Metode Penelitian Biografi Pengarang

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sesuai dengan pokok masalah sebagaimana telah dikemukakan di atas, yaitu: 1. Untuk mengetahui bagaimanakah penampilan seorang geisha dalam novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah tata kerja geisha melalui gambaran kehidupan tokoh Komako sebagai seorang geisha. 3. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara seorang geisha dengan laki-laki dalam menjalankan aktivitasnya sebagai seorang geisha.

1.5.2 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan pembaca tentang sastrawan Jepang dan karya-karyanya, sehingga dapat meningkatkan kemampuan pembelajaran sastra dalam mengapresiasikan novel-novel Jepang. 2. Untuk memunculkan kembali karya-karya sastra yang merupakan suatu bagian dari kekayaan budaya, sehingga penciptaan-penciptaan karya sastra terus semakin meningkat. 3. Sebagai ajang untuk menambah pengetahuan dan mengaplikasikan ilmu terutama mengenai sastra yang diperoleh selama masa perkuliahan.

1.6 Metode Penelitian

Dalam menyelesaikan penelitian ini digunakan metode sehingga tulisan ini Universitas Sumatera Utara dapat terselesaikan. [Koentjaraningrat 1997 menyatakan bahwa metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan]. Surakhmad 1968: 131 mengungkapkan bahwa metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, cara utama tersebut disesuaikan dengan situasi penelitian. Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif, yaitu yang menuturkan dan memecahkan masalah yang ada melalui cara mengumpulkan data, menyusun atau mengklasifikasikan, menganalisis serta menginterpretasikan data tersebut. Metode ini sesuai dengan sifat dan wujud data yang ditelaah serta tujuan penelitian yang akan dicapai. Data akan dideskripsikan untuk mendefinisikan hal-hal tertentu yang terdapat dalam tulisan ini secara luas, bukan secara sempit. Sedangkan dalam penyajian hasil penelitian digunakan metode deskriptif yang memaparkan data secara apa adanya Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah keterangan teoritis yang berkaitan dengan masalah penelitian baik dari buku-buku,surat kabar, internet, majalah, buletin, dan bahan-bahan lainnya yang menunjang dalam penelitian. . Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL YUKIGUNI DAN BUDAYA GEISHA DI JEPANG 2.1 Novel Yukiguni 2.1.1 Novel Sebagai Cerita Fiksi Sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra tulisan timbul setelah manusia mengenal tulisan. Orang Mesir mengenal hytograf, orang Jepang dengan kanji-nya. Mukarovsky, 1978 dalam Media Kerja Budaya, 2004: 2. Novel berasal dari bahasa Italia novella, yang dalam bahasa jerman Novelle, dan dalam bahasa Yunani novellus. Kemudian masuk ke Indonesia menjadi novel. Dewasa ini istilah novella dan novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette Inggris: novelette, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjang cakupannya tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek. Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus Nurgiyantoro, 1995: 9 Novel merupakan jenis dan genre prosa dalam karya sastra. Dalam pengertian kesusastraan juga disebut sebagai fiksi. Sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu dan tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu. Genre sastra yang umum dikenal adalah puisi, prosa dan drama. Bentuk karya fiksi yang berupa prosa adalah novel dan cerpen. Kehadiran novel sebagai bentuk cerita fiksi yang baru sangat digemari oleh masyarakat. Universitas Sumatera Utara Sebuah novel menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang- orang. Luar biasa karena dari kejadian ini terlahir konflik, suatu pertikaian, yang mengalir mengambil jurusan nasib mereka Jassin, 1985: 78. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1995 : 694 Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel termasuk cerita fiksi yang kajiannya bukan cerita pentas, yang artinya lebih tepat dipahami dan dinikmati melalui kegiatan apresiatif. Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang menggambarkan kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun melalui unsur-unsur instrinsik, yaitu peristiwa, plot, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain, yang kesemuannya tentu bersifat naratif. Menurut Nurgiyantoro 1994: 2 istilah fiksi dalam pengertiannya berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal ini disebabkan karena fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah. Dengan demikian karya fiksi merupakan suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan atau khayalan. Sesuatu yang tidak ada dan tidak terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama. Begitu juga halnya dengan novel. Novel mengandung nilai-nilai keindahan dan kehidupan yang dapat memberikan kenikmatan bagi para pembacanya serta mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat bermanfaat bagi pembacanya. Universitas Sumatera Utara

2.1.2 Unsur –Unsur dalam Novel

Novel adalah jenis cerita fiksi yang isinya mengungkapkan kembali permasalahan kehidupan yang luas melalui unsur -unsur yang saling berkaitan dan pesan-pesan kemanusiaan yang tidak berkesan menggurui sebab sangat halus dan mendalam. Novel dibentuk oleh berbagai unsur yang saling berkaitan dan saling menentukan yang kesemuanya membentuk novel tersebut menjadi sebuah karya yang bermakna. Unsur-unsur pembentuk novel terdiri dari unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik unsur luar adalah segala macam unsur yang berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran sebuah karya sastra Atar Semi, 1993: 35. Misalnya biografi pengarang, psikolog, keadaan di linkungan pengarang, faktor sosial ekonomi, faktor sosial budaya dan sebagainya. Sedangkan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri yang menyebabkan karya itu hadir Nurgiyantoro, 1994: 23 Nurgiyantoro 2005: 23 menyebutkan ada tujuh unsur dalam novel, yaitu plot alur cerita, tema, penokohan, latarsetting, sudut pandang, gaya bahasa dan suasana cerita. Ketujuh unsur instrinsik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Alur Alur atau plot merupakan urutan atau rangkaian kejadian atau peristiwa dalam suatu karya fiksi yang memiliki tahapan -tahapan tertentu secara kronologis. Alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dari keseluruhan fiksi Semi, 1988: 43. Universitas Sumatera Utara Luxemburg dalam Fananie 2002:93 menyebut alurplot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Plot berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Nurgiyantoro 2000: 135, membedakan alur menjadi dua, yaitu 1 alur lurus, maju, atau dapat dinamakan alur progresif. Alur sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologi, peristiwa- peristiwa yang pertama diikuti peristiwa oleh yang kemudian. 2 alur sorot balik, mundur, flash back, atau dapat disebut regresif, yaitu urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi yang bepelot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dilaksanakan. Karya yang berplot jenis ini dengan demikian langsung menyuguhkan adegan -adegan konflik, bahkan konflik yang beruncing. 2. Tema Menurut Fananie 2002: 84 tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Lebih lanjut Stanton dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005:67 menyatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan pokok yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Menurut Semi 1988: 42 kata tema seringkali disamakan dengan pengertian topik: padahal kedua istilah itu mengandung Universitas Sumatera Utara pengertian yang berbeda. Kata topik berasal dari bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik dalam suatu tulisan atau karangan berarti pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi. Jadi tema tidak lain dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut. 3. Penokohan dan perwatakan Karakter atau penokohan merupakan penentuan tokoh-tokoh dalam suatu cerita yang terlibat dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Fananie 2002: 87 menyatakan bahwa kemampuan pengarang dalam mendeskrisikan karakter tokoh cerita yang yang diciptakan sesuai dengan tuntutan cerita dapat pula dipakai sebagai indikator kekuatan sebuah cerita fiksi. Maka dapat juga dikatakan bahwa tokoh cerita ialah individu orang -orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca di tafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. 4. LatarSetting Pada hakikatnya setting tidak hanya sekadar menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, yang berarti tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang akan diceritakan. Lattarsetting adalah keseluruhan lingkungan dalam cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi baik itu di lingkungan tempat, waktu, dan sosial. Universitas Sumatera Utara Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan . Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan dengan tempat lain. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan waktu sejarah. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain. Latar sosial mengarah pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan delam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan. 5. Sudut pandang Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan oleh pengarang untuk menyajikan tokoh dalam berbagai peristiwa dalam suatu cerita fiksi. Sudut pandang, point of view, mengarah pada cara sebuah cerita dikisahkan. Hal ini merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk Universitas Sumatera Utara menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Nurgiyantoro, 2 005: 248 6. Gaya Gaya adalah cara atau teknik yang digunakan oleh pengarang untuk memilih serta menyusun ungkapan bahasa dalam suatu karya fiksi. Stile style, gaya bahasa adalah cara mengucapkan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro mengungkapakan bahwa pada hakikatnya gaya merupakan teknik dimana teknik yang dimaksud adalah pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan Nurgiyantoro, 2005: 276. 7. Suasana Cerita Suasana cerita adalah cara yang digunakan pengarang untuk menggambarkan keseluruhan cerita dalam suatu karya fiksi berdasarkan urutan waktu. Nurgiyantoro, 2005: 91 mengartikan cerita sebagai sebuah cerita narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Cerita merupakan hal yang fundamental dalam karya fiksi. Tanpa unsur cerita, eksistensi sebuah fiksi tak mungkin terwujud, sebab cerita merupakan inti dalam sebuah karya fiksi itu sendiri. Baik tidaknya cerita yang disajikan, disamping akan memotivasi seseorang untuk membacanya, juga akan mempengaruhi unsur-unsur pembangun yang lain. Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Novel Yukiguni Ada dua orang tokoh penting dalam novel ini, yaitu Shimamura dan

Komako. Yukiguni. Daerah Salju adalah satu novel Yasunari Kawabata yang paling terkenal dan kerap dibicarakan sebagai karya sastra klasik yang indah sepanjang masa. Novel Daerah Salju Yukiguni dianggap salah satu karya puncak dari Kawabata Yasunari yang telah memenangkan hadiah nobel sastra tahun 1968. Novel ini terdiri dari potongan-potongan cerita pendek penulis yang ditulis beberapa tahun sebelumnya, sejak 1935 hingga 1941. Lalu digabung dan dikembangkan oleh penulisnya menjadi novel tahun 1947 dengan berbagai revisi dari penulisnya. Yasunari kawabata memiliki suatu keunggulan dalam novel–novelnya. Kualitas cerita disusun dengan awal yang begitu rumit. Tokoh–tokoh yang pada awalnya dirasa tidak saling berkepentingan ternyata memiliki ujung-ujung kail yang mampu memancing pikiran pembaca untuk menerka dan menghubungkannya dengan tokoh lain. Yasunari Kawabata juga mampu menjelmakan keindahan kebudayaan dan mitologi dalam novel ini. Novel yang melukiskan hubungan antara seorang lelaki dari kota besar Tokyo yaitu Shimamura dengan Komako seorang geisha yang dikunjunginya di Daerah Salju di bagian utara Pulau Honshu. Shimamura lelaki setengah baya, gemar sekali mengembara, mendaki gunung dan menulis tentang tarian-tarian yang belum pernah dilihat. Shimamura mempunyai pekerjaan yang tidak mengikat dan hidup dari warisan orang tuanya. Shimamura juga mempunyai anak dan istri. Oleh karena itu tidak mungkin menjalin hubungan dengan wanita lain dalam ikatan resmi. Akan tetapi Shimamura lama menginap di Daerah Salju seolah-olah lupa akan anak- istrinya. Bukan karena dia tidak bisa melepaskan diri dan juga buka karena tidak mau Universitas Sumatera Utara berpisah dari Komako, akan tetapi sudah menjadi kebiasaan Shimamura menunggu Komako dan sebaliknya meskipun Komako seorang geisha, namun kerap kali Komako juga sering datang mengunjungi Shimamura. Dan semakin Komako menyerahkan diri dengan kemesraan, semakin kuat juga perasaannya menyalahkan diri sendiri seolah-olah dia tidak berjiwa. Boleh dikatakan Komako tetap merenung, menukik ke dalam kesepiannya. Shimamura tidak bisa mengerti mengapa Komako semakin mengeratkan diri kepadanya. Segala sesuatu dari Komako dapat dipahaminya, tetapi tidak ada satu pun yang dapat dipahami Komako dari diri Shimamura. Hingga pada akhirnya mereka menyadari kalau ternyata cinta mereka memang sudah gagal sejak pertama kali bertemu . Persoalan cinta dalam novel Daerah Salju ibarat salju di gunung es yang putih bersih dan bila tertimpa cahaya matahari memantulkan cahaya kristal cemerlang namun menyimpan misteri dan dugaan di dalamnya. Novel ini menampilkan sensasi jiwa para tokoh yang terlibat di dalamnya dalam persoalan psikologi cinta yang tidak berakhir, namun ada pantulan gerak-gerik jiwa yang amat peka pada persoalan tersebut dan muncul pada keadaan yang tak terduga. Bahasa mencerminkan secara langsung pikiran dan perasaan. Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek- objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, Universitas Sumatera Utara meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya Surya Sumantri, 1998. Begitu juga dengan AS. Laksana yang menerjemahkan cerita ini dengan sangat baik dan terdiri dari 190 halaman. Bahasanya terlihat indah meskipun terdapat kalimat-kalimat bermakna ganda sebagaimana puisi, namun dapat terdengar seolah- olah tidak ada yang kelihatan janggal, semuanya terucap mengalir dengan wajar dan enak. Nuansa adegan, perasaan dan pikiran masing-masing tokoh serta situasi yang sedang terjadi tidak ada yang luput. Begitu tenang dan pelan sehingga dapat terlihat jelas alur yang dibentuk oleh potongan-potongan cerita di dalamnya. Bahasa seperti itu dapat membuat jarak antara pembaca dengan novel tersebut semakin dekat, seolah-olah ikut terlibat langsung dalam cerita. Dengan demikian pembaca memperoleh gambar yg lengkap tentang tokoh, latar dan lingkungan..

2.2. Biografi Pengarang

Yasunari Kawabata 1899-1972 adalah seorang novelis Jepang terkemuka yang memenangkan Hadiah Nobel dalam sastra untuk mencontohkan pikiran Jepang dalam tulisan-tulisannya. Novel Yukiguni karya Yasunari Kawabata ini mampu menjelmakan keindahan kebudayaan dan mitologi di Jepang, sehingga selayaknyalah novel ini mampu meraih penghargan Nobel Sastra karena dianggap sebagai master piece. Yasunari Kawabata lahir pada tanggal 14 Juni 1899 di daerah Konohana, Osaka. Dilahirkan dalam sebuah keluarga yang sejahtera. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya adalah seorang dokter terkemuka tetapi sangat Universitas Sumatera Utara mencintai kesusastraan, yang bernama Eikichi. Minat ayahnya akan sastra turun kepada Kawabata. Pada saat usia dua tahun, Kawabata kehilangan ayahnya. Ayahnya meninggal karena mengidap penyakit TBC. Setahun kemudian Kawabata menjadi anak yatim piatu karena disusul dengan kematian ibunya. Hal ini mengakibatkan Kawabata harus tinggal bersama kakek dan neneknya di daerah Mishima tepatnya di desa Toyohana, Osaka. Namun malang tak bisa dihindari, pada 1906 ketika kawabata berusia 7 tahun, kakek dan nenek Kawabata juga meninggal dunia. Maka kemudian Kawabata kini tinggal bersama kakek dari ibunya. Kakeknya tuna netra sehingga kawabata melewati masa kanak-kanak dengan mengalami kesulitan dan tidak selayaknya dilalui oleh anak seusia dirinya. Kawabata mempunyai seorang kakak perempuan yang diasuh oleh seorang bibinya. Akan tetapi kakak perempuannya itu yang hanya sekali dijumpainya setelah kematian orang tua mereka, meninggal dunia ketika Kawabata berusia 10 tahun Juli 1909, dan disusul dengan kematian kakeknya ketika ia berusia 15 tahun Mei 1914. Kematian kelurga Kawabata mengurangi masa kecilnya yang normal. Kawabata sering mengatakan bahwa dia belajar kesepian tanpa akar sejak awal. Sehingga dalam kehidupannya Kawabata menggambarkan dirinya sebagai anak tanpa rumah atau keluarga. Setelah kehilangan semua sanak keluarga dekatnya, ia pindah dengan keluarga ibunya Keluarga Kuroda. Namun, pada Januari 1916, ia pindah ke sebuah asrama dekat SMP yang hingga saat itu harus didatanginya bolak-balik dengan kereta Universitas Sumatera Utara api. Setelah lulus dari SMP pada Mei 1917, persis sebelum ulang tahunnya yang ke- 18, ia pindah ke Tokyo, dan berharap untuk lulus ujian masuk Dai-ichi Koto-gakko Sekolah Menengah Atas Nomor Satu, yang berada di bawah asuhan langsung Universitas Kekaisaran Tokyo. Kawabata berhasil lulus dalam ujian itu pada tahun yang sama dan kemudian masuk ke Fakultas Sastra Inggris. Pada Juli 1920 Kawabata lulus dari Sekolah Menengah Atas dan memulai pendidikannya di Universitas Kekaisaran Tokyo pada bulan yang sama. Kemudian Kawabata melanjutkan kuliah di jurusan Sastra Inggris dan minatnya pada dunia sastra juga semakin besar. Sementara masih menjadi mahasiswa, Kawabata menghidupkan kembali majalah sastra Universitas Tokyo, Shin-shicho Arus Pemikiran Baru yang telah mati lebih dari empat tahun. Di situ ia menerbitkan cerita pendeknya yang pertama, Shokonsai Ikkei Suasana pada suatu pemanggilan arwah, sebuah karya yang hingga kini masih diakui nilai sastranya. Lalu Kawabata pindah jurusan ke Sastra Jepang. Bersama teman-temann kuliahnya, Kawabata sering mendiskusikan karya-karya pengarang besar seperti Kikushikan Akutagawa Ryunosuke dan sastrawan besar lainnya. Ketika kuliah, ia beralih jurusan ke Sastra Jepang dan menulis skripsi yang berjudul, Sejarah singkat novel-novel Jepang. Hingga pada akhirnya Kawabata lulus pada Maret tahun 1924. Pada Oktober 1924, bersama Kataoka Teeppei, Yokomitshu Riichi, dan sejumlah penulis muda lainnya memulai sebuah jurnal sastra baru Bungei Jidai Zaman Artistik. Jurnal ini adalah reaksi terhadap aliran sastra Jepang yang lama dan Universitas Sumatera Utara mapan, khususnya aliran naturalis, sementara pada saat yang sama juga bertentangan dengan sastra kaum buruh atau aliran komunis atau sosialis. Ini adalah gerakan seni untuk seni, yang dipengaruhi oleh Kubuisme Eropa, eksperionisme, dan gaya modernis lainnya, yang disebut dengan Shinkankaku-ha, namun sering kali keliru karena ditafsirkan sebagai neo-imperionisme. Istilah Shinkankakuha yang digunakan Kawabata dan Yokomitsu untuk menggambarkan filsafatnya, tidak dimaksudkan sebagai versi baru atau pemulihan dari Imperionisme, dimana gerakan mereka dipusatkan pada upaya memberikan impresi baru atau, lebih tepatnya sensasi baru dalam penulisan sastra. Kawabata mulai mendapatkan pengakuan dengan sejumlah cerita pendek tidak lama setelah ia lulus, dan memperoleh kemasyhuran dengan Izu no Odoriko Gadis Penari dari Izu pada 1926, yaitu sebuah cerita yang menjelajahi erotisisme orang muda yang sedang berkembang. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema serupa. Kemudian setelah berakhirnya Perang Dunia II, suksesnya berlanjut dengan novel-novel seperti Seribu Bangau sebuah cerita tentang cinta yang bernasib malang, Suara Gunung, Rumah Perawan, Kecantikan dan Kesedihan dan Ibu Kota Lama. Buku yang ia sendiri anggap sebagai karyanya yang terbaik adalah Empu Go 1951, yaitu sebuah kontras yang tajam dengan karya-karyanya yang lainnya. Yang mengisahkan setengah fiksi tentang sebuah pertandingan besar Go pada tahun 1938. Karya ini benar-benar dilaporkannya dalam kelompok surat kabar Mainichi. Ini adalah permainan terakhir dari karier Empu Shusai, dan ia dikalahkan oleh penantang mudanya, dan meninggal sekitar setahun kemudian. Meskipun pada Universitas Sumatera Utara permukaannya cerita ini mengharukan, sebagai penceritaan kembali mengenai sebuah perjuangan puncak oleh sejumlah pembaca kisah ini dianggap sebagai paralel simbolis dari kekalahan Jepang pada Perang Duania II. Sehingga Kawabata merupakan kekuatan pendorong di balik penerjemahan sastra Jepang ke dalam bahasa Inggris dan bahasa-bahasa barat lainnya. Salah satu novelnya yang paling terkenal adalah Yukiguni Daerah Salju yang dimulai pada 1934, dan pertama kali diterbitkan secara bertahap sejak 1935 hingga 1937. Daerah Salju adalah sebuah cerita yang gamblang mengenai sebuah hubungan cinta antara seorang penulis amatir dari Tokyo dengan seorang geisha desa, yang berlangsung di sebuah kota dengan sumber air panas yang jauh di sebelah barat dari pegunungan Alpen Jepang. Novel ini memantapkan Kawabata sebagai salah satu pengarang terkemuka Jepang dan langsung menjadi sebuah klasik, yang digambarkan oleh Edward G. Seindensticker, yang merupakan adikarya Kawabata. Pada tahun 1968 Kawabata pergi ke Stockholm untuk menerima hadiah nobel bidang kesusastraan atas hasil karyanya yang utama, yaitu Yukiguni Daerah Salju . Di dalam pidatonya ketika menerima nobel tersebut, Kawabata mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang yang menerjemahkan bukunya ke dalam bahasa Inggris sehingga ia bisa mendapatkan hadiah nobel tersebut. Kawabata juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap tindakan bunuh diri walaupun dalam karya-karyanya ada juga yang menceritakan mengenai orang yang bunuh diri karena masalah yang berat dan persaan yang bersalah. Akan tetapi hadiah nobel diterimanya justru ketika ia sudah lama tidak menulis karya kreatif yang baru. Universitas Sumatera Utara Namun pada kenyataannya Kawabata tidak memegang setia perkataannya tersebut, karena Kawabata sendiri juga meninggal akibat bunuh diri tepatnya pada tanggal 16 April 1972 dengan meracuni dirinya dengan gas. Banyak anggapan yang muncul mengenai kematian Kawabata karena tidak meninggalkan catatan apapun, dan karena ia tidak pernah membahasnya secara sungguh-sungguh dalam tulisan- tulisannya, sehinnga apa yang menjai motif bunuh dirinya tetap tidak jelas. Seperti pohon pisang, setelah berbuah harus ditebang, daripada pembusukan, begitulah Kawabata mengakhiri nyawanya sendiri.

2.3 Sinopsis Novel Yukiguni