Pengalaman Awal Mengasuh Anak dengan Penyakit Kronis

35 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 Responden F adalah seorang wanita berumur 25 tahun, beragama Islam, suku Melayu, dan memiliki anak 3 orang. Anak pertama berumur 7 tahun, Anak kedua berumur 5 tahun dan anak ketiga yang menderita Anemia Aplastik berusia setahun 2 bulan. Pendidikan terakhirnya SD dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga tanpa penghasilan, dengan penghasilan suaminya antara Rp.800.000- 1.000.000 setiap bulan. g. Responden G Responden G adalah seorang wanita berumur 45 tahun, beragama Kristen, suku Batak Toba, dan memiliki seorang anak berumur 10 tahun dengan penyakit jantung congenital yaitu rheumatic jantung. Pendidikan terakhirnya Sarjana dengan pekerjaan sebagai PNS dengan penghasilannnya dan suaminya lebih dari Rp.2.000.000 setiap bulan. Namun, Ibu ini akhirnya mengundurkan diri sebagai responden dengan alasan tidak mau membicarakan kondisi anaknya dan merasa semuanya baik-baik saja, sehingga tidak ada yang bisa dia ceritakan.

1.2 Hasil Wawancara

Dari hasil wawancara dengan responden secara langsung mengenai pengalaman keluarga dengan anak yang menderita penyakit kronis, maka peneliti mengidentifikasikan uraian hasil wawancara tersebut dalam empat katagori, yaitu pengalaman awal mengasuh anak dengan penyakit kronis , pengalaman tanpa akhir, dampak penyakit kronis terhadap keluarga dan kekhawatiran masa depan anak dengan penyakit kronis.

A. Pengalaman Awal Mengasuh Anak dengan Penyakit Kronis

36 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 1. Respon Emosional Masing-masing responden merasakan respon emosional yang berbeda- beda pada awal pengasuhan anak mereka. Perasaan sedih, bingung dan cemas merupakan hal pertama yang dirasakan oleh keluarga. Hal itu dapat dilihat dari beberapa pernyataan responden yang mengungkapkan hal tersebut secara langsung maupun melalui ekspresi responden. Dua orang responden mengaku sedih begitu mengetahui anak mereka menderita penyakit kronis. Responden A :“Ya.. kek gitulahh…” Menunduk Ya, seperti itulah… Sambil menunduk Responden B :”Yah… Sedihlah Dek… Apalagi anakku yang kedua kan kena thalasemia juga… Meninggal… Kok bisalah dua anakku kena sakit ini, padahal kan cuma tiga orang anakku…” Tiga orang responden merasa bingung begitu mengatahui kondisi penyakit kronis yang diderita anak mereka dan salah satu di antaranya tetap optimis mengharapkan kesembuhan meskipun Ia merasa bingung. Sementara Responden terakhir merasakan cemas dengan kondisi anaknya. Responden C : Tersenyum “Awak bisa bilang apa lagi?” ”Macemmanalah… Orang anak awak ada tiga orang yang kena…Apa boleh buatlah… Awak mana tau kenapa bisa begini…” Saya bisa bilang apa? Bagaimanalah… Anak saya ada tiga orang yang sakit hemophilia. Apa boleh buatlah… Saya tidak tahu kenapa bisa begini… Responden D :”Apalah ya…, ga ngertilah bilangnya… Gitu ajalah…” “Gimanalah ya kan, namanya anak, kurawatlah. Akupun nggak tahunya sebenarnya sakitnya. Nggak pernahpun kutengok sakit kek gitu dulu. Ga tahulah kenapa anakku kena. Tapi kurawat jugalah…” Responden E :”Saya tetap optimis, artinya saya nggak boleh pesimis dengan keadaan anak saya ini. Saya masih tetap mengharapkan 37 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 kesembuhan. Cuma, saya tidak tahu akan berlangsung berapa lama, akan sampai kapan dia seperti ini. Tapi, saya tidak mau pesimis,Dek. Saya punya keyakinan dia akan sembuh…” Responden E :”Bagaimanalah perasaan seorang Ibu, ada cemas dan stresslah. Apalagi masih kecil seperti ini anakku.” 2. Membawa Anaknya ke Pengobatan di luar Medis Dua orang responden membawa anaknya ke pengobatan non medis berupa pengobatan alternatif ataupun tradisional dan sekaligus memanfaatkan pelayanan medis untuk merawat anaknya. Namun, akhirnya mereka memilih untuk konsisten membawa anak mereka ke pelayanan medis. Responden B : ”Oh…, sering… Ke mana-mana sudah Ibu bawa… Sambil berobat rumah sakit, sambil obat kampung atau alternatif Namanya juga usaha, bagaimana supaya sembuh. Ada orang kasih tau, ya Ibu bawa… Tapi, mikir-mikir kok nggak sembuh- sembuh ya? Malah sering drop Hbnya… Padahal kalau nggak dibawa berobat kampung, cuma dijaga makanannya, bisa jarang drop. Paling kontrol aja.” Responden C :”Pernah. Kubawa berobat kampunglah dia… Biar cepat sembuh Ibu pikir, tapi nggak juga. Macemmanalah.., apalagi yang tua-tua itu sudah menyarankan, di suruh bawa ke sana, ada pengobatan tradisional katanya, harus kubawalah… Apalagi waktu yang ke enam itu masih yang sakit., semualah Ibu ikuti. Kalau nggak dilaksanakan, nggak hormat sama yang tua-tua katanya… Terpaksalah…” Tapi, tidak semua responden melakukan hal yang sama, beberapa mengaku tidak mempercayai pengobatan di luar medis dan enggan membawa anak mereka ke pengobatan tradisional meskipun keluarga atau orang di lingkungannya menyarankan 38 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 Responden A :“Oh, banyak memang yang ajak… Adalah yang bilang dibawa ke sanalah, sinilah.. Aku pernah sembuh dibuat, katanyalah… Tapi, nggak pernah kami mau… Pokoknya sebaik dijelaskan sakit Adek ini,nggak pernah kami bawa kemana-kemana. Cuma ke rumah sakit aja. Ya memang, cuma ini nya cara pengobatannya… Kan udah dibilang Dokter, harus di rumah sakit ya Bu… Jangan dikasih yang lain-lain.. Kalau ada apa- apa karena minum obat selain yang dari rumah sakit, kami nggak mau tanggungjawab katanya…. Yah, takutlah aku bawa ke mana-mana… Lagian kalau mau orang-orang bawa anaknya yang sakit kayak gini ke pengobatan kampung, karena nggak percayanya mereka itu… Dah banyak orang kulihat yang menyesal kayak gitu… Sampai meninggalpun anaknya…, tapi kalau aku, nggaklah… Biarlah kek gini. Yang penting berdoa.., kubuat semampuku…” Responden D :”Nggak pernah. Ibu nggak percaya Pernah disuruh ke berobat kampung, tapi nggak percaya aku, nggak ada gunanya. “ Responden E :”Nggak, biarpun ada yang ngajak, nggaklah.. Saya tidak percaya pengobatan yang begituan…” Responden F :”Nggak, tetanggaku cuma menyarankan supaya dibawa ke Adam Malik aja, karena selama ini kami cuma berobat ke puskesmas.“ 3. Mencari Informasi Semua responden menyatakan bahwa mereka bertanya dan mencari informasi tentang penyakit kepada petugas kesehatan maupun orang di sekitar tentang penyakit dan bagaimana perawatannnya. Namun, tidak semua responden melakukan hal tersebut secara aktif, beberapa di anataranya cukup menerima informasi yang diberikan oleh Dokter ataupun Perawat ketika anak mereka dirawat di rumah sakit. Responden A :“Pokoknya dia di BNP dulu, trus keluarlah protokolnya, trus dijelaskanlah samaku kayakmana sakit Adek ini. Pokoknya harus sering-sering kontrollah kubawa dia, karena kambuh- kambuhannya dia katanya.” 39 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 RespondenB :“Nggak terlalu pahamlah… Tapi, dijagalah makannya, mainnya, supaya nggak sering-sering kambuh… Kata Dokter kan begitu, orang-orang juga bilang gitu… ” Responden C :”Ya Ibu juga sudah dijelaskan sama Dokter sama perawatnya juga kayak gitu… Makanya Ibu jaga jangan sampai Anak Ibu luka…” “Kalau waktu itu memang Ibu nggak mengerti. Kan sekarang, Ibu sudah tahu dan dikasih tau sama dokter dan perawat- perawatnya.” Responden D :”Pokoknya kata dokter, adalah kelainan darahnya, jadinya dia sering kuat-kumat nanti sakitnya, harus teratur dibawa kontrol, ga boleh lupa… Trus, katanya kalau sakit nanti, harus sering transfusi.” Responden E :”Ya, saya diajari untuk selalu menjaga pola makannya, agar mendapatkan gizi yang baik. Diatur aktivitasnya agar jangan terlalu banyak bermain dan cepat lelah. Selalu rajin membawa kontrol, karena ada surat kontrolnya.” Responden F :”Iya, kalau matanya pucat, putih. Wajahnya pucat, lemah… Pokoknya gitulah…. Kata Dokterpun kalau udah gitu langsung bawa aja ke rumah sakit.“ 4. Aspek Budaya Dua responden mengakui adanya suatu doa atau upacara bersama yang biasa dilakukan untuk anak yang sakit menurut budaya mereka. Responden B :” Ada Famili-famili nanti datang bawa makanan untuk Dia… Supaya sehat. Banyak Saudara yang datang Bikin acara Untuk kesembuhan” Ada Keluarga akan datang membawa makanan untuknya, agar dia sehat. Banyak saudara yang akan datang membuat acara untuk kesembuhannya. Responden C :”Ada Tapi, itu kalau di kampung Ibu. Tapi, Ibu nggak pernah buat di sini. Nggak usahlah. Ngurus ini aja udah cukup. Nggak usah sampai kayak gitu. Tapi , kayak itu tadilah disuruh sering kita berobat ke tempat lain menurut tua-tua itu.” Ada Tapi, itu kalau di kampung Ibu. Tapi, Ibu tidak pernah melakukannya di sini. Tidak perlulah. Merawatnya dengan baik 40 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 saja sudah cukup. Tidap perlu sampai melakukan acara seperti itu. Tapi, kadang-kadang saya disuruh berobat kampung oleh para penatua saya. Dua responden mengakui bahwa menurut suku atau budaya, mereka mengenal acara-acara tersebut, namun memilih untuk tidak memanfaatkannya sementara seorang responden yang tidak tahu. Responden D :”Nggaklah.., sebenarnya adanya., tapi Ibu nggak jalani. Bukan itu yang membuat sembuh. Lagian beda-bedanya adat Ibu dengan suami. Jadi ya nggak usahlah”. Responden E :”Kami tidak percaya hal seperti itu. Semua kami serahkan pada Tuhan.” Responden F :” Nggak, nggak pernah. Saya tidak mengerti hal seperti itu… “ B. Pengalaman Tanpa Akhir 1. Stres Semua responden menyatakan adanya stress selama mengasuh anak mereka ketika merawat di rumah dan di rumah sakit. Responden A :“Ya… Stresslah…, tapi kekmana lagi mau kubilang?” “Yang kutau dia kanker darah katanya. Itu aja. Kalau anak kita sakit kayak gitukan, streslah…” “Yah… Rewellah dia… Mau kadang-kadang dia nanya kapan kita pulang, mak… Gitulah katanya kalau pas lagi jenuh dia di rumah sakit.” “Tapi, memang terkadang kalau pas di rmah sakit, suka tambah stress juga kita menunggu anak kita ditangani,lama kali dek… Kadang harusnya kita bisa cuma seminggu aja paling lama di sana, mau jadi dua minggu.” Responden D : “Memang waktu 2 bulan pertama itu, waktu dia masuk rumah sakit dia selama sebulan, trus disuruh aku bawa kontrol setiap bulan, stress juganya. Tapi, sejak itulah Ibu sadar…, oh, mungkin kayak ginilah aku terus-terusan nanti. Gitulah pikiranku. Capek 41 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 memang, sedih jugalah lihat anak awak kek gitu. Tapi, kek tadilah kan, akupun harus menerima…” Responden F : ”Bagaimanalah perasaan seorang Ibu, ada cemas dan stresslah. Apalagi masih kecil seperti ini anakku.” ”Sebenarnya, Kakak nggak terlalu memikirkan ke depannya gimana. Kakak ini tipikalnya enjoy ajalah jadi Ibu. Hadapilah semua sesuai alurnya. Bagaimana dia dewasanya, lihat nanti aja. Pasrahlah… Tapi, memang kadang sakit kepala juga. Rontok juga rambutku karena mikirkan dia…“ Responden B tidak mengatakan stressnya secara langsung dengan komunkasi verbal, tetapi terlihat melalui ekspresinya: Responden B : Tersenyum…. “Ginilah…” Diam dan menunduk… Beginilah keadaanya… Responden mengatakannya dengan muka yang menunduk Responden E mengatakan tidak begitu stress dengan kondisi anaknya karena dia sudah menerimanya sebagai efek dari penyakit yang diderita namun ketidakpuasan pelayanan rumah sakit yang dia terima setiap kali membawa anaknya ke rumah sakitlah yang menyebabkan stress. Hal itu juga dialami oleh responden F. Responden E :”Saya memang kurang merasa puas dengan apa yang saya dapatkan di rumah sakit, tapi saya tidak menyalahkan siapapun, setiap orang bisa melakukan kesalahan. Mungkin, banyak hal yang perlu mendapat perhatian selain anak saya kalau di rumah sakit. Tapi, itu yang membuat saya agak nggak enak jadinya” Responden F : ”Bukan mau menyalahkan siapa-siapa, tapi perawatan yang lama, lambat, trus perawat yang kurang bersahabat juga, bikin stress juga. Lama penanganannya kalau di rumah sakit…, itu kan bikin makin besar biaya… Kadang-kadang aku kasihan lihat mereka nggak pelan-pelan mengurus anakku.., apalagi kalau ngasih transfusi atau infus, trus disuntik.” 42 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 Untuk Responden C, dia sudah lebih bisa menerima beban yang dirasakan selama mengasuh anaknya karena sudah terbiasa dan berpengalaman, tapi Ia mengakui bahwa fikiran dan perasaannya terganggu ketika tiga orang anaknya didiagnosa haemophili dan anaknya yang ke sembilan meninggal karena ketidaktahuaannya dalam perawatan. Responden C :”Macemmanalah… Orang anak awak ada tiga orang yang kena…” “Nggak ada. Karena sudah biasa, jadinya nggak repot lagi. Kan dulu waktu kakaknya yang ke 9 kakaknya Mayang kena itu meninggal. Karena waktu itu nggak taulah awak kayak gitu kan.” Bagaimanalah… Anak saya ada tiga orang yang terkena hemophilia.. Karena sudah terbiasa, saya jadi tidak merasa repot lagi. Kalau dulu kakaknya meninggal, itu karena saya belum tahu tentang penyakit hemophilia 2. Tekanan Ekonomi Rata-rata responden merasakan tekanan ekonomi yang semakin berat dalam mengasuh anak yang sakit kronis disebabkan oleh berbagai macam alasan. Orang tua harus mengeluarkan dana untuk biaya perawatan rutin dan harus memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus memenuhi biaya pendidikan anaknya. Responden A :“Kan, untungnya dia dapat Jamkesmas… Gratis obatnya, darah juga kalau mau ditransfusi…, walaupun agak lama- lama datang. Harus dibilang berkali-kali dulu. Tapi, uang makan kan kita biayai sendiri. Kek ginilah…, oppungnya dua- dua yang jaga…, kan kami belilah sendiri makanannya… Tapi, apa boleh buatlah…, demi anak…” “Cuma lapan ratus ribunya… Tapi, udah itulah gaji suami kakak, hasil jual gorengnya…, itu juganya dipake untuk sekolah abangnya, uang makan, semualah… Untung adanya 43 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 Oppungnya menjaga, biar bisa kakak kerja.., kalau nggak? Yah…, manalah bisa…” Responden B :”Ya adalah Dek…, duitnya kan kurang” “Iya, tapi kan kalau di rumah sakit ada biaya makan kita, belum lagi ongkos-ongkos sama bayar obat lagi yang lain. Ada perlu juga buat sekolahnya… Ya, harus dicukup-cukupkanlah” Responden D : ”Semua mendukunglah…, membantu kalau bisa membantu. Tapi, seberapalah itu.” ”Ya, cuma kek gitulah Dek…, Bagaimana supaya Ibu bisa ikhlas, terus menjaga, bisa cari uang , itu ajanya yang berat Ibu rasa. Tapi, kalau soal penyakitnya ini, sudah bisa Ibu menerimanya.” Responden E : ”Ya, memang sangat kuranglah ekonomi kami apalagi untuk biaya pengobatan dia. Jadi, untuk sementara ini, ada yang bantu. Adek kandung saya yang bantu untuk membeli darah dan biaya ongkos kami kalau kontrol. Kami memang diberi keringanan untuk membayar setengah saja harga darahnya. Tapi kayaknya sudah nggak bisa lagi dia membantu nanti. Udah dibilangnya sama saya untuk mencoba berusaha semampunya karena dia juga udah mulai kewalahan. Karena memang biaya makan selama menjaga di rumah sakit kemarin kan, dari dia dan biaya transfusi beberapa kali dengan obatnya.” Responden F :”Ya, sekarang sudah mulai terasa. Sudah mulai kesulitan. Kami pun harus beli darah,cari biaya untuk ongkos pengobatan dan biaya transportasi. Sementara kebutuhan untuk anak-anak yang lain juga harus difikirkan. Sudah mulai terasalah tekanan ekonominya. Padahal, suami kakak cuma jual ikan.“ Berbeda halnya dengan Responden C karena tanggunggjawab biaya perawatan ada pada anaknya yang sudah bekerja. Responden C :“Ada Abangnya dan kakaknya. Kan abangnya banyak, ada yang sudah kerja. Dialah yang mengingatkan Ibu untuk membawa Anak Ibu ini ke rumah sakit kalau mau kontrol dan membiayai makanan dan ongkos Ibu. Kalau Ibu kan nggak kerja, Suami Ibu juga sakit stoke. Jadi, cuma bisa menjaga ajalah, nggak bisa cari uang lagi.” 44 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 3.Gangguan Fisiologis dan fisik Gangguan fisiologis dan fisik seperti ganggguan tidur dan kelelahan adalah hal yang biasa dialami oleh responden selama merawat anak yang sakit terutama ketika harus menjaga di rumah sakit. Responden A : “Oh…, maulah aku kurang tidur memang… Apalagi kalau dia rewel…, trus, kalau jaga di rumah sakit… Maulah aku mual, muntah, masuk angin… Kan capek juga perjalanan dari rumah sampai ke rumah sakit. Sejamanlah kita di jalan. Itu aja… “ Responden B :”Cuma kadang sulit tidur, kalau barus selesai jaga di rumah sakit.” Responden C :”Ya, terganggulah sesekali, apalagi kalau dia di rumah sakit. Nggak bisa tidur, capek… Kalau di rumah kan, nggak susah… Hanya nggak bisa kemana-manalah…” Responden D :”Memang kadang Ibu kurang tidurlah karena dia rewel, apalagi pas lemah. Kalau di rumah sakit, capeknya itulah. Si Zul ini kan belum bisa mandiri walaupun sudah 6 tahun, pipis di celanalah, berakpun gitu. Kalau masak Ibu, mestilah Ibu gendong terus, pas kerja juga, jadi capeklah, memang maunya kurang tidur. Sesekali maulah kepikiran, kok capek kalilah kek gini terus….” Responden E : ”Itulah… Selama merawat Edi di rumah sakit kan, capek Ternyata diperiksa, saya kena gula. Sampai luka kaki ini. Saya juga merasa kecapekan, stress, masuk angin,badan pegal-pegal, leher saya sakit. Kalau di rumah bisa bergantian menjaga atau ngurusnya. Kalau nanti ke rumah sakit, cuma saya juga yang bisa menjaga. Abang-abangnya tidak pintar menjaga di rumah sakit. Sering kurang tidur jugalah saya jadinya.” Responden F : ”Sebenarnya, Kakak nggak terlalu memikirkan ke depannya gimana. Kakak ini tipikalnya enjoy ajalah jadi Ibu. Hadapilah semua sesuai alurnya. Bagaimana dia dewasanya, lihat nanti aja. Pasrahlah… Tapi, memang kadang sakit kepala juga. Rontok juga rambutku karena mikirkan dia…“ 4. Pasrah dan Menunjukkan Penerimaan 45 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 Setelah menjalani dan mengikuti beberapa kali pengobatan terhadap anaknya, stress responden mengalami penurunan. Keluarga menjadi pasrah dan sudah menerima keaadaan anak mereka termasuk masa depannya maupun semua prosedur perawatan yang akan mereka jalani untuk anaknya. Responden A :“Ga adalah apa-apa Dek… Cuma sampai kapanlah aku sanggup kayak gini terus-terusan…, gitu aja Tapi, kan harus kujalaninya… ” Responden B :“Nggak, biasa aja…Ibu nggak pernah dan nggak mau mikir kayak gitu. Ibu mikirnya, ini kan sakit. Sakit ya diobati, gitu aja.” “Sudah biasa Sudah lima tahun bergini…” Responden C :“Nggak ada. Karena sudah biasa, jadinya nggak repot lagi.” ”Gimanalah… Kan sakit. Tapi, semua mendukung dan membantunya… Sudah taunya orang itu, kalau sakit adeknya, harus berobat, harus dijaga dulu… Kalau kambuh ada yang antar, tapi kalau Mayang, karena masih kecil, harus ikutlah Ibu menjaga. Semuanya saling tolong menolong… Di bantulah biayanya, kalau Mayangnya sakit dan kambuh, ada yang kasih duitnya. Karena kan sudah tiga yang kena, jadi sudah terbiasa.” ”Habis gimanalah… Pernah memang Ibu stress, terkejut juga Ibu melihat nasib Ibu ini , kok kek ginilah penyakit anak awak ini, tiga orang lagi. Sudah meninggal satu. Jadi, Ibu cuma pasrahlah. Mengikuti aja. Namanya juga anak, itu yang dikasih, itulah yang kita terima. Banyak berdoa ajalah. Mau maccam mana lagi kan? Kalau kulihat lagi tangannya sudah biru-biru bekas suntik sama infus, dah kayak pecah lah pembuluh darahnya kutengok. Tapi, bisanya dia sekolah, sudah senang Ibu. Kakaknya kan nggak sering sakit. Jadi, nggak takut kali Ibu. Cuma, Mayang suka sakit, jadi Ibu nggak bisa kemana- mana. Yang penting dijagalah…” Responden D :”Kek manalah mau dibilang, memang kek gitulah di kasih Tuhan. Kalau ada orang yang susah menerima keadaan seperti itu, yang nggak percaya nya itu sama Tuhan. Tapi, kalau awak, ikhlasnya menerima. Kek manapun itu pemberian Tuhan, titipan Tuhan, haruslah Ibu jaga. Orang-orangpun, keluargapun, nggaknya disalahkan Ibu. Malah didukung, dibantu kalau lagi bisa. Memang waktu 2 bulan pertama itu, waktu dia masuk 46 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 rumah sakit dia selama sebulan, trus disuruh aku bawa kontrol setiap bulan, stress juganya. Tapi, sejak itulah Ibu sadar…, oh, mungkin kayak ginilah aku terus-terusan nanti. Gitulah pikiranku. Capek memang, sedih jugalah lihat anak awak kek gitu. Tapi, kek tadilah kan, akupun harus menerima…” Responden E :”Biasa saja Kami bisa menyesuaikan diri. Kami bisa menerima ini semua. Ini kan di luar kuasa kita sebagai manusia…” ”Tidak, kami kan sudah bisa menerima ini. Ini adalah ujian. Kita tidak tahu kapan bisa terjadi hal seperti ini. Kalau terganggu sekali, ya tidaklah. Anak saya belum ada yang menikah. Semua membantu bekerja di Ladang.” Responden F :”Sebenarnya, Kakak nggak terlalu memikirkan ke depannya gimana. Kakak ini tipikalnya enjoy ajalah jadi Ibu. Hadapilah semua sesuai alurnya. Bagaimana dia dewasanya, lihat nanti aja. Pasrahlah… Tapi, memang kadang sakit kepala juga. Rontok juga rambutku karena mikirkan dia…“ 5. Mencari Bantuan dari Keluarga, Lingkungan maupun Lembaga Terkait Responden mengatakan membutuhkan bantuan dari keluarga mereka, lingkungan maupun lembaga-lembaga yang behubungan dengan penyakit anak mereka dalam bentuk dukungan, materi maupun informasi. Responden A :“Untung adanya Oppungnya menjaga, biar bisa kakak kerja.., kalau nggak? Yah…, manalah bisa…” “Akh.., untungnya ada Neneknya ini ma Atoknya yang jaga dua- dua… Kalau nggak, dari mana uang… Mesti kerjanya kami dua-dua.” “Kan, untungnya dia dapat Jamkesmas… Gratis obatnya, darah juga kalau mau ditransfusi…,” Responden B :“Nggak Paling, adekku mau ngasih makanan sama dia dan Bapaknya. Kalau di rumah, Bapaknya sering jaga, tapi kalau rumah sakit, Ibu sendirian” Responden C :“Ada Abangnya dan kakaknya. Kan abangnya banyak, Abangnya yang sudah kerja. Dialah yang mengingatkan Ibu untuk membawa Anak Ibu ini ke rumah sakit kalau mau kontrol 47 Mika Vera Aritonang : Pengalaman Keluarga dengan Anak yang Menderita Penyakit Kronis, 2008. USU Repository © 2009 dan membiayai makanan dan ongkos Ibu. Kalau Ibu kan nggak kerja, Suami Ibu juga sakit stoke. Jadi, cuma bisa menjaga ajalah, nggak bisa cari uang lagi.” “Abangnya kan sudah kerja… Dialah yang bantu. Memang kami pasien jamkesmas, jadi kalau soal darah, pemeriksaan dan obat sudah bisa diringankan. Apalagi ada yayasan yang membantu, yaitu yayasan haemophilia. Orang itu bantu Ibu mencarikan darah, obat dan mengajari Ibu bagaimana cara merawat anak Ibu. Jadi, nggak terlalu repot soal darah. Kalau sudah ada kartu itu, sudah gampang nagambil darahnya ke PMI” Responden D :”Semua mendukunglah…, membantu kalau bisa membantu. Tapi, seberapalah itu. Kalau orang tua Ibu selalu mengingatkan supaya nggak lupa bawa anakku ke rumah sakit. Kek waktu lebaran kemarin kan, nggak pulanglah Ibu ke kampung, nggak bisa nengok orang tua Ibu karena kumat dia. Jadi, dibilang suami dan keluarga ku, lebih baik nggak usah pulang kampung, asalkan ada biaya ke rumah sakit. Biarpun lebaran, makanya trus cepat-cepat aku ke rumah sakit.” Responden E :”Adek kandung saya yang bantu untuk membeli darah dan biaya ongkos kami kalau kontrol”. ”Dari orang-orang dirumah sakit itu, dikenalkan kawan-kawan yang ada di sana yayasan namanya Yayasan Buddha Tsu Chi, mereka mau membantu mencari donor darah dan membiayai darah dari PMI sama mengurus surat dan keperluannya. Tapi, belum saya hubungi rencananya seperti itulah… Karena saya tahu, tidak bisa lagi Adek saya itu membantu terus-menerus, sementara ekonomi saya juga kurang, jadi mungkin saya akan menghubungi yayasan itu. Saya sudah dikasih kartu namanya.” Responden F :“Kakak-kakak saya, ya paling membantu menjaga anak-anak kalau yang paling kecil ini masuk rumah sakit, atau membantu jaga di sana. “ ”Ada teman-teman yang kasih tahu yayasan yang bisa membantu. Tapi, tunggulah dia benar-benar positif anemia aplastik, karena sejauh ini menurut pemeriksaan terakhir sih anemia aplastik, tapi masih ada pemeriksaan lanjutan untuk kemungkinan penyakit yang lain, jadi masih sangkaan… Tapi udah ada yang kasih tahu alamatnya waktu di rumah sakit.“

C. Dampak Penyakit Kronis Terhadap Keluarga