Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Teori Yang Digunakan

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah sangat penting dalam pembuatan skripsi, karena dengan adanya perumusan masalah maka deskripsi dan masalah lebih mudah dipahami dan dimengerti pembaca. Adapun rumusan masalah ini adalah : 1. Bagaimana peristiwa tutur yang terdapat dalam upacara adat mangongkal holi pada masyarakat Batak Toba di Desa Parsoburan Kecamatan Habinsaran? 2. Bagaimana tahapan pelaksanaan upacara adat mangongkal holi pada masyarakat Batak Toba di Desa Parsoburan Kecamatan Habinsaran?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui terjadinya peristiwa tutur yang terdapat dalam upacara adat mangongkal holi pada masyarakat Batak Toba di Desa Parsoburan Kecamatan Habinsaran. 2. Untuk mengetahui tahapan pelaksanaan upacara adat mangongkal holi pada masyarakat Batak Toba di Desa Parsoburan Kecamatan Habinsaran.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui lebih luas tentang upacara adat Mangongkal holi pada masyarakat Batak Toba di Desa Parsoburan Kecamatan Habinsaran. 2. Kepada masyarakat khususnya perantau muda Batak supaya tetap mengingat dan melestarikan budaya Batak di manapun mereka berada dan terus menerus menjalankan upacara adat mangongkal holi. 3. Bagi penulis sendiri untuk menambah wawasan tentang upacara adat mangongkal holi di Kecamatan Habinsaran khususnya upacara mangongkal holi. 4. Menambah khasanah pengkajian terhadap budaya yang ada di Indonesia terutama upacara-upacara adat Batak Toba yaitu mangongkal holi. 1.5 Letak Geografis Kabupaten Samosir 1.5.1 Kondisi Wilayah Secara geografis kabupaten Samosir terletak pada 20 24’ - 20 25’ Lintang Utara dan 980 21’ - 990 55’ BT. Secara Administratif Wilayah Kabupaten Samosir diapit oleh tujuh Kabupaten, yaitu di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun; di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir; di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbang Hasundutan; dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.

1.5.2 Sejarah Singkat Letak Kecamatan Habinsaran

Habinsaran adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Indonesia. Jarak antara Kecamatan ini dengan Kota Medan kira- kira 250 km dengan waktu tempuh antara 7-8 jam. Perkembangan ekonomi, transportasi dan masyarakat sudah cukup maju. Kecamatan Habinsaran memilik desakelurahan yaitu : Batu Nabolon, Hitetano, Lobu Hole, Lumban Balik, Lumban Gaol, Lumban Pea, Lumban Pinasa, Lumban Rau Barat, Lumban Rau Selatan, Lumban Ruhap, Pagar Batu, Panamparan, Parsoburan Barat, Sibuntuon, Taon Marisi dan Tornagodang. Jadi di Kecamatan Habinsaran memilik 16 desakelurahan. Berikut adalah gambar peta Kabupaten Toba Samosir yang di mana kita dapat melihat letak Kecamatan Habinsaran. Gambar di atas dapat kita lihat bahwa yang bergambar hitam itu adalah letak Kecamatan Habinsaran. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan 2.1.1 Sistem Kekerabatan Pada Masyarakat Batak Toba Masyarakat Batak adalah salah satu masyarakat yang secara kontiniu mempertahankan budaya kelestarian dengan mengikuti garis keturunan ayah patrilineal. Sistem anggota masyarakat secara sadar mengikuti marga turun- temurun. Anak lelaki dan perempuan dari seorang ayah menggunakan marga ayahnya, dan perkawinan semarga sangat terlarang karena orang semarga masih dianggap saudara kandung. Dan seorang wanita tidak berhak lagi memakai marga ayahnya setelah ia menikah, dan secara otomatis pula ia memakai marga suaminya. Jadi secara umum, bahwa masyarakat Batak itu terdiri dari marga- marga. Rasa kekeluargaan tetap terpupuk, bukan saja terhadap saudara dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Edward Brunner, seorang ahli antropologi Amerika dalam bukunya Urbanization and Ethik Identity in North Sumatera menulis bahwa orang Batak yang telah pindah ke kota pun tetap mempertahankan kampungnya secara utuh. Paul B. Pedersen dalam bukunya The Batak Blood and Protestant Soul mengatakan bahwa mayoritas orang Batak berusaha memelihara hal-hal yang sesensil dari adat itu dan turut serta sepenuhnya dalam pengaturan-pengaturannya. Tambunan 1982:113 Istilah Dalihan Na Tolu itu sering disingkat dengan DNT. Dari segi arti, kata Dalihan Na Tolu itu diartikan dengan tungku nan tiga. Kalau masyarakat Batak itu diumpamakan sebuah kuali, maka Dalihan Na Tolu itulah tungkunya. Dan biasanya tungku yang digunakan tempat kuali untuk memasak sesuatu terdiri dari tiga batu, dan kalau tungku itu terbuat dari besi, tungku itu mempunyai tiga kaki. Dan oleh ketiga kaki itulah tungku itu kuat tempat duduknya periuk atau kuali. Dan karena tungku itu pulalah terjadinya keseimbangan kuali atau periuk yang digunakan menanak nasi di atasnya, dan dari situ pulalah menyala api solidaritas masyarakat.

2.1.2 Deskripsi Upacara Adat

Syamsudin 1985:1 menjelaskan kehidupan berkelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan, sebab kebudayaan ada karena adanya masyarakat pendukungnya. Salah satu dari wujud kebudayaan dapat dilihat dari kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Pelaksanaan upacara tersebut selalu dibayangkan sebagai upacara khikmat dan merasa sebagai sesuatu yang bersifat magic disertai dengan berbagai perasaan serta perlengkapan yang bersifat simbolis. Berbicara masalah upacara adat, sudah banyak sekali para peneliti yang telah mengkaji maupun menulis tentang hal tersebut. Seperti halnya Siregar 1994 yang mengkaji upacara mebat pada orang Batak Angkola. Kajiannya ingin mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran yang terjadi dalam upacara Mebat-ebat Boru Na marlojong adalah pihak yang melaksanakan kebanyakan sudah kurang memahami rangkaian upacara yang dimaksud seperti yang terdapat di Bona Pasogit, dan juga adanya pengaruh kebudayaan luar yang sifatnya lebih demikian. Sagala 1990 dalam kajiannya tentang upacara Mangongkal Holi upacara penggali tulang pada masyarakat Batak Toba. Adapun masalah pokok yang ingin diungkapkan dalam penelitiannya adalah mengapa upacara itu masih dilaksanakan dan bagaimana jalannya upacara. Pada akhirnya ditemukan kesimpulan bahwa ada beberapa faktor yang mendorong masyarakat Batak Toba masih melakukan upacara tersebut yaitu faktor raligi, faktor tuntutan adat, faktor ekonomi dan faktor gengsi sosial. Elisabet 1990 dalam kajiannya tentang upacara Tolak Bala pada Desa Sei Kambah Asahan. Adapun masalah pokok yang ingin diungkapkan dalam penelitiannya adalah hal-hal yang membuat upacara tersebut bertahan, serta fungsi dari pelaksanaan upacar tersebut. Pada akhirnya ditemukan kesimpulan bahwa upacara Tolak Bala di sampimg memberikan kekuatan spritual, juga dapat membuat dirinya merasa kuat, tetap aman, seakan-akan dirinya dilindungi. Peneliti ini diajukan untuk mengkaji peristiwa tutur dan makna-makna yang terkandung dalam upacara adat Mangongkal Holi. Suatu peristiwa tutur dan makna yang memiliki arti penting bagi masyarakat Parsoburan yang menjadikan upacara tersebut dapat terus bertahan hingga sekarang ini. Salah satu dari wujud kebudayaan dapat dilihat dari upacara adat Mangongkal Holi yang terdapat di Desa Parsoburan Kecamatan Habinsaran. Pelaksanaan upacara tersebut dibayangkan sebagai upacara yang sakral dan juga mistis dan disertai dengan berbagai perasaan serta perlengkapan yang bersifat simbolis. Geertz 1992:149 menjelaskan bahwa simbol adalah segalah objek berupa benda-benda, orang, peristiwa, tingkah laku dan upacara-upacara yang mengandung pengertian tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, Mangongkal Holi dalam proses pelaksanaannya berdoa, menggali tulang-belulang yang sudah dikubur, membersihkan tulang yang sudah digali, bernyayi bersama, dan makan bersama. Kegiatan tersebut dapat ditafsirkan maknanya.

2.1.3 Pengertian Sosiolinguistik

Kata sosiolinguistik merupakan gabungan dari kata sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga serta proses sosial yang ada di dalam masyarakat Chaer dan Agustina, 1995:3. Linguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa di dalam masyarakat. Appel dalam Suwito, 1992:2 mengatakan, sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret. Dengan demikian, dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat secara internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksikomunikasi di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah, tetapi sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu, bahasa dan pemakaiannya tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat atau dipandang secara sosial. Dipandang secara sosial, bahasa dan pemakaiannya dipengaruhi oleh faktor linguistik dan faktor nonlinguistik. Faktor linguistik yang mempengaruhi bahasa dan pemakaiannya terdiri dari fonologi, morfologi, sistaksis, dan semantik. Di samping itu, faktor nonlinguistik yang mempengaruhi bahasa dan pemakaiannya terdiri dari faktor sosial dan faktor situasional. Faktor sosial yang mempengaruhi bahasa dan pemakaiannya terdiri dari status sosial, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lain-lain, sedangkan faktor situasional yang mempengaruhi bahasa dan pemakaiannya terdiri dari siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan masalah apa Fishman dalam Suwito 1982:3.

2.1.4 Pengertian Peristiwa Tutur

Dalam setiap komunikasi interaksi linguistik, manusia saling menyampaikan informasi, baik berupa gagasan, maksud, pikiran, perasaan, maupun emosi secara langsung. Hubungannya dengan peristiwa tutur adalah berlangsungnya atau terjadinya interaksi linguistik dalam suatu ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yakni penutur dan mitra tutur denga satu pokok tuturan dalam waktu, tempat dan situasi tertentu Chaer dan Agustina 1995:61. Menurut seseorang sosiolinguistik terkenal Hymes 1972, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen tutur yang diakronimkan menjadi SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah Setting and Scene, Participant, Ends, Act Sequences, Key, Instrumentalities, Norms of Interaction and interoretation, dan genres. Setting berhubungan dengan waktu dan tempat pertuturan berlangsung sementara scene mengacuh pada situasi, tempat. Dan waktu terjadinya pertuturan. Waktu, tempat, dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Participants adalah peseta tutur, atau pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, yakni adanya penutur dan mitra tutur. Status sosial partisipan menentukan ragam bahasa yang digunakan, misalnya seorang jaksa dalam persidangan akan berbeda ragam bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan anak-anaknya di rumah. Ends mengacu pada maksud dan tujuan penuturan. Dalam ruang seminar misalnya, penyaji berusaha menjelaskan maksud yang dibuatnya, sementara pendengar peserta sebagai mitra tutur berusaha mempertanyakan makalah yang di sajikan penutur. Act Sequences berkenaan dengan bentuk ujuran dan isi ujaran. Bentuk berkaitan dengan kara-kata yang digunakan, sementara isi berkaitan dengan topik pembicaraan. Key berhubungan dengan nada suara tone, peristiwa spirit, sikap atau cara manner saat sebuah tuturan diujarkan, misalnya dengan gembira, santai, dan serius. Instrumentalities berkenaan denga saluran channel dan bentuk bahasa the form of speech yang digunakan dalam pertuturan. Saluran misalnya, oral, tulisan, isyrat, baik berhadap-hadapan maupun melalui telepon untuk yang saluran oral, tulisan bisa juga dalam telegraf. Norms Of Interaction and Interpretation adalah norma-norma atau aturan yang harus dipahami dalam berinteraksi. Norma interaksi dicerminkan oleh tingkat oral atau hubungan sosial dalam sebuah masyarakat bahasa. Genre mengacu pada bentuk penyampaian, seperti narasi, pepatah, doa, dan sebagainya Chaer dan Agustin 1995:64. Keseluruhan komponen serta peranan komponen-komponen tutur yang dikemukakan Hymes dalam sebuah peristiwa berbahasa itulah yang disebut dengan peristiwa tutur speech event.

2.1.5 Pengertian Mangongkal Holi

Seperti yang kita ketahui suku Batak merupakan salah satu suku terbesar diIndonesia dan memiliki watak yang keras. Suku Batak juga terkenal sangat menghormati nenek moyang mereka sehingga tetap mempertahankan kebiasaan turun-temurun nenek moyangnya yang terkadang melanggar ajaran agama. Namun itu dahulu, sekarang mereka telah menyesuaikan adat dan ajaran agama. Di daerah ini upacara adat Batak masih sangat ketat dijalankan walau sudah sedikit terkikis akibat pengaruh dari wisatawan mancanegara yang dating ke Danau Toba, Samosir. Salah satu budaya Batak yang masih dilestarikan oleh sebahagian etnis Batak adalah upacara Mangongkal Holi. Upacara Mangongkal Holi merupakan salah satu upacara adat suku Batak. Mangongkal Holi dalam Bahasa Indonesia artinya menggali sedangkan Holi artinya adalah tulang, maka dapat disebut Menggali Tulang RPL Panggabean 2014 Mangongkal Holi adalah suatu upacara yang yang dilakukan oleh Batak terutama suku Batak Toba dengan menggali kembali kuburan nenek moyangnya dan kemudian mengumpulkan seluruh tulang-tulangnya dan setelah itu dipindahkan ke temapat yang baru atau disebut dengan tugu Pardosi 2011. Tujuan lain dari upacara penghormatan ini keinginan untuk membuat “tugu marga” di mana orang-orang akan mengenal identitas dan nenek moyangnya secara turun-temurun. Kelak setelah meninggal maka mereka akan dikubur bersama dengan keluarga yang lainnya dan disatukan dengan leluhurnya. Upacara ini juga untuk mencegah berserak atau runtuhnya persekutuan kelompok saompu keturunan dari satu nenek moyang dan menjamin kesatuan genealogis, menambah kemuliaan marga dan memperlihatikan jumlah besar keturunan mengamankan masa depan klanmarga. Jadi Upacara mangongkal holi ini dimulai dengan menggali tulang- belulang dari kubur yang sifatnya sementara, tulang-belulang itu kemudian ditempatkan ke dalam tempat baru yang biasanya terbuat dari semen dan dikenal dengan istilah Tambak atau tugu marga. Pemakaman tulang-belulang ini hanya berlaku bagi orang meninggal, yang rohnya akan diangkat menjadi nenek moyang yang dipuja. Keberhasilan melakukan upacara ini sekaligus menegaskan, bahwa orang yang meninggal tersebut dan keturunannya telah berhasil mencapai tujuan untuk mendapatkan kekayaan, kehormatan dan keturunan yang banyak. Pemberian tugu marga juga akan memudahkan orang untuk mengenali identitas dan nenek moyang mereka secara turun temurun.

2.2 Teori Yang Digunakan

Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam proposal skripsi ini akan terjawab. Berdasarkan judul skripsi ini, maka teori yang digunakan untuk mengkaji upacara adat mangongkal holi pada masyarakat Batak Toba di Desa Parsoburan Kecamatan Habinsaran adalah teori sosiolinguistik yang mencakup tentang perisiwa tutur. Kridalaksana 1978:94 sosiolinguistik didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan perbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri fungsi vasriasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa. J.A. Fishman 1972:4 sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur. Rene Appel, Gerad Hubert, Greus, Meijer 1976:10 sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan. Di dalam buku Abdul Chaer dan Leonie Agustina tentang peristiwa tutur yang di mana menurut Dell Hymes 1972, seorang pakar sosiolinguitik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf- huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen ini adalah : S = Setting and scene P = Participants E = Ends : purpose and goal A = Act sequences K = Key : tone or spirit of act I =Instrumentalities N = Norms of interection and interpretation G = Genres Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikolinguistik pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyababkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi diruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun, para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa si terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil. Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.bentuk ujuran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan sedih, dan sebagainya. Instrumentalities, mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek ragam, atau register. Norm of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, pepatah, doa, dan sebagainya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori Dell Hymes. Di mana dikatakan oleh Hymes tentang peristiwa tutur dapat terjadi di dalam upacara adat Mangongkal Holi. Sebagai contoh, setting and scene yang mencakup tempat dan waktu, di mana kita akan mengkaji tentang tempat dan waktu peristiwa tutur itu terjadi, participant adalah orang-orang terlibat di dalam upacara adat mangongkal holi, ends yang merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan di dalam upacara mangongkal holi, act sequence yang mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran di dalam upacara mangongkal holi, key mengacu pada nada, cara partuturan itu terjadi, instrumentalities yang mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa atau dialek yang digunakan di dalam upacara mangongkal holi, norm of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam bertutur di dalam upacara mangongkal holi, genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian puisi, pepatah, dan doa di dalam upacara mangongkal holi tersebut. Dan pengertian dari upacara mangongkal holi tersebut adalah upacara adat menggali kembali tulang belulang leluhur dan memindahkannya ke tano na pir tanah Batak, yang maksudnya bangunan dari semen. Biasanya tulang-belulang dari beberapa orang leluhur digali sekaligus, dimasukkan ke dalam peti yang berukuran kecil dan disemayamkan di tempat tersebut. Kuburan baru yang dibangun megah dari semen tersebut menyatukan kerangka itu dari beberapa lokasi ke dalam satu kuburan. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Dasar