Dasar Penentuan Daerah Pemilihan

24 bisa dihindari terjadinya diskriminasi politik, karena nilai suarapenduduk di satu daerah pemilihan lebih murahmahal daripada nilai suarapenduduk di daerah pemilihan yang lain. Prinsip integralitas wilayah berarti satu daerah pemilihan harus integral secara geografis, yang sejalan dengan prinsip kesinambungan wilayah, yaitu suatu daerah pemilihan harus utuh dan saling berhubungan secara geografis. Secara umum pembentukan wilayah administrasi juga memperhatikan masalah ini, sehingga penggunaan wilayah administrasi sebagai peta dasar pembentukan daerah pemilihan sebagaimana dikehendaki UU No. 82012 tidak mengganggu penerapan prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah ini. Prinsip pencakupan wilayah atau coterminus maksudnya adalah suatu daerah pemilihan lembaga perwakilan tingkat bawah harus menjadi bagian utuh dari daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi, atau satu daerah pemilihan lembaga tingkat bawah tidak boleh berada di dua daerah atau lebih daerah pemilihan lembaga perwakilan lebih tinggi. Prinsip ini untuk memudahkan penyaluran aspirasi secara berjenjang ke lembaga perwakilan, atau sebaliknya untuk memudahkan penggalian aspirasi ke bawah. Bagi pemilu Indonesia yang penyelenggaraan pemilu DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupatenkota dilakukan secara serentak penerapan prinsip ini tidak hanya memudahkan partai politik dan calon anggota legislatif dalam berhubungan dengan konstituen di daerah pemilihan, tetapi juga memudahkan petugas pemilu dalam menjalankan tugasnya. Prinsip kohesivitas penduduk berarti suatu daerah pemilihan hendaknya dapat menjaga kesatuan unsur sosial budaya punduduk dan menjaga keutuhan kelompok minoritas. Kesatuan unsur sosial budaya penting untuk menyatukan kepentingan yang akan diperjuangkan oleh para wakil di parlemen. Keutuhan kelompok minoritas juga perlu dijaga 25 agar mereka mendapatkan kepastian untuk memiliki wakil di parlemen. Prinsip kohesivitas ini tidak begitu masalah diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPR, tetapi ketika diterapkan dalam pembentukan daerah pemilihan DPRD provinsi dan lebih-lebih lagi DPRD kabupatenkota, khususnya di luar Jawa, menimbulkan masalah yang kompleks. Di sinilah diperlukan kehati-hatian dan kebijakan KPU dalam menetapkan daerah pemilihan. Terakhir prinsip perlindungan petahana, maksudnya suatu daerah pemilihan harus memberi jaminan kepada petahana untuk bisa berkompetisi dan meraih kursi perwakilan yang tersedia. Ini penting karena hubungan wakil dengan penduduk yang diwakili perlu dijaga agar memudahkan penyaluran dan perjuangan kepentingan penduduk yang diwakili. Prinsip ini jarang dipraktikkan pada pemilu proporsional yang memiliki banyak kursi di daerah pemilihan, tetapi lazim diterapkan di pemilu mayoritarian yang hanya memiliki 1 kursi di daerah pemilihan. Tentu tidak semua prinsip-prinsip pembentukan daerah pemilihan pemilu demokratis tersebut bisa diterapkan dalam waktu bersamaan. Kondisi geografis wilayah, jumlah penduduk, dan keragaman penduduk, menyebabkan penerapan satu prinsip bisa menegasikan prinsip yang lain. Oleh karena itu, penerapan prinsip tersebut selalu diurutkan berdasarkan prioritas. Prinsip kesetaraan populasi selalu menjadi prioritas pertama guna menghindari terjadinya diskriminasi politik. Prinsip integralitas dan kesinambungan wilayah menjadi prioritas kedua, lalu disusul prinsip pencakupan wilayah, dan baru kohesivitas penduduk. Dalam konteks pemilu Indonesia, prinsip perlindungan petahana, bisa diabaikan. Demi menegakkan prinsip kesetaraan populasi, maka penghitungan alokasi kursi ke daerah pemilihan, dipergunakan metode penghitungan yang hasilnya proporsional. Dua metode proporsional yang dikenal 26 adalah metode kuota dan metode divisor. 43 Metode divisor, khususnya varian WebsterSt Lague dikenal paling proporsional dan tidak menimbulkan paradoks. Namun metode ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga tidak perlu dipaksakan penggunaannya dalam penyusunan daerah pemilihan. Untuk memenuhi prinsip-prinsip yang diinginkan dalam pembentukan Daerah Pemilihan, maka Dapil Sumatera Utara 1 Dapil Sumut 1 DPR-RI di Provinsi Sumatera Utara terbentuk setelah melalui proses konsultasi publik yang ditetapkan sejak Pemilu 2004. 44 Kondisi geografis wilayah, jumlah penduduk, dan keragaman penduduk menjadi pertimbangan penting dalam menentukan empat daerah menjadi Dapil 1 DPR-RI. Posisi geografis empat daerah Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, dan Tebing Tinggi berada di pinggir Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk dan keragamannya di masing-masing wilayah hampir memiliki kesamaan jika dilihat dari luasan wilayahnya. Bagian berikut akan menjelaskan sepintas sejarah dan dinamika demografi empat daerah tersebut. 2.2. Sejarah Pertumbuhan Ekonomi, Dinamika Sosial, dan Penduduk di Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1 Dapil Sumut 1 DPR-RI Provinsi Sumatera Utara Daerah Pemilihan 1 Provinsi Sumatera Utara pada saat penyelenggaraan Pemilu 2014 terdiri dari dua kota dan dua kabupaten yaitu Kota Medan dan Kota Tebing Tinggi serta Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Empat daerah tersebut merupakan daerah terbesar dari 33 kabupatenkota di Provinsi Sumatera Utara baik dari luasan dan 43 Lihat Pipit Rochijat . 2004. Catatan Atas Pemilu Legislatif 2004. Sumber diperoleh dari Watch Indonesia: The University of Michigan. Hal. 49. 44 Wawancara dengan Evi Novida Ginting, Anggota KPU Provinsi Sumatera Utara, Senin, 11 Agustus 2014, pukul 12.10 Wib, di Medan. 27 jumlah pemilihnya. Pertumbuhan ekonomi dan dinamika sosial di empat daerah tersebut sangat memengaruhi kelangsungan hidup masyarakat Provinsi Sumatera Utara. Kondisi itu terjadi karena pembentukan Provinsi Sumatera Utara tidak terlepas dari sejarah yang melatari sejak adanya Sumatera Timur sebagai wilayah sumber ekonomi perkebunan. Artinya, wilayah Dapil 1 DPR-RI Provinsi Sumatera Utara dari sejarahnya merupakan bagian dari wilayah Keresidenan Sumatera Timur. Sumatera Timur adalah daerah dataran rendah yang sangat luas. Menurut Karl J. Pelzer luas seluruh daerah Sumatera Timur mencapai 31.715 km 2 . Karesidenan Sumatera Timur adalah wilayah administrasi Hindia Belanda di kawasan pesisir timur Sumatera bagian utara yang berdiri pada 1 Maret 1887, dikendalikan oleh seorang Residen di Medan, dan terdiri atas beberapa Afdeling, yang sekarang menjadi daerah kabupaten. Pertama, Afdeling Asahan berasal dari Kesultanan Asahan dan kini menjadi Kota Tebing Tinggi, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Kedua, Afdeling Deli en Serdang Berasal dari Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang dan kini menjadi Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Ketiga, Afdeling Langkat berasal dari Kesultanan Langkat dan kini menjadi Kabupaten Langkat. Keempat, Afdeling Simelungun en Karolanden kini menjadi Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar Kekayaan alam Sumatera Timur terdiri dari hutan-hutan Payau Mangrove yang ditumbuhi oleh pohon bakau dan nipah. Banyak sekali ditemukan sungai-sungai yang bermuara ke Selat Malaka. Di sepanjang sungai-sungai itu, tertutama di muara sungai, tumbuh dengan lebat pohon nipah dan bakau. Sungai yang berhulu di Dataran Tinggi Karo dan Simalungun itu membawa sisa-sisa debu halus, pasir, tanah gembur dan 28 endapan lumpur. 45 Akibatnya daerah Pantai Timur bertambah luas masuk ke Selat Malaka. Tanah-tanah di sepanjang Pantai Timur Sumatera ini menjadi lahan subur untuk pertanian, terutama untuk mendukung industri perkebunan. Dampak perkembangan ekonomi perkebunan juga telah mengubah komposisi demografis. Mengalirnya ratusan ribu buruh dan kaum pendatang lainnya ke ”Het Dollar Land” Sumatera Timur, akhirnya menyebabkan penduduk asli turun menjadi minoritas. Suku Jawa menjadi komunitas tunggal yang terbesar, sedangkan orang Cina menempati urutan ketiga. Penduduk kota itu telah melahirkan suatu budaya baru yang terlepas dari lingkungan budaya asalnya dan wewenang Kerajaan Melayu. Mereka adalah rakyat gubernemen, bukan rakyat kerajaan. 46 Komunikasi di antara mereka semakin lancar dengan diakuinya Bahasa Melayu sebagai Bahasa Nasional pada tahun 1928. Pengakuan ini penting artinya dalam menumbuhkan budaya baru yang bersifat nasional di kota Medan. Hamka dalam ”Merantau ke Deli” mendeskripsikan, bahwa Anak Deli adalah tunas yang paling mekar dalam pembangunan bangsa Indonesia. Anak Deli adalah keturunan campuran dari berbagai etnis yang bebas dari kungkungan budaya tradisional. 47 Kaum pendatang sebagian besar tinggal di kota-kota besar. Mereka bekerja sebagai kerani, guru sekolah, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Penduduk asli Sumatera Timur adalah kelompok etnis Melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun. 48 Etnis Melayu Pesisir Sumatera 45 Karl J. Pelzer. 1985. Toean Keboen dan Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 34. 46 Orang Cina, Keling, dan orang asing lainnya yang tinggal di wilayah kerajaan menjadi rakyat gubernemen. Mededeelingen van den Burgerlijken. Geneeskundigen Dienst in Nederlandsch- Indie MBGD, 1912-1925. hal. 34, 96, dan 162; Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975, Bandung: Alumni, 1978. hal. 76. 47 Hamka. 1966. Merantau ke Deli. cet. ke-3. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. hal. 56. 48 Anthony Reid menyebut Sumatera Timur sebagai kampung halamannya penduduk melayu, Batak Karo dan Batak Simalungun yang bekerja sebagai petani. Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan. hal. 87. 29 Timur mendiami daerah Pantai Timur Sumatera. Etnis Melayu yang dimaksud adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar etnis serta memakai adat budaya dan Melayu serta mayoritas beragama Islam. Keahlian khas raja-raja Melayu adalah kemampuannya menjalin hubungan yang saling menguntungkan dengan penduduk dari suku-suku lainnya tanpa mengorbankan identitas mereka. Keahlian inilah yang memungkinkan Kerajaan Melayu berkuasa di bandar-bandar Pantai Timur Sumatera, menggantikan pengaruh Aceh yang pernah memperkenalkan gagasan kerajaan di kalangan suku-suku Batak Karo dan Simalungun. 49 Hubungan raja-raja Melayu dengan Pemerintah Belanda mulai intensif ketika Pemerintah Belanda melancarkan politik ekspansionismenya ke Sumatera pada pertengahan abad ke-19. Pengaruh Belanda semakin kuat setelah Sultan Serdang Basyaruddin menandatangani perjanjian dengan Pemerintah Belanda pada tanggal 16 Agustus 1862. Perjanjian yang dikenal dengan Acte van Erkenning yang menyatakan tentang pengakuan Sultan Serdang beserta daerah taklukkannya Padang Bedagai, Denai, Pertjoet, Perbaungan termasuk daerah kekuasaan Siak Sri Indrapura. Pada 1873, Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai, dan Bilah dijadikan menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang berkedudukan di Bengkalis. 50 Mengingat perkembangan ekonomi yang begitu pesat di Sumatera Timur, maka pada tahun 1887 ibukota Residensi Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Pada saat itu Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima Afdeling yakni Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis, Deli, dan Batubara. 51 49 Ibid. hal. 24. 50 T. Luckman Sinar. 1986. Konsep Sejarah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. Medan: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang. hal. 154. 51 Ibid. hal. 3-6. 30 Medan sebagai ibukota Residensi Sumatera Timur, menjadi tempat tinggal kaum elit kolonial yang terdiri dari orang-orang Eropa sebagai elit pemerintahan kolonial European Wijk. Mereka bangga menyebut dirinya sebagai Deliaan Belanda Deli, dengan ciri-ciri Presiden Deli Mij dan dianggap lebih pantas untuk dihormati dari pada Gubernur Jendral Hindia-Belanda. Kota Medan dibangun dari susunan tata ruang spatial arrangement yang menampilkan wajah ganda yaitu pemukiman di pusat kota dihuni elit pemerintahan kolonial European Wijk, khas, kasar, pemabuk, kurang adat, benci pada birokrasi yang menghambat penumpukan harta. Kemudian pusat perdagangan yang dihuni oleh Orang Cina dan “Timur Asing” lainnya seperti Arab dan India. Sedangkan kawasan pinggiran yang melingkari pemukiman elit politis dan bisnis ini dihuni oleh Bumiputera. Memasuki awal abad ke-20 Pemerintah Belanda mulai melakukan penaklukan ke wilayah Simalungun, Tanah Karo, Toba, dan Pak-Pak Dairi. 52 Di antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera Timur telah digabungkan ke dalam kekuasaan Hindia-Belanda. Semua kontrak politik yang telah ditandatangani antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi 34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Provinsi Sumatera Timur yang membawahi lima Afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya Medan. Langkat ibukotanya Binjai, Simalungun en Karolanden ibukotanya Siantar, Asahan ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis. 52 T. Luckman Sinar, Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Medan: tanpa penerbit, tanpa tahun terbit. hal. 33-50, dan Mededeelingen. Op. Cit. hal. 549-564. 31 Masyarakat Sumatera Timur telah dijamin oleh penguasa Belanda sebagai penduduk asli dengan hak-hak istimewa atas tanah sesuai dengan hukum adat. 53 Hak istimewa inilah yang kemudian menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat pendatang migran. Dengan adanya penyusunan kembali wilayah kerajaan di Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang terpusat di Batavia. Ini bermakna bahwa Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum pernah memiliki kesatuan politik dan administratif. Di samping itu, Belanda juga telah menghubungkan Sumatera Timur dengan Jawa. Dengan cara demikian Sumatera Timur telah memiliki identitas baru. Sampai pertengahan abad ke-20 ekonomi perkebunan dan Pemerintah Belanda bersama-sama melakukan perubahan drastis 54 dari kehidupan masyarakat Sumatera Timur, khususnya kaum aristokrat Melayu. Secara nyata kekuasaan kolonial Belanda dengan sistem ekonomi perkebunannya telah meningkatkan kesejahteraan hampir semua raja-raja di Sumatera Timur. Di antara raja-raja yang paling banyak mendapat keuntungan adalah Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Serdang, dan Sultan Asahan. Perjanjian politik kontraknya dengan Pemerintah Belanda, masih membolehkan mereka menjalankan kekuasaan hukum adat mereka antara lain yang terpenting adalah tanah. Imbalan honorarium dari perubahaan perkebunan, terus menerus mengalir ke kantong pribadi para Sultan dan Datuk yang berkuasa di Sumatera Timur. Pajak-pajak ini masuk ke kantong pribadi para Sultan 53 Mahadi. 1978. Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu Atas Tanah di Sumatera Timur Tahun 1800-1975, Bandung: Alumni, 1978. 54 Mengenai perubahan itu, baca Anthony Reid. 1987. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur. Jakarta: Sinar Harapan. 1987. hal. 77-126i; Mohammad Said. 1977 ‘Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Antara Derita dan Kemarahannya. Medan: Percetakan Waspada; Karl J. Pelzeer, Op. Cit., him. 51-90. 32 dan Datuk-Datuknya. Keuntungan dari pajak itu masih ditambah lagi dengan gaji resmi dan honorarium. Sejalan dengan kekayaan yang luar biasa ini muncullah perubahan gaya hidup sebagian Sultan dan Bangsawan Sumatera Timur khususnya Melayu. Kaum bangsawan Melayu termasuk sultan-sultannya, sebelum datangnya Belanda, berada dalam keadaan yang melarat. 55 Setelah hadirnya sistem ekonomi perkebunan mereka telah mampu membangun istana-istana megah, membeli mobil mewah, dan pesiar ke Eropa. 56 Gaya hidup kemewahan akhirnya menjadi prilaku keseharian para sultan tersebut. Para Sultan Melayu kerap kali mengadakan pesta-pesta untuk menyambut tamu-tamu penting orang-orang Eropa. Untuk mununjukkan kebesaran dinastinya, mereka membentuk pasukan yang terdiri dari para keluarga bangsawan yang berasal dari kelompoknya. Pengaruh penting lainnya dari perkembangan ekonomi perkebunan adalah terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit Eropa dan orang Cina dengan masyarakat Jawa yang menjadi buruh-buruh perkebunan. Dalam konteks yang sama juga terjadi jurang pemisah yang lebar antara kaum elit kerajaan dengan kaum petani di pedesaan. Susunan golongan di Sumatera Timur pada masa kolonial benar-benar kompleks dan bervariasi antara satu daerah dengan daerah lainnya. Langenberg menggambarkan sebagai berikut. Pada lapisan atas terdapat kaum elite penguasa kolonial yang terdiri dari beberapa lapisan. Pertama, orang-orang Eropa, yaitu pejabat-pejabat kolonial, administratur perkebunan, dan para pengusaha. Kedua, keluarga 6 kesultanan Melayu, Langkat, Deli, Serdang dan Asahan, Kota Pinang dan Siak. Ketiga adalah 55 Tentang keadaan istana dan kehidupan kesultanan Melayu. pada masa itu lihat, Karl J. Pelzer. Op. Cit. hal. 168-169 dan John Anderson. 1971. Mission to East Coast of Sumatra in 1823. Kuala Lumpur, London: Oxford University Press. 56 Sultan Machmoed dari Langkat memiliki 13 mobil, Kuda Pacu, dan Kapal Secoci Pesiar. Anthony Reid. Op. Cit. 1987. hal. 89. Sultan Serdang memiliki 10 buah mobil pribadi, lihat pada Budi Agustono. 1993 “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. hal. 75. 33 para bangsawan Melayu dari kesultanan yang kecil, raja-raja Karo dan Simalungun, kaum intelektual Indonesia berpendidikan Barat dokter, pengacara, pejabat sipil kolonial senior, dan para pedagang kaya Cina, India, dan Indonesia. 57 Sebagian besar penduduk Sumatera Timur tinggal di pedesaan. Mereka adalah para buruh perkebunan yang hidupnya sangat tertekan dan menderita. Kehidupan buruh-buruh perkebunan ini sangatlah menyedihkan, lingkungan kumuh, terancam kelaparan, dan kekurangan gizi. Para buruh perkebunan yang hidupnya miskin ini terus semakin bertambah setiap tahun. Pada tahun 1883 jumlah penduduk miskin mencapai 31.454 jiwa dan pada tahun 1932 meningkat lagi menjadi 336.000 jiwa. Mereka adalah para buruh perkebunan yang sering mendapat perlakuan sewenang-wenang dari para majikan perkebunan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa para pendatang yang sebagian besar adalah kelompok usia muda inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerakan politik dan sosial di Sumatera Timur. Merekalah yang kemudian melancarkan kritik tajam terhadap kepincangan sosial, penindasan para buruh kebun dan kemapanan sistem feodalisme. Kritikan tajam, perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang menyebarkan isu-isu perlawanan, penolakan negasi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dan sistem feodal yang dijalankan para penguasa saat itu. 58 Tokoh-tokoh pemuda di Sumatera Timur tampil di depan untuk melawan 57 Diterjemahkan dari Michael van Langenberg dalam Auderey R. Kahin. 1985. ed. Regional Dynamica of The Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu: University of Hawaii. hal. 115. Penduduk Sumatera Timur pada masa itu dibagi dalam empat lapisan orang Eropa, Timur Asing, Pribumi, dan kuli-kuli kebon. Staatsblad van Nederlandsch-Indie. 1939. No. 146. 58 Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah KND yang memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli, sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. 34 penguasaan dan pengelolaan tanah yang dilakukan para Sultan dengan pemerintah kolonial Belanda. Dinamika perkembangan penduduk Sumatera Timur hingga menjadi Provinsi Sumatera Utara sangat dipengaruhi oleh situasi yang terjadi Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kota Tebing Tinggi. Saat ini, empat daerah tersebut menjadi ukuran dalam mencermati dinamika sosial, ekonomi, dan politik di Sumatera Utara. Tabel 2.1. Jumlah Penduduk, Pemilih, dan Pengguna Hak Pilih di Daerah Pemilihan 1 DPR-RI Provinsi Sumatera Utara pada Pemilu 2014 Daerah Jumlah Penduduk Jumlah Pemilih Pengguna Hak Pilih Pengguna Hak Pilih Kota Medan 2.602.612 1.767.247 915.903 51,82 Deli Serdang 1.846.262 1.389.343 765.247 55,07 Serdang Bedagai 671.812 463.082 348.984 75,36 Kota Tebing Tinggi 168.242 126.358 88.749 70,23 Jumlah 5.288.928 3.746.030 2.118.883 56,56 Sumber: diolah dari Data BPS dan KPU Provinsi Sumatera Utara, 2014. Jumlah penduduk dan pemilih di Provinsi Sumatera Utara tercatat sebanyak 15.227.719 dan 8.788.455 yang tersebar di 33 kabupatenkota. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan pemilih di Dapil Sumut 1 DPR-RI maka terdapat 34,73 dan 42,62 berada di empat daerah tersebut. Data tersebut menjelaskan bahwa mayoritas penduduk dan pemilih berada di Dapil Sumut 1 DPR RI Provinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu, Dapil Sumut 1 dalam Pemilu 2014 tetap menjadi daerah pemilihan yang sangat kompetitif bagi 12 partai politik dan calon anggota legislatif sehingga Dapil 1 sering disebut sebagai ”Dapil Neraka”. 59 59 Sebutan “Dapil Neraka” muncul dari ucapan calon anggota legislatif pada saat intensitas kegiatan kampanye pada Pemilu 2014 mulai meningkat. Dapil Sumut 1 juga dipenuhi dengan calon anggota legislatif dari partai politik yang memiliki popularitas baik di masyarakat. Sebut saja misalnya Ramadhan Pohan dan Ruhut Sitompul dari Partai Demokrat, Meutya Hafid dan Leo Nababan dari Partai Golkar, Hasrul Azwar dari PPP, Tiffatul Sembiring dari PKS, dan nama-nama terkenal lainnya. 35

2.3. Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara dipenuhi para pemuda dengan nama besar dalam pergerakan kebangsaan Indonesia yang pernah mengunjunginya serta tinggal bersama-sama kuli di perkebunan-perkebunan Sumatera Utara. Sebut saja, Dr. Sutomo pernah tinggal di Pakam dan Tanjung Morawa, Tan Malaka, Dr. Pirngadi 60 , dan lain-lainnya. Ditambah lagi dengan kebijakan exorbitante rechten hak istimewa pemerintah Kolonial Belanda menjalankan praktek ”pengasingan” atau “pembuangan” para pejuang dari daerahnya ke berbagai tempat lainnya di Nusantara. Bung Karno dan Hatta beserta beberapa tokoh pejuang lainnya pernah diasingkan atau dibuang ke Sumatera Utara. Demikian beberapa peristiwa penting yang menumbuhkan kesadaran nasionalisme pemuda di Sumatera Utara hingga memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia. 61 Proklamasi Kemerdekaan RI resmi diumumkan, di Sumatera Utara, oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan pada tanggal 30 September 1945. Sedangkan Pemerintahan Republik Indonesia baru berjalan di Kota Medan tanggal 3 Oktober 1945. Itupun secara diam-diam karena masih takut pada pemerintah dan tentara Jepang. Lalu sepuluh hari kemudian, 13 Oktober 1945, terjadi pertempuran di hotel “Pension Wilhelmina” di Jalan Bali, Medan, antara rakyat dengan tentara Belanda yang disusupkan sekutuInggris NICA. Pertempuran serupa juga terjadi di Pematang 60 Saat ini nama Dr. Pirngadi sebagai nama Rumah Sakit Umum Pemerintah Kota Medan. 61 Nama Sumatera Utara sendiri berkembang pada saat diadakannya Sidang I Komite Nasional Daerah KND yang memutuskan Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 sub provinsi yaitu sub Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli, sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tanggal 15 April 1948, pemerintah menetapkan Sumatera menjadi 3 provinsi masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Provinsi Sumatera Selatan dan pada tanggal 15 April itulah ditetapkan menjadi hari jadi Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya, pada tanggal 7 Desember 1956 ditetapkan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan perubahan pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang wilayahnya dikurangi dengan bagian-bagian yang terbentuk sebagai Daerah Otonom Provinsi Aceh. 36 Siantar 15 Oktober 1945, Berastagi 25 Oktober 1945, dan Tebing Tinggi 13 Desember 1945. 62 Wujud lain kehidupan segregatif terpisah-pisah masyarakat Kota Medan terefleksi dalam organisasi keagamaan beserta kepemudaannya. Keanggotaan kelompok ini melintasi ikatan-ikatan teritori, namun masih menyiratkan etnisitas. Ada organisasi Muhammadiyah yang didominasi warga etnis Minangkabau; Alwashliyah yang didominasi etnis Mandailing dan Melayu; Huria Kristen Batak Protestan; Gereja Batak Karo Protestan; Gereja Kristen Protestan Simalungun; Gereja Kristen Protestan Angkola; Gereja Methodist Indonesia Cina; dan seterusnya. Hal yang sama terjadi pada kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih jelas unsur etnisitasnya. Misalnya HIKMA Himpunan Keluarga Mandailing; Minang Saiyo Minangkabau; IPTR Ikatan Pemuda Tanah Rencong Aceh; Persatuan Warga Sunda PWS; PUJAKESUMA Putra Jawa Kelahiran Sumatera; dan lain-lain. Sementara di tingkat pelajarmahasiswa terdapat IMA-Tapsel Ikatan Mahasiswa Tapanuli Selatan; Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol Minangkabau, HIMAH Himpunan Mahasiswa Amir Hamzah dari etnis Melayu; dan sebagainya. Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang tersebut di atas umumnya memiliki ciri-ciri resmi formal. Besar kemungkinannya kelompok etnis tersebut mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis, disertai sistem administrasi yang jelas. Namun, di pihak lain terdapat kelompok-kelompok yang sering disebut preman atau cross-boys, aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka pada umumnya tidak tertulis. Organisasi itu tidak 62 Sjahnan. 1982. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan: Dinas Sejarah Kodam-IIBB. hal. 19-24