− Pasal 62 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen 7.
Mengingat adanya resiko yang cukup berat, baik resiko kerugian materi maupun resiko dipenjara masuk bui, maka kami menganggap perlu
menginformasikan hal tersebut di atas kepada seluruh StockistSub Stockist dan DistributorMember OXY CJDW Network, dengan tujuan
agar setiap StockistSub Stockist atau DistributorMember OXY CJDW Network berhati-hati terhadap ajakan atau tawaran untuk menjalankan
suatu produk makanan atau minuman Produk Pangan ilegal apapun, sehingga nantinya tidak tersangkut masalah hukum yang berkaitan dengan
aktifitas memproduksi, mempromosikan, mengiklankan, mengedarkan atau memperdagangkan produk makanan atau minuman yang ilegal.
Sosialisasi dan implikasi terhadap ketentuan-ketentuan penting di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus efektif dan tepat
guna. Sanski-sanksi yang telah diatur sedemikian rupa dalam Pasal 62 Bab XIII UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini baik sanksi perdata,
sanksi pidana, dan sanksi administrasi harus di berlakukan sesuai dengan penjatuhan sanksi oleh Majelis Hakim di Pengadilan. Dengan begitu,
perlindungan konsumen terhadap pelanggaran-pelanggaran pelaku usaha dalam keamanan dan sterilisasi suatu minuman an-organik yang diproduksi oleh PT.
Central Java Daya Wiguna dapat terealisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga tidak terjadi ketimpangan antara pelaku usaha dan konsumen.
C. Penyelesaian Sengketa Terhadap Konsumen oleh PT. Central Java Daya Wiguna
Dewasa ini, sering dijumpai pengaduan masyarakat melalui kolom surat pembaca maupun media elektronik. Berbagai macam keluhan dari rasa
ketidakpuasan masyarakat terhadap produk tertentu sampai ke pelayanan jasa tertentu yang tidak memadai atau mengecewakan. Rasa ketidakpuasan tersebut
Universitas Sumatera Utara
dapat berkembang menjadi konflik yang dialami oleh masyarakat. Dalam hal ini adalah masyarakat yang menjadi konsumen.
Asal mula sengketa berawal pada situasi di mana pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai oleh perasaan tidak puas, bersifat
subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak
kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut terus berkelanjutan
maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian sehari-
hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian. Sengketa juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara
pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar.
77
Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan No. 350MPPKep122001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan
sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran danatau yang menderita
kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.
78
77
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., hal.175.
78
Ibid., hal.176.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pada Pasal 45 ayat 2 menyebutkan “penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada 2 dua bentuk
penyelesaian sengketa konsumen, yaitu melalui jalur pengadilan atau diluar jalur pengadilan.
1. Melalui Pengadilan Litigasi
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia. Konsumen yang dirugikan
haknya, tidak hanya diwakilkan oleh Jaksa dalam penuntutan peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi ia sendiri juga dapat menggugat pihak lain di
lingkungan peradilan tata usaha negara jika terdapat sengketa administrasi di dalamnya. Hal yang dikemukakan terakhir ini dapat terjadi dalam kaitannya
dengan kebijakan aparat pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara individual. Bahkan, mengingat semakin banyaknya perusahaan
multinasional yang beroperasi di Indonesia juga tidak menutup kemungkinan ada konsumen yang menggugat pelaku usaha di peradilan negara lain, sehingga
sengketa konsumen ini pun dapat bersifat transnasional.
79
Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberikan hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UU No. 8 Tahun 1999
adalah:
79
Ibid., hal.178.
Universitas Sumatera Utara
1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM yang
memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
4. Pemerintah danatau instansi terkait yang jika barang danatau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit.
Sampai saat ini hukum acara perdata tidak mengisyaratkan bahwa perwakilan oleh sarjana hukum verplichte procereurstelling yang telah memiliki
kualifikasi tertentu untuk menangani sengketaperkara di pengadilan. Hal itu berarti konsumen dapat menangani sengketanya sendiri di pengadilan tanpa
bantuan kuasa hukum. Subeki berpendapat bahwa tanpa bantuan hukum dari kuasa hukum, gugatan sering kali dinyatakan tidak dapat diterima karena
kesalahan format. Para kuasa hukum yang bekerja di organisasi konsumen yang bertindak sebagai kuasa hukum konsumen, hendaknya telah memenuhi kualifikasi
yang disyaratkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai advokat atau pengacara. Adapun bagaimana pengadilan menjalankan fungsinya
tidak akan sama dari masa ke masa. Diharapkan semakin bertambah terobosan- terobosan baru melalui pengadilan, untuk menyuarakan rasa keadilan masyarakat
konsumen. Hendaknya pengadilan tidak lagi hanya menunggu undang-undang
Universitas Sumatera Utara
sebagai dasar hukum mengadili sengketaperkara yang diajukan para pencari keadilan yakni konsumen. Ditengah krisis moneter ini, dapat saja pengadilan
membuat terobosan baru atas kemungkinan penyalahgunaan krisis moneter sebagai alasan force majeur dari produsenpengusaha.
2. Melalui Luar Pengadilan BPSK dan Penyelesaian Sengketa Alternatif
Asas hukum yang berbunyi point d’ interet, point d’ action yang artinya tiada kepentingan, maka tidak ada saksi, menggambarkan bahwa gugatan diajukan
untuk mempertahankan hak kepentingan orang atau badan hukum yang dilanggar. Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka
ia tidak dapat mengajukan gugatan. Pada umumnya, suatu gugatan diajukan oleh seseorang atau beberapa orang pribadi untuk kepentingan mereka, atau juga oleh
satu atau beberapa badan hukum untuk kepentingan badan hukum itu sendiri, yang dapat diwakilkan kepada seseorang atau beberapa orang kuasa. Kompetensi
ini didasarkan pada kualitas mereka sebagai persona standi in judicio, yang memberikan kewenangan dalam hukum untuk bertindak sebagai pihak dalam
suatu proses perkara perdata, baik sebagai pihak yang menggugat maupun sebagai pihak yang digugat.
80
Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa disputedifference antara para pihak yang terlibat, dimana
penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan litigasi. Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang sering mengemuka
80
Ibid., hal.180.
Universitas Sumatera Utara
dipilihnya penyelesaian alternatif yaitu karena ingin memangkas birokrasi perkara, biaya dan waktu, sehingga relatif lebih cepat dengan biaya relatif lebih
ringan, lebih cepat menjaga harmoni sosial social harmony dengan mengembangkan budaya musyawarah dan budaya non konfrontatif. Melalui jalan
tersebut diharapkan tidak terjadi prinsip lose-win tetapi win-win solution, para pihak merasa menang sehingga menghindarkan terjadinya hard feeling dan
loosing face.
81
Adapun Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut Pasal 1 ayat 10 UU No. 30 Tahun 1999 berbunyi “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Mengenai lembaga alternatif penyelesaian sengketa telah diatur dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 ayat 1 UU No. 30 Tahun 1999 berbunyi
“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa”.
82
Dalam sengketa konsumen, pada umumnya korban bersifat massal mass accident. Secara teknis konsumen yang dirugikan mengalami kesulitan apabila
mengajukan gugatan karena harus membuat surat kuasa khusus kepada pengacara,
81
N.H.T. Siahaan, Op.Cit., hal.177.
82
Ibid., hal.179.
Universitas Sumatera Utara
sementara kasusnya adalah sama. Dengan gugatan class action terhadap kasus yang sama, cukup diwakili oleh beberapa korban yang menuntut secara perdata ke
pengadilan. Secara bebas dapat diartikan suatu class action adalah suatu cara yang
diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai
perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok. Kriteria untuk menentukan suatu perkara dapat tidaknya menjadi class action,
yaitu: −
Orang yang terlibat sangat banyak, dengan kelompok yang jelas; −
Adanya kesamaan tuntutan dari suatu fakta dan hukum yang sama dan sejenis;
− Tidak memerlukan kehadiran setiap orang yang dirugikan;
− Upaya class action lebih baik daripada gugatan individual;
− Perwakilan harus jujur, layak dan dapat melindungi kepentingan orang
yang diwakili; dan −
Disahkan oleh pengadilan. Menurut Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengketa konsumen terkait pelanggaran pelabelan produk pangan di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi danatau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita
oleh konsumen. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
2 tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab pidana terhadap pelanggaran pelabelan produk pangan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Dari pernyataan Pasal 45 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1999 dijelaskan bahwa bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk
diperkarakan, melainkan juga tanggung jawab lainnya, misalnya dibidang administrasi negara.
Konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar perlu mengadukannya kepada lembaga berwenang. Konsumen bisa meminta bantuan Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM terlebih dahulu untuk meminta bantuan hukum atau bisa langsung menyelesaikan masalahnya ke Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Apabila yang dimaksud “penyelesaian di luar pengadilan” maka termasuk juga penyelesaian melalui BPSK, maka salah
satu pihak atau para pihak dapat menghentikan perkaranya di tengah jalan, sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Dengan demikian, kata-kata “dinyatakan
tidka berhasil” tidak mungkin begitu saja oleh salah satu pihak atau para pihak. Jika konsumen memutuskan untuk memilih penyelesaian melalui BPSK, maka
konsumen seharusnya terikat untuk menempuh proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusannya. Jika konsumen tidak dapat menerima putusan tersebut,
baru konsumen diberi hak melanjutkan penyelesaiannya di pengadilan negeri. Interpretasi seperti inilah yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang
tersebut, yang tampak dalam ketentuan Pasal 56 UU No. 8 Tahun 1999.
83
83
Ibid., hal.181.
Di luar tugas penyelesaian pelanggaran pelabelan produk pangan, Pasal 52 juga menetapkan tugas dan wewenang BPSK, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
2. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
3. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran ketentuan
dalam UUPK; 4.
Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
5. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
6. Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran-
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 7.
Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK;
8. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK; 9.
Mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan danatau pemeriksaan;
10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
konsumen; 11.
Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
12. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan UUPK.
Dengan membandingkan bobot tugas dan wewenang yang demikian luas, serta syarat-syarat untuk menjadi anggota BPSK patut dipertanyakan apakah ada
Universitas Sumatera Utara
orang-orang yang berkompeten untuk itu di setiap wilayah Daerah Tingkat II. Terlebih lagi untuk anggota yang berasal dari unsur konsumen, harus dilakukan
seleksi yang benar-benar matang. Jika Pemerintah diberi kewenangan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan wakil-wakil konsumen dalam
keanggotaan BPSK, dikhawatirkan ada kecenderungan untuk tidak lagi mempercayai objektivitas mereka dalam memperjuangkan kepentingan konsumen
tatkala bersengketa di BPSK.
Kewenangan BPSK sendiri sangat terbatas. Lingkup sengketa yang berhak ditanganinya hanya mencakup pelanggaran Pasal 19 ayat 2, Pasal 20, Pasal 25,
dan Pasal 26. Sanksi yang dijatuhkan hanya berupa sanksi administratif. Pengertian sanksi administratif telah mendapat pengaruh dari sistem Common
Law, sehingga dapat berupa penetapan ganti rugi pada ketentuan Pasal 60 UUPK. Pelanggaran terhadap pasal-pasal lainnya yang bernuansa pidana, sepenuhnya
menjadi kewenangan pengadilan. Termasuk kategori ini adalah pelanggaran pelabelan produk pangan yakni dalam Pasal 8 dan Pasal 10 UU No. 8 Tahun
1999, sekalipun pengawasan terhadap pencantuman label pangan sesuai standar adalah bagian dari tugas BPSK ketentuan Pasal 52 UU No. 8 Tahun 1999.
Dari data yang telah penulis terima dari Stokist PT. Central Java Daya Wiguna, bahwa pada tahun 2011 PT. Central Java Daya Wiguna menyelesaikan
sengketa terhadap konsumen pengguna “Air OXY”. Darmayanto Harahap konsumen sekaligus member CJDW Network, 56 tahun berdomisili di Sibolga
menjual “Air OXY” kepada Sulastri Rangkuti, 39 tahun juga berdomisili di
Universitas Sumatera Utara
Sibolga. Sulastri menjadi konsumen pengguna “Air OXY” selama 2 minggu dan awalnya tidak mengeluh apapun kepada Darmayanto. Akan tetapi, pada bulan
Agustus 2011, Sulastri membuat pengaduan ke Kantor Polisi Sibolga bahwa ia keracunan air mineral an-organik “Air OXY”. Darmayanto sebagai penjual
produk air tersebut diperiksa di Kantor Polisi Sibolga selama 2 dua hari. Perwakilan dari PT. Central Java Daya Wiguna di Sibolga, Rahmad Pradipto
melakukan pemeriksaan terhadap Sulastri ke Rumah Sakit Sibolga dan membawa hasil medical chek-up atas Sulastri yang menunjukkan bahwa Sulastri keracunan
bukan karena minuman air mineral an-organik “Air OXY” tetapi akibat minuman alkohol tuak yang dikonsumsi oleh Sulastri yang menyebabkan maag dan
livernya kambuh. Melihat kesalahpahaman tersebut, pihak perwakilan PT. Central Java Daya Wiguna meminta pihak Sulastri Rangkuti untuk mencabut laporan
pengaduan di Kantor Polisi Sibolga dan melakukan mediasi terhadap Sulastri Rangkuti dan keluarga yang disaksikan oleh pihak Kepolisian Sibolga. Sehingga
kasus sengketa konsumen ini tidak berlanjut ke proses pengadilan.
84
84
Data dari PT. Central Java Daya Wiguna mengenai Pengaduan dan Layanan Konsumen PT. Central Java Daya Wiguna.
Dalam Peraturan dan Kode Etik PT. Central Java Daya Wiguna telah tertuang mengenai proses penyelesaian sengketa konsumen yang mana
mengedepankan proses musyawarah jika terjadi perselisihan baik dengan konsumen maupun yang sekaligus menjadi member. Akan tetapi, jika
penyelesaian tersebut tidak terselesaikan dengan musyawarah, maka PT. Central Java Daya Wiguna melakukan proses perkara melalui lembaga peradilan.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN