2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Rumusan Masalah
Sub sektor perkebunan dalam perekonomian Indonesia mempunyai peranan strategis, antara lain sebagai penyerap tenaga kerja, penyedia pangan, penopang
pertumbuhan industri manufaktur dan sebagai sumber devisa negara. Pengembangan subsektor perkebunan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan, pemerataan, dinamika
ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan dalam bentuk kegiatan agribisnis maupun agroindustri.
Menurut Dinas Pertanian dan Perkebunan Sumatera Selatan 2011, dari luas areal perkebunan seluas 2.391.249 Ha pada tahun 2010 maka sebagian besar atau hampir 50
persen berupa areal perkebunan karet atau seluas 1.195.111 hektar, selanjutnya berupa areal kebun kelapa sawit, kopi, kelapa dan tanaman perkebunan lainnya.
Secara umum bahwa pengembangan agribisnis karet masih mempunyai prospek yang baik, ditinjau dari prospek harga, ekspor dan pengembangan produk. Secara internal
pengembangan agribisnis karet didukung oleh potensi kesesuaian dan ketersediaan lahan, produktivitas yang masih dapat ditingkatkan dan perkembangan industri hilir. Ka
ret merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi di dalam upaya
peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1,00 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1,30 juta ton
pada tahun 1995 dan 1,90 juta ton pada tahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US 2.25 milyar, atau 5,00 dari pendapatan devisa non-migas
Anwar, 2006. Perkebunan karet Hevea brasiliensis di Provinsi Sumatera Selatan masih
melibatkan banyak perkebunan rakyat. Menurut Dinas Pertanian dan Perkebunan Sumatera Selatan 2010, kepemilikan perkebunan oleh rakyat atau berupa perkebunan
rakyat mencapai 95 dari luas areal yang ada atau seluas sekitar 1135355 ha, memberikan banyak lapangan kerja atau sekitar 783.152 KK, sedangkan pendapatan rata-rata petani
karet sekitar Rp 6.000.000,-habulan dan peredaran uang di Sumatera Selatan dari kegiatan perkaretan adalah sebesar Rp 75 milyar hingga Rp100 milyar per hari.
3 Menurut Nakajima 986, mengkaji sektor pertanian di negara sedang berkembang
seperti di Indonesia, menyangkut karakteristik tiga aspek penting, yaitu 1 karaktersistik teknologi produksi pertanian, 2 karakteristik rumahtangga petani farm household
sebagai satu unit ekonomi, dan 3 karakteristik produk-produk pertanian sebagai komoditas. Aspek rumahtangga petani merupakan aspek penting untuk dipelajari
mengingat sebagian besar produk sektor pertanian di Indonesia disumbang oleh kegiatan usahatani rumah tangga
Gambaran lain dari sektor pertanian di negara berkembang termasuk Indonesia umumnya dan provinsi Sumatera Selatan khususnya, biasanya dikaitkan dengan persoalan
kemiskinan, tekanan penduduk, tenaga kerja yang tidak terampil, penyempitan lahan usahatani, dan penurunan kualitas lahan. Akumulasi dari persoalan-persoalan tersebut
menyebabkan keragaan sektor pertanian sering tertinggal dibandingkan sektor non- pertanian. Laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi akan meningkatkan jumlah
angkatan kerja labor force hampir seluruh sektor ekonomi, akan tetapi tidak seluruhya dapat diserap oleh sektor pertanian. Keterbatasan lahan sektor pertanian, terutama dalam
hal luas lahan yang terus menurun menyebabkan kemampuan menyerap angkatan kerja semakin menurun. Sementara itu perkembangan teknologi di luar sektor pertanian
umumnya dapat menciptakan lapangan kerja baru. Kesempatan ini selain dimanfaatkan oleh masyarakat kota juga oleh masyarakat pedesaan. Selain itu adanya peningkatan
pembangunan sarana dan prasarana transportasi akan mendorong terjadinya arus urbanisasi untuk memanfaatkan kesempatan kerja di sektor jasa, konstruksi dan industri.
Kemiskinan penduduk menyebabkan kualitas sumberdaya manusia rendah dan kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi baru. Di sisi lain, tekanan
jumlah penduduk dengan keterampilan rendah akan membebani sektor pertanian, dimana produktivitas tenaga kerja cenderung rendah, sehingga menimbulkan pengangguran tidak
kentara disguised unemployment .
Oleh karena itu sektor pertanian sebagai penyerap
tenaga kerja yang dominan perlu diinterpretasikan secara hati-hati Kusnadi, 2005. Menurut Sitorus 1994, seluruh kasus rumahtangga miskin menerapkan strategi
nafkah ganda; yaitu bersumber dari beberapa macam pekerjaan tergantung musim dan kesempatan. Melihat kenyataan tersebut, maka pengembangan kegiatan di dalam dan di
luar sektor pertanian perlu diberikan perhatian yang lebih besar guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Bila sektor pertanian dan non pertanian akan
dikembangkan, maka informasi dasar mengenai kegiatan pertanian dan non-pertanian
4 dalam skala yang lebih luas, baik dari cakupan wilayah penelitian maupun aspek yang
diteliti perlu diketahui. Prabumulih tergolong daerah dengan aktifitas ekonomi utama pada perdagangan
dan jasa yang dapat dilihat dari besarnya aktifitas ekonomi masyarakat yang didominasi oleh kedua sektor ini. Tetapi bila dilihat dari penggunaan lahannya, maka sebanyak 71,24
persen digunakan untuk pertanian yaitu untuk tegalladanghuma, perkebunan, padi, palawija, buah-buahan, kehutanan dan perikanan.
Tabel 1. Luas Panen dan Produksi Perkebunan Rakyat Berdasarkan Komoditi di Prabumulih.
No Komoditi
Luas Panen Ha
Produksi Ton
1 Karet
18.376 14.518,00
2 Kelapa Sawit
1.120 14.238,00
3 Kopi
11 -
4 Kapuk
8 3,00
5 Kelapa
119 134,00
6 Aren
3 -
7 Pinang
29 2,47
Total Areal ha 19666
Sumber: Dinas Pertanian dan Perkebunan Kota Prabumulih 2010. Jika dirinci berdasarkan penggunaannya, lahan pertanian yang paling luas adalah
perkebunan karet seluas 18.376 Ha 93,44 sisanya untuk perkebunan tanaman lain seperti kelapa sawit, kelapa, pinang, kopi, kapuk dan aren. Selain itu, jarak rata-rata
antara desa dengan pusat perekonomian dan pemerintahan relatif dekat, maksimal 15 kilo meter, yang dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dengan waktu maksimal 20 menit.
Rumahtangga petani dan persoalan yang dihadapinya merupakan masalah kompleks dan menarik untuk diteliti. Salah satu masalah yang menarik untuk dikaji dari
rumahtangga petani tersebut adalah adanya interaksi yang kompleks antara keputusan produksi dan keputusan konsumsi. Hal ini menunjukkan dalam konteks ekonomi maka
tujuan rumahtangga adalah untuk mencapai kepuasan kegunaan yang maksimum dari penggunaan sumberdaya yang dimilikinya. Aktivitas ekonomi yang beragam dalam
rumahtangga petani dapat dipelajari secara konsisten dengan asumsi bahwa aktivitas
5 tersebut dilakukan berdasarkan prinsip maksimisasi utilitas. Dengan kata lain, perilaku
rumahtangga petani dapat dibagi ke dalam tiga kelompok utama, yaitu perilaku rumahtangga sebagai produsen usahatani, perilaku rumahtangga sebagai sumber tenaga
kerja dan perilaku rumahtangga sebagai konsumen produk pangan dan non pangan. Faktor utama yang membedakan antara rumahtangga petani dengan perusahaan
pertanian adalah pada pemanfaatan tenaga kerja rumahtangga dan konsumsi rumahtangga terhadap produk yang dihasilkan. Dari kedua faktor tersebut, yang paling penting adalah
penggunaan tenaga kerja rumahtangga. Suatu kegiatan usahatani tidak dapat dikatakan sebagai rumahtangga petani, jika tidak terdapat penggunaan tenaga kerja keluarga.
Sebaliknya, suatu rumahtangga yang melakukan kegiatan usahatani, tetap dikatakan sebagai rumahtangga petani, jika mereka menggunakan tenaga kerja keluarga meskipun
mereka tidak mengkonsumsi sebagian dari produk yang mereka hasilkan sendiri Nakajima, 1986.
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.