Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

(1)

PEMERIKS PEDAG

D

FAK U

KSAAN BORAKS PADA BAKSO YANG DI GANG KAKI LIMA DAN WARUNG BAKS

DI KELURAHAN PADANG BULAN KECAMATAN MEDAN BARU

TAHUN 2014

SKRIPSI

OLEH :

YUSTISIA RIZKI KESUMA NIM. 101000400

KULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015

DIJUAL KSO


(2)

PEMERIKS PEDAG

Salah

FAKULTA

UNI

KSAAN BORAKS PADA BAKSO YANG DI GANG KAKI LIMA DAN WARUNG BAKS

DI KELURAHAN PADANG BULAN KECAMATAN MEDAN BARU

TAHUN 2014

Skripsi ini Diajukan Sebagai

alah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH :

YUSTISIA RIZKI KESUMA NIM. 101000400

KULTAS KESEHATAN MASYARAKA

NIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015

DIJUAL KSO


(3)

(4)

ABSTRAK

Banyak sekali bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan justru ditambahkan ke dalam makanan. Hal ini terjadi karena pedagang ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai cara pengawetan makanan yang benar, salah satunya adalah pembuatan bakso dengan menggunakan boraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan boraks pada bakso yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru.

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif dengan melakukan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif. Penelitian dilakukan bulan September – Oktober 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang makanan jajanan yang menjual bakso di Jalan dr. Mansur Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru yang berjumlah 25 pedagang. Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi, yaitu 10 warung bakso dan 15 pedagang kaki lima. Data yang ada dianalisis secara deskriptif. Kemudian hasil pemeriksaan dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72% pedagang bakso berusia 20-39 tahun, 68% berpendidikan SD dan SMP/Sederajat, 36% telah berdagang selama 3-5 tahun, 60% memiliki modal usaha Rp.500.000-Rp.2.500.000, 56% tingkat pengetahuan pedagang kaki lima dan warung bakso berada pada kategori sedang. Hasil tes laboratorium menunjukkan bahwa 76% sampel bakso mengandung boraks. Secara fisik, bakso yang mengandung boraks lebih kenyal, ketika digigit akan kembali kebentuk semula, dan tahan lama.

Peneliti menyarankan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Medan diharapkan dapat melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi secara berkala terhadap pedagang kaki lima dan warung bakso.


(5)

ABSTRACT

There are many dangerous chemical substance that are not supposed to be added to food that are ended up added. This things happened because the merchants want his food to last longer, but he doesn’t have the knowledge of how to preserve food correctly, one of the example of this is the usage of borax in making meatballs. The purpose of this research is to know the amount of borax used in meatballs that are sold in Padang Bulan district of Medan Baru.

The type of this research is descriptive survey through qualitative laboratorium check. This research was done on September – October 2014. The subject of this research is all of the food merchants who sold meatballs in dr. Mansur street in Padang Bulan district of Medan Baru that amounts to 25 merchants. The sample of this research is all of the subjects, which consist of 10 meatballs stalls and 15 street vendors. The received data is analized descriptively. Next, the research result are compared with Indonesia Minister of Health Rule Number 033 Year 2012 about Food Addition Substance.

The results of this research showed that as many as 72% of merchants aged 20 – 39 years, 68% had an education level of primary school and high school/equivalent, 36% has been trading for 3 and 5 years, 60% had financial capital of Rp. 500.000 – Rp. 2.500.000, 56% level of knowledge street vendors and meatballs stalls in middle category. Results of laboratory tests showed that as many as 76% of the examined meatballs containing borax. Physically, meatballs containing borax is more supple, when bitten will return to forms initially, and durable.

The author suggest to The Drug and Food Administration Board (BPOM) in Medan City are expected to conduct training, supervision, and periodic evaluation of the street vendors and meatballs stalls.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan keridhoan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul : “Pemeriksaan Boraks Pada Bakso Yang Dijual Pedagang Kaki Lima Dan Warung Bakso Di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014”.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan motivasi dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes dan Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang dengan sabar dan penuh perhatian membimbing penulis mulai dari awal hingga berakhirnya penyusunan skripsi.

3. Ir. Evi Naria, M.Kes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Ir. Indra Chahaya S, Msi., Dra. Nurmaini, MKM, Ph.D., Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS., Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH., dr. Surya Dharma, MPH., dan dr. Taufik Ashar, MKM selaku Dosen dan Dosen Penguji yang juga memberikan masukan dan saran bagi penulis.


(7)

5. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH, selaku Dosen Penasihat Akademik yang selalu memberikan nasehat dan motivasi selama penulis melaksanakan perkuliahan dan menyelesaikan skripsi.

6. Dian Afriyanti, Amd., selaku staf Departem en Kesehatan Lingkungan yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk membantu penulis. 7. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 8. Kepada Ayahanda Tercinta H. Sudirman, Ibunda Tercinta Hj. Mayatun

Saragih, S.H., serta Suami Tercinta M. Ikhsan Lubis, SST yang selalu memberikan doa, semangat, nasihat, dukungan, motivasi, keoptimisan, kesabaran dan kasih sayang yang tidak terhitung banyaknya.

9. Kepada Abangnda, Ashadisetya Kesuma, SE., dan Adinda, Panduyudha Kesuma, ST yang selalu berdoa dan memberikan dukungan serta semangat dalam penulisan skripsi ini.

10. Kepada Kakanda, Hastaty, SKM., dan Adinda, Evi Sriwahyuni, SKM yang telah memotivasi dan memberikan dukungan serta semangat dalam penulisan skripsi ini.

11. Seluruh Teman-teman di FKM serta rekan-rekan peminatan Kesehatan Lingkungan FKM USU yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan sehingga diperlukan kritik dan saran yang membangun, serta masih diperlukan penyempurnaan, hal ini tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan,


(8)

pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2015


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ... ii

ABSTRACT ... ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

RIWAYAT HIDUP ... ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pengertian Makanan ... 7

2.2 Bahan Tambahan Pangan ... 8

2.2.1 Defenisi Bahan Tambahan Pangan ... 8

2.2.2 Fungsi Bahan Tambahan Pangan ... 9

2.2.3 Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan ... 10

2.2.4 Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan ... 15

2.2.5 Batasan Secara Teknis Bahan Tambahan Pangan ... 17

2.3 Bahan Pengawet ... 17

2.3.1 Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet ... 18

2.3.2 Teknik Penambahan Bahan Pengawet ... 19

2.3.3 Manfaat Pengawetan Makanan ... 19

2.3.4 Bahan Pengawet yang Diizinkan ... 20

2.3.5 Bahan Pengawet yang Tidak Diizinkan ... 22

2.4 Boraks ... ... ... 23

2.4.1 Pengertian Boraks ... 23

2.4.2 Fungsi Boraks ... 25

2.4.3 Boraks pada Makanan ... 25

2.4.4 Mekanisme Toksisitas Boraks ... 26

2.4.5 Efek Boraks Terhadap Kesehatan ... 27

2.5 Bakso ... . ... 28

2.5.1 Pengertian Bakso ... 28

2.5.2 Proses Pembuatan Bakso ... 29


(10)

2.6 Perilaku ... ... 31

2.6.1 Defenisi Perilaku ... 31

2.6.2 Ranah (Domain) Perilaku ... 33

2.7 Kerangka Konsep ... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 39

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ... 39

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 39

3.2.2 Waktu Penelitian ... 40

3.3 Objek Penelitian (Bakso) ... 40

3.4 Populasi dan Sampel ... 40

3.4.1 Populasi ... 40

3.4.2 Sampel ... 40

3.4.3 Kuesioner untuk Pedagang Makanan Jajanan yang Menjual Bakso ... 41

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.5.1 Data Primer ... 41

3.5.2 Data Sekunder ... 41

3.6 Definisi Operasional ... 41

3.7 Aspek Pengukuran ... 43

3.7.1 Pengetahuan ... 43

3.8 Cara Kerja Penelitian ... 44

3.8.1 Pengambilan Sampel dan Pengiriman ke Laboratorium ... 44

3.8.2 Cara Pemeriksaan Boraks pada Bakso ... 44

3.9 Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 46

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 46

4.2 Karakteristik Pedagang Bakso ... 46

4.2.1 Umur ... 46

4.2.2 Pendidikan ... 47

4.2.3 Lama Usaha ... 47

4.2.4 Modal Usaha ... 48

4.2.5 Pengetahuan ... 48

4.3 Informasi Bakso ... 50

4.4 Hasil Pemeriksaan Boraks pada Bakso ... 53

BAB V PEMBAHASAN ... 55

5.1 Pengetahuan Pedagang Bakso ... 55

5.2 Informasi Bakso ... 55

5.3 Kandungan Boraks pada Bakso ... 57

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

6.1 Kesimpulan ... 62


(11)

DAFTAR PUSTAKA ... ... 64 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman 1. Tabel 4.1 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Umur

dan Jenis Usaha ... 46 2. Tabel 4.2 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Pendidikan

dan Jenis Usaha ... 47 3. Tabel 4.3 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Lama Usaha

dan Jenis Usaha ... 48 4. Tabel 4.4 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Modal Usaha

dan Jenis Usaha ... 49 5. Tabel 4.5 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Pengetahuan

dan Jenis Usaha ... 49 6. Tabel 4.6 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Jawaban

terhadap Pertanyaan Pengetahuan ... 51 7. Tabel 4.7 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan

Pemilihan Bahan Baku Bakso dan Jenis Usaha ... 52 8. Tabel 4.8 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan

Penyimpanan Bahan Baku Bakso dan Jenis Usaha ... 53 9. Tabel 4.9 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan

Penyimpanan Bakso dan Jenis Usaha ... 53 10. Tabel 4.10 Keberadaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang

Warung/Kios di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan

Medan Baru ... 55 11. Tabel 4.11 Keberadaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang

Bakso Kaki Lima di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Halaman 1. Gambar 2.1 Struktur Kimia Boraks ... 24 2. Gambar 2.2 Kerangka Konsep ... 38


(14)

RIWAYAT HIDUP

Nama : YUSTISIA RIZKI KESUMA

Tempat Lahir : Medan

Tanggal Lahir : 26 September 1983

Suku Bangsa : Jawa

Agama : Islam

Nama Ayah : SUDIRMAN

Suku Bangsa Ayah : Jawa

Nama Ibu : MAYATUN SARAGIH

Suku Bangsa Ibu : Simalungun Pendidikan Formal

1. SD/Tamat tahun : Tahun 1996 2. SLTP/Tamat tahun : Tahun 1999 3. SLTA/Tamat tahun : Tahun 2002 4. Akademi/Tamat tahun : Tahun 2006 5. Lama studi di FKM USU : 5 Tahun


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman

1. Lampiran 1 Jenis BTP Yang Diizinkan Dalam Penggolongan ... 67

2. Lampiran 2 Bahan Yang Dilarang Digunakan Sebagai BTP ... 70

3. Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Penelitian ... 71

4. Lampiran 4 Surat Hasil Analisa Kandungan Boraks Pada Bakso ... 72

5. Lampiran 5 Surat Keterangan Selesai Penelitian ... 73

6. Lampiran 6 Kuesioner Penelitian ... 74

7. Lampiran 7 Master Data ... 79

8. Lampiran 8 Output Hasil Penelitian ... 81


(16)

ABSTRAK

Banyak sekali bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan justru ditambahkan ke dalam makanan. Hal ini terjadi karena pedagang ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai cara pengawetan makanan yang benar, salah satunya adalah pembuatan bakso dengan menggunakan boraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan boraks pada bakso yang dijual di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru.

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif dengan melakukan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif. Penelitian dilakukan bulan September – Oktober 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang makanan jajanan yang menjual bakso di Jalan dr. Mansur Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru yang berjumlah 25 pedagang. Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi, yaitu 10 warung bakso dan 15 pedagang kaki lima. Data yang ada dianalisis secara deskriptif. Kemudian hasil pemeriksaan dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 72% pedagang bakso berusia 20-39 tahun, 68% berpendidikan SD dan SMP/Sederajat, 36% telah berdagang selama 3-5 tahun, 60% memiliki modal usaha Rp.500.000-Rp.2.500.000, 56% tingkat pengetahuan pedagang kaki lima dan warung bakso berada pada kategori sedang. Hasil tes laboratorium menunjukkan bahwa 76% sampel bakso mengandung boraks. Secara fisik, bakso yang mengandung boraks lebih kenyal, ketika digigit akan kembali kebentuk semula, dan tahan lama.

Peneliti menyarankan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kota Medan diharapkan dapat melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi secara berkala terhadap pedagang kaki lima dan warung bakso.


(17)

ABSTRACT

There are many dangerous chemical substance that are not supposed to be added to food that are ended up added. This things happened because the merchants want his food to last longer, but he doesn’t have the knowledge of how to preserve food correctly, one of the example of this is the usage of borax in making meatballs. The purpose of this research is to know the amount of borax used in meatballs that are sold in Padang Bulan district of Medan Baru.

The type of this research is descriptive survey through qualitative laboratorium check. This research was done on September – October 2014. The subject of this research is all of the food merchants who sold meatballs in dr. Mansur street in Padang Bulan district of Medan Baru that amounts to 25 merchants. The sample of this research is all of the subjects, which consist of 10 meatballs stalls and 15 street vendors. The received data is analized descriptively. Next, the research result are compared with Indonesia Minister of Health Rule Number 033 Year 2012 about Food Addition Substance.

The results of this research showed that as many as 72% of merchants aged 20 – 39 years, 68% had an education level of primary school and high school/equivalent, 36% has been trading for 3 and 5 years, 60% had financial capital of Rp. 500.000 – Rp. 2.500.000, 56% level of knowledge street vendors and meatballs stalls in middle category. Results of laboratory tests showed that as many as 76% of the examined meatballs containing borax. Physically, meatballs containing borax is more supple, when bitten will return to forms initially, and durable.

The author suggest to The Drug and Food Administration Board (BPOM) in Medan City are expected to conduct training, supervision, and periodic evaluation of the street vendors and meatballs stalls.


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sesuai dengan kemajuan teknologi pangan, penggunaan bahan tambahan makanan semakin lama semakin meningkat. Untuk melindungi konsumen terhadap penggunaan bahan yang dapat membahayakan kesehatan, penggunaan bahan tambahan perlu diatur, baik jenis maupun jumlahnya yang digunakan pada pengolahan makanan. Hanya bahan yang telah diuji keamanannya yang diizinkan untuk digunakan, dan mutunya harus memenuhi standar yang ditetapkan. Selanjutnya, jumlahnya harus sesuai dengan cara produksi yang baik atau sesuai dengan maksud penggunaannya. Penggunaan bahan-bahan makanan tertentu tidak boleh melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan (Cahyadi, 2009).

Bahan makanan banyak mengandung senyawa-senyawa kimia yang tidak mempunyai nilai nutrisi. Senyawa-senyawa kimia tersebut selalu dihubungkan dengan sifat-sifat yang tidak diinginkan dan kadang-kadang beracun sehingga membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Senyawa-senyawa kimia tersebut terdapat dalam berbagai macam bentuk. Bahaya yang ditimbulkan dapat berupa bahaya keracunan yang akut atau bersifat menahun dan dapat menimbulkan perubahan sifat (mutasi gen) (Winarno, 1997).

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, yang dimaksud dengan Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk memengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP yang digunakan dalam pangan harus memenuhi tiga persyaratan. Pertama, BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi


(19)

secara langsung dan/atau tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan. Kedua, BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan kedalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pangangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau memengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung. Ketiga, BTP tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

Banyak sekali bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan atau bukan merupakan bahan tambahan makanan yang justru ditambahkan ke dalam makanan yang akhirnya dapat membahayakan konsumen. Hal ini terjadi karena banyak hal yang ingin dicapai oleh pedagang, diantaranya pedagang ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengeni cara pengawetan makanan yang benar. Selain itu, mungkin saja ia mengetahuinya bahwa suatu pengawet (misalnya boraks) berbahaya untuk ditambahkan kedalam makanan, tetapi tetap saja dilakukan mengingat harganya yang murah. Disamping itu juga disebabkan oleh ketidaktahuan konsumen terhadap berbagai jenis bahan berbahaya yang ada. Terlebih lagi konsumen tidak bisa membedakan ciri-ciri makanan yang mengandung bahan berbahaya sehingga bahan-bahan tersebut makin sering ditambahkan ke dalam makanan (Yuliarti, 2007).


(20)

Boraks sebagai bahan tambahan makanan tidak aman untuk dikonsumsi, tetapi ironisnya penggunaan boraks sebagai komponen dalam makanan sudah meluas di Indonesia. Mengonsumsi makanan yang mengandung boraks memang tidak sertamerta berakibat buruk terhadap kesehatan tetapi boraks akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif didalam hati, otak, atau testis sehingga dosis boraks didalam tubuh menjadi tinggi. Efek negatif boraks apabila terdapat didalam makanan, maka dalam jangka waktu lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) pada otak, hati, lemak, dan ginjal. pemakaian dalam jumlah banyak dapat menyebabkan demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan, kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan kematian. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis didalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, maka akan menyebabkan kematian. Sedangkan pada orang dewasa, kamatian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 – 20 gram atau lebih (Yuliarti, 2007).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Agus Purnomo (2009) tentang boraks pada makanan berupa mie basah, lontong, bakso, pempek, dan kerupuk udang yang diambil secara acak di Pasar SMEP, Tugu, Bambu Kuning, Kampung Sawah, dan swalayan Bandar Lampung. Setelah dilakukan uji laboratorium, sebanyak 30 sampel mie basah, 84% positif mengandung boraks, sebanyak 9 sampel lontong, 11,1% mengandung boraks, dan sebanyak 13 sampel pempek, 85% positif mengandung boraks. Sedangkan yang lebih parahnya lagi, sebanyak 12 sampel bakso, 7 sampel cincau hitam, dan 12 sampel kerupuk udang, 100% positif mengandung boraks (Nasution, 2009)


(21)

Bahan tambahan makanan yang paling sering digunakan untuk bakso adalah boraks. Walaupun boraks dilarang digunakan didalam makanan, tetapi masih ditemukan didalam beberapa produk makanan seperti mie kuning basah, bakso, dan lontong. Hasil penelitian terhadap bakso di Kotamadya Medan menunjukkan bahwa 80% dari sampel yang diperiksa mengandung boraks (8 dari 10 sampel bakso) dengan kadar boraks 0,08% - 0,29% (Panjaitan, 2010).

Pedagang bakso yang telah memiliki warung/kios memiliki modal usaha yang lebih besar dibandingkan dengan pedagang bakso yang menggunakan gerobak, disamping itu warung bakso juga telah memiliki nama/merek untuk warungnya agar mudah diingat oleh konsumen sehingga pemilik usaha lebih menjaga kualitas bakso yang dijualnya.

Berdasarkan survei awal yang ditinjau oleh peneliti pada tanggal 14 Februari 2014, Kelurahan Padang Bulan merupakan salah satu kawasan bisnis kuliner di Kota Medan, terutama di Jalan Dr. Mansur. Jalan Dr. Mansur merupakan kawasan padat penduduk. Di jalan Dr. Mansur ini banyak sekali dijual berbagai jenis makanan jajanan yang diminati oleh banyak orang seperti bakso, mie ayam , siomay, batagor, mie sop, ayam penyet, ayam bakar, ikan bakar dan sebagainya.

Berdasarkan hal diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang penggunaan bahan tambahan pangan dan penggunaan zat kimia berbahaya yaitu boraks pada bakso yang dijual oleh pedagang kaki lima dan di warung bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. Mengingat bakso merupakan makanan jajanan yang paling banyak disukai oleh masyarakat.


(22)

1.2. Perumusan Masalah

Banyak sekali bahan kimia berbahaya yang bukan ditujukan untuk makanan atau bukan merupakan bahan tambahan makanan yang justru ditambahkan ke dalam makanan yang akhirnya dapat membahayakan konsumen. Hal ini terjadi karena banyak hal yang ingin dicapai oleh pedagang, diantaranya pedagang ingin makanannya menjadi awet, sementara ia tidak mempunyai pengetahuan mengenai cara pengawetan makanan yang benar, salah satunya adalah pembuatan bakso dengan menggunakan boraks.

Berdasarkan hal diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai kandungan boraks pada bakso yang dijual pedagang kaki lima dan warung bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kandungan boraks pada bakso yang dijual pedagang

bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. 1.3.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi terdapatnya boraks pada bakso yang diproduksi sendiri atau yang dibeli dipasar yang dijual oleh pedagang bakso kaki lima dan

warung bakso di jalan dr. Mansur Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru.

2. Mengetahui proses pembuatan bakso yang dilakukan pedagang bakso kaki


(23)

3. Mengetahui karakteristik pedagang bakso di jalan dr. Mansur Kelurahan

Padang Bulan Kecamatan Medan Baru.

4. Mengetahui pengetahuan pedagang bakso kaki lima dan warung bakso di jalan dr. Mansur Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru tentang bahaya boraks.

1.4. Manfaat Penelitian 1. Responden

Memberikan informasi dan edukasi kepada pedagang bakso tentang bahaya boraks.

2. Pemerintah Kota Medan

Menjadi bahan evaluasi sehingga Pemerintah Kota Medan dapat memberikan perhatian dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai penggunaan dan bahaya boraks.

3. Masyarakat

Sebagai informasi kepada masyarakat tentang terdapatnya boraks pada bakso serta keluhan kesehatan yang ditimbulkan.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Makanan

Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman.

Berdasarkan defenisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Terdapat tiga fungsi makanan. Pertama, makanan sebagai sumber energi karena panas dapat dihasilkan dari makanan seperti juga energi. Kedua, makanan sebagai zat pembangun karena makanan berguna untuk membangun jaringan tubuh yang baru, memelihara, dan memperbaiki jaringan tubuh yang sudah tua. Ketiga, makanan sebagai zat pengatur karena makanan turut serta mengatur proses alami, kimia, dan proses faal dalam tubuh (Chandra, 2006).

Menurut Notoatmodjo (2003) didalam Mulia (2005) ada empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia, yakni :

1. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak


(25)

3. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh yang lain

4. Berperan didalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.

Agar makanan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, kualitas makanan harus diperhatikan. Kualitas tersebut mencakup ketersediaan zat-zat (gizi) yang dibutuhkan dalam makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.

2.2. Bahan Tambahan Pangan

2.2.1. Defenisi Bahan Tambahan Pangan

Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, bahan tambahan pangan merupakan bahan yang ditambahkan kedalam pangan untuk memengaruhi sifat dan/atau bentuk pangan.

Berdasarkan defenisi yang dikeluarkan oleh Komisi Codex Alimentarus yaitu suatu badan antarpemerintah yang terdiri atas sekitar 20 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menyebutkan bahwa bahan tambahan makanan adalah bahan apapun yang biasanya tidak dimakan sendiri sebagai suatu makanan. Biasanya tidak digunakan sebagai bahan khas untuk makanan, baik mempunyai nilai gizi atau tidak, yang bila ditambahkan dengan sengaja pada makanan untuk tujuan teknologi (Mukono, 2010). Pemakaian bahan tambahan pangan di Indonesia diatur oleh Departemen Kesehatan. Sementara pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Dirjen POM).


(26)

Di Amerika, keduanya dilakukan oleh Food and Drug Administration (Saparinto, 2006).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012, bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Bahan tambahan pangan yang digunakan dalam pangan hendaknya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1). Tidak diperlakukan sebagai bahan baku pangan. 2). Dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung. 3). tidak termasuk cemaran atau bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.

2.2.2. Fungsi Bahan Tambahan Pangan Fungsi bahan tambahan pangan yaitu: 1. Meningkatkan kualitas pangan

2. Secara ekonomis akan menghemat biaya produksi

3. Sebagai pengawet pangan dengan cara mencegah pertumbuhan dan aktivitas mikroba perusak pangan (menahan proses biokimia) atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan 4. Menjadikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah dan


(27)

5. Menjadikan pangan lebih baik dan menarik, lebih renyah, dan enak rasanya (Mukono, 2010).

2.2.3. Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), BTP hanya boleh digunakan tidak melebihi batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan. Jenis BTP yang digunakan dalam pangan terdiri atas beberapa golongan sebagai berikut :

1. Antibuih (Antifoaming Agent)

Antibuih (Antifoaming Agent) adalah bahan tambahan pangan yang digunakan untuk mencegah atau mengurangi pembentukan buih.

2. Antikempal (Anticaking Agent)

Antikempal (Anticaking Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah mengempalnya produk pangan.

3. Antioksidan (Antioxcidant)

Antioksidan (Antioxcidant) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat kerusakan pangan akibat oksidasi.

4. Bahan Pengkarbonasi (Cabonating Agent)

Bahan Pengkarbonasi (Cabonating Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk membentuk karbonasi di dalam pangan.

5. Garam Pengemulsi (Emulsifying Salt )

Garam Pengemulsi (Emulsifying Salt ) adalah bahan tambahan pangan untuk mendispersikan protein dalam keju sehingga mencegah pemisahan lemak.


(28)

6. Gas Untuk Kemasan (Packaging Gas)

Gas Untuk Kemasan (Packaging Gas) adalah bahan tambahan pangan berupa gas, yang dimasukkan ke dalam kemasan pangan sebelum, saat maupun setelah kemasan diisi dengan pangan untuk mempertahankan mutu pangan dan melindungi pangan dari kerusakan.

7. Humektan (Humectant)

Humektan (Humectant) adalah bahan tambahan pangan untuk mempertahankan kelembaban pangan.

8. Pelapis (Glazing Agent)

Pelapis (Glazing Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk melapisi permukaan pangan sehingga memberikan efek perlindungan dan/atau penampakan mengkilap.

9. Pemanis (Sweetener)

Pemanis (Sweetener) bahan tambahan pangan berupa pemanis alami dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada produk pangan.

a. Pemanis Alami (Natural Sweetener) Pemanis Alami (Natural Sweetener) adalah pemanis yang dapat ditemukan dalam bahan alam meskipun prosesnya secara sintetik ataupun fermentasi.

b. Pemanis Buatan (Artificial Sweetener)

Pemanis Buatan (Artificial Sweetener) adalah pemanis yang diproses secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam.


(29)

10. Pembawa (Carrier)

Pembawa (Carrier) adalah bahan tambahan pangan yang digunakan untuk memfasilitasi penanganan, aplikasi atau penggunaan bahan tambahan pangan lain atau zat gizi didalam pangan dengan cara melarutkan, mengencerkan, mendispersikan atau memodifikasi secara fisik bahan tambahan pangan atau zat gizi tanpa mengubah fungsinya dan tidak mempunyai efek teknologi pada pangan.

11. Pembentuk Gel (Gelling Agent).

Pembentuk Gel (Gelling Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk membentuk gel.

12. Pembuih (Foaming Agent)

Pembuih (Foaming Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk membentuk atau memelihara homogenitas dispersi fase gas dalam pangan berbentuk cair atau padat.

13. Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)

Pengatur Keasaman (Acidity Regulator) adalah bahan tambahan pangan untuk mengasamkan, menetralkan dan/atau mempertahankan derajat keasaman pangan.

14. Pengawet (Preservative)

Pengawet (Preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme.


(30)

15. Pengembang (Raising Agent)

Pengembang (Raising Agent) adalah bahan tambahan pangan berupa senyawa tunggal atau campuran untuk melepaskan gas sehigga meningkatkan volume adonan.

16. Pengemulsi (Emulsifier)

Pengemulsi (Emulsifier) adalah bahan tambahan pangan untuk membantu terbentuknya campuran yang homogen dari dua atau lebih fase yang tidak tercampur seperti minyak dan air.

17. Pengental (Thickener)

Pengental (Thickener) adalah bahan tambahan pangan untuk meningkatkan viskositas pangan.

18. Pengeras (Firming Agent)

Pengeras (Firming Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkeras, atau mempertahankan jaringan buah dan sayur, atau berinteraksi dengan bahan pembentuk gel untuk memperkuat gel.

19. Penguat Rasa (Flavour Enhancer)

Penguat Rasa (Flavour Enhancer) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkuat dan memodifikasi rasa dan/atau aroma yang telah ada dalam bahan pangan tanpa memberikan rasa dan/atau aroma baru.

20. Peningkat Volume (Bulking Agent)

Peningkat Volume (Bulking Agent) adalah bahan tambahan pangan untuk meningkatkan volume pangan.


(31)

21. Penstabil (Stabilizer)

Penstabil (Stabilizer) adalah bahan tambahan pangan untuk menstabilkan sistem dispersi yang homogen pada pangan.

22. Peretensi Warna (Colour Retention Agent)

Peretensi Warna (Colour Retention Agent) adalah bahan tambahan pangan yang dapat mempertahankan, menstablkan, atau memperkuat intensitas warna pangan tanpa menimbulkan warna baru.

23. Perisa (Flavouring)

Perisa (Flavouring) adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrat dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan untuk memberi flavour dengan pengecualian rasa asin, manis, dan asam.

Perisa (Flavouring) dikelompokkan menjadi : a. Perisa alami

b. Perisa identik alami c. Perisa artifisial

24. Perlakuan Tepung (Flour Treatment Agent)

Perlakuan Tepung (Flour Treatment Agent) adalah bahan tambahan pangan yang ditambahkan pada tepung untuk memperbaiki warna, mutu adonan dan atau pemanggangan, termasuk bahan pengembang adonan, pemucat dan pematang tepung.


(32)

25. Pewarna (Colour)

Pewarna (Colour) adalah bahan tambahan pangan berupa pewarna alami dan pewarna sintetis, yang ketika ditambahkan atau diaplikasikan pada pangan, mampu memberi atau memperbaiki warna.

a. Pewarna Alami (Natural Colour)

Pewarna Alami (Natural Colour) adalah pewarna yang dibuat melalui proses ekstraksi, isolasi, atau derivatisasi (sisntesis parsial) dari tumbuhan, hewan, mineral atau sumber alami lain, termasuk warna identik alami.

b. Pewarna Sintetis (Synthetic Colour)

Pewarna Sintetis (Synthetic Colour) adalah pewarna yang diperoleh secara sintesis kimiawi.

26. Propelan (Propellant)

Propelan (Propellant) adalah bahan tambahan pangan berupa gas untuk mendorong pangan keluar dari kemasan.

27. Sekuestran (Sequestrant)

Sekuestran (Sequestrant) adalah bahan tambahan pangan yang dapat mengikat ion logam polivalen untuk membentuk kompleks sehingga meningkatkan stabilitas dan kualitas pangan.

2.2.4. Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan

BTP yang tidak diizinkan atau dilarang digunakan dalam makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan sebagai berikut :


(33)

1. Asam borat dan senyawanya (Boric acid)

2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid and its salt) 3. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate, DEPC) 4. Dulsin (Dulcin)

5. Formalin (Formaldehyde)

6. Kalium bromat (Potassium bromate) 7. Kalium klorat (Potassium chlorate) 8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)

11. Dulkamara (Dulcamara) 12. Kokain (Cocain)

13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)

14. Sinamil antranilat (Cinnamyl anthranilate) 15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

16. Biji tonka (Tonka bean)

17. Minyak kalamus (Calamus oil) 18. Minyak tansi (Tansy oil)

19. Minyak sasafras (Sasafras oil).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2004), diketahui dari 8 unit analisa mie aceh yang diperiksa, ada dua sampel yang mengandung formalin dengan kadar sebesar 0,31 mg/kg dan 0,11 mg/kg. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Simamora (2006), dari 12 sampel


(34)

lontong yang diperiksa terdapat 10 sampel lontong yang mengandung boraks dengan kadar tertinggi 2,0238 g/kg.

2.2.5. Batasan Secara Teknis Bahan Tambahan Pangan

Secara teknis, bahan tambahan pangan dibagi menjadi dua kategori : 1. Bahan tambahan pangan tersebut secara langsung dan sengaja

(intensional) ditambahkan selama proses produksi yag tujuannya adalah untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, memantapkan bentuk atau rupa serta menambah cita rasa dengan mengendalikan keasaman atau kebasaan. 2. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam bahan makanan dalam

jumlah yang sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan dan sebagai zat aditif yang keberadaannya tidak sengaja (incidental) (Mukono, 2010).

2.3. Bahan Pengawet

Menurut Preservative in Food Regulation 1974/1975 (UK), bahan pengawet adalah setiap senyawa atau bahan yang mampu manghambat, menahan/ menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan makanan dari pembusukan tetapi tidak termasuk ke dalam golongan bahan tambahan makanan yang lain (Mukono, 2010).

Federal Food, Drug, and Cosmetic Act menyatakan bahwa setiap zat kimia yang bila ditambahkan ke dalam bahan pangan cenderung untuk mencegah atau menghambat kerusakannya disebut zat pengawet kimia (Desrosier, 2008).


(35)

Menurut pakar gizi, secara garis besar batasan zat pengawet dibedakan menjadi tiga yaitu :

1. GRAS (Generally Recognized As Safe) yang umumnya bersifat alami, sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali.

2. ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas pengunaanhariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen. 3. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi atau berbahaya seperti boraks dan formalin. Formalin sebagai pengawet bisa menyebabkan kanker paru-paru serta gangguan pada alat pencernaan dan jantung. Sedangkan boraks dapat menyebabkan gangguan pada otak, hati, dan kulit (Manurung, 2012).

2.3.1. Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet

Bahan pengawet merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang paling tua penggunaannya. Pada permulaan peradaban manusia, asap telah digunakan untuk mengawetkan daging, ikan, dan jagung. Demikian juga pengawetan dengan menggunakan garam, asam, dan gula sudah dikenal sejak dahulu kala. Kemudian dikenal penggunaan bahan pengawet, untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba sehingga pangan tetap awet seperti semula.

Secara umum, penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut:

1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen


(36)

2. Memperpanjang umur simpan pangan

3. Tidak menurunkan kulaitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan

4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah 5. Tidak untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang

tidak memenuhi persyaratan

6. Tidak untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2009). 2.3.2. Teknik Penambahan Bahan Pengawet

Penambahan bahan pengawet dalam makanan dilakukan dengan cara : 1. Pencampuran : Untuk makanan yang berbentuk cairan atau setengah cair 2. Pencelupan : Untuk makanan yang berbentuk padat

3. Penyemprotan: Sama dengan pencelupan, yaitu untuk bahan makanan padat dan konsentrasi bahan pengawet yang diperlukan agak tinggi

4. Pengasapan : Untuk bahan makanan yang dikeringkan, bahan pengawet yang sering digunakan adalah belerang dioksida atau derifatnya.

5. Pelapisan pada pembungkus : Dengan cara penambahan/pelapisan 90 bahan pengawet pada pembungkus bahan makanan (Mukono, 2010).

2.3.3. Manfaat Pengawetan Makanan

Menurut Chandra (2006), manfaat yang dapat diperoleh dalam mengawetkan makanan antara lain :

1. Segi ekonomi

Makanan yang diawetkan dapat didistribusikan ke daerah manapun tanpa mengurangi kualitas makanan.


(37)

Dengan begitu, penyaluran makanan ini dapat berjalan maksimal tanpa harus mengkhawatirkan masalah waktu.

2. Mempermudah transportasi

Makanan mudah sekali membusuk di tempat yang memiliki iklim tropis seperti Indonesia. Dengan adanya pengawetan, makanan dapat dipertahankan kualitasnya sehingga dapat dibeli dengan mudah dan tidak berbahaya serta dapat menghemat biaya transportasi.

3. Mudah dihidangkan

Sebagian makanan yang telah diawetkan dapat langsung dihidangkan karena bagian yang tidak diperlukan telah dibuang. Hal ini membuat hidup masyarakat modern saat ini menjadi lebih praktis.

4. Bermanfaat dalam keadaan tertentu

Pada kondisi bencana alam, kelaparan, pengungsian dan kondisi darurat lainnya, bantuan makanan yang telah diawetkan dari daerah lain dapat segera disalurkan ke daerah tersebut.

2.3.4. Bahan Pengawet yang Diizinkan

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan R.I Nomor 033 Tahun 2012 tentang bahan tambahan pangan, ada 34 jenis pengawet yang diizinkan untuk ditambahkan ke dalam makanan dan minuman adalah sebagai berikut:

1. Asam sorbat dan garamnya (Sorbic acid and its salts) : a. Asam sorbat (Sorbic acid)

b. Natrium sorbat (Sodium sorbate) c. Kalium sorbat (Potassium sorbate)


(38)

d. Kalsium sorbat (Calcium sorbate)

2. Asam benzoat dan garamnya (Benzoic acid and its salts) : a. Asam benzoat (Benzoic acid)

b. Natrium benzoat (Sodium benzoate) c. Kalium benzoat (Kalium benzoate)

d. Kalsium benzoat (Calcium benzoic)

3. Etil para-hidroksibenzoat (Ethyl para-hydroxybenzoate)

4. Metil para-hidroksibenzoat (Methyl para-hydroxybenzoate)

5. Sulfit (Sulphites) :

a. Belerang dioksida (Sulphur dioxide) b. Natrium sulfit (Sodium sulphite)

c. Natrium bisulfit (Sodium bisulphite)

d. Natrium metabisulfit (Sodium metabisulphite)

e. Kalium metabisulfit (Potassium metabilsuphite) f. Kalium sulfit (Potassium sulphite)

g. Kalsium bisulfit (Calcium bisulphite)

h. Kalium bisulfit (Potassium bisulphite) 6. Nisin(Nisin)

7. Nitrit (Nitrites) :

a. Kalium nitrit (Potassium nitrite) b. Natrium nitrit (Sodium nitrite) 8. Nitrat (Nitrates) :


(39)

b. Kalium nitrat (Potassium nitare)

9. Asam propionat dan garamnya (Propionic acid and its salts) : a. Asam propionat (Propionic acid)

b. Natrium propionat (Sodium propionate)

c. Kalsium propionat (Calcium propionate)

d. Kalium propionat (Potassium propionate)

10. Lisozim hidroklorida (Lysozyme hydrochloride)

2.3.5. Bahan Pengawet yang Tidak Diizinkan 1. Asam Salisilat (Aspirin)

Sering ditemukan pada buah dan sayur. Zat ini merupakan suatu antiseptik yang berfungsi untuk memperpanjang masa keawetan. Namun demikian, seringkali petani menyemprotkan asam salisilat ke tanaman buah dan sayur sebagai cara untuk mngusir hama tanaman.

2. Formalin

Penggunaan formalin bukan untuk makanan, melainkan sebagai antiseptik, germisida, dan pengawet nonpangan. Di pasaran, formalin bisa ditemukan dalam bentuk yang sudah diencerkan, dengan kandungan formaldehid 10-40%

3. Boraks (Asam Borat)

Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering puladigunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi untuk mengenyalkan makanan.


(40)

4. Potassium Chlorate

Potassium Chlorate juga telah dinyatakan dilarang untuk bahan tambahan makanan. Bahan ini seringkali di gunakan oleh pedagang makanan untuk mengawetkan makanan.

5. Kloramfenikol

Merupakan suatu antibiotika, namun sering di salahgunakan untuk pengawet susu karena dapat mematikan mikroba pengurai yang terdapat di dalam susu.

6. Dyethylpylocarbonate (DEPC)

Bahan berbahaya ini sering digunakan oleh produsen makanan dan minuman untuk pengawet. DEPC berfungsi sebagai anti mikroba untuk jamur, ragi dan bakteri pada produk-produk minuman ringan (nonkarbonasi), minuman sari buah dan minuman hasil fermentasi.

7. Potassium Bromate

Potassium Bromate tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan makanan mengingat merupakan bahan kimia yang dalam dosis berlebih dalam tubuh dapat menyebabkan muntah-muntah, diare, methemoglobinemia, dan reinjury (Yuliarti, 2007).

2.4. Boraks

2.4.1. Pengertian Boraks

Asam borat merupakan senyawa bor yang dikenal dengan nama boraks. Boraks adalah senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B). Asam borat terdiri atas tiga macam senyawa, yaitu : asam ortoborat (H3BO3), asam metaborat


(41)

(HBO2), dan asam mengandung 99,0% dengan B = 17,50%; kristal transparan atau manis serta stabil pada menjadi natrium hidroks

Senyawa asam jarak lebur sekitar 171°C 5 bagian gliserol 85% dengan penambahan a dengan pemanasan da secara perlahan berub asam lemah dan gar sempurna dalam30 ba berwarna. Asam bor (Cahyadi, 2009).

Asam boraks sebagai campuran baha

piroborat (H2B4O7). Komposisi dan bent dan 100,5% H3BO3. Mempunyai bobot ; H = 4,88 %; O = 77,62 %. Boraks adalah se tau granul putih, tidak berwarna dan tidak be pada suhu dan tekanan normal. Dalam air, boraks

droksida dan asam borat.

sam borat ini mempunyai sifat-sifat kimia se 171°C, larut dalam 18 bagian air dingin, 4 bagia 85% dan tak larut dalam eter. Kelarutan dalam n asam klorida, asam sitrat atau asam tartrat. M dan kehilangan satu molekul airnya pada suhu

bah menjadi asam metaborat (HBO2). Asam bor garam alkalinya bersifat basa. Satu gram as 30 bagian air, menghasilkan larutan yang je borat tak tercampur dengan alkali karbonat

ks merupakan zat pengawet berbahaya yang ahan makanan (Syah, 2005).

Gambar 2.1 Stuktur Kimia Boraks (Sumber : Anonim, 2013)

bentuk asam borat bobot molekul 61,83 h seyawa berbentuk k berbau serta agak boraks akan berubah

sebagai berikut : gian air mendidih, lam air bertambah t. Mudah menguap suhu 100°C yang borat merupakan asam borat larut jernih dan tidak at dan hidroksida


(42)

2.4.2. Fungsi Boraks

Boraks merupakan pembersih, fungisida, herbisida dan insektisida yang bersifat toksik. Dalam kondisi toksik yang kronis (karena mengalami kontak dalam jumlah sedikit demi sedikit namun dalam jangka waktu yang panjang) akan mengakibatkan tanda-tanda merah pada kulit, seizure, dan gagal ginjal. Boraks juga dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata atau saluran respirasi, mengganggu kesuburan dan janin. Boraks umumnya digunakan untuk mematri logam, pembuatan gelas, sebagai pengawet kayu dan pembasmi kecoa. Namun zat ini sering disalahgunakan sebagai campuran untuk pembuatan bakso, kerupuk, pempek, pisang molen, pangsit, tahu, dan bakmi (Saparinto, 2006).

2.4.3. Boraks pada Makanan

Meskipun bukan pengawet makanan, boraks sering pula digunakan sebagai pengawet makanan. Selain sebagai pengawet, bahan ini berfungsi pula mengenyalkan makanan. Makanan yang sering ditambahkan boraks diantaranya adalah bakso, lontong, mie, kerupuk, dan berbagai makanan tradisional seperti “lempeng” dan “alen-alen”. Di masyarakat daerah tertentu boraks juga dikenal dengan sebutan garam bleng, bleng atau pijer dan sering digunakan untuk mengawetkan nasi untuk dibuat makanan yang sering disebut legendar atau

gendar (Yuliarti, 2007).

Menurut Depkes RI (2002) didalam Pane (2013), Efek boraks yang diberikan pada makanan dapat memperbaiki struktur dan tekstur makanan. Seperti contohnya bila boraks diberikan pada bakso dan lontong akan membuat bakso/lontong tersebut sangat kenyal dan tahan lama, sedangkan pada kerupuk


(43)

yang mengandung boraks jika digoreng akan mengembang dan empuk serta memiliki tekstur yang bagus dan renyah. Parahnya, makanan yang telah diberi boraks dengan yang tidak atau masih alami, sulit untuk dibedakan jika hanya dengan panca indera, namun harus dilakukan uji khusus boraks di Laboratorium. 2.4.4. Mekanisme Toksisitas Boraks

Menurut (Lu,1995) didalam (Pane, 2013), Proses masuknya boraks ke dalam tubuh yaitu melalui oral dimana manusia memakan makanan yang mengandung boraks. Kemudian boraks yang masuk ke dalam tubuh diabsorbsi secara kumulatif oleh saluran pencernaan (usus/lambung) dan selaput lendir (membran mukosa) dan sedikit demi sedikit boraks terakumulasi. Konsumsi boraks secara terus menerus dapat mengganggu gerak pencernaan usus dan dapat mengakibatkan usus tidak mampu mengubah zat makanan sehingga tidak dapat diserap dan diedarkan keseluruh tubuh. Kemudian boraks didistribusikan lewat peredaran darah oleh vena porta ke hati. Hati mempunyai banyak tempat pengikatan. Kadar enzim yang memetabolisme xenobiotik di dalam hati juga tinggi terutama enzim sitokrom P-450. Enzim ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut dalam air sehingga lebih mudah diekskresikan oleh hati.

Boraks yang terdapat dalam makanan akan diserap oleh tubuh dan disimpan secara kumulatif dalam hati, otak, atau testis, sehingga dosis boraks dalam tubuh menjadi tinggi. Efek negatif boraks apabila terdapat dalam makanan, maka dalam jangka waktu lama walau hanya sedikit akan terjadi akumulasi (penumpukan) pada otak, hati, lemak dan ginjal. Pemakaian dalam jumlah banyak


(44)

dapat menyebabkan demam, depresi, kerusakan ginjal, nafsu makan berkurang, gangguan pencernaan, kebodohan, kebingungan, radang kulit, anemia, kejang, pingsan, koma bahkan kematian. Pada dosis cukup tinggi, boraks dalam tubuh akan menyebabkan timbulnya gejala pusing-pusing, muntah, mencret, dan kram perut. Bagi anak kecil dan bayi, bila dosis dalam tubuhnya mencapai 5 gram atau lebih, akan menyebabkan kematian. Pada orang dewasa, kematian akan terjadi jika dosisnya telah mencapai 10 – 20 gr atau lebih (Yuliarti, 2007).

2.4.5. Efek Boraks Terhadap Kesehatan

Efek farmakologi dan toksisitas asam borat merupakan bakterisida lemah. Larutan jenuhnya tidak membunuh Staphylococcus aureus. Oleh karena toksisitas lemah sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengawet pangan. Walaupun demikian, pemakaian berulang atau dosis berlebihan dapat mengakibatkan toksik (keracunan). Asam borat juga bersifat teratogenik pada anak ayam. Absorbsinya melalui saluran cerna, sedangkan ekskresinya yang utama melalui ginjal. Jumlah yang relatif besar ada pada otak, hati, dan ginjal sehingga perubahan patologinya dapat dideteksi melalui otak dan ginjal (Cahyadi, 2009).

Boraks biasanya bersifat racun bagi sel-sel tubuh, berbahaya bagi semua susunan syaraf pusat, ginjal dan hati. Jika tertelan akan menimbulkan kerusakan pada usus, otak dan ginjal. Jika digunakan berulang secara kumulatif akan tertimbun dalam otak, hati dan jaringan lemak. Asam boraks ini akan menyerang sistem syaraf pusat dan menimbulkan gejala, mual, muntah, diare, iritasi kulit, dan gangguan sirkulasi darah (Syah, 2005).


(45)

Pengaruhnya terhadap organ tubuh tergantung konsentrasi yang dicapai dalam organ tubuh. Karena kadar tertinggi tercapai pada waktu diekskresi maka ginjal merupakan organ yang paling terpengaruh dibandingkan dengan organ yang lain. Dosis tertinggi yaitu 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan 5 gr/kg berat badan anak-anak akan menyebabkan keracunan bahkan kematian. Sedangkan dosis terendah yaitu dibawah 10-20 gr/kg berat badan orang dewasa dan kurang dari 5 gr/kg berat badan anak-anak (Saparinto dan Hidayati, 2006). Dilihat dari efek farmakologi dan toksisitasnya, maka asam borat dilarang digunakan dalam pangan (Cahyadi, 2009).

2.5. Bakso

2.5.1. Pengertian Bakso

Menurut SNI 01-3818-1995, bakso merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging tidak kurang dari 50 % dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan (Sugiharti, 2009).

Menurut Widyaningsih (2006), selain daging, dalam pembuatan bakso juga ditambahkan garam dapur (NaCl), tepung tapioka, dan bumbu kemudian bakso dibentuk bulat menyerupai kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Tekstur bakso yang kenyal merupakan ciri spesifik produk olahan ini. Variasi bakso terjadi karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dengan tepung dan proses pembuatannya.

Kandungan bakso yang mengandung protein tinggi, kadar air yang tinggi dan pH netral membuat bakso rentan terhadap kerusakan dan hanya akan bertahan


(46)

selama satu hari (Widyaningsih, 2006). Industri bakso umumnya memiliki target masa simpan selama 4 hari, yaitu 1 hari berada di pabrik, 1 hari berada di pedagang grosir, 1 hari berada di pedagang menengah, dan 1 hari berada di pedagang keliling (Sugiharti, 2009).

Demi menjaga kualitas bakso agar tidak rusak, biasanya para produsen bakso menggunakan bahan pengawet. Bahan pengawet ini memegang peranan penting dalam melindungi dan memanipulasi sifat fisik dan organoleptik bahan pangan. Jenis bahan pengawet yang sering digunakan oleh produsen bakso adalah boraks dan formalin karena harganya yang relatif murah dan memiliki daya awet yang tinggi (Sugiharti, 2009).

2.5.2. Proses Pembuatan Bakso

Menurut Widyaningsih (2006), tahapan proses dalam pembuatan bakso adalah sebagai berikut :

1. Pemotongan daging

Daging segar yang telah dipilih dihilangkan lemak dan uratnya kemudian dipotong-potong kecil untuk memudahkan proses penggilingan. Es batu dimasukkan pada waktu penggilingan untuk menjaga elastisitas daging, sehingga bakso yang dihasilkan akan lebih kenyal.

2. Penggilingan

Daging yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam mesin penggilingan daging sehingga daging akan menjadi hancur dan lumat. Es batu dimasukkan pada waktu penggilingan. Fungsi es batu agar


(47)

menghasilkan bakso yang lebih kenyal. Semakin halus hasil penggilingan daging, tekstur bakso yang dihasilkan juga akan semakin baik.

3. Pencampuran

Daging yang telah dilumat dicampur dengan tapioka dan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Bila perlu digiling kembali sehingga daging, tapioka, dan bumbu-bumbu dapat tercampur homogen (rata) membentuk adonan yang halus.

4. Pencetakan

Adonan yang terbentuk dituang ke dalam wadah, siap untuk dicetak berbentuk bulatan bola kecil. Cara mencetak dapat dilakukan dengan tangan, yaitu dengan cara mengepal-ngepal adonan dan kemudian ditekan sehingga adonan yang telah memadat akan keluar berupa bulatan atau dapat juga digunakan sendok kecil untuk mencetaknya.

5. Perebusan

Bulatan-bulatan bakso yang telah terbentuk kemudian langsung direbus di dalam panci yang berisi air mendidih. Perebusan dilakukan sampai bakso matang yang ditandai dengan mengapungnya bakso ke permukaan.

6. Pendinginan

Bakso yang telah matang ditiriskan, setelah dingin dan tiris, bakso dapat dikemas atau dipasarkan.

2.5.3. Ciri-Ciri Bakso yang Baik

Menurut Widyaningsih (2006), bakso yang baik adalah bakso yang terbuat dari daging yang berkualitas dan biasanya memiliki komposisi 90 % daging dan


(48)

10 % tepung tapioka. Selain itu, sebaiknya daging yang digunakan dalam pembuatan bakso merupakan daging yang tidak berlemak karena bakso yang dibuat dengan daging yang berkadar lemak tinggi akan menghasilkan tekstur bakso menjadi kasar.

Ciri-ciri bakso yang baik adalah : 1. Berbau khas bakso.

2. Memiliki tekstur yang agak kasar. 3. Tingkat kekenyalannya sedang.

4. Berwarna abu-abu segar merata di semua bagian. 2.5.4. Ciri-Ciri Bakso yang Mengandung Pengawet

Menurut Syah (2005), cukup sulit menentukan apakah suatu makanan mengandung boraks. Hanya lewat uji laboratorium, semua bisa jelas. Namun, penampakan luar memang bisa dicermati karena ada perbedaan yang bisa dijadikan pegangan untuk menentukan suatu makanan aman dari boraks atau tidak. Bakso yang mengandung boraks lebih kenyal dibandingkan dengan bakso tanpa boraks, bila digigit akan kembali kebentuk semula, tahan lama atau awet beberapa hari, warnanya tampak lebih putih (Rahmanita, 2011).

2.6. Perilaku

2.6.1. Defenisi Perilaku

Dari aspek biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan. Manusia mempunyai bentangan yang sangat luas, sepanjang kegiatan yang dilakukan manusia tersebut antara lain : berjalan, berbicara, bekerja, menulis, membaca, berpikir, dll.


(49)

Secara singkat aktivitas manusia dikelompokkan menjadi 2 yakni :

a) Aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain, misalnya : berjalan, bernyanyi, tertawa, dll.

b) Aktivitas yang tidak dapat diamati oleh orang lain, misalnya : berpikir, berfantasi, bersikap, dll.

Menurut Skinner (1938), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses “S – O – R” atau Stimulus Organisme Respon.

Berdasarkan teori “S – O – R” tersebut, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu :

1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan.

Contoh : Ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan untuk kesehatan bayi dan dirinya sendiri adalah merupakan pengetahuan (knowledge). Kemudian ibu tersebut bertanya kepada tetangganyadi mana tempat periksa kehamilan yang dekat adalah merupakan sikap (attitude).

2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar.


(50)

Contoh : Seorang ibu hamil memeriksakan kehamilannya kepuskesmas atau bidan paktik, seorang penderita TB Paru minum obat anti TB secara teratur, seorang anak menggosok gigi setelah makan (Notoatmodjo, 2010). 2.6.2. Ranah (Domain) Perilaku

A. Pengetahuan (Knowledge)

Menurut Notoatmodjo (2010), Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh malalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata).

Secara garis besar pengetahuan seseorang dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu :

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

Misalnya : tahu bahwa buah tomat banyak mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang air besar, penyakit demam berdarah ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

b. Memahami (Comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut,tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya : orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya menyebutkan 3M (mengubur, menutup, dan


(51)

menguras), tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus mengubur, menutup, dan menguras tempat penampungan air tersebut.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

Misalnya : seseorang yang telah paham tentang proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan program kesehatan di tempat ia bekerja atau dimana saja.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalahatau objek yang diketahui.

Misalnya : dapat membedakan antara nyamuk Aedes Aegypti dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram siklus cacing kremi.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.

Misalnya : dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan tentang artikel yang telah dibaca.


(52)

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.

Misalnya : seorang ibu dapat menilai atau menentukan seorang anak menderita malnutrisi atau tidak, seseorang dapat menilai manfaat ikut KB bagi keluarga.

B. Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Menurut Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.

Seperti halnya pengetahuan, sikap ada beberapa tingkatan yakni : a. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau menerima dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek)

b. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.


(53)

d. Bertanggung jawab (Responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko (Notoatmodjo, 2003).

C. Tindakan (Practice)

Menurut Notoatmodjo (2003), tindakan adalah gerak atau perbuatan dari tubuh setelah mendapat rangsangan atau adaptasi dari dalam maupun dari luar tubuh atau lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.

Tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:

a. Praktik terpimpin (Guided response)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantug pada tuntunan atau menggunakan panduan.

Misalnya : seorang ibu memeriksakan kehamilannya tetapi masih menunggu diingatkan oleh bidan atau tetangganya.

b. Praktik secara mekanisme (Mechanism)

Apabila seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis.

Misalnya : seorang ibu selalu membawa anaknya ke Posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu perintah darir kader atau petugas kesehatan.


(54)

c. Adopsi (Adoption)

Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas (Notoatmodjo, 2010).


(55)

2.7. Kerangka Konsep

Permenkes R.I Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan

Pemeriksaan laboratorium secara Uji Kualitatif

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Karakteristik Pedagang Bakso :

- Umur - Lama usaha - Modal usaha

- Tingkat Pendidikan

Perilaku Pedagang Bakso : - Pengetahuan

Keberadaan boraks : - Ada

- Tidak ada Pemeriksaan

boraks Bakso


(56)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif, yaitu untuk mengetahui terdapatnya kandungan boraks pada bakso yang dijual di Jalan Dr. Mansur Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru dengan melakukan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru. Adapun alasan dipilihnya lokasi tersebut sebagai tempat penelitian adalah karena:

1. Daerah tersebut merupakan salah satu kawasan bisnis kuliner di Kota Medan terutama dijalan Dr. Mansur. Dijalan Dr. Mansur ini banyak pedagang makanan jajanan yang menjual bakso. Letaknya yang dekat dengan kampus USU membuat lokasi ini ramai dikunjungi oleh banyak orang.

2. Daerah tersebut padat penduduk dan banyak mahasiswa indekos disekitar jalan Dr. Mansur yang banyak membeli makanan siap saji, salah satunya adalah bakso.

Penelitian ini akan dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan boraks pada bakso di Laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan Fakultas MIPA USU dengan pertimbangan di tempat ini terdapat bahan dan alat yang dibutuhkan oleh peneliti.


(57)

3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2014 – Desember 2014. 3.3. Objek Penelitian (Bakso)

Bakso yang akan diperiksa diperoleh dari pedagang makanan jajanan yang menjual bakso (warung bakso) dan pedagang bakso kaki lima. Pengertian warung yaitu usaha kecil milik keluarga yang berbentuk kedai, toko kecil atau restoran sederhana. Sedangkan pedagang kaki lima adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial diatas daerah milik jalan yang diperuntukkan untuk pejalan kaki. Bakso yang akan dijadikan sampel diperoleh dari 10 warung bakso dan 15 pedagang bakso kaki lima. Masing-masing tempat diambil 4 bakso, sehingga jumlah bakso yang dibutuhkan untuk pemeriksaan laboratorium sebanyak 100 bakso. Kemudian bakso yang dijadikan sampel dibawa ke Laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan Fakultas MIPA USU untuk diperiksa kandungan boraks yang terdapat didalamnya.

3.4. Populasi dan Sampel 3.4.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang makanan jajanan yang menjual bakso yang ada di Jalan Dr. Mansur Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru yang berjumlah 25 pedagang.

3.4.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi, yaitu seluruh pedagang makanan jajanan yang menjual bakso yang ada di Jalan Dr. Mansur Kelurahan


(58)

Padang Bulan Kecamatan Medan Baru yaitu 10 warung bakso dan 15 pedagang bakso kaki lima.

3.4.3. Kuesioner untuk Pedagang Makanan Jajanan yang Menjual Bakso Kuesioner tentang kandungan boraks pada bakso dilakukan kepada pedagang makanan jajanan yang menjual bakso yang ditemui peneliti ketika melakukan penelitian. Teknik pengambilan sampel pada waktu melakukan penelitian yaitu dengan menggunakan metode accidental sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dapat dilakukan sewaktu- waktu sampai jumlah sampel (quota) yang diinginkan terpenuhi. Dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 25 responden.

3.5. Metode Pengumpulan Data 3.5.1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui observasi langsung ke tempat-tempat makanan jajanan di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru dan wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada pedagang makanan jajanan yang menjual bakso serta data hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kandungan boraks pada bakso.

3.5.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan informasi berupa data-data yang relevan dengan hasil penelitian.

3.6. Defenisi Operasional

1. Bakso merupakan produk makanan berbentuk bulatan atau lainnya, yang diperoleh dari campuran daging ternak, dengan kadar daging tidak kurang


(59)

dari 50 % dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan.

2. Boraks adalah bahan kimia dengan rumus Na2B4O710H2O yang digunakan sebagai zat pengawet pada industri kayu, kaca dan produk antiseptik toilet, namun sering disalahgunakan pada makanan seperti bakso.

3. Pemeriksaan laboratorium adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk menentukan boraks pada bakso yang dilakukan di Laboratorium Biokomia/Kimia Bahan Makanan Fakultas MIPA USU.

4. Uji kualitatif adalah pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan boraks pada bakso dengan menggunakan Metode Uji Nyala Api.

5. Ada, apabila terdapat boraks pada bakso, dimana produk tersebut tidak memenuhi syarat yang jika dibandingkan dengan Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.

6. Tidak ada, apabila tidak terdapat boraks pada bakso, dimana produk tersebut memenuhi syarat yang jika dibandingkan dengan Permenkes RI Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.

7. Umur adalah lamanya hidup responden yang dihitung sejak lahir sampai ulang tahun terakhir.

8. Pendidikan adalah tingkat pendidikan formal yang telah diselesaikan atau ditamatkan oleh responden.

9. Lama Usaha adalah lama waktu yang sudah dijalani pedagang dalam menjalankan usahanya.


(60)

10. Modal Usaha adalah sejumlah harta yang menjadi hak milik suatu usaha 11. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tentang bahaya bahan kimia yaitu boraks.

3.7. Aspek Pengukuran

Skala pengukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkatan pengetahuan pedagang makanan jajanan yang menjual bakso tentang boraks sebagai bahan tambahan pangan adalah skala likert (Sugiyono, 2007). Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:

1. Kategori baik adalah apabila responden mendapat nilai > 75% dari seluruh skor yang ada.

2. Kategori sedang adalah apabila responden mendapat nilai 45-75% dari seluruh skor yang ada.

3. Kategori buruk adalah apabila responden mendapat nilai < 45% dari seluruh skor yang ada.

3.7.1. Pengetahuan

Pengetahuan responden diukur berdasarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Pertanyaan berjumlah 10 dengan total skor 20. Adapun ketentuan pemberian skor yaitu :

a. Jika responden menjawab “a” artinya responden tahu, diberi skor 2

b. Jika responden menjawab “b” artinya responden kurang tahu, diberi skor 1 c. Jika responden menjawab “c” artinya responden tidak tahu, diberi skor 0


(61)

Berdasarkan jumlah skor, selanjutnya tingkat pengetahuan responden dikategorikan sebagai berikut :

a. Baik, apabila skor yang diperoleh > 75% dari total skor atau memperoleh skor lebih dari 15

b. Sedang, apabila skor yang diperoleh 45 – 75% dari total skor atau memperoleh skor 9 sampai 15

c. Buruk, apabila skor yang diperoleh < 45% dari total skor atau memperoleh skor kurang dari 9.

3.8. Cara Kerja Penelitian

3.8.1. Pengambilan Sampel dan Pengiriman ke Laboratorium 1. Persiapkan plastik sebagai wadah sampel bakso.

2. Beri kode dengan menggunakan spidol pada plastik tersebut.

3. Kemudian sampel dibawa ke Laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan Fakultas MIPA USU untuk diperiksa dengan menggunakan metode uji nyala api.

3.8.2. Cara Pemeriksaan Boraks pada Bakso A. Bahan kimia

1. Larutan H2SO4 85% 2. Metanol

B. Alat-alat

1. Cawan porselen 2. Korek api 3. Spatula


(62)

4. Pipet tetes C. Prosedur Kerja

1. Pemeriksaan Kualitatif Boraks pada Bakso dengan Metode Uji Nyala Api

a. 5 gram sampel dimasukkan kedalam cawan porselen b. Kemudian ditetesi dengan H2SO4 85% dan Metanol c. Setelah itu dibakar dengan nyala api

d. Kemudian amati perubahan yang terjadi

Catatan : Jika terjadi perubahan menjadi nyala api warna hijau, maka sampel positif ( + ) mengandung boraks.

3.9. Analisis Data

Analisis dibuat secara deskriptif yang disertai dengan tabel, narasi, dan pembahasan serta diambil kesimpulan. Kemudian hasil pemeriksaan tersebut dibandingkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan.


(63)

BAB IV

HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Padang Bulan memiliki luas wilayah 168,1 km2 dimana terdapat luas pemukiman 79 km2, luas kuburan 4 km2, luas pekarangan 28 km2, luas taman 1 km2, dan luas perkantoran 20 km2 serta luas prasarana umum lainnya 36,1 km2.

Batas – batas wilayah Kelurahan Padang Bulan tersebut antara lain : 1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Kelurahan Merdeka

2. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kelurahan Titi Rantai 3. Sebelah Barat : berbatasan dengan Padang Bulan Selayang 4. Sebelah Timur : berbatasan dengan Kelurahan Polonia

Lokasi penelitian terletak di Jalan Dr. Mansur, daerah tersebut merupakan salah satu kawasan bisnis kuliner di Kota Medan. Dijalan Dr. Mansur ini banyak pedagang makanan jajanan yang menjual bakso. Letaknya yang dekat dengan kampus USU membuat lokasi ini ramai dikunjungi oleh banyak orang. Selain itu daerah tersebut juga padat penduduk dan banyak mahasiswa yang indekos disekitar jalan Dr. Mansur yang banyak membeli makanan siap saji, salah satunya adalah bakso.

4.2 Karakteristik Pedagang Bakso

Hasil wawancara terhadap pedagang bakso menunjukkan karakteristik pedagang bakso sebagai berikut:

4.2.1 Umur

Gambaran pedagang bakso berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut:


(64)

Tabel 4.1 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Umur dan Jenis Usaha Umur

(Tahun)

Jenis Usaha

Total Warung/Kios Pedagang

Kaki Lima

n % n % Jumlah %

20-29 5 20,0 2 8,0 7 28,0

30-39 4 16,0 7 28,0 11 44,0

40-49 1 4,0 4 16,0 5 20,0

50-59 - - 2 8,0 2 8,0

Total 10 40,0 15 60,0 25 100,0

Dari Tabel 4.1 diketahui bahwa mayoritas umur pedagang bakso pada jenis

usaha warung/kios berada pada rentang umur 20-29 tahun yaitu sebanyak 5 (lima) pedagang (20,0%). Sedangkan pada jenis usaha pedagang kaki lima,

mayoritas umur pedagang berada pada rentang 30-39 tahun yaitu sebanyak 7 (tujuh) pedagang (28,0%).

4.2.2 Pendidikan

Gambaran pedagang bakso berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel: Tabel 4.2 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Pendidikan dan Jenis

Usaha Pendidikan

Jenis Usaha

Total Warung/Kios Pedagang

Kaki Lima

n % n % Jumlah %

Tidak Sekolah - - 1 4,0 1 4,0

SD/Sederajat - - 5 20,0 5 20,0

SMP/Sederajat - - 4 16,0 4 16,0

SMA/Sederajat 7 28,0 5 20,0 12 48,0

Diploma/Perguruan Tinggi 3 12,0 - - 3 12,0

Total 10 40,0 15 60,0 25 100,0

Dari Tabel 4.2 diketahui bahwa mayoritas pedagang bakso pada jenis usaha warung/kios memiliki tingkat pendidikan tertinggi yaitu SMA/Sederajat sebanyak 7 (tujuh) pedagang (28,0%). Sedangkan pada jenis usaha pedagang kaki lima


(65)

adalah SD/Sederajat dan SMA/Sederajat masing-masing 5 (lima) pedagang (20,0%).

4.2.3 Lama Usaha

Gambaran pedagang bakso berdasarkan lama usaha dapat dilihat pada tabel: Tabel 4.3 Distribusi Pedagang Bakso Berdasarkan Lama Usaha dan Jenis

Usaha Lama Usaha

Jenis Usaha

Total Warung/Kios Pedagang

Kaki Lima

n % n % Jumlah %

2 tahun - - 3 12,0 3 12,0

3 tahun 3 12,0 - - 3 12,0

4 tahun - - 3 12,0 3 12,0

5 tahun 2 8,0 4 16,0 6 24,0

8 tahun 2 8,0 - - 2 8,0

10 tahun 2 8,0 3 12,0 5 20,0

15 tahun - - 2 8,0 2 8,0

20 tahun 1 4,0 - - 1 4,0

Total 10 40,0 15 60,0 25 100,0

Dari Tabel 4.3 diketahui bahwa pedagang bakso pada jenis usaha warung/kios mayoritas telah berdagang selama 3 (tiga) tahun yaitu sebanyak 3 (tiga) pedagang (12,0%). Sedangkan pedagang kaki lima mayoritas telah berdagang selama 5 (lima) tahun yaitu sebanyak 4 (empat) pedagang (16,0%). 4.2.4 Modal Usaha

Gambaran pedagang bakso berdasarkan modal usaha dapat dilihat pada Tabel 4.4 sebagai berikut:


(1)

Membersihkan bahan baku yang sudah dibeli terlebih dahulu sebelum disimpan * Jenis Usaha Crosstabulation Jenis Usaha Total Warung/Kios Pedagang Kaki Lima Membersihkan bahan baku

yang sudah dibeli terlebih dahulu sebelum disimpan

Tidak Count 10 15 25

% within Membersihkan bahan baku yang sudah dibeli terlebih dahulu sebelum disimpan

40.0% 60.0% 100.0%

% within Jenis Usaha 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 40.0% 60.0% 100.0%

Total Count 10 15 25

% within Membersihkan bahan baku yang sudah dibeli terlebih dahulu sebelum disimpan

40.0% 60.0% 100.0%

% within Jenis Usaha 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 40.0% 60.0% 100.0%

Tempat penyimpanan dibersihkan setiap hari * Jenis Usaha Crosstabulation Jenis Usaha Total Warung/Kios Pedagang Kaki Lima Tempat penyimpanan

dibersihkan setiap hari

Tidak Count 10 15 25

% within Tempat penyimpanan

dibersihkan setiap hari

40.0% 60.0% 100.0%

% within Jenis Usaha 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 40.0% 60.0% 100.0%

Total Count 10 15 25

% within Tempat penyimpanan

dibersihkan setiap hari

40.0% 60.0% 100.0%

% within Jenis Usaha 100.0% 100.0% 100.0%


(2)

(Penyimpanan Bakso)

Seluruh bakso langsung digunakan (dijual) * Jenis Usaha Crosstabulation Jenis Usaha

Total Warung/Kios

Pedagang Kaki Lima Seluruh bakso langsung

digunakan (dijual)

Ya Count 8 14 22

% within Seluruh bakso langsung digunakan (dijual)

36.4% 63.6% 100.0%

% within Jenis Usaha 80.0% 93.3% 88.0%

% of Total 32.0% 56.0% 88.0%

Tidak Count 2 1 3

% within Seluruh bakso langsung digunakan (dijual)

66.7% 33.3% 100.0%

% within Jenis Usaha 20.0% 6.7% 12.0%

% of Total 8.0% 4.0% 12.0%

Total Count 10 15 25

% within Seluruh bakso langsung digunakan (dijual)

40.0% 60.0% 100.0%

% within Jenis Usaha 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 40.0% 60.0% 100.0%

Ada tempat khusus untuk menyimpan bakso yang belum digunakan (dijual) * Jenis Usaha Crosstabulation Jenis Usaha Total Warung/Kios Pedagang Kaki Lima Ada tempat khusus untuk

menyimpan bakso yang belum digunakan (dijual)

Ya Count 2 1 3

% within Ada tempat khusus untuk menyimpan bakso yang belum digunakan (dijual)

66.7% 33.3% 100.0%

% within Jenis Usaha 20.0% 6.7% 12.0%

% of Total 8.0% 4.0% 12.0%

Tidak Count 8 14 22

% within Ada tempat khusus untuk menyimpan bakso yang belum digunakan (dijual)

36.4% 63.6% 100.0%

% within Jenis Usaha 80.0% 93.3% 88.0%

% of Total 32.0% 56.0% 88.0%

Total Count 10 15 25

% within Ada tempat khusus untuk menyimpan bakso yang belum digunakan (dijual)

40.0% 60.0% 100.0%


(3)

Bakso-bakso tersebut selalu habis setiap harinya * Jenis Usaha Crosstabulation Jenis Usaha

Total Warung/Kios

Pedagang Kaki Lima Bakso-bakso tersebut

selalu habis setiap harinya

Ya Count 3 2 5

% within Bakso-bakso tersebut selalu habis setiap harinya

60.0% 40.0% 100.0%

% within Jenis Usaha 30.0% 13.3% 20.0%

% of Total 12.0% 8.0% 20.0%

Tidak Count 7 13 20

% within Bakso-bakso tersebut selalu habis setiap harinya

35.0% 65.0% 100.0%

% within Jenis Usaha 70.0% 86.7% 80.0%

% of Total 28.0% 52.0% 80.0%

Total Count 10 15 25

% within Bakso-bakso tersebut selalu habis setiap harinya

40.0% 60.0% 100.0% % within Jenis Usaha 100.0% 100.0% 100.0%


(4)

D

LAMPIRAN IX

DOKUMENTASI HASIL PENELITIAN

Gambar 1. Tepung boraks


(5)

Gambar 3. Pemoton

Gambar 4

otongan Bakso Sebelum Diletakkan kedalam Ca

4. Sebanyak 5 gram Bakso dalam Cawan Pors

Cawan Porselen


(6)

Gambar 5. Bakso dal

o dalam Cawan Porselen yang Ditetesi H

2

SO

4

85%

kemudian Dibakar


Dokumen yang terkait

Hygiene Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

16 119 107

Tinjauan Tentang Keberadaan Pedagang Kaki Lima Jl.Dr. Mansur Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Kota Medan

3 66 97

Pemeriksaan Boraks dan Natrium Karbonat Pada Lontong di Kelurahan Padang Bulan Medan Tahun 2006

0 26 65

Pengetahuan dan Sikap Pedagang Bakso dan Pemeriksaan Formalin Pada Makanan Jajanan Bakso Daging Kukus Yang Diperjualbelikan Di Lingkungan Sekolah Kelurahan Pulo Brayan Kecamatan Medan Barat Tahun 2010.

2 34 73

Pemeriksaan Formalin Pada Bakso Yang Dijual Di Sekolah Dasar Di Kota Medan

5 54 77

PERBEDAAN WARNA DAN KEKENYALAN BAKSO BERDASARKAN KANDUNGAN BORAKS PADA WARUNG BAKSO SAPI DI KELURAHAN TLOGOSARI KULON KECAMATAN PEDURUNGAN SEMARANG TAHUN 2008 - UDiNus Repository

1 1 2

Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Makanan - Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

0 1 32

Pemeriksaan Boraks Pada Bakso yang Dijual Pedagang Kaki Lima dan Warung Bakso di Kelurahan Padang Bulan Kecamatan Medan Baru Tahun 2014

0 0 15

Hygiene Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

0 0 14