Setting Novel Yukiguni Kehidupan Geisha Dalam Masyarakat Jepang

2.4 Setting Novel Yukiguni

Yasunari Kawabata banyak menggunakan bahasa kias simile atau perbandingan dalam menunjukkan setting dalam novel ini. Hal ini selain dimaksudkan untuk memudahkan penggambaran musim salju latar atau setting yang jelas, juga untuk membuat variasi dalam berbahasa serta mencapai efek estetis tertentu. Yukiguni membawa kita pada sebuah daerah bersalju di Jepang sana dengan gunung-gunungnya. Bagaimana serangga berwarna kuning melesat-lesat di pintu masuk hutan pohon suji. Suasana di desa wisata itu dengan atap-atap rumah yang tertimbun salju. Yukiguni menggambarkan kehidupan masyarakat yang berada di daerah terpencil, desa. Hal ini digambarkan bahwa di Daerah Salju terdapat suatu kehidupan masyarakat Jepang di daerah terpencil, yaitu daerah salju yang berada di wilayah Jepang bagian barat. Daerah salju digambarkan sebagai tempat terpencil sehingga ketika hendak mengunjungi daerah tersebut, seseorang harus menempuh perjalanan yang jauh dengan mengendarai kereta api penumpang yang sudah usang, harus melewati terowongan baru sampai di daerah salju yang disekitarnya penuh dengan salju yang dingin. Efek estetis yang didapatkan dengan penggunaan bahasa kias dan pilihan kata atau pilihan leksikal adalah memberi nuansa seni yang indah pada pembaca dalam membayangkan mengimajinasikan apa yang ditulis oleh pengarang untuk memberikan gambaran yang jelas tentang keadaan pada waktu musim salju di Daerah Salju. Universitas Sumatera Utara

2.5 Kehidupan Geisha Dalam Masyarakat Jepang

Novel Yukiguni ini memiliki beberapa peniruan atas kehidupan nyata tentang kehidupan geisha yang terjadi di dalam masyarakat Jepang. Geisha adalah seorang wanita penghibur profesional. Geisha bukanlah seorang pelacur atau prostitusi, sebagaimana layaknya yang terkesan dibenak orang selama ini Secara harafiah geisha berasal dari dua kata, yaitu: gei yang berarti seni dan sha yang berarti pribadi. Maka dapat dikatakan bahwa geisha itu adalah seseorang yang mempunyai pribadi atau berjiwa seni yang digunakan untuk menghibur, terutama kaum pria. Seorang geisha harus mempunyai wawasan yang luas pada saat mereka masih dalam tahap pendidikan, yang disebut dengan maiko. Pada waktu senggang di sore hari mereka akan pergi ke toko buku, perpustakaan atau museum untuk menambah wawasan mereka, karena pada dasarnya mereka diwajibkan untuk banyak belajar. Para geisha akan diberi informasi tentang asal dan latar belakang tamu mereka dan juga banyak mencari hal menarik dari tamunya sehingga dapat membentuk percakapan yang cukup menarik dengan para tamunya, sehingga tamu tersebut bisa betah berada di sisinya. Selama bertahun-tahun seorang calon geisha dididik untuk memiliki keterampilan tinggi dalam menari, memainkan tsutsumi gendang kecil, memetik shamisen, memiliki keahlian kaligrafi, dan mengetahui seluk-beluk upacara minum teh. Masa-masa pendidikan itu ibarat kepompong yang menyiapkan ulat menjadi kupu-kupu. Sehingga bagi mereka yang tak berbakat akan terpental. Untuk bisa menjadi geisha memerlukan pelatihan khusus dan memakan waktu yang tak singkat. Para wanita yang masih belajar manjadi geisha disebut Universitas Sumatera Utara maiko akan dididik di sekolah khusus O-chaya. Umumnya maiko ini berusia antara 15-20 tahun. Seorang maiko biasanya menjadi pendamping geisha sekaligus belajar seluk-beluk geisha. Setelah lulus, maiko bisa melanjutkan menjadi geisha ataukah berhenti. Semakin tinggi kemampuannya, semakin sang geisha menjaga image dirinya dan mereka tidak mudah dibeli begitu saja. Geisha senior akan membimbing sang geisha magang agar ia selalu menjaga dunia penampilannya. Bagai seorang kakak, geisha senior membawa geisha junior keliling berbagai acara perjamuan, pesta, menonton drama kabuki, tamasya, agar wajahnya dapat dikenal oleh para pelanggan kaya. Di situlah ia belajar saling berkompetisi dengan geisha lain. Sebuah kehidupan keras tempat sesama geisha bisa saling menjatuhkan. Erotisisme memang tidak terelakkan menjadi bagian yang melekat pada dunia geisha. Pada zaman Edo atau zaman Tokugawa 1600-1868, saat Jepang tertutup dari dunia luar, dunia kesenian tumbuh berkembang. Gulat dan geisha sering menjadi obyek gambar Ukiyo-e kerajinan cetak atau cukil kayu yang sangat popular. Imajinasi erotik dunia hasrat yang paling liar dari geisha sering diungkap dalam seni kerajinan massal. Geisha juga adalah wakil terdepan dari dunia cita rasa di Jepang. Dalam hidupnya, seorang geisha akan mencari seorang danna laki-laki yang nanti akan membiayai hidup dan kemewahannya. Para geisha terpandang memiliki danna dari kalangan pengusaha berpengaruh sampai jenderal-jenderal. Saat peralihan politik dari zaman Tokugawa ke Meiji, banyak geisha dekat dengan para tokoh. Saat itu berbagai rencana revolusi atau kerusuhan selalu disusun di rumah geisha. Universitas Sumatera Utara Geisha dihargai karena dianggap bisa menyimpan rahasia pembicara-an- pembicaraan penting itu. Geisha, karena itu, bisa banyak memiliki kedekatan dengan para tokoh. Sebagai seorang penghibur yang profesional, geisha akan terlibat hubungan emosional dan ekonomi dalam memberikan pelayanan prima kepada tamu. Pada akhirnya keterlibatan fisik antara seorang pengibur dan tamunya, kembali terserah pada geisha itu sendiri. Namun, dunia geisha pada saat ini menjadi berkurang kegiatannya dalam bidang seks. Pada saat ini lebih mengarah kepada pelestarian budaya, sehingga geisha pada saat ini pada umumnya merupakan para wanita yang terpelajar dan terampil dalam semua bidang terutama kesenian Negara Jepang, karena mereka adalah salah satu daya tarik bagi turis yang berkunjung ke Jepang. Di Jepang kimono menjadi satu-satunya gaun perempuan, sehingga gaya berpakaian geisha adalah pelopor tren. Pada geisha terlihat seluruh keanggunan, keeleganan. Dapat terlihat dalam cara berbusana para geisha, akan dapat disaksikan bagaimana dari konde sampai kimono geisha berbeda dengan perempuan biasa. Motifnya, warna-warnanya lebih cerah, obi kat pinggang kimono yang agak tebal dan mempunyai ujung menggantung nyaris menyentuh lantai. Lambat laun terjadi perubahan besar. Citra geisha pun semakin mengalami kemunduran kejayaan. Setelah perang banyak geisha kehilangan pamor, terusir dari rumah-rumah mewah. Banyak pelacur atau hostes di bar menyamar sebagai geisha. Para tentara Amerika yang menduduki di Jepang sedikit banyaknya memberi andil pada perubahan cara pandang ini, karena mereka semata-mata menempatkan geisha sebagai obyek seksual. Mereka membayangkan geisha sebagai semacam hiburan semata. Universitas Sumatera Utara dalamhttp:majalah.tempointeraktif.comidarsip20060109LYRmbm.20060109. LYR117834.id.html Universitas Sumatera Utara BAB III ANALISA KEHIDUPAN GEISHA MELALUI TOKOH DALAM NOVEL YUKIGUNI

3.1 Penampilan Geisha