawa barang bawaan yang ukurannya lumanya besar, jadi tidak ada diatara mereka yang tidak bekerja.


(1)

れたこの小 話 しょうせつ

の なか

中に美術 びじゅつ

の けい 系を使

つか

って、 はたら

働 いている美術家 び じ ゅ つ か

にとしての

たびげいしゃ 旅芸者の

生活 せいかつ

について はな

Kehidupan penari keling yang melakukan pertunjukan selalu berpindah-pindah tempat.

このもようしをする 話された。

旅芸人 たびげいにん

はいつも ひ 引っ越

Hal negatif yang muncul dalam kehidupan mereka adalah tidak memiliki hubungan keluarga yang akrab dengan masyarakat yang tinggal disuatu daerah.

している。

彼 かれ

らの せいかつ 生活の中

なか に

しょうきょくてき

消 極 的 なことを 表 あらわ

すのは ひと

一つの場所 ば し ょ

に す

住んでいる社会 しゃかい

と した 親

しい家族 か ぞ く

の かんけい 関係を持

Karena hidup tidak menetap mengharuskan mereka untuk membawa barang-barang keperluan selama pertunjukan.

たない.

いつも引ひっ こ

越している生活 せいかつ

だから、もようしをするの あいだ

間 にどこへ行っても、荷物 に も つ

持って行 い

Dalam perjalanannya tidak semua kampung dapat menerima keberadaan penari.

かなければならない。

旅 たび

の あいだ

間 にみんなの村 むら

ではないのはよく

たびげいにん

旅芸人の到 着 とうちゃく

を う

Oleh karena itu, ada sebagian kampung yang memasang larangan masuk bagi penari keliling di pintu gerbang kampung mereka.


(2)

だから、旅芸人 たびげいにん

にとって、 た

立ち利禁止 り き ん し

と か

書いてある村 むら

の もん

門につける部分 ぶ ぶ ん

の むら

Keanggotaan penari kelilingan pada umumnya merupakan keluarga pedagang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

がある。

一般的 いっぱんてき

たびけいじん

旅系人の会員 かいいん

は か ぞ く

家族の必要 ひつよう

なものをいっぱいにできない しょうにん

商 人 の家族 か ぞ く

Untuk kehidupan, mereka menampilkan tarian dan memainkan alat musik seperti taiko dan sanmisen agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

である。

生活 せいかつ

のために、かれらは か ぞ く

家族の必要 ひつよう

なものを も 持

てるように、タイコサンとミンセンのような楽器 が っ き

Kehidupan penari keliling dalam masyarakat Jepang dicerminkan dalam cerpen Izu No Odoriko karya Kawabata Yasunari.

をひき、おどる。

日本社会 に ほ ん し ゃ か い

の なか

中に旅芸人 たびげいにん

の せいかつ

生活はカワバタ・ヤスナリに書 か

かれた“Izu No

Odoriko” という

しょうせつ 小 話 の中

なか に

はんえい

Di dalam cerpen Izu No Odoriko tokoh Eikichi dan keluaganya yang menyatakan kehidupannya sebagai penari keliling. Dalam cerpen tersebut tergambar suka duka keluarga Eikichi dalam melakukan perjalanannya. Kehidupan penari keliling kadang tidak berjalan dengan baik.


(3)

Izu no Odorikiという小 話

しょうせつ の

なか

中に家族 か ぞ く

とエイキチという

し ゅ じ ん こ 主人子は彼

かれ らの

せいかつ 生活は

旅芸人 たびげいにん

にとしてだと い

Bentuk dari penolakkan masyarakat terhadap penari keliling dapat dilihat dari tulisan larangan masuk kampung yang tertulis pada pintu gerbang kampung.

言った。

旅芸人 たびげいにん

に たい

対して、社会 しゃかい

の さんせい 賛成の 形

かたち は

むら 村の門

もん に

書いてある村 むら

に た 立ち入

い り

き ん し 禁止の書

か き

もの 物

から見 み

Bagi masyarakat yang tidak setuju terhadap kedatangan penari keliling selalu melakukan penghinaan.

られる。

旅芸人 たびげいにん

の とうちゃく 到 着 に対

たい

して、 はんたい

反対する社会 しゃかい

にとって、いつも ひ な ん

その

非難をしている。

Masyarakat ini menganggap status mereka lebuh tinggi dari penari keliling.

社会 しゃかい

はかれらの ち い

地位は旅芸人 たびげいにん

の ち い

地位よりいいと 考 かんが

Selain itu, ada juga masyarakat yang setuju terhadap kedatangan penari keliling. Sehingga seni tari penari keliling ini dapat berkembang dengan baik.

えている。

そのほかに、旅芸人 たびげいにん

に たい

対して、賛成 さんせい

する しゃかい

社会もある。だから、その旅芸人 たびげいにん

のおどりの びじゅつ

美術はよく進歩 し ん ぽ


(4)

Hubungan sesama kelompok penari keliling dalam cerpen Izu No Odoriko tidak begitu terlihat perbedaannya, karena berasal dari kelas atau golongan yang sama.

同 おな

じ ち い

地位から原産地 げ ん さ ん ち

だから、Izu No Odorikoという

しょうせつ

小 話 にある旅芸人 たびげいにん

の かんけい 関係は差

があまり み

Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk saling menghina sesama profesi.

見えない。

それで、彼 かれ

らにとって、 おな

同じ仕事 し ご と

を み さ

見下げ合いのために理由 り ゆ う

Sesama penari keliling tidak ada memiliki rasa persaingan bahkan sebaliknya. Saling menghormati dan saling memberi dukungan.

がない。

旅芸人 たびげいにん

の中に きょうそう 競 争 を持

たないどころが、 はんたい

反対である。尊敬 そんけい

し あ

合い、支援 し え ん

を あた 与え合

Anggota penari keliling dalam cerpen Izu No Odoriko merupakan satu anggota

keluraga. Izu No Odorikoという

う。

小 話 しょうせつ

の なか

中に旅芸人 たびげいにん

の かいいん

会員は一員家族 い ち い ん か ぞ く

Eikichi sebagai (ketua kelompok), istrinya yang bernama Chiyoko, ibu mertua dan adik perempuannya yang bernama Kauru dan Yuriko.

である。

グルプの会 長 かいちょう

にとって、エイキチという

し ゅ じ ん こ

主人子であり、チヨコという奥 おく

さまであり、カウルとユリコという いもうと

Mereka mepunyai hubungan yang harmonis.


(5)

かれらは調和的 ちょうわてき

な かんけい 関係を持

Walaupun selalu mempunyai kekurangan dan di kucilkan oleh masyarakat. Tetapi mereka saling menyayangi mendukung, dan saling bekerjasama dalam melakukan pertunjukan.

っている。

いつも障 害 物 しょうがいぶつ

を も

持ち、社会 しゃかい

から はず

外れていても、かれらはもようしものをする 間 あいだ

に、

きょうりょく 協 力 し合

あ い、

し え ん 支援を与

あた え

Kehidupan penari keliling dalam masyarakat Jepang pada zaman Taisho,

合う。

タイショ時代 じ だ い

の に ほ ん

日本の社会 しゃかい

における た び げ に ん 旅芸人の生活

せいかつ

sesuai dengan apa yang ada didalam cerpen Izu No Odoriko karya Kawabata Yasunari.

カワバタヤスナリの

は、

作品 さくひん

の「Izu No Odoriko」というしょうせつとないようがおなにである。yang

menceritakan tentang bagaimana kehidupan penari keliling didalam lingkungan keluarga, didalam lingkungan komunitas dan dilingkungan masyarakatnya.

家族 か ぞ く

たびげいにん 旅 芸 人 の生 活

せいかつ

にはどうなるのか、コミューニチイの せいかつ 生 活

にはどうなるのか、また、社 会 しゃかい

の せいかつ

生 活 にはどうなるのかということについて説 明 せつめい


(6)