1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum penerapan otonomi daerah dalam UU 232014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan
tegas antara fungsi Pemerintahan Daerah Eksekutif dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Legislatif. Pemisahan fungsi tersebut membawa
perubahan, dimana legislatif memilih dan memberhentikan kepala daerah. Perubahan ini juga berimplikasi pada kian besarnya peran legislatif dalam
pembuatan kebijakan publik, termasuk penganggaran daerah. Eksekutif juga memiliki kekuatan yang lebih besar karena memiliki
pemahaman terhadap birokrasi dan administrasi, seluruh aturan dan perundang- undangan yang melandasinya serta hubungan langsung dengan masyarakat yang
telah berlangsung dalam waktu lama mengakibatkan penguasaan informasi eksekutif lebih baik dari pada legislatif Florensia, 2009. Selain lebih dominan
dalam proses penyusunan anggaran, pejabat eksekutif juga bertindak sebagai pelaksana anggaran, sehingga memiliki informasi keuangan yang lebih baik
dibanding pejabat legislatif. Keadaan ini dapat ditelaah melalui perspektif keagenan dalam proses
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang melihat hubungan DPRD-Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
2 Daerah
–masyarakat. Halim dan Abdullah 2006:54, menyatakan bahwa dalam hubungan keagenan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen dan
legislatif adalah prinsipal, sedangkan dalam hubungan legislatif dan rakyat pemilih, pemilih adalah prinsipal dan legislatif adalah agen. Permasalahan
timbul sebab dalam interaksinya, masing-masing pihak baik agen maupun prinsipal akan berusaha untuk mengutamakan kepentingannya masing-masing.
Pelaksanaan otonomi daerah memberi kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi pendapatannya seluas mungkin. Terdapat dua komponen utama
pendapatan daerah yakni Pendapatan Asli Daerah PAD dan Dana Perimbangan. Dalam penentuan PAD legislatif akan mendorong eksekutif untuk selalu
meningkatkan target sehingga dapat meningkatkan alokasi untuk program yang mendukung kepentingannya. Hal ini ditengarai sebagai perilaku oportunistik.
Masalah lain dalam pengalokasian anggaran adalah tidak diperhatikannya jangka waktu penetapan perubahan APBD, yang biasanya dilakukan beberapa
bulan sebelum berakhirnya tahun anggaran. Hal ini menjadikan anggaran tidak efektif atau bahkan tidak terserap sepenuhnya saat tahun anggaran berakhir, dan
berdampak pada tingginya SiLPA Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dimana dana yang seharusnya dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat
ternyata tidak terserap sepenuhnya. SiLPA ini memiliki pengaruh pada pengalokasian APBD periode selanjutnya, karena SiLPA akan digunakan untuk
menyeimbangkan anggaran yaitu dengan menutupi pengeluaran pembiayaan. Peluang perilaku oportunistik lain ditengarai juga terjadi pada sumber pendapatan
daerah yang berbentuk dana transfer pemerintah pusat, contohnya adalah Dana
Universitas Sumatera Utara
3 Alokasi Umum DAU. DAU berperan sebagai pemerata fiskal antar daerah
fisca l equa liza tion dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan
geografi, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan masyarakat di daerah. DAU merupakan block grant yakni hibah yang penggunaannya cukup fleksibel atau
tidak terikat dengan program pengeluaran tertentu Maryono, 2013. Dengan demikian kenaikan jumlah DAU dapat dimanfaatkan sebagai ruang untuk
mengusulkan alokasi belanja yang baru, yang bisa berbeda dengan prioritas pengalokasian pada tahun sebelumnya.
Menurut Jaya 2005 penyalahgunaan sumber daya dapat terjadi karena agen melepaskan tanggung jawabnya tanpa sepengetahuan prinsipal. Sebaliknya
prinsipal karena kekuasaan yang dimiliknya dapat berlaku semena-mena berkaitan dengan pengalokasian sember daya tersebut. Implikasinya, baik prinsipal ataupun
agen dapat berperilaku oportunistik untuk mendahulukan kepentingannya masing- masing. Perilaku oportunistik legislatif sebagai agen dari rakyat, terjadi bila
legislatif sebagai agen seharusnya membela kepentingan rakyat. Namun, kenyataannya seringkali berbeda. Rakyat tidak selalu mengetahui seluruh
informasi yang ada, dan bagaimana proses pengalokasian anggaran berlangsung. Kekuatan penuh yang dimiliki legislatif menyebabkan tekanan kepada
eksekutif me njadi semakin besar. Posisi eksekutif yang “sejajar” dengan legislatif
membuat eksekutif sulit menolak “rekomendasi” legislatif dalam pengalokasian sumberdaya yang memberikan keuntungan kepada legislatif, sehingga
menyebabkan pengeluaran anggaran dalam bentuk pelayanan publik mengalami penyimpangan dan merugikan publik. Dengan demikian, meskipun penganggaran
Universitas Sumatera Utara
4 merupakan bagian dari sistem informasi yang dapat digunakan untuk mengurangi
oportunisme agen Eisenhardt,1989 dalam Abdullah dan Asmara, 2006, kenyataannya dalam proses pengalokasian sumberdaya selalu muncul konflik
kepentingan di antara pelaku Jackson, 1982 dalam Abdullah dan Asmara, 2006. Untuk menjelaskan fenomena self-interest dalam penganggaran publik tersebut,
teori keagenan dapat dipakai sebagai landasan teoritis Cristinsen, 1992; Johnsin, 1994; Smith Bertozi, 1998 dalam Abdullah dan Asmara, 2006.
Alokasi sumberdaya dalam anggaran mengalami penyimpangan ketika politisi berperilaku korup. Perilaku korup ini terkait dengan peluang untuk
mendapatkan keuntungan pribadi pada proyek-proyek yang akan dibiayai dengan anggaran, yakni pengalokasian pada proyek-proyek yang mudah dikorupsi
Mauro, 1998a; 1998b dalam Abdullah dan Asmara, 2006 dan memberikan keuntungan politisi bagi politisi Keefer Khemani, 2003 dalam Abdullah dan
Asmara, 2006. Artinya, korupsi dan rent-seeking activities di pemerintahan berpengaruh terhadap jumlah dan komposisi pengeluaran pemerintah. Menurut
Garamfalvi, 1997 dalam Abdullah dan Asmara, 2006, korupsi dapat terjadi pada semua level dalam penganggaran, sejak perencanaan sampai pada pembayaran
dana-dana publik. Korupsi secara politis political corruption terjadi pada fase penyusunan anggaran di saat mana keputusan publik sangat dominan, dengan cara
mengalihkan alokasi sumberdaya publik. Sementara korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan anggaran disebut korupsi administratif administrative corruption
karena keputusan administrasi lebih dominan. Pada akhirnya korupsi politik akan menyebabkan korupsi administratif.
Universitas Sumatera Utara
5 Motivasi yang mendasari penelitian ini karena secara faktual banyak
penyimpangan fraud dalam penggunaan dana APBD, dimana penyimpangan tersebut diawali dari proses penyusunan anggaran yang ditengarai karena praktek
perilaku oportunistik para pemangku kepentingan. Data lain yang dilansir oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Fitra menyatakan adanya
penyalahgunaan dana APBD 2012 di seluruh Indonesia sebesar Rp 21 triliun. Dengan melihat hal
– hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti
“Determinan Perilaku Oportunistik dalam Penyusunan Anggaran Studi Pada KabupatenKota Di Sumatera Utara
”
1.2. Rumusan Masalah