Interaksi Politik Pemuda di Sumatera Utara
36
Siantar 15 Oktober 1945, Berastagi 25 Oktober 1945, dan Tebing Tinggi 13 Desember 1945.
62
Wujud lain kehidupan segregatif terpisah-pisah masyarakat Kota Medan terefleksi dalam organisasi keagamaan beserta
kepemudaannya. Keanggotaan kelompok ini melintasi ikatan-ikatan teritori, namun masih menyiratkan etnisitas. Ada organisasi
Muhammadiyah yang
didominasi warga
etnis Minangkabau;
Alwashliyah yang didominasi etnis Mandailing dan Melayu; Huria Kristen Batak Protestan; Gereja Batak Karo Protestan; Gereja Kristen
Protestan Simalungun; Gereja Kristen Protestan Angkola; Gereja Methodist Indonesia Cina; dan seterusnya. Hal yang sama terjadi
pada kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih jelas unsur etnisitasnya. Misalnya HIKMA Himpunan Keluarga Mandailing;
Minang Saiyo Minangkabau; IPTR Ikatan Pemuda Tanah Rencong Aceh; Persatuan Warga Sunda PWS; PUJAKESUMA Putra Jawa
Kelahiran Sumatera;
dan lain-lain.
Sementara di
tingkat pelajarmahasiswa terdapat IMA-Tapsel Ikatan Mahasiswa Tapanuli
Selatan; Ikatan Mahasiswa Imam Bonjol Minangkabau, HIMAH Himpunan Mahasiswa Amir Hamzah dari etnis Melayu; dan
sebagainya. Organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok yang tersebut di atas umumnya memiliki ciri-ciri resmi formal. Besar
kemungkinannya kelompok etnis tersebut mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga tertulis, disertai sistem administrasi yang
jelas. Namun, di pihak lain terdapat kelompok-kelompok yang sering
disebut preman atau cross-boys, aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka pada umumnya tidak tertulis. Organisasi itu tidak
62
Sjahnan. 1982. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan: Dinas Sejarah Kodam-IIBB. hal. 19-24
37
memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai organisasi resmi kepada pemerintah, partai politik, maupun organisasi kemasyarakatan dan lain-
lain. Bahkan di mata pihak keamanan kota, kelompok-kelompok preman itulah yang seharusnya diberantas atau “didekati” karena ada
anggapan bahwa banyak kerusuhan yang terjadi di kota, didalangi oleh preman. Tetapi apapun alasannya sepanjang daya serap sektor formal
masih sangat terbatas, serta tingkat putus sekolah masih tinggi, maka fenomena preman masih akan sulit ditiadakan. Lebih-lebih dalam
keadaan dimana kepastian hukum tidak berjalan, atau keadaan kurang aman, maka kehadiran preman justru menjadi sentral. Mereka yang
tidak memiliki pekerjaan tetap akan menawarkan dirinya untuk dijadikan tenaga “pengaman” bayaran.
Dalam masa-masa awal kemerdekaan, belum banyak ditemukan perubahan menyangkut sifat segregatif pemukiman. Daerah tapal batas
pemukiman masih tetap sebagai daerah rawan kerusuhan. Senggolan fisik dan kesalahpahaman saja dapat melahirkan perkelahian antar
individu yang justru sering menjadi perkelahian antar kelompok kampung yang berlarut-larut. Peristiwa perkelahian seperti itu tetap
sulit diredam terkait dengan belum berkurangnya jumlah pengangguran di setiap kampung. Daya serap lapangan pekerjaan di sektor formal
sangat kecil, sementara angka drop out sekolah di kalangan pemuda tetap tinggi. Di satu sisi sektor formal semakin mengutamakan
pendidikan, sedangkan di sisi lain kesempatan memasuki sekolah masih terbatas. Bahkan proses penyelesaian pendidikan di sekolah pun
amat berat. Tidak banyak anak muda yang dapat menyelesaikan sekolahnya hingga akhir.
63
63
Kemiskinan menjadi persoalan utama di masyarakat Kota Medan. Banyak keluarga yang tidak dapat memberikan pendidikan sekolah secara formal kepada anak-anaknya karena tidak memiliki uang untuk
membayar sekolah dan membeli peralatan belajar. Sementara program pemerintah untuk sektor
38
Gaya hidup di pusat Kota Medan merepresentasikan gaya hidup urban atau perkotaan, sedang yang lainnya merepresentasikan gaya
hidup rural atau pedesaan. Sementara pada kawasan pinggir Kota Medan banyak para pendatang baru datang dan tinggal menetap dari
berbagai etnis lainnya di Indonesia. Sehingga kawasan pinggiran tersebut tumbuh menjadi kantong-kantong pemukiman kelompok etnis.
Di sekitar pusat kota lama daerah Kesawan dan Polonia dihuni oleh para elit pemerintahan serta orang Cina dan Timur Asing yang
bergerak di bidang perdagangan. Sementara itu di kawasan pinggiran Kota Medan bermukim kelompok-kelompok etnis Bumiputera yang
juga hidup secara segregatif. Di pinggiran Kota Medan tersebut banyak terjadi
kerawanan sosial
seperti perampokan,
penjambretan, perkelahian, berdirinya pondok-pondok prostitusi liar, dan tempat
perjudian. Penyebab dari kerawanan sosial itu menurut Pelly berpangkal pada segregasi kehidupan pemukiman antar etnis, antar
strata sosial, dan okupasi.
64
Dalam situasi sosial segregatif itu kebudayaan masing-masing kelompok etnis mengalami proses retribalisme. Kebudayaan leluhur dari
masing-masing kelompok etnis tidak mengalami pengikisan, melainkan justru menguat kembali. Identitas etnis semakin terpelihara dan loyalitas
kepadanya pun semakin dipertinggi oleh warga masing-masing kelompok etnis. Oleh sebab itu, persaingan antar kelompok etnis yang identik
dengan persaingan antar kampung teritori di Kota Medan tersebut memiliki potensi konflik latent conflict dalam kehidupan sehari-hari.
Daerah-daerah perbatasan teritori antar kelompok etnis termasuk wilayah yang paling mudah dijangkiti oleh kerusuhan berupa “perang massal”
antar kampung. “Perang massal” ini biasanya dipelopori oleh para
pendidikan sangat kecil dan tidak memungkinkan untuk dinikmati oleh banyak kalangan warga miskin di Kota Medan.
64
Usman Pelly. 1983. Sejarah Sosial Kota Medan. Jakarta: IDSN Depdikbud. hal. 27.
39
pemuda yang senantiasa siap tempur sekalipun berawal dari hal-hal yang sepele dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena pengangguran pemuda di setiap kampung atau di kantong-kantong pemukiman kelompok etnis, menjadi salah satu
penyebab munculnya perkelahian antar kampung. Anak-anak muda di tiap kampungpemukiman kelompok etnis di pinggiran Kota Medan, pada
waktu itu, membentuk satuan-satuan pemuda dengan dasar solidaritas teritorialetnis. Sebut saja seperti di beberapa kampung terdapat satuan-
satuan pemuda dengan nama: Cross-Boys Medan Baru, Jati Boys di Jalan Jati, Seri Boys, Viking Boys, Mongol Boys, Tar Tar Boys di Sukarame,
dan lain-lain. Satuan-satuan pemuda kampung itu juga merekrut pemuda pelajar yang pada dasarnya terikat oleh kesadaran etnis dan teritorialnya.
Akan tetapi walaupun bersatu dalam satu kesatuan “pemuda kampung”, namun antara pemuda menganggur dan pemuda sekolah tetap terdapat
perbedaan. Pemuda bersekolah tetap melakukan kegiatan sehari-hari seperti pemuda pengangguran, duduk-duduk selepas sekolah di
persimpangan jalan, mereka itu dinamakan cross-boys anak-anak simpang atau biasa juga disebut “pemuda roman”. Sedangkan pemuda
kampung yang betul-betul menganggur dan hidup selamanya di jalanan, dinamakan “preman”.
Pemuda-pemuda yang disebut dengan istilah cross-boys yang merupakan bagian integral dari “pemuda kampung” tumbuh pada
dasawarsa 1950-an hingga awal 1960-an.
65
Di waktu itu sebagian anak- anak muda pelajar memperlihatkan gaya dan tingkah polanya yang
“nakal” seperti kumpul-kumpul di persimpangan jalan, lepas dari kontrol orang tua, merokok, cari uang tidak bisa, suka iseng menggoda
perempuan dan juga mengganggu orang-orang yang sedang lewat. Tidak
65
Era ini sering disebut “masa aman” karena dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, aksi-aksi militer berkenaan dengan upaya mempertahankan kemerdekaan dari tekanan musuh masih berlangsung. Para
kumpulan pemuda di Kota Medan relatif lebih bebas melakukan kegiatan yang mereka inginkan.
40
jarang kelakuan mereka memancing marah orang lain sehingga menimbulkan perkelahian, seperti gaya “mejeng” anak muda dewasa ini.
Berkelahi keroyokan di bawah seorang pemimpinnya yang disebut chips. Begitupun, yang namanya perkelahian, selalu dapat menimbulkan
keresahan. Anak-anak “nakal” seperti ini sering juga dijuluki sebagai “preman lontong”.
Lain halnya dengan pemuda yang bernama “preman”. Mereka terdiri dari orang-orang pengangguran yang hidup di jalanan sambil
“mencari makan” untuk kebutuhan sendiri, terutama di bioskop-bioskop
terdekat. Mereka mengelola penjualan tiket melalui “sistem catut” atau black market. Kegiatan ini pada dasarnya “direstui” oleh pengelola
bioskop, entah dengan terpaksa atau tidak. Namun dengan adanya kesempatan bagi preman itu untuk mengelola karcis “catut” maka
kerusuhan di bioskop tidak terjadi. Orang lain tidak akan berani membuat kerusuhan di bioskop itu kalau tidak mau ambil resiko berkelahi dengan
preman bioskop tersebut. Oleh sebab itu, menurut anggota-anggota preman itu sendiri, kehadiran mereka di salah satu bioskop itu
dipandangnya sebagai satuan pengaman bagi bioskop itu sendiri. Keamanan di bioskop tersebut menjadi keuntungan bagi pemilik atau
pengelola bioskop itu sendiri. Selain berfungsi mengamankan bioskop terdekat, kelompok
preman ini juga merasa difungsikan mengamankan kampungnya sendiri. Atas dasar itulah, menurut beberapa preman era 1950-an dan 1960-an
66
, para orang tua kampung setempat selalu simpati pada preman ketika itu.
Mereka tidak membuat kerusuhan di kampungnya dan sebaliknya karena mereka pula, orang dari kampung lain tidak berani membuat kerusuhan di
66
Di antara mereka yang dikenal sebagai preman adalah Effendi Nasution Pendi Keling, Rosiman preman yang mengusai Medan Bioskop, Yan Paruhuman Lubis Ucok Majestik, Paruhum Siregar.
Selain itu, Effendi Nasution dan Rosiman juga dikenal sebagai petinju yang sering bertanding dalam turnamen yang diselenggarakan di Kota Medan.
41
kampung tersebut. Itu sebabnya anak-anak cross-boys yang tidak berhasil meneruskan sekolahnya, sebagian terjun ke dunia preman. Jarang pulang
ke rumah, cari makan dan pakaian sendiri-sendiri di jalanan. Sedangkan yang mampu meneruskan sekolah, memperoleh manfaat, ada sebagian di
antara mereka berhasil menduduki jabatan strategis di pemerintahan, militer atau perusahaan.
Oleh karena klain mereka disebut sebagai kelompok pengamanan, maka tidak jarang anggota preman itu membekali diri mereka dengan
seperangkat keahlian “bela diri” silat, karate, dan lain-lain. Bahkan menurut sebagian preman era 1950-an itu, tidak jarang di antara mereka
juga harus memiliki ilmu batin, yang berarti “ilmu kebal”. Orang-orang yang memiliki “keahlian lebih” itulah yang muncul sebagai kapala bagi
kelompoknya. Seorang yang menjadi kapala harus berani, kuat, disegani lawan dan kawan, bersifat setia dan melindungi anggota, serta mampu
menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan kelompoknya. Kesatuan dan persatuan yang solid dari suatu kelompok adalah satu
kesatuan yang tak ternilai harganya bagi para “preman”. Dengan persatuan dan kesatuan yang kuat, mereka dapat mempertahankan atau
mengembangkan sumber-sumber penghidupannya di bioskop-bioskop maupun di tempat-tempat yang lain. Hal ini menjadi suatu keharusan
karena biaya penghidupan untuk menopang gaya hidup mereka kian hari kian bertambah besar. Tidak berbeda seperti kehidupan para ambtenar
umumnya, para preman tampil dengan pakaian necis, rambut klimis, sepatu mengkilap ditambah wewangian. Mengisap rokok kelas menengah
dan meminum minuman keras, menikah dan berketurunan, membina rumah tangga dengan satu atau lebih perempuan. Oleh karenanya,
keinginan untuk merebut dan menguasai sumber-sumber daya yang lebih banyak tak dapat dihindari. Akibatnya perkelahian dengan kelompok
42
preman lain di bioskop yang terletak di kampung etnis lain juga tidak bisa dihindari.
Perkelahian antar kelompok preman pada dasarnya merupakan perkelahian antar kelompok warga etnis kampung tertentu. Preman
kelompok etnis dari satu kampung tertentu menyerang dan merebut bioskop yang telah dikuasai preman kelompok etnis kampung yang lain.
Demikian misalnya, pada era 1960-an awal, terjadi penguasaan bioskop- bioskop Kota Medan secara etnis. Bioskop Rex atau Mega Ria dikuasai
oleh preman etnis Aceh, Astana Ria dikuasai oleh preman etnis Karo, Bioskop Morning dikuasai preman etnis Minangkabau, Bioskop Olimpia
dikuasai preman etnis Toba, Bioskop Majestic dikuasai oleh preman etnis Mandailing, serta bioskop-bioskop yang lain dengan preman-preman dari
etnis yang lain pula.