Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

(1)

TESIS

KORELASI ANTARA NILAI EOSINOFIL DENGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH PADA ANAK

SYILVIA JIERO 117103014 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

KORELASI ANTARA NILAI EOSINOFIL DENGAN INFEKSI SOIL-TRANSMITTED HELMINTH PADA ANAK

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu Kesehatan Anak/ M.Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara

SYILVIA JIERO 117103014 / IKA

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(3)

(4)

PERNYATAAN

KORELASI ANTARA NILAI EOSINOFIL DENGAN INFEKSI

SOIL-TRANSMITTED HELMINTH PADA ANAK

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, 27 Februari 2015

Syilvia Jiero


(5)

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Salam sejahtera.

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas karunia-Nya tesis ini dapat diselesaikan.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pembimbing utama dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, M.Ked(Ped), Sp.A, Ph.D(CTM) dan Pembimbing II dr. Tina Christina L. Tobing, M.Ked(Ped), Sp.A(K), yang telah memberikan bimbingan, koreksi, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dan dukungan moril kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.

2. Prof. dr. H. Munar Lubis, Sp.A(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

3. dr. Hj. Melda Deliana, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran USU


(7)

yang telah membantu saya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini.

4. Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), Prof. Dr. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, DTM&H, M.Ked(Ped), Sp.A, dan dr. Hendri Wijaya, M.Ked(Ped), Sp.A yang sudah membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.

5. Prof. dr. Hj. Bidasari Lubis, Sp.A(K), dr. Hj. Lily Irsa, Sp.A(K), dr. Rita Evalina, M.Ked(Ped), Sp.A(K), dan dr. Zulfikar, Sp.PK(K) yang telah menguji, memberikan koreksi, saran, dan perbaikan pada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

6. Kepala Sekolah SDN 060969 dan SDN 064003, yang telah memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut.

7. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.

8. Teman-teman yang telah membantu saya dalam keseluruhan penelitian maupun penyelesaian tesis ini, Selwan Situngkir, Silvia Yasmin Lubis, Atika Rimalda Nasution, Sylvi Febriza Riskasari, Johan Christian Silaen, dan Yuni Arcan Sianturi. Terimakasih untuk kebersamaan kita dalam menjalani pendidikan selama ini.


(8)

9. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.

Kepada keluarga tercinta yaitu papa Jeffry Jiero, mama Linda Kustanto, papi Johan Siajadi, mami Merry Kustanto, om Gatot Kustanto, tante Lince Laurens, adik-adik saya Willian Jiero, Deddy Jiero, Ronny Jiero, dan Ricky Kustanto, serta kekasih tercinta Michael Norman Jusman yang selalu mendoakan, memberikan dorongan dan motivasi baik moral maupun materiil. Terima kasih atas doa, pengertian dan dukungan selama penulis menyelesaikan pendidikan ini.

Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang. Meski jauh dari sempurna, penulis tetap berharap tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan rahmat-Nya bagi kita semua, Amin.

Medan, 27 Februari 2015


(9)

DAFTAR ISI

Lembar Persetujuan Pembimbing i

Lembar Pernyataan ii

Ucapan Terima Kasih iv

Daftar Isi vii

Daftar Tabel ix

Daftar Gambar x

Daftar Singkatan xi

Daftar Lambang xii

Abstrak xiii

Abstract xiv

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 3

1.3. Hipotesis 3

1.4. Tujuan Penelitian 3

1.4.1. Tujuan Umum 3

1.4.2. Tujuan Khusus 3

1.5. Manfaat Penelitian 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 6

2.2. Eosinofil 15

2.3. Hubungan antara nilai eosinofil dan Infeksi

soil-transmitted helminth 20

2.4. Kerangka Konseptual 23

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain 24

3.2. Tempat dan Waktu 24

3.3. Populasi dan Sampel 24

3.4. Perkiraan Besar Sampel 25

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 25

3.5.1. Kriteria Inklusi 25

3.5.2. Kriteria Eksklusi 26

3.6. Persetujuan/ Informed Consent 26

3.7. Etika Penelitian 27

3.8. Cara Kerja 27

3.9. Alur Penelitian 30


(10)

3.11.1. Variabel Bebas 31

3.11.2. Variabel Tergantung 31

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 32

BAB 4. HASIL PENELITIAN 33

BAB 5. PEMBAHASAN 43

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan 50

6.2. Saran 50

RINGKASAN 52

SUMMARY 54

DAFTAR PUSTAKA 56

LAMPIRAN

Lampiran 1 62

1. Personil Penelitian 62

2. Biaya Penelitian 62

Lampiran 2. Jadwal Penelitian 63

Lampiran 3. Lembar Penjelasan Kepada Orang Tua 64 Lampiran 4. Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) 66

Lampiran 5. Kuesioner Penelitian 67

Lampiran 6. Pemeriksaan Kato-Katz 74

Lampiran 7. Prosedur Pengambilan Darah Perifer 79

Lampiran 8. Membuat Sediaan Apus Darah 81

Lampiran 9. Memulas Sediaan Apus Darah 83

Lampiran 10. Memeriksa Sediaan Apus Darah 84

Lampiran 11. Menghitung Jumlah Leukosit 85

Lampiran 12. Kurva pertumbuhan CDC 2000 untuk

anak perempuan usia 2-20 tahun 87 Lampiran 13. Kurva pertumbuhan CDC 2000 untuk8

anak laki-laki usia 2-20 tahun 88

Lampiran 14.Komite Etik 89


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Beberapa keadaan penyebab eosinofilia 19 Tabel 4.1. Karakteristik dasar responden penelitian 35 Tabel 4.2. Rerata nilai eosinofil pada infeksi soil-transmitted helminth 36 Tabel 4.3. Nilai eosinofil absolut pada infeksi soil-transmitted helminth 37 Tabel 4.4. Nilai rerata eosinofil dihubungkan dengan intensitas

Infeksi soil-transmitted helminth 37

Tabel 4.5. Karakteristik nilai eosinofil dihubungkan dengan

infeksi soil-transmitted helminth 38

Tabel 4.6. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada

ascariasis 39

Tabel 4.7. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada

trichuriasis 40

Tabel 4.8. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada

ascariasis pada infeksi campuran 41

Tabel 4.9. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka konseptual 23

Gambar 4.1. Profil penelitian 34

Gambar 4.2. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg

pada ascariasis 38

Gambar 4.3. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg

pada trichuriasis 39

Gambar 4.4. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg


(13)

DAFTAR SINGKATAN

ASP : Ancylostoma–secreted protein A. lumbricoides : Ascaris lumbricoides

BZA : Benzimidazole antihelmintik

CDC : Centre for Disease Control

DALY : Disability-adjusted life years

epg : Egg per gram

ESP : Excretory-secretory products

et al : et alia, et alii

GIS : Geographical information systems

GM-CSF : Granulocyte-macrophage colony- stimulating factor

IK : Interval kepercayaan

IL-3 : Interleukin 3

IL-5 : Interleukin 5

nepg : Number of egg per gram

PAM : Perusahaan air minum

PSP : Persetujuan setelah penjelasan

SD : Standar deviasi

STH : Soil -transmitted helminth T. trichiura : Trichuris trichiura

Th2 : T-helper 2

UNICEF : United Nations Children’s Fund


(14)

DAFTAR LAMBANG

Zα : Deviat baku normal untuk α = 1,96 Zβ : Deviat baku normal untuk β = 0,842

> : Lebih besar dari

< : Lebih kecil dari

≥ : Lebih besar atau sama dengan dari

≤ : Lebih kecil atau sama dengan dari

± : Kurang lebih

α : Kesalahan tipe I

β : Kesalahan tipe II

µL : Mikroliter

m : Meter

mg : Miligram

mm : Milimeter

n : Jumlah subjek/ sampel

P : Besarnya peluang untuk hasil yang diobservasi bila hipotesis nol benar

R2 : Nilai koefisien determinasi yang mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat Y dapat diterangkan oleh variabel bebas X

r : Korelasi minimal yang dianggap bermakna

X : Variabel bebas


(15)

ABSTRAK

Latar belakang Infeksi soil-transmitted helminth (STH) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Di seluruh dunia, infeksi parasit STH seringkali dihubungkan dengan kejadian eosinofilia yang bermakna. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda adanya infeksi STH.

Tujuan Mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH pada anak.

Metode Penelitian analitik observasional dengan pendekatan potong lintang terhadap anak sekolah dasar dilakukan selama bulan Februari sampai Maret 2014 di Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara. Sampel tinja diperiksa dengan metode Kato-Katz dan sampel darah diperiksa dengan sediaan apus darah tepi. Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH (bermakna jika P < 0.05).

Hasil Penelitian ini melibatkan 99 subjek (ascariasis n=40, trichuriasis n=9, campuran n=50). Prevalensi kecacingan didapatkan sebesar 65.4%, dengan prevalensi ascariasis, trichuriasis, dan infeksi campuran sebesar 37.1%, 21.9%, dan 40.8%. Rerata nilai eosinofil pada anak dengan ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18, 8.11, dan 8.64/µL darah (P = 0.32). Prevalensi kejadian eosinofilia pada ascariasis, trichuriasis, dan campuran sebesar 47.5%, 77.8%, dan 70% (P = 0.05). Nilai eosinofil memiliki hubungan bermakna dengan jumlah telur per gram tinja/ epg, dimana ascariasis memiliki korelasi tinggi (P < 0.001, r = 0.62) dan trichuriasis memiliki korelasi rendah (P = 0.04, r = 0.21).

Kesimpulan Nilai eosinofil memiliki korelasi tinggi dengan ascariasis dan korelasi rendah dengan trichuriasis. Nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda infeksi STH.


(16)

ABSTRACT

Background Soil-transmitted helminth (STH) infection in Indonesia still plays as one of major health related problems. It is often correlated with incidence of significant eosinophilia. Several studies report that eosinophil count elevation could be used as a marker of STH infection.

Objective To find correlation between eosinophil count with STH infection in children.

Method This is an observational analytic study with cross-sectional design in elementary children from February until March 2014. It was held in Medan Belawan district, North Sumatera province. Feces samples were examined with Kato-Katz method and blood samples were examined by peripheral blood smears. Data was analysed using Pearson correlation (significance if P < 0.05).

Result Ninety-nine subjects involved in this study (ascariasis n=40, trichuriasis n=9, mixed infection n=50). STH prevalence was found 65.4%, with prevalence of ascariasis, trichuriasis, and mixed infections were 37.1%, 21.9%, and 40.8%, respectively. Mean eosinophil count in children with ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 7.18, 8.11, and 8.64/µL blood (P = 0.32). Eosinophilia prevalence in ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 47.5%, 77.8%, and 70% (P = 0.05). Eosinophil count showed significant correlation with amount of egg per gram feces (epg), where ascariasis showed strong correlation (P < 0.001, r = 0.62) and trichuriasis showed weak correlation (P = 0.04, r = 0.21).

Conclusion Eosinophil count had a strong correlation with ascariasis and weak correlation with trichuriasis. It can be used as a marker of STH infection.


(17)

ABSTRAK

Latar belakang Infeksi soil-transmitted helminth (STH) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Di seluruh dunia, infeksi parasit STH seringkali dihubungkan dengan kejadian eosinofilia yang bermakna. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda adanya infeksi STH.

Tujuan Mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH pada anak.

Metode Penelitian analitik observasional dengan pendekatan potong lintang terhadap anak sekolah dasar dilakukan selama bulan Februari sampai Maret 2014 di Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara. Sampel tinja diperiksa dengan metode Kato-Katz dan sampel darah diperiksa dengan sediaan apus darah tepi. Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH (bermakna jika P < 0.05).

Hasil Penelitian ini melibatkan 99 subjek (ascariasis n=40, trichuriasis n=9, campuran n=50). Prevalensi kecacingan didapatkan sebesar 65.4%, dengan prevalensi ascariasis, trichuriasis, dan infeksi campuran sebesar 37.1%, 21.9%, dan 40.8%. Rerata nilai eosinofil pada anak dengan ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18, 8.11, dan 8.64/µL darah (P = 0.32). Prevalensi kejadian eosinofilia pada ascariasis, trichuriasis, dan campuran sebesar 47.5%, 77.8%, dan 70% (P = 0.05). Nilai eosinofil memiliki hubungan bermakna dengan jumlah telur per gram tinja/ epg, dimana ascariasis memiliki korelasi tinggi (P < 0.001, r = 0.62) dan trichuriasis memiliki korelasi rendah (P = 0.04, r = 0.21).

Kesimpulan Nilai eosinofil memiliki korelasi tinggi dengan ascariasis dan korelasi rendah dengan trichuriasis. Nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda infeksi STH.


(18)

ABSTRACT

Background Soil-transmitted helminth (STH) infection in Indonesia still plays as one of major health related problems. It is often correlated with incidence of significant eosinophilia. Several studies report that eosinophil count elevation could be used as a marker of STH infection.

Objective To find correlation between eosinophil count with STH infection in children.

Method This is an observational analytic study with cross-sectional design in elementary children from February until March 2014. It was held in Medan Belawan district, North Sumatera province. Feces samples were examined with Kato-Katz method and blood samples were examined by peripheral blood smears. Data was analysed using Pearson correlation (significance if P < 0.05).

Result Ninety-nine subjects involved in this study (ascariasis n=40, trichuriasis n=9, mixed infection n=50). STH prevalence was found 65.4%, with prevalence of ascariasis, trichuriasis, and mixed infections were 37.1%, 21.9%, and 40.8%, respectively. Mean eosinophil count in children with ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 7.18, 8.11, and 8.64/µL blood (P = 0.32). Eosinophilia prevalence in ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 47.5%, 77.8%, and 70% (P = 0.05). Eosinophil count showed significant correlation with amount of egg per gram feces (epg), where ascariasis showed strong correlation (P < 0.001, r = 0.62) and trichuriasis showed weak correlation (P = 0.04, r = 0.21).

Conclusion Eosinophil count had a strong correlation with ascariasis and weak correlation with trichuriasis. It can be used as a marker of STH infection.


(19)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Soil-transmitted helminth (STH) merupakan kelompok parasit cacing nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau melalui kontak dengan larva yang berkembang secara cepat pada tanah yang hangat dan basah di negara-negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Infeksi STH merupakan masalah global di bidang kesehatan masyarakat.1 Di Indonesia sendiri, infeksi STH masih merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan, terutama di pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya.2

Morbiditas akibat STH umumnya berhubungan dengan infeksi yang berat. Kurang lebih 720 juta penderita infeksi STH berat di dunia mengalami morbiditas berat yang berakhir dengan 135 000 kematian tiap tahunnya.3 Efek lain infeksi STH terhadap kesehatan adalah mempengaruhi gizi, pertumbuhan fisik dan mental, serta kemunduran dalam bidang intelektual dan kognitif pada anak.4

Data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) tahun 2002 dengan penggunaan Geographical Information Systems (GIS) didapatkan bahwa prevalensi tinggi infeksi STH ditemukan di Sumatera Utara sebesar 57% sampai 100%.5


(20)

Infeksi STH tergolong neglected disease yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas, dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang.2 Kelompok risiko tinggi infeksi STH adalah anak-anak dan wanita usia produktif disebabkan karena status besi yang kurang pada kelompok tersebut.1,6

Di seluruh dunia, infeksi parasit STH seringkali dihubungkan dengan kejadian eosinofilia yang bermakna.7 Eosinofil berbeda dari leukosit yang lain dalam hal morfologi, komposisi, dan hubungan dengan penyakit tertentu.8 Peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda adanya infeksi STH.9

Dari sebuah studi di Filipina didapatkan bahwa semakin tinggi nilai persentase eosinofil pada penderita infeksi STH, maka ditemukan jumlah telur per gram tinja yang makin meningkat.10 Nilai eosinofil mulai meningkat setelah termakan telur Ascaris lumbricoides (A. lumbricoides) pada hari ketujuh dan mencapai puncaknya setelah 20 hari. Namun setelah 1.5 bulan hingga 2 bulan, nilai eosinofil akan kembali normal tanpa pemberian terapi antihelmintik.11


(21)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : apakah terdapat korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak?

1.3. Hipotesis

Nilai eosinofil memiliki korelasi dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak.

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak.

1.4.2. Tujuan Khusus

1) Mengetahui distribusi frekuensi infeksi A. lumbricoides pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.

2) Mengetahui distribusi frekuensi infeksi Trichuris trichiura (T. trichiura) pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.

3) Mengetahui distribusi frekuensi infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.


(22)

5) Mengetahui nilai rata-rata eosinofil pada infeksi T. trichiura.

6) Mengetahui nilai rata-rata eosinofil pada infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura.

7) Membandingkan nilai rata-rata eosinofil antara infeksi A. lumbricoides, T. trichiura, serta campuran A. lumbricoides dan

T. trichiura.

8) Mengetahui prevalensi kejadian eosinofilia akibat infeksi A. lumbricoides pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.

9) Mengetahui prevalensi kejadian eosinofilia akibat infeksi T. trichiura pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.

10) Mengetahui prevalensi kejadian eosinofilia akibat infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura pada anak usia sekolah di lokasi penelitian.

11) Mengetahui hubungan nilai rerata eosinofil dengan intensitas infeksi soil-transmitted helminth.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Di bidang akademik/ ilmiah: meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang infeksi dan penyakit tropis anak, khususnya pengetahuan mengenai korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH pada anak dan peran nilai eosinofil sebagai penanda infeksi STH pada anak.


(23)

1.5.2. Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah yang memiliki fasilitas terbatas khususnya dalam mendiagnosis infeksi STH dengan nilai eosinofil. Selain itu dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pentingnya pola hidup bersih untuk pencegahan jangka panjang terhadap kecacingan.

1.5.3. Di bidang pengembangan penelitian: memberikan kontribusi ilmiah mengenai nilai rata-rata eosinofil pada infeksi A. lumbricoides, infeksi T. trichiura, dan infeksi campuran; gambaran distribusi frekuensi infeksi A. lumbricoides, infeksi T. trichiura, dan infeksi campuran; serta prevalensi kejadian eosinofilia akibat infeksi A. lumbricoides, infeksi T. trichiura, dan infeksi campuran.


(24)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 2.1.1. Definisi

Infeksi STH banyak ditemukan pada masyarakat yang tinggal di negara berkembang, terutama di daerah pedesaan. Soil-transmitted helminth (STH) adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) yang dalam perkembangannya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif.1 Terdapat 3 jenis infeksi STH dengan habitat pada usus manusia yang paling sering ditemukan, yaitu:12

1) Cacing gelang (roundworm/ A. lumbricoides) 2) Cacing cambuk (whipworm/ T. trichiura)

3) Cacing tambang (hookworm/ Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

2.1.2. Epidemiologi

Berdasarkan laporan terakhir oleh de Silva et al. pada tahun 2003 diperkirakan infeksi A. lumbricoides sebesar 1,221 miliar, T. trichiura 795 juta, dan cacing tambang 740 juta terjadi di seluruh dunia.1 Infeksi STH yang paling banyak terdapat di negara Cina dan Asia Timur, Sub-Sahara Afrika, India, serta Amerika.4 Di Indonesia angka nasional prevalensi kecacingan


(25)

pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar 33,3%, 33,0%, 46,8%, 28,4%, dan 32,6%.13

Berdasarkan data UNICEF tahun 2002 dengan penggunaan GIS didapatkan prevalensi tinggi kejadian infeksi STH di Indonesia terdapat di wilayah Irian Jaya (50 sampai 79.9%) dan Sumatera Utara (57% sampai 100%) serta prevalensi rendah di wilayah Jawa Timur (0.1 sampai 19.9%). Berdasarkan spesiesnya maka prevalensi di Sumatera Utara 50% sampai 79.9% untuk ascariasis, 80% sampai 100% untuk trichuriasis, dan 50% sampai 79.9% untuk infeksi cacing tambang.5 Data terbaru mengenai prevalensi kecacingan di beberapa wilayah Sumatera Utara juga menunjukkan prevalensi tinggi infeksi STH, dimana di Kelurahan Tembung tahun 2007 sebesar 73%;14 Sibolga tahun 2008 dijumpai sebesar 55.8%;15 Samosir tahun 2008 sebesar 56.4%;16 bahkan pada tahun 2011 terjadi peningkatan di Kabupaten Deli Serdang sebesar 84.4%.17

Kejadian ascariasis dan trihuriasis terbesar ditemukan pada anak yang berusia 5 sampai 15 tahun dan akan menurun pada usia dewasa. Sebaliknya infeksi cacing tambang mulai meningkat pada usia 20 tahun dan terus mengalami peningkatan pada usia dewasa.4

Infeksi STH lebih berakibat pada tingkat kesakitan (disability) dibandingkan kematian, beban yang ditanggung masyarakat diukur


(26)

menggunakan disability-adjusted life years (DALY). Infeksi A. lumbricoides dan T. trichiura masing-masing menyebabkan hilangnya DALY sebesar 10.5 juta dan 6.4 juta DALY setiap tahunnya.18

2.1.3. Faktor risiko

Baik faktor lingkungan maupun penjamu mempengaruhi berat ringannya infeksi STH.4 Terdapat beberapa faktor risiko kejadian infeksi STH sebagai berikut:

a) Perilaku, rumah tangga, dan pekerjaan

Intensitas infeksi cacing tambang tertinggi ditemukan pada orang dewasa. Pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian merupakan denominator infeksi cacing tambang.6

b) Kemiskinan, sanitasi, dan urbanisasi

Transmisi infeksi STH bergantung pada lingkungan yang telah tercemar tinja dan mengandung telur. Akibatnya, infeksi STH sangat erat kaitannya dengan kemiskinan, sanitasi yang buruk, dan kurangnya akses penyediaan air bersih. Pencemaran tanah terutama oleh telur cacing A. lumbricoides banyak terjadi di daerah pedesaan, pemukiman penduduk di daerah pinggiran kota, dan daerah kumuh.19


(27)

Penggunaan GIS dan remote sensing akhir-akhir ini dapat mengidentifikasi batasan distribusi infeksi STH berdasarkan pola suhu dan curah hujan.20

d) Etnis dan budaya

Ditemukan prevalensi infeksi A. lumbricoides yang tinggi pada suku Bantu dibandingkan suku Baka (Pygmy) di Republik Afrika Tengah, sama seperti pada suku Melayu atau suku India di Malaysia dibandingkan suku Cina. Di India, Nawalinski et al. menemukan prevalensi tinggi infeksi cacing tambang pada kalangan Muslim dibandingkan orang Hindu meskipun kedua kalangan tersebut tinggal berdekatan dan memiliki pola perilaku yang berhubungan dengan faktor risiko tidak jauh berbeda.21

e) Pola makan

Meskipun STH bukan merupakan infeksi yang ditularkan melalui makanan, namun telur A. lumbricoides dan larva cacing tambang akan melekat pada sayur-sayuran, dimana sayur-sayuran tersebut akan disebarkan ke pasar tanpa proses seleksi terlebih dahulu. Suatu survei di Jepang menemukan bahwa telur A. lumbricoides ditemukan pada 1 178 dari 2 750 item sayur-sayuran yang dijual di 40 toko di Tokyo.21

f) Genetik

Hingga saat ini belum diidentifikasi adanya gen yang dapat mengendalikan infeksi STH pada manusia. Namun, hasil penelitian


(28)

mengenai genom akhir-akhir ini menemukan adanya kromosom 1 dan 13 sebagai pengendali infeksi A. lumbricoides.22

2.1.4. Gejala klinis

Gejala klinis infeksi STH dapat dibagi dalam manifestasi akut yang berkaitan dengan migrasi larva melalui kulit dan visera, dan manifestasi akut serta kronik sebagai akibat dari cacing dewasa masuk ke saluran gastrointestinal. Manusia merupakan hospes definitif dari cacing tersebut. Di dalam tubuh, infeksi STH akan mempengaruhi pemasukan, pencernaan, penyerapan, dan metabolisme makanan.23

Manifestasi dari infeksi STH bervariasi dari gejala ringan sampai berat. Gejala intestinal ringan yang timbul berupa nausea, muntah, diare, nyeri perut, konstipasi, dan kehilangan nafsu makan. Sedangkan gejala yang lebih berat antara lain obstruksi usus, malnutrisi, perdarahan kronis, anemia, serta kolitis dengan tinja berlendir dan darah.23

2.1.4.1. Migrasi larva

Migrasi larva STH menimbulkan reaksi pada jaringan yang dilaluinya. Misalnya, larva A. lumbricoides yang meninggal saat migrasi melalui hepar dapat menimbulkan eosinophilic granuloma. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi


(29)

perdarahan kecil pada dinding alveolus berakibat timbulnya gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom Löffler. Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu dan pankreas, sehingga menyebabkan kolesistitis atau pankreatitis. Gejala lain yang dapat ditimbulkan akibat migrasi larva A. lumbricoides adalah gejala alergi seperti demam, urtikaria, dan penyakit granulomatosa.23,24

2.1.4.2. Parasit di saluran gastrointestinal

Umumnya manifestasi klinis akibat infeksi STH di saluran gastrointestinal terjadi bila intensitasnya sedang dan tinggi.

2.1.4.2.1. Ascariasis

Gejala yang timbul dapat disebabkan oleh cacing dewasa. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi acute bowel obstruction, hal ini terlihat dengan adanya gejala muntah,


(30)

distensi abdomen, dan rasa kram pada perut. Bahkan jika cacing bermigrasi ke dinding usus maka akan bermanifestasi sebagai peritonitis.23,24

2.1.4.2.2. Trichuriasis

Cacing T. trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat penderita mengejan saat defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia. Cacing dewasa T. trichiura diperkirakan menghisap darah sekitar 0.005 mL darah/ cacing/ hari. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Terkadang penderita memiliki riwayat rasa nyeri tersamar yang dirasakan pada regio abdomen kuadran kanan bawah. Penderita terutama anak-anak dengan infeksi T. trichiura yang berat dan menahun, menunjukkan gejala-gejala seperti diare yang sering disertai dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi kronis dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan disertai kemunduran dalam bidang intelektual dan kognitif.


(31)

Infeksi berat T. trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.23,25

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur atau cacing dewasa dalam tinja segar. Metode yang direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel tinja dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz dan McMaster. Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi dengan memperkirakan jumlah telur per gram tinja (egg per gram feces/ epg).26-28

2.1.6. Pengobatan

Terdapat 4 intervensi utama dalam pengobatan infeksi STH mencakup:

1. Pemberian obat antihelmintik

Pemberian obat antihelmintik (deworming) bertujuan untuk mengurangi morbiditas dengan mengurangi angka kesakitan akibat infeksi STH. Pemberian obat antihelmintik secara periodik terhadap kelompok yang berisiko tinggi dapat menurunkan angka kesakitan dan memperbaiki kesehatan serta pertumbuhan anak. Selain itu untuk ascariasis dan


(32)

dikurangi kejadian transmisinya dari waktu ke waktu. Obat yang direkomendasikan untuk kontrol infeksi STH adalah benzimidazole antihelmintik (BZAs), albendazole (dosis tunggal: 400 mg, kecuali dosis 200 mg untuk anak usia 12-24 bulan), mebendazole (dosis tunggal: 500 mg), levamisole, atau pirantel pamoat.18,29,30

2. Perbaikan sanitasi

Bertujuan untuk mengendalikan transmisi dengan mengurangi kontaminasi pada tanah dan air. Hal ini merupakan intervensi utama untuk mengurangi angka kejadian infeksi STH, namun strategi ini hanya efektif jika dapat menjangkau populasi yang luas. Jangkauan populasi yang luas ini yang menjadi kendala karena membutuhkan biaya yang besar. Lebih lanjut lagi, intervensi tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan hingga puluhan tahun agar dapat menjadi efektif.6,31

3. Edukasi kesehatan

Bertujuan untuk mengurangi kejadian transmisi dan reinfeksi dengan mempromosikan perilaku sehat. Cara sederhana dengan mengajarkan penggunaan jamban dan perilaku bersih. Tanpa adanya perubahan kebiasaan buang air besar, pemberian obat antihelmintik secara periodik diketahui tidak dapat mengurangi transmisi infeksi STH. Edukasi kesehatan merupakan cara yang sederhana namun dapat menurunkan angka kejadian infeksi STH secara berkelanjutan.31


(33)

4. Cara pengendalian baru

Tingginya kejadian reinfeksi setelah pemberian terapi antihelmintik pada daerah endemis tinggi serta berkurangnya efikasi pengobatan antihelmintik secara periodik diperkirakan karena adanya resistensi terhadap obat-obat antihelmintik tersebut. Penelitian terbaru sedang mengembangkan cara baru untuk mengendalikan infeksi STH melalui program pengembangan vaksin untuk infeksi cacing tambang yang mengandung antigen larva Ancylostoma–secreted protein (ASP) 2. Vaksin ini terbukti efektif dalam pencegahan pada model hewan. Hal ini diharapkan dapat memutuskan penyebaran infeksi STH. Akan tetapi vaksin tersebut masih dalam proses pengembangan agar dapat digunakan pada manusia.4,29

2.2. Eosinofil

2.2.1. Fungsi eosinofil

Eosinofil merupakan leukosit yang berasal dari sumsum tulang dimana perkembangan dan diferensiasi akhirnya berada dibawah kontrol beberapa sitokin seperti interleukin 3 (IL-3), granulocyte-macrophage colony- stimulating factor (GM-CSF), dan interleukin 5 (IL-5). Granulocyte macrophage-colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-3 menstimulasi perkembangan leukosit lain seperti monosit, neutrofil, basofil, sementara IL-5


(34)

berperan lebih spesifik pada eosinofil dimana bertanggung jawab dalam eosinofilopoiesis.7,32

Eosinofil memiliki diameter 8 µm dengan nukleus yang biasanya bilobus, terkadang bisa memiliki 3 atau lebih lobus. Ciri khas eosinofil adalah memiliki granul kristaloid yang besar, biasanya disebut granul spesifik atau sekunder. Granul kristaloid dikelilingi oleh membran dan mengandung protein dasar yang sangat kationik, dengan berat polipeptida 18 000 sampai 21 000 dalton. Protein dasar kationik tersebut diketahui memiliki aktivitas bakterisidal dan helmintotoksik. Selain itu eosinofil memiliki 4 tipe granul lainnya yaitu granul primer, granul kecil, badan lemak, dan vesikel sekretori kecil.32,33

Eosinofil membahayakan karena efek proinflamasi, namun dapat menguntungkan karena efek antiparasitik.34 Meskipun salah satu fungsi eosinofil adalah untuk memfagosit dan membunuh bakteri, namun eosinofil tidak dapat menghilangkan infeksi bakteri tanpa adanya bantuan neutrofil.32 Hipotesis mengenai fungsi utama eosinofil untuk melindungi pejamu dari infeksi organisme seperti STH berdasarkan beberapa penemuan sebagai berikut:35

a) Eosinofil berdegranulasi dan dapat membunuh cacing secara in vitro dengan adanya antibodi dan/atau komplemen


(35)

c) Sejumlah besar eosinofil seringkali terlihat berhubungan erat dengan cacing yang masih utuh bahkan telah mati secara in vivo

d) Eosinofil secara jelas berdegranulasi di sekitar atau pada permukaan cacing secara in vivo

Disamping berfungsi sebagai efektor perifer, eosinofil juga mengatur respon imun dengan meningkatkan pelepasan sitokin dan kemokin. Eosinofil berperan dalam beragam reseptor permukaan sel untuk memberi sinyal pada sel sehubungan dengan proses kemotaksis, adhesi, respiratory burst, degranulasi, produksi sitokin dan kemokin, apoptosis maupun bertahan hidup, dimana semuanya berhubungan dengan eosinophil-mediated tissue inflammatory responses ketika terjadi infeksi cacing.36

2.2.2. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan nilai eosinofil

Istilah eosinofilia (dahulu dikenal dengan istilah granulosit eosinofilik) adalah peningkatan eosinofil > 450 eosinofil/µl yang diukur dari darah perifer.33 Peningkatan nilai eosinofil dalam darah perifer dapat muncul pada beragam penyakit (lihat Tabel 2.1.), maka untuk menegakkan penyebab dibutuhkan anamnesis yang lengkap. Penyebab peningkatan nilai eosinofil yang paling sering di seluruh dunia adalah infeksi STH.7,8 Terdapat beberapa obat yang dapat menurunkan nilai eosinofil, seperti glukokortikoid, estrogen, epinefrin,


(36)

obat myelosupresif, interferon alfa, antihistamin, kromolin, siklosporin, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta inhibitor fosfodiesterase.34

Nilai eosinofil dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan apusan darah tepi dan pemeriksaan darah vena di laboratorium.8 Nilai eosinofil mengikuti variasi diurnal dengan nilai terendah pada jam 10 pagi hingga siang hari dan mencapai 2 kali dari nilai terendah antara tengah malam hingga pukul 4 subuh.7,37

Kejadian eosinofilia merupakan kelainan darah yang umum terjadi di daerah tropis. Prevalensi kejadian eosinofilia di Kisaran sebesar 7.7% dibandingkan dengan negara di Eropa 2.8%. Prevalensi yang tinggi juga ditemukan di India (W. Bengal) sebesar 26.7% dibandingkan dengan negara di Eropa sebesar 2.1%. Diperkirakan bahwa kejadian eosinofilia pada masyarakat pedesaan tersebut berhubungan dengan tingginya insidensi infeksi parasit.11


(37)

Tabel 2.1. Beberapa keadaan penyebab eosinofilia8

Alergi Rinitis alergi Asma

Urtikaria akut dan kronik

Pemphigoid

Reaksi hipersensitivitas obat Infeksi

Infeksi cacing yang berinvasi ke jaringan Trichinosis Toxocariasis Strongyloidosis Ascariasis Filariasis Schistosomiasis Echinococcosis Pneumocystis carinii Toksoplasmosis Amebiasis Malaria Bronchopulmonary aspergillosis Coccidioidomycosis Scabies Keganasan Tumor otak

Penyakit Hodgkin dan limfoma sel T Leukemia myelogenik akut

Kelainan myeloproliferatif Gastrointestinal

Inflammatory Bowel Disease

Dialisis peritoneal

Eosinophilic gastroenteritis Milk precipitin disease

Hepatitis aktif kronis Reumatologi Artritis rheumatoid Eosinophilic fasciitis Imunodefisiensi Hyper-IgE syndrome Wiskott-Aldrich syndrome Graft vs host reaction Omenn syndrome Penyakit paru Sindrom Löffler Leukemia eosinofilik Hipersensitivitas pneumonia Lain-lain

Trombocytopenia with absent radii

Vaskulitis


(38)

2.3. Hubungan antara nilai eosinofil dan infeksi soil-transmitted helminth

Pada awal tahun 1939, eosinofil dianggap berperan sebagai respon imun pada infeksi cacing. Kejadian eosinofilia pada infeksi selain sebagai reaksi patologi juga merupakan reaksi imunitas protektif.38 Banyak ilmuwan menganggap bahwa fungsi utama eosinofil adalah perlindungan terhadap parasit, meskipun hanya sedikit bukti studi in vivo yang membuktikan hal tersebut. Eosinofil juga muncul dalam jumlah besar pada mamalia jika terjadi lesi inflamasi terkait dengan infeksi cacing atau kondisi alergi.39

Eosinofil timbul dalam sumsum tulang dari sel prekursor haematopoietik CD34. Pada tahap awal diferensiasi, eosinofil dikendalikan oleh sitokin GM-CSF dan IL-3, yang juga mengendalikan perkembangan granulosit lain seperti neutrofil, basofil, dan sel mast. Tahap selanjutnya dari diferensiasi dan pematangan, sebagian besar eosinofil dikendalikan oleh sitokin IL-5, yang diproduksi oleh sel T aktif dan sel mast.39,40 Respon T-helper 2 (Th2) jelas terlibat dalam infeksi STH, dimana memberikan kemungkinan adanya kelangsungan hidup pada penderita infeksi STH sekaligus melindungi terhadap superinfeksi.41,42

Pada individu yang normal, eosinofil ditemukan dalam jaringan, terutama yang berinteraksi dengan dunia luar, seperti di kulit, permukaan mukosa usus, pernapasan, dan sistem reproduksi.39 Eosinofil yang diproduksi di sumsum tulang dilepaskan dalam jumlah yang rendah ke sirkulasi darah.


(39)

Eosinofil merupakan sel yang berdiferensiasi akhir setelah meninggalkan sumsum tulang dengan umur paruh waktu sekitar 18 jam.32

Masa hidup eosinofil pada jaringan normal tidak diketahui pasti, namun diperkirakan dapat bertahan selama beberapa hari bahkan minggu. Eosinofil hanya bertahan hidup beberapa jam dalam sirkulasi darah. Pada infeksi STH, eosinofil dikeluarkan lebih cepat dari sumsum tulang dengan terstimulasi kurang lebih dalam 1 jam. Kelangsungan hidup eosinofil dalam jaringan juga meningkat dan laju eosinofilopoiesis dalam sumsum tulang meningkat secara dramatis.32,43-45 Diketahui bahwa IL-3, IL-5, dan GM-CSF dapat menghambat proses apoptosis eosinofil selama kurang lebih 12 sampai 14 hari secara in vitro dan pada penderita sinusitis. Sebaliknya tanpa adanya sitokin tersebut, eosinofil hanya dapat bertahan kurang dari 48 jam.34

Eosinofil sangat cepat mengalami pergantian pada lesi inflamasi dimana hanya bertahan hidup 4 sampai 5 hari.39 Diketahui bahwa apoptosis pada eosinofil yang dipicu oleh helminth-derived excretory-secretory products (ESP) dapat menyebabkan inflamasi jaringan berat yang turut berperan dalam melawan infeksi kecacingan.46

Studi di Jepang membuktikan adanya hubungan signifikan ascariasis dengan derajat eosinofilia.47 Namun tidak terdapat perubahan signifikan nilai eosinofilia pada trichuriasis, bahkan jika terjadi migrasi cacing ke mukosa usus besar.25 Dari studi oleh James B. Sumagaysay et al. di Filipina


(40)

cacing tambang, T. trichiura, dan koinfeksi adalah 10%, 15.1%, 13%, dan 15.8%.10


(41)

2.4. Kerangka Konseptual

Keterangan: yang diamati dalam penelitian

Lymphoblast IL-3 GM-CSF Common Myeloid Progenitor Eritrosit KOMPLIKASI Netrofil Eosinofil

Ascariasis Trichuriasis

IL-3 IL-5 GM-CSF Proerythroblast Infeksi Cacing Tambang Infeksi Strongyloides stercoralis - Perilaku, rumah tangga,

dan pekerjaan

- Kemiskinan, sanitasi, dan urbanisasi

- Iklim, cuaca, dan musim - Etnis dan budaya - Pola makan

Infeksi Enterobius vermicularis Hematocytoblast

Sel B Sel T

Megacaryosit Myeloblast

Trombosit

Basofil Monosit

Infeksi Trichinella

spiralis Status nutrisi: - Berat badan - Tinggi Badan

Anemia

Hati, Paru, Kulit, Saluran cerna, Saluran

empedu, Pankreas Common Lymphoid Progenitor Infeksi Soil-Transmitted Helminths Fungsi kognitif: - Kemampuan verbal - Kemampuan motorik - Kemampuan aritmetik - Kehadiran di sekolah


(42)

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan potong lintang yang melihat korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak.

3.2. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan mulai bulan Februari 2014 sampai Maret 2014.

3.3. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah anak usia sekolah yang menderita ascariasis, trichuriasis, atau infeksi campuran. Populasi terjangkau adalah anak di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara. Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Cara pengambilan sampel yaitu pemilihan tidak berdasarkan peluang jenis consecutive sampling.


(43)

3.4. Perkiraan Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus sampel untuk koefisien korelasi dengan sampel tunggal,yaitu:48

( Z α + Z β)

n = + 3

0.5 ln [(1+r)/(1-r)]

n = besar sampel

α = kesalahan tipe I = 0,05  Tingkat kepercayaan 95% Zα = deviat baku normal untuk α = 1,96

β = kesalahan tipe II = 0,2  Power (kekuatan penelitian) 80% Zβ = deviat baku normal untuk β = 0,842

r = korelasi minimal yang dianggap bermakna  r = 0.32849

Dengan menggunakan rumus di atas, maka jumlah minimal sampel yang dibutuhkan adalah sebanyak 71 orang.

3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria Inklusi

1. Anak yang berusia 6 sampai 12 tahun


(44)

2. Dari hasil pemeriksaan Kato didapati telur A. lumbricoides, T. trichiura, atau campuran

3.5.2. Kriteria Eksklusi

1. Tidak mengembalikan pot yang berisi tinja untuk pemeriksaan Kato-Katz 2. Menolak dilakukan pengambilan sampel darah

3. Anak yang menderita penyakit alergi (misalnya, asma, dermatitis atopi), reumatologi, keganasan, imunodefisiensi, gastrointestinal, dan infeksi parasit selain soil-transmitted helminth

4. Anak yang memiliki riwayat konsumsi obat antihelmintik dalam 3 bulan terakhir

5. Anak yang sedang mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi nilai eosinofil (misalnya, glukokortikoid, obat myelosupresif, interferon alfa, antihistamin, kromolin, siklosporin, inhibitor dan antagonis leukotrien, dan inhibitor fosfodiesterase)

3.6. Persetujuan/ Informed Consent

Semua sampel penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu. Formulir penjelasan terlampir dalam usulan penelitian ini.


(45)

3.7. Etika Penelitian

Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3.8. Cara Kerja

1. Membuat perjanjian terlebih dahulu dengan orang tua anak di lokasi penelitian melalui kepala sekolah.

2. Orang tua pasien diberikan penjelasan mengenai korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak.

3. Orang tua pasien diminta persetujuan agar anak boleh diikutsertakan dalam penelitian ini.

4. Dilakukan pengumpulan data primer (identitas pribadi dan data orang tua).

5. Pot tinja yang sudah diberi nomor dibagikan pada anak-anak yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

6. Pot tinja tersebut diisi dengan tinja sekitar 100 mg (sebesar kelereng atau ibu jari tangan) pada hari berikutnya. Tinja diambil pada pagi hari saat anak sedang buang air besar, tidak boleh terkena air atau lantai kamar mandi.

7. Tinja yang terkumpul diperiksa dengan metode pemeriksaan Kato oleh analis terlatih di Laboratorium Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit


(46)

Umum Pusat Haji Adam Malik dan peneliti pada hari yang sama dengan pengumpulan tinja.

8. Hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya telur A. lumbridoides, T. trichiura, atau kedua jenis telur, maka akan dilakukan pemeriksaan Katz untuk menghitung jumlah epg (lihat Lampiran 6).

9. Anak yang menunjukkan adanya telur A. lumbridoides, T. trichiura, atau kedua jenis telur, dilakukan pengambilan sampel darah perifer (lihat Lampiran 7) pada tengah hari (pukul 10.00 WIB sampai 12.00 WIB) di kaca objek yang sudah diberi nomor dan vacuum blood tube 3 mL EDTA K3 yang sudah diberi nomor pada hari berikutnya.

10. Sediaan apus darah tepi tersebut difiksasi menggunakan methanol, kemudian dilakukan pewarnaan (lihat Lampiran 9).

11. Dilakukan pengumpulan data melalui pengisian kuesioner oleh orang tua anak dengan bantuan pewawancara menggunakan panduan kuesioner yang telah ada.

12. Kuesioner langsung dikumpulkan pada hari yang sama dengan pembagian kuesioner.

13. Anak-anak yang menderita ascariasis, trichuriasis, atau infeksi campuran ascariasis dan trichuriasis diberikan terapi antihelmintik berupa albendazole dosis tunggal 400 mg.

14. Dilakukan pemeriksaan sediaan apus darah tepi untuk menghitung jumlah eosinofil dan pemeriksaan kamar hitung Improved Neubauer


(47)

untuk menghitung jumlah leukosit pada masing-masing anak (lihat Lampiran 10 dan Lampiran 11) oleh analis terlatih di Laboratorium Klinik Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dan peneliti.


(48)

3.9. Alur Penelitian

- Anak usia 6 sampai 12 tahun dengan atau tanpa gejala klinis kecacingan

- Mengisi data primer

- Menyetujui informed consent

Dilakukan pengumpulan tinja dalam pot tinja yang sudah diberi nomor

Pemeriksaan tinja dilakukan dengan metode Kato

- Mengisi kuesioner yang dibagikan

- Dilakukan pemeriksaan tinja dengan metode Katz

- Dilakukan pemeriksaan sediaan apus darah tepi pada kaca objek yang sudah diberi nomor untuk melihat profil eosinofil

- Dilakukan pemeriksaan kamar hitung Improved Neubauer yang sudah diberi nomor untuk menghitung jumlah leukosit

Anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

Diberikan terapi antihelmintik


(49)

3.10. Identifikasi Variabel

Variabel bebas Skala

Nilai eosinofil Numerik

Variabel tergantung Skala

Jumlah telur per gram tinja Numerik

3.11. Definisi Operasional Variabel Penelitian 3.11.1. Variabel Bebas

Nilai eosinofil adalah jumlah eosinofil dalam darah perifer yang diperiksa dengan melakukan pemeriksaan apusan darah tepi.

3.11.2. Variabel Tergantung

1. Infeksi A. lumbricoides bila dijumpai telur A. lumbricoides pada tinja melalui pemeriksaan mikroskopis dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz.28 Dikatakan infeksi ringan jika terdapat 1 sampai 4 999 epg; infeksi sedang jika terdapat 5 000 sampai 49 999 epg; dan infeksi berat jika terdapat > 50 000 epg.26

2. Infeksi T. trichiura bila dijumpai telur T. trichiura pada tinja melalui pemeriksaan mikroskopis dengan teknik hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz.28 Dikatakan infeksi ringan jika terdapat 1 sampai 999 epg; infeksi


(50)

sedang jika terdapat 1 000 sampai 9 999 epg; dan infeksi berat: jika terdapat > 10 000 epg.26

3.12. Rencana Pengolahan dan Analisa Data

Pengolahan data yang terkumpul menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 19.0 dengan tingkat kebermaknaan P < 0.05 dan interval kepercayaan (IK) 95%. Data deskriptif dinilai dengan melihat rerata, persentase, dan standar deviasi. Analisis data untuk mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH digunakan korelasi Pearson. Untuk melihat persamaan regresi korelasi antara nilai eosinofil dengan jumlah telur per gram tinja pada infeksi STH digunakan persamaan regresi linier.


(51)

BAB 4. HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di 2 sekolah dasar (Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003) di kecamatan Medan Belawan yang berjarak ± 15 km dari kota Medan selama bulan Februari dan Maret 2014. Di lokasi tersebut diperiksa 658 anak, diantaranya 74 anak tidak mengembalikan pot, dan sisanya sebanyak 584 anak diperiksa terhadap adanya infeksi A. lumbricoides, T. trichiura, atau kedua jenis telur. Dari hasil pemeriksaan tinja didapatkan 382 anak yang menderita kecacingan, diantaranya 142 anak positif menderita infeksi A. lumbricoides, 84 anak positif menderita infeksi T. trichiura, dan 156 anak positif menderita infeksi campuran. Orang tua dari anak yang terinfeksi STH diminta persetujuan untuk pengambilan sampel darah. Sebanyak 99 anak bersedia untuk dilakukan pengambilan sampel darah pada kaca objek yang sudah diberi nomor dan vacuum blood tube 3 mL EDTA K3 yang sudah diberi nomor. Profil penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.1.


(52)

Gambar 4.1. Profil penelitian

Prevalensi kecacingan di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan didapatkan sebesar

658 anak yang masuk dalam skrining

584 anak diperiksa dengan metode Kato-Katz

74 anak tidak mengembalikan pot untuk pemeriksaan tinja

382 anak menderita infeksi STH :

- 142 anak terinfeksi A. lumbricoides

- 84 anak terinfeksi T. trichiura

- 156 anak terinfeksi A. lumbricoides dan T. trichiura

99 anak dilakukan pengambilan sampel darah pada kaca objek yang sudah diberi nomor dan vacuum blood tube 3

mL EDTA K3 yang sudah diberi nomor

283 anak tidak bersedia dilakukan pengambilan sampel darah 202 anak tidak menderita infeksi


(53)

65.4%, dengan prevalensi ascariasis sebesar 37.1%, prevalensi trichuriasis sebesar 21.9%, dan prevalensi infeksi campuran sebesar 40.8%. Dapat diketahui bahwa kebanyakan anak menderita infeksi campuran.

Tabel 4.1. Karakteristik dasar responden penelitian

Karakteristik Ascariasis (n=40) Trichuriasis (n=9) Campuran (n=50) Jenis Kelamin

Laki-laki, n (%) Perempuan, n (%)

22 (55) 18 (45) 3 (33.3) 6 (66.7) 21 (42) 29 (58) Usia (tahun), rerata (SD) 9.1 (1.5) 8.44 (1.6) 9.34 (1.5) Berat Badan (kg), rerata (SD) 23.8 (8.1) 20.6 (4.3) 23.3 (5.9) Tinggi Badan (cm), rerata (SD) 124.5 (11.5) 119.6 (11.0) 123.7 (11.3) BB/ TB (%), rerata (SD) 94.1 (14.2) 90.9 (9.3) 94.4 (10.3) Status Gizi, n (%)

Normoweight

Malnutrisi Ringan Malnutrisi Sedang Gizi Lebih (Overweight) Obesitas 19 (47.5) 12 (30) 4 (10) 3 (7.5) 2 (5.0) 6 (66.7) 2 (22.2) 1 (11.1) 0 (0.0) 0 (0.0) 30 (60.0) 13 (26.0) 5 (10.0) 1 (2.0) 1 (2.0) Intensitas infeksi, n (%)

Ringan Sedang Berat 37 (92.5) 3 (7.5) 0 (0.0) 8 (88.9) 1 (11.1) 0 (0.0) 38 (76.0) 12 (24.0) 0 (0.0) Pekerjaan Ayah, n (%)

Buruh Nelayan Pegawai Negeri Petani Tukang Becak Wiraswasta 1 (2.5) 19 (47.5) 0 (0.0) 0 (0.0) 1 (2.5) 19 (47.5) 0 (0.0) 4 (44.4) 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) 5 (55.6) 1 (2.0) 17 (34.0) 3 (6.0) 1 (2.0) 0 (0.0) 28 (56.0) Pekerjaan Ibu, n (%)

Ibu Rumah Tangga Wiraswasta 31 (77.5) 9 (22.5) 9 (100.0) 0 (0.0) 37 (74.0) 13 (26.0) Pendidikan Ayah, n (%)

Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi 1 (2.5) 7 (17.5) 14 (35.0) 17 (42.5) 1 (2.5) 0 (0.0) 3 (33.3) 4 (44.4) 2 (22.2) 0 (0.0) 2 (4.0) 17 (34.0) 11 (22.0) 19 (38.0) 1 (2.0) Pendidikan Ibu, n (%)

Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi 3 (7.5) 15 (37.5) 7 (17.5) 14 (35.0) 1 (2.5) 0 (0.0) 7 (77.8) 2 (22.2) 0 (0.0) 0 (0.0) 6 (12.0) 11 (22.0) 20 (40.0) 12 (24.0) 1 (2.0)


(54)

Dari karakteristik dasar responden peneltian pada Tabel 4.1. yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan infeksi campuran didapatkan rerata usia anak 9.1, 8.44, dan 9.34 tahun dengan rentang usia anak adalah 7-13 tahun.

Dari keseluruhan sampel diketahui 55.6% pasien memiliki status nutrisi normoweight, 27.3% malnutrisi ringan, 10.1% malnutrisi sedang, 4% gizi lebih, dan 3% obesitas. Intensitas infeksi seluruh sampel dominan derajat intensitas ringan yaitu 83.8% dan 16.2% intensitas sedang. Tidak dijumpai adanya derajat infeksi intensitas berat. Sebanyak 62.6% anak tidak rutin mengkonsumsi obat cacing dan 63.6% tidak memiliki pengetahuan mengenai kecacingan. Dari penelitian ini tidak dijumpai adanya infeksi cacing tambang.

Tabel 4.2. Rerata nilai eosinofil pada infeksi soil-transmitted helminth

Infeksi soil-transmitted

helminth

Nilai Eosinofil (per µL darah)

P Rerata Standar

Deviasi

Interval Kepercayaan 95%

Terendah Tertinggi

Ascariasis 7.18 2.66 6.32 8.03

0.32 Trichuriasis 8.11 2.42 6.25 9.97

Campuran 8.64 3.30 7.70 9.58

Dari Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa rerata nilai eosinofil pada anak yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18, 8.11, dan 8.64/µL darah (P = 0.32). Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan


(55)

bermakna antara rerata nilai eosinofil pada infeksi tunggal serta infeksi campuran. Rerata nilai eosinofil tertinggi dijumpai pada anak yang menderita infeksi campuran.

Tabel 4.3. Nilai eosinofil absolut pada infeksi soil-transmitted helminth

Nilai Eosinofil Absolut (eosinofil/µL)

Ascariasis (n = 40)

Trichuriasis (n = 9)

Campuran (n = 50)

P

≤ 450, n (%) 21 (52.5) 2 (22.2) 15 (30)

0.05 > 450, n (%) 19 (47.5) 7 (77.8) 35 (70)

Dari Tabel 4.3. dapat diketahui prevalensi kejadian eosinofilia pada anak yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah sebesar 47.5%, 77.8%, dan 70%. Hal ini menunjukkan bahwa trichuriasis memiliki prevalensi kejadian eosinofilia tertinggi dibandingkan ascariasis dan infeksi campuran. Tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian eosinofilia pada infeksi STH (P = 0.05).

Tabel 4.4. Nilai rerata eosinofil dihubungkan dengan intensitas infeksi soil-transmitted helminth

Intensitas Infeksi

Nilai RerataEosinofil

(per µL darah) P

Ringan 7.11

< 0.001


(56)

Tabel 4.5. Karakteristik nilai eosinofil dihubungkan dengan infeksi soil-transmitted helminth

Karakteristik Nilai Eosinofil

r P

Ascariasis (epg) 0.62 <0.001

Trichuriasis (epg) 0.21 0.04

Dari Tabel 4.5. diketahui bahwa nilai eosinofil ada hubungan bermakna dengan jumlah epg pada infeksi soil-transmitted helminth, dimana nilai P < 0.001 (r = 0.62) pada ascariasis dan nilai P = 0.04 (r = 0.21) pada trichuriasis. Ascariasis memiliki perbedaan nilai eosinofil dengan jumlah telur yang lebih bermakna dibandingkan trichuriasis. Diketahui juga bahwa nilai rerata eosinofil memiliki hubungan yang bermakna dengan intensitas infeksi baik ascariasis dan trichuriasis (Tabel 4.4.) dengan nilai P < 0.001.

Gambar 4.2. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis. Garis merah menunjukkan garis korelasi.

Y = 615.141X – 1654.834 R² = 0.170

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000

0 2 4 6 8 10 12 14 16

A S C A R IA S IS ( E P G ) PERSENTASE EOSINOFIL


(57)

Tabel 4.6. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis

Variabel Dependen

Koefisien Nilai Estimasi

Interval Kepercayaan 95%

P R2

Ascariasis

(epg) b0 -1654.834 -4833.325 – 1523.657 0.29 17% b1 615.141 199.127 – 1031.154 0.01

Hasil regresi dari 40 data pasien dengan ascariasis (Gambar 4.2.) memprediksi kejadian ascariasis dari jumlah eosinofil yang ditemui (slope = 615.141; R2 = 0.170; Y = 615.141X – 1654.834; P = 0.01). Nilai R2 (Tabel 4.6.) menunjukkan adanya 17% variasi kejadian ascariasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan nilai eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi ascariasis (epg) sebesar 615.141.

Gambar 4.3. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada Y = 95.090X – 381.953

R² = 0.210

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

0 2 4 6 8 10 12 14

T R IC H U R IA S IS ( E P G ) PERSENTASE EOSINOFIL


(58)

Tabel 4.7. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada trichuriasis

Variabel Dependen

Koefisien Nilai Estimasi

Interval Kepercayaan 95%

P R2

Trichuriasis

(epg) b0 -381.953 -1453.949 – 690.043 0.43 21% b1 95.090 -32.132 – 222.313 0.12

Hasil regresi dari 9 data pasien dengan trichuriasis (Gambar 4.3.) memprediksi kejadian trichuriasis dari jumlah eosinofil yang ditemui (slope = 95.090; R2 = 0.210; Y = 95.090X – 381.953; P = 0.12). Nilai R2 (Tabel 4.7.) menunjukkan adanya 21% variasi kejadian trichuriasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi trichuriasis (epg) sebesar 95.090.


(59)

Gambar 4.4. Korelasi antara persentase eosinofil dengan jumlah epg pada infeksi campuran. Garis merah menunjukkan garis korelasi.

Tabel 4.8. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada ascariasis pada infeksi campuran

Variabel Dependen

Koefisien Nilai Estimasi

Interval Kepercayaan 95%

P R2

Ascariasis

(epg) b0 -12906.138 -18582.532 – -7229.743 <0.001 51.6 % b1 2230.692 1616.156 – 2845.228 <0.001

Tabel 4.9. Hasil regresi nilai eosinofil dengan jumlah epg pada trichuriasis pada infeksi campuran

Variabel Dependen

Koefisien Nilai Estimasi

Interval Kepercayaan 95%

P R2

Trichuriasis

(epg) b0 205.117 38.877 – 371.358 0.02 2.0% Y = 2230.692X – 12960.138

R² = 0.516

Y = 2593X + 205.117 R² = 0.002 -10000 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000

0 5 10 15 20

E G G P E R G R A M PERSENTASE EOSINOFIL ASCARIASIS TRICHURIS


(60)

Hasil regresi dari 52 data pasien dengan infeksi campuran (ascariasis dan trichuriasis) (Gambar 4.4.) memprediksi kejadian infeksi dari jumlah eosinofil yang ditemui untuk ascariasis (slope = 2230.692; R2 = 0.516; Y = 2230.692X – 12960.138; P < 0.001) dan untuk trichuriasis (slope = 2593; R2 = 0.002; Y = 2593X + 205.117; P = 0.77). Untuk ascariasis, nilai R2 (Tabel 4.8.) menunjukkan adanya 51.6% variasi kejadian ascariasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi ascariasis (epg) sebesar 2230.692. Untuk trichuriasis, nilai R2 (Tabel 4.9.) menunjukkan adanya 2.0% variasi kejadian trichuriasis (epg) yang berhubungan dengan variasi persentase nilai eosinofil. Nilai slope menunjukkan bahwa setiap peningkatan eosinofil sebesar 1 per µL darah terdapat peningkatan peluang terjadi trichuriasis (epg) sebesar 2 593.


(61)

BAB 5. PEMBAHASAN

Infeksi STH masih merupakan merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara miskin dan yang sedang berkembang.50-53 A. lumbricoides, T. trichiura, dan Necator americanus merupakan jenis cacing yang paling sering ditemukan.54 Banyak penelitian epidemiologi yang memperlihatkan bahwa penderita infeksi kecacingan cenderung terinfeksi oleh lebih dari satu jenis cacing.55 Penelitian pada 65 anak sekolah dasar di Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara pada tahun 2008 ditemukan prevalensi kecacingan sebesar 53.8%.56

Studi ini juga menemukan bahwa infeksi STH masih endemis di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, Sumatera Utara. Dari penelitian ini diperoleh prevalensi kecacingan di kedua sekolah tersebut sebesar 65.4%, dengan prevalensi ascariasis sebesar 37.1%, trichuriasis sebesar 21.9%, dan infeksi campuran sebesar 40.8%. Dapat diketahui juga bahwa kebanyakan anak menderita infeksi campuran.

Iklim tropis di Indonesia menyebabkan kecacingan akibat infeksi nematoda usus masih merupakan masalah kesehatan publik yang penting.54 Curah hujan yang melebihi 1 500 mm per tahun menyebabkan prevalensi


(62)

tanah yang optimal untuk perkembangan A. lumbricoides dan T. trichiura berkisar antara 15 sampai 37 derajat Celcius.57,58

Kecamatan Medan Belawan berjarak 26 km dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam dari pusat kota Medan. Letak kecamatan Medan Belawan berada pada ketinggian 1 m dari permukaan laut, dengan suhu antara 32 derajat Celcius, serta memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh musim hujan dengan rata-rata curah hujan 2 600 mm per tahun.59 Ini merupakan kondisi lingkungan yang optimal untuk perkembangan STH.

Infeksi cacing tambang banyak ditemukan pada usia dewasa dan pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian.60 Kejadian ascariasis dan trichuriasis menurun seiring dengan pertambahan usia, sebaliknya pada infeksi cacing tambang mengalami peningkatan pada usia 15 tahun.61

Dari penelitian ini tidak dijumpai adanya infeksi cacing tambang. Hal ini mungkin disebabkan karena kesadaran murid untuk memakai alas kaki sudah tinggi yaitu sebesar 85.9%. Faktor pekerjaan juga berpengaruh dimana pekerjaan ayah sebesar 40.4% adalah nelayan dan 52.5% wiraswasta; pekerjaan ibu 77.8% adalah ibu rumah tangga dan 22.2% wiraswasta. Dari karakteristik dasar responden penelitian yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran didapatkan rentang usia anak adalah 7-13 tahun. Pada penelitian ini kejadian infeksi STH dijumpai semakin


(63)

menurun seiring dengan pertambahan usia, dimana pada usia 12 dan 13 tahun ditemukan sebesar 3% dan 1%.

Perbedaan jumlah beban cacing (worm burden) pada penderita kecacingan merupakan salah satu ciri khas infeksi kecacingan.62 Distribusi beban cacing yang tidak seimbang disebut overdispersed. Pada infeksi kecacingan di sebuah komunitas, sebagian besar penderita hanya terinfeksi oleh beberapa parasit dan sebagian kecil sisanya terinfeksi oleh sejumlah besar parasit.61 Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi STH seperti kebiasaan dalam keluarga, faktor lingkungan, dan kebersihan personal (kebiasaan mencuci tangan, memakai sepatu, penggunaan toilet).63 Dari penelitian di Honduras ditemukan bahwa anak yang berusia 5-12 tahun lebih sering menderita ascariasis dan trichuriasis dengan intensitas ringan dan sedang.53

Intensitas infeksi seluruh sampel dominan derajat intensitas ringan yaitu 83.8% dan 16.2% intensitas sedang. Tidak dijumpai adanya derajat infeksi intensitas berat. Diperkirakan juga karena pola makan, sanitasi, perilaku, dan kebiasaan rumah tangga pada keseluruhan sampel berdasarkan data kuesioner sudah baik. Dimana sebagian besar anak sudah memiliki akses air bersih (dalam hal ini PAM) serta kebiasaan mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan, sesudah buang air, dan sesudah bermain. Selain itu anak juga sudah rutin mandi dan menggunting


(64)

Kecacingan dapat berpengaruh pada tumbuh kembang anak yang terlihat pada keadaan malnutrisi, gangguan pada proses belajar, dan jumlah kehadiran di sekolah.64-66 Keadaan malnutrisi terjadi akibat cacing yang hidup di saluran cerna penderita dan menyebabkan gangguan pencernaan serta absorpsi, hal ini mempengaruhi nafsu makan anak. Kejadian malnutrisi biasanya terjadi pada kelompok anak kecacingan dengan derajat sedang atau berat.67

Dari keseluruhan sampel diketahui 55.6% pasien memiliki status nutrisi normoweight, 27.3% malnutrisi ringan, 10.1% malnutrisi sedang, 4% gizi lebih, dan 3% obesitas. Status nutrisi yang baik pada sampel penelitian diterangkan oleh rendahnya beban cacing yang terlihat pada derajat intensitas infeksi STH.

Salah satu penanganan pengendalian infeksi STH secara global adalah pemberian edukasi mengenai kecacingan dan cara menjaga kebersihan personal.68 Dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 62.6% anak tidak rutin mengkonsumsi obat cacing dan 63.6% tidak memiliki pengetahuan mengenai kecacingan. Hal ini menunjukkan bahwa program pengendalian infeksi STH yang melibatkan intervensi edukasi sangat penting.

Sebuah studi potong lintang di Honduras melaporkan rerata persentase eosinofil pada penderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 6%, 5.2%, dan 7.2%.69 Sedangkan di Filipina dijumpai persentase eosinofil yang lebih tinggi pada masing-masing penderita ascariasis, infeksi


(65)

cacing tambang, trichuriasis, dan campuran adalah 10%, 15.1%, 13%, dan 15.8%.10 Rerata nilai persentase eosinofil pada anak dalam penelitian yang menderita ascariasis, trichuriasis, dan campuran adalah 7.18/µL darah, 8.11/µL darah, dan 8.64/µL darah.

Rerata persentase eosinofil pada infeksi tunggal dan infeksi campuran pada penelitian di Filipina menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.353.10 Dari penelitian ini juga dijumpai tidak ada perbedaan bermakna antara rerata nilai eosinofil pada infeksi tunggal serta infeksi campuran (P = 0.32).

Dalam perjalanan infeksi kecacingan, respon CD4+ sel T helper pada tubuh menstimulasi eosinofil secara berlebihan melalui sitokin, hal ini menyebabkan terjadinya eosinofilia.32 Eosinofilia merupakan gambaran karakteristik respon imun penjamu terhadap helminthiasis, khususnya pada tahap invasif ke jaringan.38

Suatu penelitian retrospektif di Jerman pada 14 298 orang yang bepergian ke Negara berkembang menemukan adanya 29 penderita ascariasis dan 27 penderita trichuriasis dengan prevalensi eosinofilia sebesar 24.1% untuk ascariasis dan 14.8% untuk trichuriasis.9 Studi oleh Karin et al menemukan bahwa prevalensi kejadian eosinofilia pada ascariasis memiliki derajat sedang hingga tinggi dan mengalami penurunan setelah cacing memasuki saluran cerna, sedangkan pada trichuriasis biasanya memiliki


(66)

peningkatan nilai eosinofil > 5% tertinggi pada infeksi campuran (75%), diikuti oleh ascariasis (72.7%), dan trichuriasis (62%).71

Penelitian ini menunjukkan bahwa trichuriasis memiliki prevalensi kejadian eosinofilia tertinggi (77.8%) dibandingkan ascariasis (47.5%) dan infeksi campuran (70%) serta tidak terdapat perbedaan bermakna kejadian eosinofilia pada infeksi STH (P = 0.05). Hasil ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel trichuriasis yang lebih besar.

Sebuah studi di Filipina untuk melihat korelasi antara nilai eosinofil dengan jumlah epg yang melibatkan 74 penderita infeksi STH menunjukkan korelasi sedang (r = 0.328; P = 0.004).10 Korelasi antara nilai eosinofil dengan jumlah epg pada infeksi STH dalam studi ini terlihat dari nilai r = 0.62 (P < 0.001) pada ascariasis dan nilai r = 0.21 (P = 0.04) pada trichuriasis. Menurut Michael Harris, nilai r sebesar 0.62 menunjukkan korelasi tinggi, sedangkan nilai r sebesar 0.21 menunjukkan korelasi rendah dan membutuhkan investigasi lanjut.72 Diketahui juga bahwa nilai eosinofil memiliki hubungan yang bermakna dengan intensitas infeksi baik ascariasis dan trichuriasis (P < 0.001). Data penelitian ini menunjukkan bahwa nilai eosinofil dapat dijadikan penanda infeksi dan berat ringannya infeksi STH.

Ketepatan pemeriksaan Kato-Katz dalam mengidentifikasi individu dengan infeksi STH terbatas pada variasi ekskresi telur cacing pada beberapa hari berturut, susahnya membedakan dengan parasit jenis lain, dan


(67)

pengalaman teknisi laboratorium.73 Sehingga dibutuhkan beberapa spesimen yang dikumpulkan selama beberapa hari berturut-turut untuk meningkatkan akurasi pemeriksaan.74

Terdapat beberapa keterbatasan penelitian ini. Pertama, recall bias melalui kuesioner dan wawancara bisa dijumpai karena beberapa informasi untuk kriteria eksklusi hanya berdasarkan ingatan orang tua. Kedua, adanya kesulitan untuk memperoleh persetujuan pengambilan sampel darah vena dari anak sehingga pengambilan sampel darah secara perifer. Ketiga, pengambilan sampel tinja tunggal dengan satu metode pemeriksaan yaitu teknik Kato-Katz.

Suatu studi randomized controlled trial pada 155 anak di Cape Town, Afrika Selatan menunjukkan bahwa terdapat penurunan nilai rerata eosinofil yang bermakna setelah pemberian obat antihelmintik sebanyak 6 kali selama 2 tahun.75 Diharapkan pada studi lanjut lainnya dapat melibatkan jumlah sampel yang lebih banyak dengan desain studi kohort prospektif untuk menilai level eosinofil setelah pemberian terapi antihelmintik. Hal ini memiliki implikasi positif dalam menyeimbangkan profil imun dan indikator perbaikan infeksi STH.


(68)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Nilai eosinofil memiliki hubungan bermakna dengan jumlah telur per gram tinja (epg), dimana ascariasis memiliki korelasi tinggi dan trichuriasis memiliki korelasi rendah. Dengan demikian nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda infeksi STH. Penelitian ini juga menemukan bahwa prevalensi infeksi STH di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, propinsi Sumatera Utara masih tinggi yaitu sebesar 65.4%.

6.2. Saran

Diharapkan bahwa selain pemeriksaan tinja dapat juga dilakukan pemeriksaan sederhana berupa apusan darah tepi untuk menilai jumlah eosinofil. Sehingga dapat diperkirakan adanya infeksi STH yang diderita oleh anak.

Diharapkan kepada pemerintah kecamatan Medan Belawan khususnya Dinas Kesehatan untuk melakukan pengobatan infeksi helminthiasis sekali setahun ke sekolah-sekolah dasar mengingat prevalensi infeksi kecacingan didapati lebih dari 50% pada anak usia sekolah. Hal ini merupakan pencegahan jangka pendek untuk pengendalian infeksi kecacingan. Penyuluhan mengenai cara pencegahan kecacingan juga


(69)

diharapkan dapat diselenggarakan secara rutin ke sekolah-sekolah mengingat pengetahuan akan kecacingan sangat minim yaitu hanya sebesar 36.4%. Selain itu masyarakat juga dapat mempertahankan pola hidup bersih selama ini. Hal ini merupakan pengendalian jangka panjang terhadap infeksi kecacingan.


(70)

RINGKASAN

Infeksi soil-transmitted helminth (STH) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, terutama di daerah pedesaan. namun masih tergolong neglected disease. Di seluruh dunia, infeksi STH seringkali dihubungkan dengan kejadian eosinofilia yang bermakna. Beberapa studi melaporkan bahwa peningkatan nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda adanya infeksi STH.

Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH pada anak. Penelitian ini menggunakan desain analitik observasional dengan pendekatan potong lintang yang dilakukan selama bulan Februari sampai Maret 2014. Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Sampel adalah anak berusia 6 sampai 12 tahun yang dari hasil pemeriksaan Kato-Katz didapati telur A. lumbricoides, T. trichiura, atau campuran. Anak yang tidak mengembalikan pot berisi tinja, dan menderita penyakit alergi (misalnya, asma, dermatitis atopi), reumatologi, keganasan, imunodefisiensi, gastrointestinal, dan infeksi parasit selain STH serta memiliki riwayat konsumsi obat antihelmintik atau obat-obatan yang mempengaruhi nilai eosinofil dikeluarkan dari penelitian.


(71)

Untuk melihat korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi STH digunakan korelasi Pearson. Untuk melihat persamaan regresi korelasi antar nilai eosinofil dengan jumlah telur per gram tinja pada infeksi STH digunakan persamaan regresi linier. Pengolahan data menggunakan perangkat lunak dengan interval kepercayaan (IK) 95% dan tingkat kemaknaan P < 0.05.

Pada penelitian didapatkan prevalensi kecacingan di Sekolah Dasar Negeri 060969 dan Sekolah Dasar Negeri 064003, Kecamatan Medan Belawan, propinsi Sumatera Utara sebesar 65.4%, dengan prevalensi ascariasis, trichuriasis, dan infeksi campuran sebesar 37.1%, 21.9%, dan 40.8%. Nilai rerata eosinofil memiliki hubungan bermakna dengan intensitas infeksi STH (P < 0.001). Kesimpulan dari studi ini adalah nilai eosinofil memiliki korelasi tinggi dengan ascariasis (P = 0.000, r = 0.622) dan korelasi rendah dengan trichuriasis (P = 0.038, r = 0.208). Hal ini menunjukkan bahwa nilai eosinofil dapat digunakan sebagai penanda infeksi STH.


(72)

SUMMARY

Soil-transmitted helminth (STH) infection in Indonesia still plays as one of major health related problems, especially in rural area, yet it is still considered as a neglected tropical diseases. In the worldwide, it is often associated with a significant incidence of eosinophilia. It is well known that increasing level of eosinophil count can be used as a marker of STH infection.

The purpose of this study was to find correlation between eosinophil count with STH infection. This was an observational analytic study with cross-sectional design in school-aged children from February until March 2014. It was performed among two elementary school (SDN 060969 and SDN 064003) in Medan Belawan District, North Sumatera province, Indonesia. Children aged 6 to 12 years were included. Children who suffered from allergy (eg, asthma, atopic dermatitis), rheumatology, malignancy, immunodeficiency, gastrointestinal, and parasitic infections other than STH, also those who were taking antihelminthic drug in the previous three months, or who were taking medications that can affect the level of eosinophil (eg, glucocorticoids, myelosuppresive drugs, interpheron alpha, antihistamines, cromolyn, cyclosporine, inhibitor and antagonist of leukotrienes, and phosphodiesterase inhibitors) were excluded.

Statistical analysis was carried out using Pearson correlation to determine the correlation between eosinophil count and STH infection.


(73)

Regression equation correlation between eosinophil count and epg was performed by linear regression equation. This study used 95% confidence interval and significance P value < 0.05.

Prevalence of STH infection in SDN 060969 and SDN 064003, Medan Belawan district, North Sumatera province was 65.4%, with baseline prevalence of ascariasis, trichuriasis, and mixed infection were 37.1%, 21.9%, and 40.8%, respectively. The mean eosinophil count had a significant correlation with intensity of STH infection (P < 0.001). In summary, eosinophil count had a strong correlation with ascariasis (P < 0.001, r = 0.62) and weak correlation with trichuriasis (P = 0.04, r = 0.21). It can be used as a marker of STH infection.


(74)

DAFTAR PUSTAKA

1. de Silva NR, Brooker S, Hotez P, Montresor A, Engles D, Savioli L. “Soil-transmitted helminth infections: updating the global picture.” Trends Parasitol. 2003;19:547-51.

2. Kurniawan A. Infeksi parasit: dulu dan masa kini. Maj Kedokt Indon. 2010;60(11):487-8.

3. Montresor A, Crompton DW, Gyorkos TW, Savioli L. Helminth control in scholl-age children: a guide for managers of control programmes. Geneva: World Health Organization; 2002.

4. Hotez PJ, Bundy DAP, Beegle K, Brooker S, Drake L, de Silva N, et al. Helminth infections: soil-transmitted helminth infections and schistosomiasis. Dalam: Jamison DT, Breman JG, Measham AR, Alleyne G, Claeson M, Evans DB, et al, penyunting. Disease control priorities in developing countries. Edisi ke-2. Washington DC: Oxford University Press; 2006.h.467–82.

5. United Nations Children’s Fund. Mapping human helminth infections in Southeast Asia. Thailand: Report to UNICEF East Asia and Pacific Region Office; 2002.h.31-53.

6. Brooker S, Bethony J, Hotez PJ. Human hookworm infection in the 21st century. Adv Parasitol. 2000;47:245-87.

7. Nutman TB. Evaluation and differential diagnosis of marked, persistent eosinophilia. Immunol Allergy Clin North Am. 2007;27(3):529-49.

8. Boxer LA. Eosinophilia. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton SF, et al. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. United States of America: Saunders Elsevier; 2007.h.902-3.

9. Schulte C, Krebs B, Jelinek T, Northdurft HD, Von Sonnenburg F, Löscher T. Diagnostic significance of blood eosinophilia in returning travelers. Clin Infect Dis. 2002;34:407-11.

10. Sumagaysay JB, Emverda FM. Eosinophilia and incidence of soil-transmitted helminthic infections of secondary students of an indigenous school. Asian Journal of Health Ethno Medical Section. 2011;1(1):172-84. 11. Smit AM. The eosinophilic reaction in helminthic infections. Ann Soc Belge

Méd Trop. 1963;4:317-24.

12. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari H. Trichuriasis (infeksi cacing cambuk). Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari H, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.h.376-8.

13. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia. Indonesia: Departemen Kesehatan RI; 2006.

14. Samad H. Hubungan Infeksi dengan pencemaran tanah oleh telur cacing yang ditularkan melalui tanah dan perilaku anak sekolah dasar di


(75)

Kelurahan Tembung Kecamatan Medan Tembung [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009.

15. Rahmad ZR. Hubungan higiene perorangan siswa dengan infeksi kecacingan anak SD Negeri di Kecamatan Sibolga Kota Sibolga [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.

16. Ginting A. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kecacingan pada anak sekolah dasar di desa tertinggal Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2008 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2009.

17. Muswita Widya Rahma. Hubungan antara higiene dengan infeksi cacing Soil Transmitted Helminths pada siswa-siswi SD Negeri No. 101837 Suka Makmur, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2011.

18. World Health Organization. Prevention and control of schistosomiasis and soil-transmitted helminthiasis. WHO Technical Report Series Report 912. Geneva: World Health Organization; 2002.

19. Crompton DW, Savioli L. Intestinal parasitic infections and urbanization. Bull World Health Organ. 1993;71(1):1-7.

20. Brooker S, Michael E. The potential of geographical information systems and remote sensing in the epidemiology and control of human helminth infections. Adv Parasitol. 2000;47:245-87.

21. Hotez PJ, de Silva N, Brooker S, Bethony J. Soil transmitted helminth infections: the nature, causes and burden of the condition. USA: Disease Control Project Priorities Working Paper no 3; 2003.

22. Quinnell RJ. Genetics of susceptibility to human helminth infection. Int J Parasitol. 2003;33:1219-31.

23. Margono SS, Abidin SAN. Nematoda usus. Dalam: Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W, penyunting. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.h.8-23.

24. Dent AE, Kazura JW. Ascariasis (Ascaris lumbricoides). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton SF, et al. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. United States of America: Saunders Elsevier; 2007.h.1495-6.

25. Dent AE, Kazura JW. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton SF, et al. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. United States of America: Saunders Elsevier; 2007.h.1499-500.

26. Knopp S, Mgeni AF, Khamis IS, Steinmann P, Stothard JR, Rollinson D, et al. Diagnosis of soil-transmitted helminthes in the era of preventive chemotherapy: effect of multiple stool sampling and use of different diagnostic techniques. PLoS Negl Trop Dis. 2008;2(11):e331. doi:10.1371/journal.pntd.0000331.


(1)

k. Hitunglah lekosit di empat bidang besar dari kiri atas ke kanan, ke bawah lalu ke kiri, ke bawah lalu ke kiri dan seterusnya. Untuk sel-sel pada garis, yang dihitung adalah pada garis kiri dan atas.

l. Jumlah lekosit per μl darah adalah: jumlah sel X 50.

Gambar. Kamar hitung improved Neubauer

Keterangan: : dihitung

: tidak dihitung

Gambar. Cara menghitung leukosit


(2)

(3)

LAMPIRAN 13


(4)

(5)

LAMPIRAN 15

RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Syilvia Jiero

Tempat danTanggal Lahir : Ujung Pandang, 9 Februari 1987

Alamat : Perumahan Citra Garden Kompleks Mansion Garden Blok C15 No9, Medan, Sumatera Utara

PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Zion Makassar, tamat tahun 1997 Sekolah Menengah Pertama : SMP Zion Makassar, tamat tahun 2002 Sekolah Menengah Umum : SMA Katolik Rajawali Makassar, tamat

tahun 2004

Dokter Umum : FK Universitas Pelita Harapan, Jakarta, tamat tahun 2011

Magister Kedokteran Klinik : Fakultas Kedokteran USU Medan, 2011- sekarang

Dokter Spesialis Anak : Fakultas Kedokteran USU Medan, Juli 2011 - sekarang

RIWAYAT PEKERJAAN

April 2010 – Juni 2010 : Dokter Umum di RS Pelamonia Makassar

PENELITIAN :

1. Korelasi antara nilai eosinofil dengan infeksi soil-transmitted helminth pada anak


(6)

Dokumen yang terkait

Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

7 89 130

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Lingkungan Provinsi Sumatera Utara

5 76 116

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Independensi Auditor Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Lingkungan Provinsi Sumatera Utara

3 61 116

Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 40 109

2. Biaya Penelitian - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 30

Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 1 6

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi parasit soil-transmitted helminth 2.1.1. Definisi - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 2 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian - Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

0 0 11

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Independensi Auditor dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah di Lingkungan Provinsi Sumatera Utara

0 0 11