61
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
Pada keadaan tertentu faktor budaya jugalah yang mempengaruhi responden C untuk mengambil keputusan dalam merawat anaknya. Orang-orang
yang dituakan di keluarganya untuk membawa ke pengobatan yang dianjurkan oleh keluarga besarnya. Ia merasa harus melaksanakannya karena itu adalah
nasehat orang tua atau orang yang dihormati sehingga Ia tak kuasa menolaknya. Dalam konteks sehat-sakit, kepercayaan, simbol dan kebiasaan kelompok
etnis menjadi referensi yang digunakan oleh anggotanya untuk menilai ketepatan keputusan da tindakan mereka Kleinman, 1978, dalam Anderson dan Mc.Farlane
2001. Kadang-kadang kompponen budaya dan etnisitas memegang peran yang lebih besar dalam perawatan kesehatan dari pada pengalaman dan pengobatan
medis Anderson dan Mc.Farlane.
b. Pengalaman Tanpa Akhir
Ketika anak menderita penyakit kronis , tugas dan tanggungjawab yang secara normal dihadapi keluarga akan bertambah dan kemungkinan akan
menyulitkan anggota keluarga untuk menghadapinya dengan normal. Oleh karena adanya perubahan kondisi, maka keluarga sebagai manusia, harus mampu
menyesuaikan diri dengan kehidupan yang berubah-ubah dalam keluarganya sebagaimana interaksi antara jasmani, rohani dan lingkungannya Sunaryo, 2004.
Pada umumnya, keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis akan membutuhkan perhatian yang lebih dari anak normal seusianya bahkan bisa
dikatakan kehilangan kehidupan normalnya NJH,2008. Hal ini juga bisa dilihat
62
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
dari berbagai perubahan yang dialami oleh responden baik dari segi kehidupan sosial, psikologi dan ekonominya.
Menurut peneliti, banyak hal memerlukan adaptasi dari keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis. Keluarga dituntut untuk mampu
membiasakan diri untuk meluangkan waktu untuk pemeriksaan dan perawatan anak, meluangkan waktu lebih banyak, memberi perhatian yang konsisten, siap-
sedia menghadapi kekambuhan bahkan memenuhi kebutuhan materi yang lebih besar dari sebelumnya. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan stres, tekanan
ekonomi, gangguan fisiologis dan fisik, kepasrahan akhirnya menunjukkan penerimaan dan mencari bantuan dari keluarga, lingkungan maupun lembaga
yang terkait. Hal ini akan dialami keluarga terus-menerus sepanjang hidup penderita.
Timbulnya suatu penyakit yang kronis dalam suatu keluarga memberikan tekanan pada system keluarga tersebut dan menuntut adanya penyesuaian antara si
penderita sakit dan anggota keluarga yang lain Widyawati, 2002. Oleh karenanya tekanan ekonomi. Psikologi dan sosial akan terus dihadapi oleh
keluarga, hal ini sering disebut sebagai pengalaman tanpa akhir karena memang hal tersebut akan berlangsung seumur hidup penderita Hamid, 2004.
Berikut hasil penelitian tentang pengalaman tanpa akhir yang dialami oleh keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis.
1. Stress Banyak stressor yang mempengaruhi peningkatan resiko stress dan
depressi pada keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis. Adanya
63
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
perasaan bingung karena ketidakpastian kondisi sakit dan hasil pengobatan, konflik sehari-hari dengan peraturan medis, isolasi sosial, aturan-aturan yang
membatasi, dan tekanan finansial adalah stressor yang selalu dijumpai King, 2001. Oleh karena itu keluarga sangat rentan dengan stress dalam berbagai
kondisi. Seperti yang dirasakan responden A, yang mengalami stress karena
merasa jenuh dan bosan di rumah sakit untuk menjaga anaknya. Apabila terjadi kekambuhan ataupun dalam masa kontrol, anak harus mengalami perawatan di
rumah sakit dengan masa perawatan yang tidak bisa ditentukan lamanya. Ketidakpastian ini membuatnya merasa tidak betah dan bosan harus berada di
rumah sakit terus-menerus. Rasa kasih dan sayanglah yang membuatnya mampu bertahan dalam kondisi seperti itu.
Mussato dalam mussatto 2002 dalam penelitiannya tentang adaptasi keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis menyebutkan bahwa proses
perawatan yang lama menuntut perhatian dan penjagaan yang lama dari orangtua. Hal ini menimbulkan rasa jenuh, bosan dan tekanan mental dalam diri keluarga.
Namun rasa tanggungjawab terhadap keadaan anak membuat orang tua harus menerima konsekuensi kondisi kronis anaknya. Kondisi seperti ini sangat
potensial menimbulkan stress. Tingkat stress yang dihadapi oleh responden D dan F cenderung menurun
dibandingkan pada awal anaknya menderita penyakit kronis. Hal ini dikarenakan tingkat kecemasannya sudah lebih redah dibandingkan pengalaman awalnya.
Namun, kedua responden mengaku stress bila mengigat hari-hari yang akan
64
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
mereka lalui ke depannya. Mereka merasa terjebak dengan rutinitas pengobatan yang sama setiap anaknya kambuh. Meskipun Responden F merasa pasrah dan
lebih mengikuti alur hidupnya, namun tekanan emosionalnya meningkat bila mengingat perawatan yang terus-menerus dijalaninya bersama anaknya sampai
anaknya dewasa. Hal itu ditandai dengan pernyatannya yang mengatakan bahwa rambutnya sampai rontok bila mengingat hal tersebut.
Rutinitas pengobatan dan tindakan medis menimbulkan rasa sakit pada anak-anak yang menderita penyakit kronis. Keluarga, khususnya Ibu sering
merasa takut dan tidak tega setiap kali penyakit anaknya kambuh dan harus segera dirawat. Rasa sedih yang mendalam selalu mengikuti setiap tindakan keluarga
yang harus melihat rasa sakit yang diderita anaknya. Hal ini memicu stress bagi keluarga Mussatto, 2002.
Responden B tidak mengatakan stressnya secara langsung dengan komunikasi verbal, tetapi terlihat dari ekspresinya yang menunduk dan terdiam
setiap kali ditanyakan tentang perasaannya. Hal ini menunjukkan betapa dia sangat sedih dan tertekan selama mengasuh anaknya. Menurut peneliti rasa sedih
mendalam itu juga dipengaruhi oeh pengalaman buruk Ibu karena salah satu anaknya meninggal karena thalasemia sehingga Ia merasa ketakutan kehilangan
anaknya yang ketiga. Berbeda halnya dengan responden C, meskipun ketiga orang anaknya
menderita haemophili dan salah satunya meninggal dunia ia lebih bisa menunjukkan penerimaan dibandingkan. Responden C mengaku anaknya
meninggal karena dia lalai mencari informasi dan merawat anaknya. Sehingga ia
65
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
lebih perhatian dan takut kejadian tersebut terulang kembali. Meskipun tidak mengatakannya, secara tersirat dari raut wajahnya terlihat tekanan batin yang
dirasakan selama mengasuh anaknya. Hughes 2002 melakukan wawancara dengan beberapa orangtua yang
memiliki penyakit kronis tentang pengalaman mereka selama mengasuh anaknya. Dia menemukan bahwa pengalaman yang buruk dari masa lalu menimbulkan
trauma yang mendalam dan stress berat pada keluarga tersebut. Sementara itu, responden E dan F lebih merasa tertekan menghadapi
tindakan medis dan pelayanan yang diterima di rumah sakit apabila anaknya harus dirawat. Mereka mengaku kurang merasa puas dengan apa yang didapatkan di
rumah sakit. Selain itu, perawatan yang lama, lambat, dan pemberi jasa medis yang terkadang kurang bersahabat menimbulkan stress. Prosedur dan sistem
pelayanan yang berbelit-belit terutama karena termasuk pasien jamkesmas juga memberatkan emosional responden.
Keluarga sering mengalami masalah dalam memberikan perawatan dan menyediakan kebutuhan medis dengan sistem yang kompleks, kesehatan mental,
pendidikan dan kebutuhan sosial King, 2001. Kesulitan menyesuaikan diri dengan prosedur rumah sakit dan ketidakpuasan pelayanan semakin meningkatkan
stress pada keluarga.
2. Tekanan ekonomi Dari wawancara yang peneliti lakukan, peneliti mengidentifikasi bahwa
beban ekonomi keluarga semakin berat setelah beberapa bulan anak didiagnosa
66
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
menderita penyakit kronis. Tekanan ekonomi semakin terasa karena biaya rutin yang dibutuhkan untuk perawatan sementara keluarga tetap harus memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anak lainnya. Seluruh responden merasakan tekanan ekonomi yang berat oleh karena
biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan, pengobatan dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak mereka. Biaya yang dikeluarkan keluarga di antaranya
biaya transportasi, biaya makan selama di rumah sakit, dan biaya obat-obatan yang harus ditanggung keluarga. Di samping itu juga kebutuhan sehari-hari
keluarga harus diperhatikan. Beban tersebut juga bertambah pada anak yang sudah sekolah. Keluarga harus memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya baik yang
sakit maupun yang sehat. Tekanan ekonomi semakin berat karena pengeluaran terus bertambah
sementara pemasukan tetap bahkan berkurang karena salah satu orang tua harus mengorbankan pekerjaan demi perawatan anak. Kadang-kadang orang tua harus
menyelesaikan perkejaannya lebih cepat dari biasanya demi memenuhi kebutuhan peraawatan bagi buah hatinya. Kondisi anak yang menuntut perhatian yang
intesive mengakibatkan keterbatasan ruang gerak orang tua yang berefek pada kesulitan pada usaha mencari penghasilan tambahan.
Tekanan ekonomi membuat orang tua berusaha mencari bantuan dari keluarga dan memanfaatkan jaminan kesehatan masyarakat dari pemerintah untuk
membantu beban perawatan keluarga. Namun, hal ini juga tidak member jaminan kecukupan biaya karena biaya di luar tanggungan jamkesmas juga besar,
sementara keluarga juga tidak bisa bergantung terus –menerus dengan keluarga
67
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
lain untuk membantu. Saat-saat dimana keluarga tidak mampu memeperoleh biaya tambahan dan ketidakberdayaan anggota keluarga untuk member bantuan
adalah stressor yang paling tinggi dirasakan oleh keluarga. Hasil penelitian yang ditemukan sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Aldridge 2001 dimana tekanan ekonomi adalah sesuatu hal yang biasa terjadi dan akan terus berlangsung pada keluarga dengan anak yang menderita
penyakit kronis. Beliau mengatakan bahwa penyakit yang kronis ini juga dapat berpengaruh pada stabilitas ekonomi keluarga, yang akan berdampak pada
kelanjutan pengobatan misalnya putus obat, tidak teratur mendapatkan terapi, dan dapat menimbulkan berbagai masalah kejiwaan seperti rasa pustus asa, cemas,
depresi dan lain-lain.
3.Gangguan Fisiologis dan fisik Seluruh responden dalam penelitian ini merasakan adanya gangguan fisik
dan fisiologis selama merawat anaknya. Gangguan fisiologis dan fisik itu berupa kurang tidur, sakit kepala, timbulnya penyakit-penyakit lama dan perasaan mual
serta munta. Menurut peneliti ini terjadi karena selama memberi perawatan di rumah keluarga tetap harus waspada setiap kali anak menunjukkan gejala-gejala
akan jatuh sakit maupun dalam upaya mempertahankan kesehatan anaknya. Keluarga juga harus memperhatikan setiap permainan dan tingkah laku anak agar
tidak mengganggu kesehatannya. Masa anak-anak adalah masa bermain dan membutuhkan sosialisasi
dengan teman-temannya. Hal itu merupakan salah satu kebutuhan yang harus
68
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
dipenuhi oleh keluarga. Namun, keluarga harus terus menjaga fisik anak terus- menerus agar tidak lelah dan tidak sembarangan mengkonsumsi makanan yang
mengganggu kesehatannya. Keadaan-keadaan yang menuntut perhatian tersebut sering menyebabkan
orang tua tidak memperhatikan kesehatannya sendiri dan cenderung lalai. Sehingga mereka merasakan gangguan pada diri mereka. Meskipun anaknya
dirawat di rumah dan dalam keadaan sehat, perasaan was-was kerap kali menjadi factor pemicu keluarga kurang menjaga kesehatannya.
Hal yang lebih parah sering terjadi ketika keluarga khususya orang tua menjaga anaknya di rumah sakit. Gangguan kesehatan berupa nyeri akibat dan
tindakan medis sering membuat anak rewel, susah tidur dan mencari perhatian orang tua. Responde mengaku sulit tidur sampai mengalami gangguan tidur
karenanya. Hal yang sama ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada ibu-ibu
yang anaknya menderita penyakit kronis dan bertugas menjaga anaknya di rumah sakit menunjukkan bahwa 78 dari mereka mengalamai gangguan tidur dan
penurunan kesehatan. Ibu tidak memiliki pola tidur yang tidak teratur, diet yang inadekuat serta mood yang tidak baik sebagai respon dari penurunan kesehatan
yang dialami Ibu Goddarth dkk, 2008.
4. Pasrah dan Menunjukkan Penerimaan Setelah menjalani dan mengikuti beberapa kali pengobatan terhadap
anaknya, stress responden mengalami penurunan. Keluarga menjadi pasrah dan
69
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
sudah menerima keaadaan anak mereka termasuk masa depannya maupun semua prosedur perawatan yang akan mereka jalani untuk anaknya. Semuanya menjadi
sesuatu yang biasa bagi mereka. Bahkan apa yang tidak normal bagi kita akan menjadi normal bagi responden.
Dua responden pernah mengalami kehilangan anaknya sebelumnya. Seharusnya menurut teori yang ada hal ini akan menimbulkan trauma dan
ketakutan yang mendalam pada keluarga. Namun, dalam penelitian ini, hanya satu responden yang mengakuinya. Peneliti tidak menemukan adanya trauma maupun
ketakutan yang berlebihan dalam diri keluarga yang lain. Mereka mengatakan sudah dapat menerima hal ini, dan pasrah. Mereka menganggap, anak sebagai
titipan Tuhan harus dirawat dalam kondisi apapun. Dan sudah mejadi tanggungjawab mereka untuk menjaga dan merawatnya. Dan bila Tuhan berkenan
maka Tuhan bisa saja mengambil anaknya kapanpun juga. Hal di atas juga ditemukan dalam penelitian Hamid 2004, dalam
penelitian yang dilakukan pada keluarga yang memiliki anak tuna grahita. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa keluarga menganggap penyakit yang
diderita oleh anak mereka adalah keinginan Tuhan, hukuman dari Tuhan dan merupakan keturunan. Sehingga kondisi anak yang sakit dapat diterima dengan
kepasrahan. Menurut peneliti, keluarga bisa menunjukkan penerimaan dan
kepasarahan dikarena mereka sudah menyadari bahwa apa yang mereka jalani sekarang juga akan mereka jalani di hari-hari berikutnya. Oleh karena itu, untuk
mengurangi tekanan, penerimaan dan pasrah adalah satu-satunya jalan terbaik
70
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
untuk bisa bertahan dengan kondisi tersebut. Keadaan tidak berubah walaubagaimanapun keluarga berusaha melakukan penolakan. Pasrah dalam hal
ini tidak berarti tidak melakukan apa-apa, tetapi lebih kepada penguasaan diri. Penerimaan keluarga juga ditunjukkan dengan semakin kuatnya
hubungan batin keluarga dengan Tuhan dan menganggap semua itu adalah cara untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Harapan keluarga tidak pernah
turun meskipun berbagai macam kendala dihadapi keluarga, ini dikarenakan mereka percaya Tuhan telah menitipkan anak kepada mereka dan
bertanggungjawab menjaganya. Penerimaan adalah satu-satunya cara agar keluarga mampu menjalankan
setiap tahap pengobatan terus-menerus. Bila keluarga mampu menujukkan penerimaan maka tidak sulit untuk menemani anak dalam setiap perawatan yang
dilaluinya. Karena bagaimanapun keluarga berusaha untuk mengubah keadaan, kondisi anak yang menderita penyakit kronis tidak bisa diubah. Keluarga hanya
bisa mengharapkan anaknya tidak kehilangan masa kanak-kanaknya dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya JLS Foundation, 2008.
Kepercayaan merupakan faktor kuat yang memampukan keluarga untuk tetap memberikan perawatan yang terbaik dan tetap bertahan dalam merawata
anak mereka. Keyakinan terhadap Tuhan dan pengharapan yang tidak habis-habis adalah kekutan utama dalam keluarga agar tidak mengalami kemarahan dan
penolakan terhadap penyakit anak mereka dalam waktu yang lama sehingga keluarga bisa cepat fokus dalam tugas dan tanggungjawab pemberi asuhan
kesehatan JLS foundation, 2008.
71
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
5. Mencari Bantuan dari Keluarga, Lingkungan maupun Lembaga Terkait Keluarga tidak mampu memenuhi semua kebutuhan anaknya secara
mandiri dalam hal biaya, dukungan, tenaga dan pemenuhan informasi. Oleh karena itu, keluarga akan mencari pihak-pihak yang dianggap mampu
memberikan bantuan. Keluarga adalah orang yang paling dekat untuk diintai pertolongan. Namun, seperti yang diakui oleh responden, tidak semua hal bisa
diharapkan memberikan bantuan karena etiap keluarga memiliki stresnya masing- masing dan keterbatasan ekonomi juga. Bantuan tenaga dalam merawat anak
adalah salah satu hal yang responden harapkan dari keluarganya. Selain itu bantuan dari lingkungan sekitar juga banyak berperan dalam
membantu keluarga merawat anaknya. Seringkali responden mendapat bantuan donor darah dari dokter, perawat maupun petugas medis yang perduli dengan
keadaan keluarga penderita. Informasi dan dukungan dari orang-orang berpengalaman yang kebetulan bertemu dalam perawatan anak masing-masing
juga dirasakan cukup membantu keluarga sehingga tahu kemana akan mencari pertolongan.
Beberapa responden dibantu oleh lembaga atau yayasan yang berhubungan dengan penyakit yang diderita oleh anak mereka baik yang berupa
kelompok dan yayasan amal ataupun pekerja sosial, seperti yayasan haemophili dan Bunda Tsu Chi yang member bantuan berupa darah gratis kepada beberapa
responden .
72
Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009
George dan kawan-kawan 2008, dalam penelitiannya juga menemukan bahwa bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga, lingkungan ataupun
lembaga terkait yang biasa disebut sebagai “community service”, memberikan dampak yang cukup besar kepada keluarga dengan anak yang menderita penyakit
kronis.
c. Pengaruh Penyakit Kronis terhadap Keluarga