Hubungan Ketidakpatuhan Pengobatan Dan Stigma Pada Keluarga Dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia Di RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara

(1)

HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN DAN STIGMA PADA KELUARGA DENGAN PERAWATAN KEMBALI

PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJ DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

TESIS

OLEH

VERA R.B.MARPAUNG

077013027/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN DAN STIGMA PADA KELUARGA DENGAN PERAWATAN KEMBALI

PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJ DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Progam Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

VERA R.B.MARPAUNG

077013027/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHASTAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN DAN STIGMA PADA KELUARGA DENGAN PERAWATAN KEMBALI PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJ

DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Vera R.B. Marpaung

Nomor Induk Mahasiswa : 077013027

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K)) (Raras Sutatminingsih, S.Psi.M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)


(4)

Telah diuji pada Tanggal

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K) Anggota : 1. Raras Sutatminingsih, S.Psi.M.Si

2. Prof. Dr. Badaruddin, M.S 3. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KETIDAKPATUHAN PENGOBATAN DAN STIGMA PADA KELUARGA DENGAN PERAWATAN KEMBALI

PASIEN SKIZOFRENIA DI RSJ DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, November 2009

Vera R.B. Marpaung 077013027/IKM


(6)

ABSTRAK

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 menunjukkan 65% pasien skizofrenia yang dirawat mengalami kekambuhan dan menyebabkan perawatan kembali pasien skizofrenia. Tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia diduga terkait dengan ketidakpatuhan dan adanya stigma pada keluarga.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan ketidakpatuhan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini adalah penelitian survei explanatory. Populasi adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara yang berjumlah 956 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara non probability sampling dengan teknik consecutive sampling sebanyak 87 orang. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian menyatakan bahwa ketidakpatuhan pengobatan dan stigma keluarga mempunyai hubungan signifikan terhadap perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara (P < 0,05).

Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk : 1. Meningkatkan program penyuluhan berupa edukasi keluarga yang ditekankan pada dukungan keluarga sebagai pendukung utama serta pengurangan ekspresi emosi dalam lingkungan keluarga, 2. Membuat kebijakan perlunya program pemberdayaan masyarakat dalam membantu pemulihan pasien skizofrenia.


(7)

ABSTRACT

Schizophrenia is a chronic psychotic disorder which always relapses.The data obtained from the Medical Record of the Mental Hospital of North Sumatera Province showed that in 2008, 65% of the patients of schizophrenia treated experienced a relapse and caused their rehospitalization. The high rate of relapse in the patients of schizophrenia is predicted to be related to medication non-adherence and family stigma.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the relationship between the medication non-adherence and family stigma and the rehospitalization of the patients of schizophrenia in the Mental Hospital of North Sumatera Province.The population of this study in 2008 were 956 families of the patients of schizophrenia having treatment in the Mental Hospital of North Sumatera Province and 87 of them and consecutive techniques. The primary data were obtained through questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed through univariate and bivariate analysis by means of Chi-square test.

The result of the study showed that medication non-adherence and family stigma had a significant relationship with the rehospitalization of the patients of schizophrenia in the Mental Hospital of North Sumatera Province(p<0.05).

The management of the Mental Hospital of North Sumatera Province is suggested (1) to improve the extension program through family education focused on Expression in the family, and (2) to make a policy focusing on the importance of community empowerment in the process of helping the recovery of the patients of schizophrenia.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan anugerah yang diberikanNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaiakn tesis ini sampai dengan selesai. Tesis ini disusun dengan salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Selesainya tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada :

1. dr. Ria Masniari Lubis, M.Si sebagai Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S sebagai Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, dan Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si serta seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis mengikuti pendidikan. 3. Prof. dr. H.M. Joesoef Simbolon, Sp.KJ (K) sebagai Ketua Komisi Pembimbing

yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan bimbingan, arahan yang yang sangat berguna serta dukungan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.


(9)

4. Raras Sutatminingsih, S.Psi, M.Si. sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam memberikan bimbingan, arahan serta dukungan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Prof. Dr. Badaruddin, M.S dan dr. Ria Masniari Lubis, M.Si. sebagai Tim Penguji yang telah banyak memberikan masukan, kritik maupun saran kepada penulis untuk kesempatan tesis ini.

6. dr. Donald Sitompul, Sp.KJ sebagai Direktur RSJ Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan dukungan moril serta materil kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh Staf Dosen dan Staf Pegawai di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan arahan, bantuan dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.

8. Seluruh teman-teman mahasiswa di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Seluruh teman-teman dan Pegawai di RSJ Provinsi Sumatera Utara Medan yang telah memberikan dukungan serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. 9. Teristimewa rasa hormat dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada


(10)

Laura, Fernando dan Stefani yang telah memberikan dukungan serta doa yang tidak henti-hentinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu bila ada saran maupun kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, November 2009 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Vera Redi Basaria Marpaung yang dilahirkan di Medan, pada tanggal 12 Juli 1963, anak kedua dari lima bersaudara, bertempat tinggal di Jalan Baja Raya No.1 B Medan.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada Tahun 1976 di SD Immanuel Medan, tahun 1979 menamatkan SMP di SMP Immanuel Medan, dan tahun 1982 menamatkan SMA di SMA Negeri 1 Medan. Kemudian pada tahun 1988 menyelesaikan Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran USU Medan dan pada tahun 2002 menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dari Fakultas Kedokteran USU Medan.

Penulis bekerja sebagai Kepala Puskesmas Pembantu Tembung Deli Serdang, dari tahun 1989 sampai tahun 1994, dan sebagai Kepala Puskesmas Namorambe Deli Serdang dari tahun 1995 sampai tahun 1996 kemudian penulis mengikuti Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa dari tahun 1996 sampai 2001. Dari tahun 2002 sampai 30 Oktober 2009 bertugas di Rumah Sakit Jiwa Medan sebagai Ketua Komite Medik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan dan sebagai Staf Dokter Spesialis. Pada tanggal 31 Oktober 2009 menjabat sebagai Kepala Bidang Pelayanan Medik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Hipotesis... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Konsep Skizofrenia ... 10

2.1.1 Defenisi ... 10

2.1.2 Epidemiologi ... 11

2.1.3 Etiologi... 12

2.1.4 Perjalanan Penyakit... 13

2.1.5 Penatalaksanaan ... 14

2.2 Perawatan Kembali ... 16

2.3 Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan... 19

2.3.1. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Efek Samping ... 20

2.3.2 Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Pasien... 22

2.3.3. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Dokter ... 24

2.3.4. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Lingkungan ... 25

2.4 Stigma Pada Keluarga ... 26

2.5 Kerangka Teori ... 30

2.6 Kerangka Konsep ... 31

BAB III : METODE PENELITIAN ... 32

3.1 Jenis Penelitian... 32


(13)

3.3 Populasi dan Sampel ... 33

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 34

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 37

3.6 Metode Pengukuran ... 39

3.7. Metode Analisis Data... 40

BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 42

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 42

4.2 Analisis Univariat ... 45

4.3 Analisis Bivariat... 59

BAB 5 : PEMBAHASAN ... 61

5.1 Gambaran Umum Hasil Penelitian... 61

5.2 Karakteristik Responden ... 62

5.3 Ketidakpatuhan Pasien Skizofrenia Terhadap Pengobatan ... 64

5.4 Stigma Anggota Keluarga Terhadap Pasien Skizofrenia ... 66

5.5 Keterbatasan Penelitian... 68

BAB 6 : KESIMPULAN DAN SARAN ... 69

6.1 Kesimpulan ... 69

6.2 Saran ... 69


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Hasil Uji Validitas... 36 3.2. Hasil Uji Reliabilitas ... 37 3.3. Metode Pengukuran Variabel Independen Dan Dependen ... 40

4.1. Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan Jiwa Berdasarkan Jenis Pendidikan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2009 ... 44 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Individu... 46 4.3. Distribusi Karakteristik Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa

Tahun 2009 ... 48 4.4. Distribusi Berdasarkan Kondisi Pasien Skizofrenia Selama

Perawatan Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009... 50 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Ketidakpatuhan Pengobatan Pasien

Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009 ... 52 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Item Variabel Stigma Anggota

Keluarga Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009... 56 4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Stigma Anggota Keluarga Di

Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009 ... 58 4.8. Distribusi Pasien Skizofrenia Berdasarkan Frekuensi Rawat

Inap Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009 ... 59 4.9 Distribusi Ketidakpatuhan Pengobatan Dengan Frekuensi Rawat Inap

Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009 ... 59 4.10 Distribusi Stigma Anggota Keluarga Dengan Frekuensi Rawat Inap


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Teori... 30 2.2. Kerangka Konsep ... 31


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat Izin Penelitian ... 73 2. Surat Izin Pelaksanaan Penelitian ... 74 3. Pernyataan Kesediaan Berpartisipasi Dalam Penelitian ... 75 4. Kuesioner Karakteristik Keluarga Dan Pasien Skizofrenia/

Ketidakpatuhan Pengobatan... 76 5. Kuesioner Penelitian Tentang Stigma ... 79 6. Hasil Out Put SPSS ... 81


(17)

ABSTRAK

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang bersifat kronis dan selalu mengalami kekambuhan. Data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 menunjukkan 65% pasien skizofrenia yang dirawat mengalami kekambuhan dan menyebabkan perawatan kembali pasien skizofrenia. Tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia diduga terkait dengan ketidakpatuhan dan adanya stigma pada keluarga.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis hubungan ketidakpatuhan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini adalah penelitian survei explanatory. Populasi adalah seluruh keluarga penderita skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Propinsi Sumatera Utara yang berjumlah 956 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara non probability sampling dengan teknik consecutive sampling sebanyak 87 orang. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian menyatakan bahwa ketidakpatuhan pengobatan dan stigma keluarga mempunyai hubungan signifikan terhadap perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara (P < 0,05).

Disarankan kepada pihak manajemen Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk : 1. Meningkatkan program penyuluhan berupa edukasi keluarga yang ditekankan pada dukungan keluarga sebagai pendukung utama serta pengurangan ekspresi emosi dalam lingkungan keluarga, 2. Membuat kebijakan perlunya program pemberdayaan masyarakat dalam membantu pemulihan pasien skizofrenia.


(18)

ABSTRACT

Schizophrenia is a chronic psychotic disorder which always relapses.The data obtained from the Medical Record of the Mental Hospital of North Sumatera Province showed that in 2008, 65% of the patients of schizophrenia treated experienced a relapse and caused their rehospitalization. The high rate of relapse in the patients of schizophrenia is predicted to be related to medication non-adherence and family stigma.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the relationship between the medication non-adherence and family stigma and the rehospitalization of the patients of schizophrenia in the Mental Hospital of North Sumatera Province.The population of this study in 2008 were 956 families of the patients of schizophrenia having treatment in the Mental Hospital of North Sumatera Province and 87 of them and consecutive techniques. The primary data were obtained through questionnaire based interviews. The data obtained were analyzed through univariate and bivariate analysis by means of Chi-square test.

The result of the study showed that medication non-adherence and family stigma had a significant relationship with the rehospitalization of the patients of schizophrenia in the Mental Hospital of North Sumatera Province(p<0.05).

The management of the Mental Hospital of North Sumatera Province is suggested (1) to improve the extension program through family education focused on Expression in the family, and (2) to make a policy focusing on the importance of community empowerment in the process of helping the recovery of the patients of schizophrenia.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat. Pasien skizofrenia seringkali memerlukan rawat inap di rumah sakit dengan berbagai alasan. Perawatan kembali pasien dengan skizofrenia lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien gangguan mental berat lainnya. Medikasi dapat mengurangi gejala 70% sampai 85% pada seseorang yang pertama kali didiagnosis sebagai skizofrenia namun 60% pasien akan mengalami perawatan ulang (Linden, 2005).

American Psychiatric Association (APA) (1995), menyebutkan bahwa 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia. Penelitian yang sama oleh WHO juga menjelaskan bahwa prevalensi skizofrenia dalam masyarakat berkisar antara satu sampai tiga per mil penduduk dan di Amerika Serikat penderita skizofrenia lebih dari dua juta orang. Skizofrenia lebih sering terjadi pada populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah (Sadock, 2004).

Menurut hasil penelitian di Indonesia, terdapat sekitar 1-2% penduduk yang menderita skizofrenia yang berarti 2-4 juta jiwa dan dari jumlah tersebut diperkirakan penderita skizofrenia yang aktif sekitar 700.000-1,4 juta jiwa. Menurut pendapat Irmansyah (2006), bahwa penderita yang dirawat di rumah sakit jiwa di Indonesia hampir 70% karena skizofrenia (Wicakna, 2001).


(20)

Survey Kesehatan Mental Rumah Tangga oleh Jaringan Epidemiologik Psikiatrik Indonesia menjelaskan gangguan kesehatan jiwa berdasarkan lokasi di Indonesia adalah sebagai berikut : Bangli (Bali) 10,7%, Banjarmasin 15%, Palembang 17,1%, Semarang 17,3%, Solo 19,1%, Manado 19,1%, Padang 19,7%, Jakarta 20,0%, Bogor 20,6%, Jambi 23,2%, Banda Aceh 24,1% (Bahar, 1995).

Kronisitas gangguan skizofrenia merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam penatalaksanaan, meskipun pengobatan farmakologik merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan. Hampir semua pasien skizofrenia kronis mengalami kekambuhan berulang kali sehingga mengakibatkan defisit ketrampilan personal dan vokasional. Kekambuhan dapat disebabkan oleh ketidakpatuhan minum obat, gejala yang refrakter terhadap pengobatan peristiwa kehidupan yang menimbulkan stres, kerentanan individu terhadap stres, ekspresi emosi keluarga yang tinggi, serta yang tidak kalah penting adalah dukungan keluarga dalam penatalaksanaan penyakit ini.

Perawatan kembali pasien skizofrenia disebabkan adanya hendaya akibat penyakitnya, ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan efek samping pengobatan terutama extrapyramidal symptoms (EPS), isolasi sosial, pendapatan yang rendah serta tidak mempunyai tempat tinggal. Prasangka (prejudice) dan stigma yang menyertai pasien skizofrenia menyebabkan kesulitan yang dihadapi pasien skizofrenia bertambah. Kondisi pasien ini menyebabkan keluarga bingung dan terbebani. Keluarga menghadapi masalah yang muncul secara dramatis dan menimbulkan beban, berupa beban subjektif maupun beban objektif bagi pasien


(21)

skizofrenia dan keluarganya.Bagi pasien skizofrenia, hal tersebut menjadikan halangan untuk mendapat perlakuan yang layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan dan sebagainya. Penelitian yang dilakukan di Singapura memperlihatkan terdapat 73% responden mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, 52% mengalami rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita skizofrenia. Sementara bagi keluarga memiliki anggota keluarga yang mengalami skizofrenia menimbulkan aib bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial. Stigma sosial atau disebut juga stigma eksternal yaitu seseorang atau kelompok termasuk keluarga sendiri yang memberikan penilaian atau sikap negatif terhadap penderita skizofrenia. Stigma sosial ini mempunyai unsur, sebagai berikut :

1. Menghindar (avoidance), pasien skizofrenia dihindari karena kondisi lingkungannya.

2. Penolakan (rejection), dalam hubungan interaksi sosial tertentu kecenderungan orang dengan riwayat skizofrenia tidak akan diterima termasuk mencari pengobatan.

3. Penghakiman moral (moral judgement), mereka dianggap sebagai kutukan, oleh karena kesalahan mereka sendiri.

4. Berhubungan dengan label (stigma of association), pemberian tanda atau label yang diberikan oleh individu atau kelompok lain yang berhubungan dengan kondisi yang pernah dialaminya.

5. Keengganan atau ketidakadilan (unwillingless), kesenjangan dalam berinteraksi akan diberikan oleh orang lain atau social distance.


(22)

6. Pembedaan (discrime), penderita skizofrenia sangat jelas akan dibedakan dalam kesempatan bekerja atau berinteraksi di lingkungannya.

7. Penganiayaan (abuse), situasi yang cukup ekstrim akan dialami pasien skizofrenia untuk mengalami tindakan penganiayaan baik verbal maupun fisik oleh komunitas yang tidak mengetahuinya. Stigma sosial ini juga merupakan alasan pasien dirawat kembali (Fleischacker, 2003).

Menurut survey yang dilakukan oleh Otto F Wahl (1999) menjelaskan masyarakat merupakan sumber stigma yang utama. Adanya lelucon tentang rumah sakit jiwa dan tentang penderita gangguan jiwa sangat sering dijumpai dalam media ataupun pada masyarakat. Keluarga dan penderita yang seharusnya terluka oleh lelucon tersebut kehilangan hak untuk marah dan akhirnya terbawa untuk ikut menikmatinya. Stigma jika dibiarkan akan mengukuhkan pelecehan masyarakat terhadap penderita. Masyarakat berhak menjauhi, mengucilkan, menganggap penderita skizofrenia sebagai lelucon yang dapat dipermainkan dan diolok-olok (Irmansyah, 2001).

Masalah stigma, dalam penanggulangan pasien skizofrenia ternyata masih merupakan kendala yang cukup berarti. Pada berbagai kalangan, stigma tersebut dapat tampak dalam bentuk keinginan memasukkan setiap anggota masyarakat yang dicurigai menderita gangguan jiwa ke rumah sakit jiwa. Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia bukanlah hal yang mudah, sehingga peranan keluarga sangat penting dalam penatalaksanaan pasien (Durand, 2007).


(23)

Penelitian yang dilakukan Ayuso Guitereez (1997) menjelaskan bahwa 73% penderita skizofrenia memerlukan perawatan kembali karena ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Keluarga dapat membantu kepatuhan pasien minum obat dengan memperhatikan jadwal pasien minum obat dan mengamati efek samping yang terjadi pada pasien. Tingkat perawatan kembali biasanya digunakan sebagai indikator dalam bidang pelayanan kesehatan dan digunakan untuk menentukan efektifitas penatalaksanaan selama rawat inap (Tattan, 2001).

Di RSJ Tampan Propinsi Riau dari laporan tahun 2005 di dapat bahwa 86,6% pasien skizofrenia adalah rawat inap ulang. Sedangkan di klinik Psikiatri RSCM pada Juli 1987 sampai dengan Juni 1988, didapatkan data bahwa 46,3% pasien skizofrenia di rawat ulang. Sementara data dibeberapa rumah sakit lain seperti dikutip oleh Slamet adalah sebagai berikut, di RSJ Jakarta rawat ulang penderita gangguan jiwa adalah 46% (Indrati, 1990), di RSJ Semarang adalah 56,4% dan pada Instalasi Rawat Inap IV Perawatan Jiwa RSU dr Sardjito adalah 61%. Penelitian terakhir pada tahun 2003 oleh Slamet, di RS yang sama menunjukkan peningkatan perawatan kembali pasien skizofrenia menjadi 69,9% (Andriza, 2007).

Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara tahun 2007, pasien gangguan jiwa yang dirawat berjumlah 1.487 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia adalah sebanyak 1.283 orang (88,15%). Pada tahun 2008 pasien gangguan jiwa yang di rawat berjumlah 1.794 orang, dari jumlah tersebut penderita skizofrenia sebanyak 1.643 orang (90,09%). Dari 1643 orang pasien skizofrenia yang dirawat pada tahun 2008 sebanyak 1593


(24)

orang (96,76%) mengalami remisi, dan dari jumlah tersebut penderita yang mengalami kekambuhan sebanyak 956 orang penderita (65%). Data diatas menunjukkan adanya peningkatan pasien dengan skizofrenia dari tahun ke tahun di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dan juga menunjukkan tingginya angka kekambuhan pada pasien skizofrenia (Medical Record RSJ Daerah Provinsi Sumatera Utara, 2008).

Dalam menjalankan tugas di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, peneliti mengamati bahwa perawatan kembali pasien skizofrenia merupakan salah satu indikator untuk menentukan efektivitas penatalaksanaan selama rawat inap. Selain itu, perawatan pasien skizofrenia memerlukan komponen pembiayaan yang besar dari seluruh biaya penatalaksanaan untuk pasien skizofrenia. Penatalaksanaan pasien skizofrenia secara paripurna mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan pasien, lingkungan keluarga dan juga masyarakat sekitarnya adalah penting. Pasien skizofrenia mengalami gangguan proses pikir, perasaan dan perilaku, sehingga peranan keluarga sangat penting dalam mendeteksi gejala yang dialami pasien, mengontrol pengobatan yang harus dijalani pasien bahkan ketika pasien harus menjalani rawat inap karena gejala penyakitnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Ketidakpatuhan Pengobatan dan Stigma Pada Keluarga Dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara”.


(25)

Belum ada data tentang hubungan ketidakpatuhan pengobatan dan stigma yang dialami keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.2Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah untuk mengetahui “Hubungan Ketidakpatuhan Pengobatan dan Stigma pada Keluarga Dengan Perawatan Kembali Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara”.

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan ketidakpatuhan pengobatan dan stigma pada keluarga terhadap perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

1.4 Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah adanya hubungan signifikanantaraketidakpatuhan pengobatan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.


(26)

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

a. Pengembangan ilmu kedokteran jiwa terhadap penatalaksanaan pasien skizofrenia.

b. Verifikasi tentang teori ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali (Rehospitalisasi) pasien skizofrenia.

1.5.2 Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di dalam perencanaan kebijakan pelayanan khususnya sebagai pertimbangan dalam perencanaan farmakoterapi.

b. Bagi keluarga

Menambah pengetahuan keluarga tentang skizofrenia dan destigmatisasi keluarga untuk mencegah perawatan kembali pasien skizofrenia.

c. Bagi masyarakat

Masyarakat mengerti tentang skizofrenia dan dapat memberi dukungan untuk mengurangi stigma yang dapat mencegah kekambuhan sehingga dapat mengurangi frekwensi perawatan kembali pasien skizofrenia.


(27)

d. Bagi Rumah Sakit Jiwa

Dapat melakukan program pelatihan dan edukasi bagi keluarga serta melakukan program integrasi puskesmas agar kasus kasus gangguan jiwa dapat terdeteksi secara dini dan pelayanan kesehatan jiwa dapat dijangkau oleh masyarakat luas.

e. Bagi Pemerintah

Sebagai masukan agar meningkatkan taraf kehidupan sosial masyarakat dengan memberikan lapangan pekerjaan yang tepat khususnya bagi pasien skizofrenia yang sudah remisi sempurna.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Konsep Skizofrenia

2.1.1 Defenisi

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif (Buchanan, 2005).

Skizofrenia adalah suatu sindroma klinis yang bervariasi, dan sangat mengganggu. Manifestasi yang terlibat bervariasi pada setiap individu dan berlangsung sepanjang waktu. Pengaruh dari penyakit skizofrenia ini selalu berat dan biasanya dalam jangka panjang (Durand, 2007).

Skizofrenia berdasarkan kriteria diagnostik dari DSM-IV-TR, merupakan suatu gangguan jiwa berat yang ditandai dengan adanya: a) dua atau lebih gejala


(29)

karakteristik, masing-masing ada secara bermakna dalam periode satu bulan, berupa waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi atau gejala negatif. b) adanya disfungsi sosial atau pekerjaan. c) Durasi sekurangnya enam bulan. d) Bukan disebabkan oleh gangguan mood atau skizoafektif. e) Bukan disebabkan oleh gangguan zat atau kondisi medis umum. f) tidak ada pengaruh dengan gangguan pervasif. Menurut Diagnostik and Statistical Manual of Mental Disorders – IV – Text Revised (DSM-IV-TR) definisi skizofrenia menekankan pada kronisitasnya dengan memasukkan kriteria, gejala psikosis berlangsung selama jangka waktu minimum satu bulan dan kemunduran fungsi berlangsung minimum selama enam bulan (Sadock, 2003).

2.1.2 Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa. Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun. Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku menyerang.


(30)

Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri (Kazadi, 2008).

2.1.3 Etiologi

Penyebab pasti skizofrenia sampai saat ini belum diketahui. Ada beberapa faktor yang berperan dalam terjadinya skizofrenia. Bukti kuat dari penelitian pada kembar identik menyimpulkan bahwa faktor genetik memberikan kontribusi yang besar pada etiologi skizofrenia. Walaupun demikian sampai saat ini belum diketahui secara pasti gen yang terlibat pada skizofrenia dan juga belum diketahui bentuk kontribusinya (Tattan et.al, 2001).

Penelitian terhadap faktor risiko mendapatkan bahwa sejumlah faktor lingkungan juga berpotensi memberikan kontribusi pada perkembangan skizofrenia. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa berbagai jaras neurotransmiter terlibat pada dasar biologi gangguan ini.

Faktor lingkungan dinyatakan berhubungan dalam timbulnya gangguan skizofrenia serta dapat menjadi pencetus pada suatu predisposisi genetik (Sena, 2003).

Telah bertahun-tahun dilakukan penelitian tentang etiologi gangguan skizofrenia, namun sampai saat ini belum ditemukan etiologi pasti gangguan ini (Durand, 2007).


(31)

2.1.4 Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu. Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagaian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan (Sadock, 2003).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh. (Buchanan, 2005).


(32)

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan skizofrenia masih merupakan tantangan besar walaupun perkembangan antipsikotik dan intervensi keluarga serta sosial telah mengalami kemajuan pesat. Meskipun secara relatif hasil yang diperoleh dapat menurunkan lama perawatan di rumah sakit melalui pembinaan masyarakat dan penggunaan psikofarmaka, namun ternyata angka kekambuhan pasien dengan skizofrenia masih tetap tinggi (Fleischacker, 2003).

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia perlu mempertimbangkan tiga hal berikut ini :

1. Pasien skizofrenia mempunyai profil psikologik individual, familial dan sosial yang unik. Penentuan bentuk pengobatan yang akan diberikan memperhatikan bagaimana skizofrenia mempengaruhi pasien dan bagaimana pengobatan akan membantu pasien.

2. Berbagai penelitian menyatakan bahwa 50% kejadian pada kembar monozigotik menunjukkan kemungkinan faktor lingkungan dan psikologik yang berperan. Sehingga penatalaksanaan farmakologik hanya ditujukan pada ketidakseimbangan kimiawi sedangkan masalah nonbiologi membutuhkan strategi nonfarmakologik. 3. Skizofrenia merupakan kelainan yang kompleks sehingga pendekatan terapi

tunggal tidak memadai untuk menghadapi berbagai masalah yang ada.

Sejak dua dekade diperkenalkannya obat antipsikotik dan dehospitalisasi pasien, maka meningkatlah kecenderungan untuk mengembalikan pasien skizofrenia ke masyarakat. Banyak pasien skizofrenia yang kembali ke masyarakat ini masih


(33)

merupakan beban bagi keluarganya. Beban ini berupa rasa malu mempunyai anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa. Lingkungan masyarakat di sekitar pasien pun sering berpengaruh dalam kehidupan pasien tersebut.

Saat ini, baik di rumah sakit maupun di masyarakat, obat antipsikotik masih merupakan obat utama untuk pasien dengan skizofrenia. Telah dibuktikan kemanjuran obat antipsikotik pada penatalaksanaan episode psikotik akut dan mencegah kekambuhan, namun demikian efektifitas obat-obat ini masih kontroversi. Sekitar 40% responsnya buruk terhadap antipsikotik konvensional dan selanjutnya akan menunjukkan gejala negatif. Gejala-gejala ini bervariasi dari sedang sampai buruk (Kinon, 2003).

Pengobatan farmakologik skizofrenia terus berkembang sejak pertama ditemukan klorpromazin sebagai obat antipsikotik yang efektif. Antipsikotik yang bekerja seperti klorpromazin dengan kemampuan sebagai antagonis reseptor dopamin2 (D2) dikenal dengan sebutan antipsikotik konvensional atau generasi

pertama. Antipsikotik konvensional ini efektif mengatasi gejala positif skizofrenia, namun terhadap gejala negatif dan defisit kognitif efeknya terbatas. Antipsikotik generasi pertama biasanya menimbulkan efek samping ekstrapiramidal (EPS), berupa parkinsonism, akatisia dan tardive dyskinesia (Sena, 2003).

Suatu variasi modalitas pengobatan dibutuhkan untuk perawatan yang menyeluruh pada pasien skizofrenia. Obat-obat antipsikotik merupakan dasar pengobatan, penggunaannya untuk meminimalkan beratnya gejala skizofrenia. Untuk mencapai dan mempertahankan pemulihan fungsi dan hilangnya gejala skizofrenia


(34)

dibutuhkan pula intervensi lain termasuk psikoterapi individual dan kelompok, terapi keluarga, case management, perawatan di rumah sakit, kunjungan rumah dan pelayanan rehabilitasi sosial dan vokasional (Sadock, 2003).

Dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia digunakan pendekatan eklektik holistik, bahwa manusia harus dipandang sebagai suatu keseluruhan yang paripurna, termasuk adanya faktor lingkungan yang terdekat yaitu keluarga. Keluarga berperan dalam pemeliharaan dan rehabilitasi anggota keluarga yang menderita skizofrenia (Durand, 2007).

Pemahaman konsep skizofrenia tentang defenisi, etiologi, perjalanan penyakit dan penatalaksanaan skizofrenia akan memudahkan peneliti didalam menjelaskan hasil penelitian yang akan dilakukan.

2.2Perawatan Kembali

Rawat Inap di Rumah Sakit (RS) terutama dilakukan atas indikasi keamanan pasien skizofrenia karena adanya ide bunuh diri atau mencelakakan orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan, perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu Rawat Inap RS diperlukan untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik, stabilisasi pemberian medikasi (Sadock, 2003; Durand, 2007).

Perjalanan penyakit skizofrenia dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya adalah pengobatan dan faktor psikososial berupa dukungan keluarga serta lingkungan sosial sehari-harinya. Pemahaman keluarga dan lingkungan pada pasien skizofrenia


(35)

akan sangat mempengaruhi bagaimana mereka berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Stigma yang dialami keluarga pasien skizofrenia dapat menimbulkan reaksi yang beragam mulai dari ekspresi emosi yang tinggi yang dapat mengakibatkan kekambuhan dan usaha untuk mengembalikan pasien skizofrenia ke rumah sakit. Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif merefleksikan perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau lingkungannya. Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara lepas rawat dari perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode tertentu (Pratt, 2006)

Keluarga pasien skizofrenia sebagai pendamping yang mengamati dan merasakan akibat perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pada pasien atau sekitarnya berperan dalam menentukan apakah pasien akan menjalani rawat inap atau tetap bersama keluarga di rumah (Fenton, 2005).

Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun bentuk subtipe penyakitnya. Hampir separuh pasien skizofrenia yang diobati dengan pelayanan standar akan kambuh dan membutuhkan perawatan kembali dalam dua tahun pertama. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga oleh stress dalam kehidupan, seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan pasien dengan skizofrenia (Lauriello, 2005).


(36)

Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan mencegah kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit, kekambuhan, dan memperpanjang waktu antara kekambuhan. (Geddes J, 2008; Lauriello, 2005).

Perawatan kembali merupakan bagian komponen perawatan pasien skizofrenia yang memberi kontribusi pada beban pembiayaan langsung.

Penelitian pada orang-orang dengan penyakit mental serius dan menetap di Minnesota, didapatkan tingkat perawatan kembali yang lebih rendah secara bermakna pada daerah rural dibandingkan tingkat perawatan kembali pada daerah dengan kepadatan penduduk yang lebih tinggi. Advokasi, pembuat keputusan dan penelitian dalam bidang kesehatan mental terus menunjukkan keprihatinan pada konsekuensi rawat inap psikiatrik yang lama atau sering (Kazadi, 2008; Kane, 2008).

Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai kriteria kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, bagaimanapun parameter ini cukup signifikan dalam beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan keluarganya, seringkali mengakibatkan perawatan kembali /rehospitalisasi dan membengkaknya biaya pengobatan. Lebih jauh lagi, pertanyaan apakah dan berapa lama pencegahan kekambuhan dengan menggunakan antipsikotik dapat diandalkan.

Di sisi lain, keuntungan dengan melanjutkan penggunaan antipsikotik dalam mencegah eksaserbasi klinis dari skizofrenia merupakan suatu penegasan, menunjukkan perbedaan yang besar secara signifikan dalam hal angka kekambuhan


(37)

antara pengobatan aktif dan placebo. Pada saat ini angka kekambuhan dapat diturunkan dari 75% menjadi 15% dengan pengobatan antipsikotik. Artinya, tidak hanya membuat perbaikan yang sangat besar dalam kualitas hidup pasien, akan tetapi secara langsung telah menyelamatkan milyaran dolar uang negara (Ayuso, 1997).

Prognosa penyakit skizofrenia dipengaruhi beberapa faktor diantaranya awitan, faktor genetik, keadaan lingkungan, kepribadian dan frekwensi kekambuhan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa semakin sering seorang penderita mengalami kekambuhan, maka semakin meningkat pula disabilitas yang terjadi pada dirinya membuat penderita semakin tergantung pada keluarganya yang juga akan menimbulkan beban bagi keluarga dan lingkungan.

Pemahaman mengenai teori perawatan kembali akan menjelaskan frekwensi kekambuhan yang menyebabkan pasien menjalani perawatan berulang di rumah sakit.

2.3Ketidakpatuhan Terhadap Pengobatan

Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada skizofrenia adalah ketidakpatuhan terhadap pengobatan.

Menurut data Ayuso-Guiterrez, banyak sekali pasien skizofrenia yang mengalami eksaserbasi klinis dan membutuhkan perawatan akibat tidak menuruti peñatalaksanaan yang diberikan.

Menurut Kinon et al, kriteria ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini :


(38)

1. Pada pasien rawat jalan atau rawat inap dalam 72 jam menunjukkan > dua episode dari :

a. Menolak obat yang diresepkan baik secara aktif atau pasif.

b. Adanya bukti atau kecurigaan menyimpan atau meludahkan obat yang diberikan.

c. Menunjukkan keragu-raguan terhadap obat yang diberikan.

2. Pasien rawat inap dengan riwayat tidak patuh pada pengobatan sewaktu rawat jalan minimal tidak patuh selama 7 hari dalam sebulan.

3. Pasien rawat jalan dengan riwayat ketidakpatuhan yang sangat jelas seperti sudah pernah dilakukan keputusan untuk mengawasi dengan ketat oleh orang lain dalam waktu sebulan.

4. Pasien rawat inap yang mengatakan dirinya tidak dapat menelan obat walaupun tidak ditemukan kondisi medis yang dapat mengakibatkan hal tersebut.

2.3.1. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Efek Samping

Pasien yang tidak mengalami efek samping terhadap pengobatan kemungkinan lebih mau melanjutkan pengobatan. Efek samping obat neuroleptik yang tidak menyenangkan sebaiknya diperhitungkan sebab dapat berperan dalam menurunkan kepatuhan. Efek samping yang umum dan penting adalah efek extrapiramidal berupa parkinsonism, akatisia, dan diskinesia, gangguan seksual dan penambahan berat badan. Penderita skizofrenia yang menggunakan antipsikotik atipikal lebih mau meneruskan pengobatan dibandingkan penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional (Lauriello, 2005; Amir N, 2004).


(39)

Masalah tambahan dalam pengobatan skizofrenia adalah kebanyakan obat-obat antipsikotik kerja obat-obatnya (onset of action) lambat, sehingga pasien tidak merasakan dengan segera efek positif dari antipsikotik. Malahan kadang-kadang pasien lebih dahulu merasakan efek samping sebelum efek obat terhadap penyakitnya tersebut. Begitu juga dengan pasien skizofrenia yang sudah dalam remisi biasanya relaps tidak langsung segera terjadi bila pengobatan dihentikan. Kekambuhan dapat terjadi beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan setelah obat antipsikotik dihentikan, sehingga penghentian pengobatan tidak terlalu berpengaruh dengan memburuknya keadaan pasien.

Pasien mungkin juga merasakan obat-obatan tersebut tidaklah seefektif atau bahkan berbahaya tidak seperti yang mereka harapkan. Hal ini menjadi tanggung jawab dokter dalam melakukan pengobatan untuk melengkapi pasien dengan pandangan yang seimbang dan realistik mengenai profil keuntungan dan kerugian antipsikotik yang akan diberikan (Fleischacker, 2003).

Beragamnya obat yang diresepkan juga memiliki peran penting dalam kepatuhan. Pasien yang menerima regimen pengobatan yang kompleks, misalnya mengkonsumsi beberapa obat dengan waktu yang berbeda dalam satu hari atau mengkonsumsi dua macam atau lebih obat-obatan, mempunyai permasalahan dalam ketaatan terhadap obat yang diberikan dibanding pasien yang hanya mengkonsumsi satu macam obat dengan dosis tunggal.

Cara pemberian obat dapat juga mempengaruhi kepatuhan. Namun hasil ketidakpatuhan yang sama diperoleh pada pasien yang tidak patuh terhadap


(40)

pemberian obat oral yang diganti dengan depot neuroleptik. Hal ini yang sering terjadi kesalahpahaman bahwa pemberian obat depot akan meningkatkan kepatuhan. Namun penggunaan antipsikotik kerja lama dapat mengatasi kepatuhan yang parsial sehingga dapat memperbaiki outcome penyakit.

Dosis minimum efektif yang telah direkomendasikan dalam suatu konsensus adalah sebagai berikut : (Ayuso, 1997)

1. Haloperidol 2,5 mg/hari.

2. Fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari.

3. Fluphenazine Decanoate 6,5 -12,5 mg i.m tiap 2 minggu. 4. Haloperidol Decanoate 50-60 mg i.m tiap 4 minggu.

Bila dosis di bawah (kurang dari) yang tersebut di atas, maka risiko kekambuhan akan meningkat secara signifikan.

2.3.2 Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Pasien

Beberapa karakteristik demografi telah dihubungkan dengan perilaku patuh. Usia masih merupakan masalah yang kontroversial dalam hubungannya dengan ketidakpatuhan. Tampaknya pasien-pasien yang berusia lanjut mempunyai permasalahan tentang kepatuhan terhadap rekomendasi yang diberikan. Di kalangan usia muda, terutama pria cenderung mempunyai tingkat kepatuhan yang buruk terhadap pengobatan. Alasan untuk hal ini kemungkinan bahwa pada dewasa muda sehubungan dengan segala bentuk terapi atau dalam mengatur perjanjian, mereka menganggap dirinya istimewa dan berbeda dengan yang lain. Sedangkan pada


(41)

orangtua, kemungkinan memiliki defisit memori sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan. Selain itu, pada orangtua sering mendapat berbagai macam obat-obatan sehubungan dengan komorbiditas fisik. Wanita cenderung lebih patuh terhadap pengobatan dibandingkan pria, begitu juga wanita muda menunjukkan kepatuhan yang lebih baik dibandingkan yang tua (Fleischacker, 2003).

Keadaan penyakit pasien sendiri juga mempunyai hubungan yang kuat dalam penerimaan terhadap pengobatan. Pasien yang merasa tersiksa atau kwatir akan diracuni, akan merasa enggan untuk menerima pengobatan (Amir N, 2004).

Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya, dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah penyakit yang kurang penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit-penyakit lain seperti diabetes, epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi. begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka pasien akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan.

Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam hubungannya terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati, berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat


(42)

positif. Sikap negatif terhadap pengobatan berhubungan dengan simtom positif dan efek samping. Dalam konteks ini dapat dipahami bahwa semakin lama pasien akan berubah sikapnya terhadap pengobatan.

Terakhir adalah masalah keuangan. Masalah keuangan dapat juga mengganggu kepatuhan pasien. Beberapa pasien mungkin tidak mampu untuk membeli obat atau walaupun mampu jarak tempuh dan trnsportasi dapat menjadi penghalang (Fleischacker, 2003).

2.3.3. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Dokter

Hubungan terapetik yang dibangun dokter dengan pasien merupakan suatu landasan atau dasar dari kepatuhan terhadap pengobatan. Bagaimana menunjukkan bahwa dokter memiliki perhatian kepada pasien dan dokter mau meluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhan pasien adalah penting. Terciptanya suatu hubungan yang baik merupakan persyaratan untuk masuk kedalam ikatan terapetik dan memberikan informasi adalah hal yang penting dalam hubungan ini. Informasi dapat diberikan pada pasien pada pasien ataupun keluarga baik dalam jadwal konsultasi ataupun dalam kelompok psikoedukasi. Pasien dan keluarga diberi informasi tentang penyakitnya dan rencana pengobatan yang akan dilakukan. Psikoedukasi telah menunjukkan dalam meningkatkan kepatuhan dan secara signifikan mengurangi angka relaps. Melengkapi informasi juga termasuk mendiskusikan perencanaan pengobatan baik kepada pasien dan keluarga dilibatkan dalam proses perencanaan pengobatan penyakitnya (Fleischacker, 2003).


(43)

Adanya efek samping dapat memunculkan ketidakpatuhan dan sering menimbulkan kesalahpahaman (Amir N, 2004).

Penting juga bagi dokter agar dapat menepati jadwal pertemuan selanjutnya. Pasien yang sudah menerima jadwal pertemuan berikutnya dan dokter akan menepati dan untuk tidak menjadwal ulang walaupun sangat sibuk. Dokter juga dapat melakukan perubahan dalam berkomunikasi dengan pasien baik itu dengan gaya atau bahasa yang dapat dimengerti pasien sehingga dapat tercipta pengaruh terapetik yang baik yang nantinya dapat meningkatkan kepatuhan.

Klinisi juga harus mengikuti pedoman terapi yang direkomendasikan. Dengan mengikuti pedoman yang telah ditentukan maka pengobatan akan menjadi berguna, rasional dan gampang dimengerti oleh pasien dan mereka tidak menjadi bingung bila mereka mencoba mencari pendapat dokter lain (Fleischacker, 2003; Durand, 2007).

2.3.4. Ketidakpatuhan Sehubungan Dengan Lingkungan

Dukungan dan bantuan merupakan variabel penting dalam kepatuhan terhadap pengobatan. Pasien yang tinggal sendirian secara umum mempunyai angka kepatuhan yang rendah dibandingkan mereka yang tinggal dalam lingkungan yang mendukung. Sebagai kemungkinan lain, sikap negatif dalam lingkungan sosial pasien terhadap pengobatan psikiatri atau terhadap pasien sendiri dapat mempengaruhi kepatuhan. Interaksi sosial yang penuh dengan stress dapat mengurangi kepatuhan yang biasanya terjadi bila pasien tinggal dengan orang lain. Sebagai contohnya situasi emosional


(44)

yang tinggi dari keluarga atau pihak lain yang tidak mau memperhatikan sikap positif pasien terhadap pengobatan (Fleischacker, 2003).

Tidak kalah penting faktor yang mempengaruhi perilaku pasien terhadap kepatuhan adalah pengaruh obat terhadap penyakitnya. Sangat penting untuk menambah sikap yang positif terhadap pengobatan pasien. Sebagai dokter kadang-kadang melupakan hal tersebut bahwa pasien memerlukan perhatian dan perlu dibantu terus menerus.

Lingkungan terapeutik juga harus diperhitungkan dalam pasien rawat inap dimana teman sekamar pasien pernah mengalami pengalaman yang buruk terhadap satu jenis obat dan menceritakannya maka akan merubah sikap pasien terhadap obat yang sama (Fleischacker, 2003).

2.4Stigma Pada Keluarga

Stigma adalah label dari masyarakat yang memandang negatif pasien dengan skizofrenia karena dianggap sebagai penyakit yang memalukan dan membawa aib. Bagi masyarakat, penderita dengan skizofrenia dirasakan sebagai ancaman dan sering membuat resah karena dianggap sering berperilaku yang membahayakan. Hal ini membuat penderita skizofrenia dan juga keluarga sering dikucilkan, mengalami isolasi sosial dan diskriminasi dari masyarakat sekitarnya (Fenton, 2005).

Adanya stigma terhadap penyakit skizofrenia menimbulkan beban, berupa beban subyektif maupun beban obyektif bagi penderita dan keluarganya. Bagi penderita, hal tersebut menjadikan halangan baginya untuk mendapat perlakuan yang


(45)

layak, kesulitan dalam mencari pekerjaan, dan sebagainya. Sebuah penelitian di Singapura memperlihatkan, terdapat 73% responden yang mengalami kesulitan dalam pekerjaan, 52% mengalami rendah diri dan 51% dimusuhi akibat menderita skizofrenia (Irmansyah, 2001).

Sementara bagi keluarganya, memiliki anggota keluarga yang menderita skizofrenia menimbulkan aib bagi keluarga dan membuat mereka mengalami isolasi sosial. Karenanya, penderita skizofrenia sering kali disembunyikan dan dikucilkan agar tidak diketahui oleh masyarakat. Hal ini justru akan memberatkan gangguan yang dialami sehingga tentunya juga akan memberatkan bagi keluarga yang merawatnya (Durand, 2007).

Secara garis besar terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi stigma pada pasien dengan skizofrenia. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

1. Sikap keluarga dan masyarakat yang menghindar

Keluarga dan masyarakat pada umumnya tidak dapat menerima penyimpangan perilaku, persepsi dan pikiran pada pasien dengan skizofrenia. Penyimpangan tersebut tidak dianggap sebagai gejala penyakit, berbeda dengan penyimpangan fisik yang dapat dipahami dan diterima sebagai penyakit.

2. Konsep yang salah dalam memberikan label

Label yang diberikan pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seringkali membedakannya dari kelompok lain. Ungkapan yang digunakan biasanya adalah perbedaan antara kita dan mereka. Masyarakat memberikan label negatif terhadap pasien dengan skizofrenia, seperti : gila, tidak waras dan sebutan sejenis lainnya.


(46)

Ungkapan ini memberi kesan negatif daripada menggambarkan keadaan penyakitnya.

3. Media Massa

Media massa, disatu sisi turut mempengaruhi sikap negatif perorangan dan masyarakat terhadap pasien skizofrenia. Di sisi lainnya media massa merupakan faktor yang vital sebagai sumber informasi utama dan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap pasien skizofrenia. 4. Profesi

Sartorius meyakini bahwa profesi medis, terutama psikiater, berkontribusi terhadap stigma dengan menggunakan label diagnosis secara kurang hati-hati dan memberi pengobatan yang menimbulkan efek samping, misalnya EPS. Efek samping yang dialami pasien memberi kesan bahwa pasien mengalami sakit yang lebih berat daripada gejala penyakit sebenarnya.

5. Kekambuhan

Pasien skizofrenia sering mengalami kekambuhan, sehingga menyababkan masyarakat beranggapan bahwa penyakit skizofrenia tidak dapat disembuhkan. Anggapan ini berakibat pasien yang telah mendapat label tersebut akan melekat terus dan menambah stigma pada penderitanya.

6. Pasien

Pasien skizofrenia mengalami gejala yang menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-harinya seperti pasien kurang memperhatikan kebersihan dirinya dan menarik diri.


(47)

7. Faktor Budaya

Budaya mempengaruhi persepsi keluarga terhadap gejala yang dialami pasien skizofrenia. Di beberapa daerah pasien dengan skizofrenia sering dikucilkan atau dibawa berobat ke dukun atau paranormal karena dianggap bahwa penyakit mental diakibatkan karena kutukan atau disebabkan kekuatan jahat.

8. Faktor Edukasi

Keluarga dengan tingkat edukasi yang relatif tinggi mengalami efek stigma yang lebih besar.

Stigma yang diinternalisasikan ke dalam dirinya tampak pada pasien sebagai keyakinan bahwa mereka tidak sempurna dan tidak pantas. Manifestasi stigma pada keluarga, dapat berupa dipinggirkan oleh lingkungan dan masyarakat dengan diskriminasi dan pembatasan integrasinya dalam masyarakat (Amir N, 2001).

Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia memang bukanlah hal yang mudah. Namun bantuan keluarga sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan pasien skizofrenia. Stigma yang dialami keluarga dan pasien dengan skizofrenia merupakan problem yang menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga. Hal ini membuat ekspresi emosi tinggi dalam keluarga yang dapat mempengaruhi kekambuhan pasien.Berbagai kalangan berpendapat stigma dapat bermanifestasi dalam bentuk keinginan memasukkan anggota keluarga yang menderita gangguan mental berat ke rumah sakit jiwa. Di kalangan lain dapat saja terjadi dalam bentuk lain seperti sikap menghindar bertemu dengan psikiater karena takut “dinilai tidak normal” (Irmansyah, 2001).


(48)

Teori tentang stigma pada keluarga diatas digunakan sebagai variabel yang akan diteliti untuk mengetahui hubungannya dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara.

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : Sadock BJ, 2003; Buchanan RW, 2005; Durand VM, 2007 Skizofrenia

dalam keadaan remisi

Skizofrenia

Genetik / Herediter

Biologis : - Neurotransmiter - Kerusakan

struktur otak - Abnormalitas

perkembangan saraf

Psikososial / lingkungan

Terapi somatik :

Perawatan kembali

Terapi psikososial /rehabilitasi


(49)

VARIABEL BEBAS (INDEPENDEN)

VARIABEL TERGANTUNG

(DEPENDEN)

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.2. Kerangka Konsep

X1 Ketidakpatuhan terhadap pengobatan

yang diamati keluarga Y1

Perawatan kembali Frekwensi rawat

inap dalam 2 tahun terakhir

PASIEN SKIZOFRENIA

X2

Stigma yang dialami Keluarga


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei Explanatory Research dengan desain cross sectional yang bertujuan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian melalui pengujian hipotesis (Sudigdo, 2002) yaitu untuk mengetahui hubungan ketidakpatuhan terhadap pengobatan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali yaitu frekwensi rawat inap dalam dua tahun terakhir.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, dengan alasan perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang apapun bentuk sub tipe penyakitnya. Hampir separuh pasien skizofrenia yang diobati dengan pelayanan standar akan kambuh dan membutuhkan perawatan kembali. Kekambuhan pada pasien skizofrenia dapat disebabkan karena ketidakpatuhan terhadap pengobatan, stigma pada keluarga dan tidak adanya dukungan keluarga. Dukungan keluarga sangat penting dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia.

3.2.2. Waktu Penelitian


(51)

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien skizofrenia yang mengalami kekambuhan yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam satu tahun yang berjumlah 956 orang.

Sampel dalam penelitian ini adalah keluarga pasien skizofrenia yang menjalani perawatan kembali di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang berjumlah 87 orang.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling yaitu dengan consecutive sampling yaitu pemilihan sampling yang ditetapkan berdasarkan kriteria penelitian dalam kurun waktu tertentu sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. Semua subjek yang datang memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan dipenuhi. Besar sampling ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Sudigdo, 2002)

N = 2

2

.

.

d

q

p

Z

n = besar sampel

z = kurva normal yang memotong area sisi (tail) atau 1-tingkat kepercayaan sebesar 95% = 1,96

p = proporsi yang diestimasi suatu atribut yang ada dalam suatu populasi = 65% = 0,65


(52)

d = ketepatan presesi = 0,05

N =

2 2 ) 05 , 0 ( 35 , 0 65 , 0 ) 96 , 1

( x x

= 87

Berdasarkan perhitungan diatas maka jumlah sampel adalah 87 orang.

Pasien di bangsal perawatan didata dari catatan medis yang memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia dan menjalani perawatan kembali. Selanjutnya pada status, diberi catatan serta dilengkapi dengan kuesioner. Kepada perawat diruang perawatan diberi petunjuk untuk menanyakan apabila ada keluarga yang datang yang merupakan keluarga dekat yang merawat dan mendampingi pasien selama ini , serta kontak minimal 10 jam dalam seminggu. Keluarga tersebut dimintakan kesediaannya untuk menjadi responden. Apabila kriteria tersebut terpenuhi dan keluarga bersedia menjadi responden, perawat akan menghubungi peneliti untuk dijadikan sampel penelitian.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung yang berpedoman pada kuesioner yang telah disusun dan melakukan wawancara kepada keluarga pasien skizofrenia yang mencakup variabel independen yaitu : ketidak patuhan pengobatan, stigma pada keluarga, dengan variabel dependen perawatan kembali yaitu frekwensi rawat inap dalam dua tahun terakhir.

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dan catatan atau dokumen di Medical Record di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara yang relevan dengan tujuan penelitian.


(53)

3.4.1. Uji Validitas

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevaliditasannya atau kesahihan sesuatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Riduwan, 2005). Uji validitas instrumen penelitian yang digunakan adalah validitas konstruksi dengan mengetahui nilai total setiap item pada analisis reliabilitas yang tercantum pada nilai correlation item. Suatu pertanyaan dikatakan valid atau bermakna sebagai alat pengumpulan data bila korelasi hasil hitung (r-hitung) lebih besar dari angka kritik nilai korelasi (r-tabel), pada taraf signifikansi 95% (Riduwan, 2005). Nilai r-tabel dalam penelitian ini untuk sampel pengujian 30 keluarga pasien skizofrenia adalah sebesar 0,361, maka ketentuan dikatakan valid, jika: Nilai Hitung variabel > 0,361 dikatakan valid, dan Nilai r-Hitung variabel < 0,361 dikatakan tidak valid.

3.4.2. Uji Reliabilitas

Uji Reliabilitas bertujuan untuk melihat bahwa sesuatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Apabila datanya memang benar dan sesuai kenyataan, maka berapa kalipun diambil tetap akan sama (Riduwan, 2005). Teknik yang dipakai untuk menguji kuesioner penelitian, adalah teknik Alpha Cronbach yaitu dengan menguji coba instruemen kepada sekelompok responden pada satu kali pengukuran, juga pada taraf 95% (Riduwan, 2005). Nilai r-Tabel dalam penelitian ini untuk sampel


(54)

pengujian 30 keluarga pasien skizofrenia adalah sebesar 0,361, maka ketentuan dikatakan reliabel, jika : nilai r-Hitung variabel > 0,361 dikatakan reliabel, dan nilai r-Hitung variabel < 0,361 dikatakan tidak reliabel.

Hasil Uji Kualitas Data

Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas

Variabel Butir CITC Status

Kepatuhan

P25 1 0,629 Valid

P26 2 0,707 Valid

P27 3 0,438 Valid

P28 4 0,671 Valid

Stigma

P1 1 0,563 Valid

P2 2 0,582 Valid

P3 3 0,498 Valid

P4 4 0,572 Valid

P5 5 0,812 Valid

P6 6 0,761 Valid

P7 7 0,669 Valid

P8 8 0,572 Valid

P9 9 0,698 Valid

P10 10 0,503 Valid

P11 11 0,506 Valid

P12 12 0,434 Valid

P13 13 0,825 Valid

P14 14 0,601 Valid

Berdasarkan tabel diatas, nilai Corrected Item-Total Correlation untuk tiap-tiap butir item variabel > dari nilai r tabel sebesar 0,361 (df = 30-2 ; 0,05), maka variabel dinyatakan valid.


(55)

Tabel 3.2. Hasil Uji Reliabilitas

Variabel Butir Cronbach Alpha

(r hasil) r tabel

Kepatuhan

P25 1 0,733 0,361

P26 2 0,685 0,361

P27 3 0,822 0,361

P28 4 0,710 0,361

Stigma

P1 1 0,900 0,361

P2 2 0,898 0,361

P3 3 0,902 0,361

P4 4 0,900 0,361

P5 5 0,889 0,361

P6 6 0,892 0,361

P7 7 0,895 0,361

P8 8 0,900 0,361

P9 9 0,894 0,361

P10 10 0,902 0,361

P11 11 0,902 0,361

P12 12 0,903 0,361

P13 13 0,891 0,361

P14 14 0,898 0,361

Berdasarkan dari tabel diatas, nilai Cronbach Alpha dari masing-masing variabel > dari nilai r tabel 0,361 (df = 30-2 ; 0,05), dengan demikian setiap butir pertanyaan dari masing-masing kuisioner adalah reliabel.

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

3.5.1. Variabel Independen /data demografik dalam penelitian ini.

a. Keluarga pasien skizofrenia adalah salah seorang anggota keluarga yang merawat pasien, bertanggung jawab terhadap kesehatan pasien dan dapat


(56)

mengambil keputusan berkaitan dengan pengobatan. Dapat tinggal serumah dengan pasien atau berdekatan rumah dan berinteraksi dengan pasien sekurang-kurangnya 10 jam per minggu. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menanda tangani lembar persetujuan responden tertulis. b. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah berbagai perilaku seperti

enggan mencari bantuan, menolak pengobatan, tidak menepati perjanjian yang telah dibuat, kunjungan yang tidak teratur, terminasi dini tanpa seizin dokter pengobatan dan tidak mengikuti nasehat dokter seperti mematuhi penggunaan obat, merobah gaya hidup.

c. Stigma pada keluarga adalah label atau tanda tidak adanya penerimaan sosial pada keluarga pasien skizofrenia dan masyarakat yang memandang negatif penyakit skizofrenia.

d. Umur adalah jumlah tahun hidup yang dihitung sejak tanggal lahir sampai dengan tahun terakhir pada saat penelitian yang dinyatakan dalam tahun e. Pendidikan adalah jenis pendidikan terakhir yang pernah dijalani sampai

akhir jenjang pendidikan.

f. Pekerjaan adalah kegiatan rutin yang dilakukan dan menghasilkan pendapatan

g. Status perkawinan apakah subjek masih dalam ikatan perkawinan (menikah) atau tidak (belum menikah/janda/duda).


(57)

3.5.2. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah frekwensi perawatan dalam dua tahun terakhir yaitu jumlah kunjungan rawat inap yang dialami pasien dalam dua tahun terakhir yang dapat diperolah dari anamnesis pada keluarga dan catatan medis pasien skizofrenia.

3.6 Metode Pengukuran

Variabel independen yaitu ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang diamati keluarga pengukuran dilakukan dengan skala ordinal yang terdiri dari dua kategori yaitu :

1. Patuh skor 1-5

2. Tidak patuh skor 6-12

Variabel independen yaitu stigma pada keluarga pengukuran dilakukan dengan skala ordinal terdiri dari tiga kategori yaitu

1. Ringan skor dibawah nilai rata-rata 1-23 2. Sedang skor sama dengan nilai rata-rata 24 3. Berat skor diatas nilai rata-rata 25-42

Pengukuran variabel dependen menggunakan skala ordinal yang terdiri dari dua kategori yaitu

1. Rendah skor perawatan kembali dibawah atau sama dengan dua kali 2. Tinggi skor perawatan kembali diatas dua kali


(58)

Tabel 3.3. Metode Pengukuran Variabel Independen Dan Dependen

Variabel Cara/alat

ukur

No.

Item Kategori Skor

Skala ukur Ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang diamati keluarga (X1)

Kuesioner 4

1.Patuh 2.Tidak

Patuh

1-5

> 6-12 Ordinal

Stigma pada

keluarga (X2) Kuesioner 14

1.Ringan 2.Sedang 3.Berat

≤ Nilai rata-rata= 1-23 = Nilai rata-rata= 24

≥ Nilai rata-rata= 25-42

Ordinal

Perawatan kembali Rawat inap (Y)

Kuesioner

1 1.Rendah 2.Tinggi

≤ 2 kali > 2 kali

Ordinal

3.7. Metode Analisis Data

Analisis univariat untuk mengetahui gambaran deskriptif dengan menampilkan tabel frekwensi.

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen ketidakpatuhan terhadap pengobatan, stigma pada keluarga dengan variabel dependen perawatan kembali pasien skizofrenia digunakan uji Chi Square pada tingkat kepercayaan 95% (α =0,05), sehingga bila ditemukan hasil analisis statistik p<0,05 maka variabel diatas dinyatakan mempunyai hubungan secara signifikan, dinyatakan dengan persamaan berikut :

(O

ij

- E

ij

)

2

X

2

=

E

ij


(59)

Dimana :

Oij = Frekuensi nilai pengamatan pada sel ij Eij = Frekuensi nilai harapan pada sel ij Derajat bebas = (r-1) (c-1)

r = Banyak baris


(60)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai hubungan ketidakpatuhan pengobatan dan stigma pada keluarga dengan perawatan kembali pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara (RSJD PROVSU). Rumah sakit jiwa ini merupakan satu-satunya rujukan untuk Sumatera Utara yang berdiri sejak tahun 1935 yang berlokasi di Jalan Timur Medan dan pada tahun 1981 di pindahkan ke Jalan Letjen Djamin Ginting KM 10/Tali Air no 21 Padang Bulan Medan. Rumah Sakit Jiwa ini ditetapkan sebagai Rumah Sakit Jiwa Kelas A sesuai dengan SK Menteri Kesehatan No 135/1978 dengan luas areal 38.000 M2 (3,8 Ha) dan luas bangunan 5,709 M2.

Rumah Sakit Jiwa Medan mempunyai tenaga-tenaga dokter ahli jiwa dari FK USU, UISU, baik sebagai Lektor, Lektor Kepala sampai Guru Besar (Profesor) yang profesional dibidangnya sehingga peluang untuk dikembangkannya dengan pelayanan yang lebih luas sangat memungkinkan. Selain itu Rumah Sakit Jiwa Medan ini juga sebagai rumah sakit pendidikan bagi seluruh institusi Akademi Keperawatan, Program Studi Ilmu Keperawatan, Psikologi USU, UMA, FK USU, FK UISU, FK UMI, FK UNAYA Bandar Lampung, FK UNMAL Banda Aceh dan program PPDS (Psikiatri) USU. Khusus menyangkut program PPDS Ilmu Kedokteran Jiwa yang ditunjuk secara nasional sebagai tempat pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI).


(61)

Status kelembagaan Rumah Sakit Jiwa sebagai UPT Pemerintah Provsu, maka upaya mengembangkan perencanaan dan penyediaan segala fasilitas untuk tempat pendidikan akan lebih siap dan cepat dilaksanakan.

4.1.1. Fasilitas

Fasilitas pelayanan yang ada di Rumah Sakit Jiwa Daerah PROVSU saat ini adalah Unit Gawat Darurat, Unit Rawat Jalan, Rawat Inap, Rehabilitasi Medik, Gangguan mental Organik, Anak dan Remaja, Pemeriksaan Kesehatan Jiwa, Psikologi, Fisioterapi, Brain Mapping, Geriatrik, Poli Gigi, Laboratorium Klinik, Narkoba, dan Apotik. Khusus untuk pelayanan rawat inap, Rumah Sakit Jiwa Daerah PROVSU mempunyai 15 ruangan yang terdiri dari Ruang Kelas III 10 bangsal (306 TT) dan kelas II dua bangsal (119 TT), kelas 1 bangsal (20 TT) dan utama satu bangsal (5 TT).

4.1.2. Tenaga Pelayanan Kesehatan Jiwa

Jumlah tenaga pelayanan kesehatan RSJD PROVSU sekitar 261 orang. Dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiater) sekitar 1,9% dan DIII keperawatan jiwa sekitar 5,36%. Tenaga mayoritas adalah DIII keperawatan dan sarjana muda lainnya sebesar 23,75% dan 22,60%, seperti terlihat pada tabel berikut ini :


(62)

Tabel 4.1. Jumlah Tenaga Pelayanan Kesehatan Jiwa Berdasarkan Jenis Pendidikan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2009

No Jenis Pendidikan Jumlah

1 Dokter Umum 9

2 Dokter PPDS 15

3 Dokter Spesialis Penyakit Dalam 1

4 Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa 5

5 Dokter Gigi 4

6 Sarjana Keperawatan 4

7 DIII Keperawatan 62

8 DIII Kebidanan 2

9 DIII Keperawatan Jiwa 14

10 DIII Kesehatan Gigi 2

11 Bidan 4

12 Sekolah Pengatur Rawat Gigi 2

13 Apoteker 3

14 Sarjana Kesehatan Masyarakat 5

15 DIII Gizi 2

16 DI Gizi 4

17 Sarjana Psikologi 2

18 Sarjana Ekonomi 4

19 Sarjana Hukum 1

20 Sarjana Tehnik 1

21 Sarjana lainnya 2

22 Sarjana Muda/DIII Lainnya 59

23 SMA/SMU 15

24 SMEA 6

25 STM 6

26 SMKK 2

27 SPSA 8

28 SMTA Lainnya 6

29 SLTP 3

30 SD 8


(63)

4.1.3. Jenis Pelayanan Kesehatan RSJD PROVSU

Pada saat melakukan pasien paling banyak adalah penderita skizofrenia. RSJD PROVSU memberikan pelayanan kesehatan jiwa sesuai standar pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia seperti promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Namun pelayanan yang diberikan lebih ditekankan pada pelayanan kuratif yaitu pengobatan kepada pasien sesuai dengan kondisi penderita masing-masing.

Pelayanan rehabilitatif, sepanjang pengamatan peneliti, belum dilakukan secara khusus sesuai dengan minat pasien, namun lebih diarahkan kegiatan harian di ruangan pasien dan juga kegiatan olah raga. Selain itu pasien juga diikutkan dalam kegiatan ibadah/religius baik yang diadakan oleh RSJD PROVSU maupun yang datang dari luar rumah sakit

4.2 Analisis Univariat

4.2.1. Karakteristik Responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, hubungan dengan pasien, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik menunjukkan bahwa responden yang berumur diatas 40 tahun ada 37 orang (42,5%) dan paling sedikit berumur di bawah 30 tahun ada 19 orang (21,8%). Pendidikan paling banyak SLTA ada 60 orang (69%), dan paling sedikit berpendidikan SD ada 1 orang (1,1%). Jenis kelamin responden paling banyak laki-laki ada 60 orang (69%) dan paling sedikit perempuan ada 27 orang (31%). Pekerjaan paling banyak wiraswasta ada 52 orang (59,8%), paling sedikit PNS ada 2 orang


(64)

(2,3%). Hubungan dengan pasien paling banyak sebagai saudara laki-laki ada 30 orang (34,5%) dan paling sedikit sebagai ibu ada 2 orang (2,3%). Karakteristik responden tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Individu

No Karakteristik Responden N Persentase (%)

1. Jenis Kelamin

Laki-laki 60 69,0

Perempuan 27 31,0

Jumlah 87 100,0

2. Umur

< 30 tahun 19 21,8

30 – 40 tahun 31 35,6

> 40 tahun 37 42,5

Jumlah 87 100,0

3. Pendidikan

SD 1 1,1

SLTP 15 17,2

SLTA 60 69,0

Akademi 9 10,3

S1 2 2,3

Jumlah 87 100,0

4. Pekerjaan

PNS 2 2,3

Wiraswsata 52 59,8

Tani 22 25,3

Karyawan Swasta 11 12,6

Jumlah 87 100,0

5. Hubungan kekeluargaan dengan pasien

Ibu 2 2,3

Bapak 7 8,0

Anak 13 14,9

Saudara Perempuan 22 25,3

Saudara Laki-laki 30 34,5

Adik 13 14,9


(65)

4.2.2. Karakteristik Pasien Skizofrenia

Karakteristik pasien skizofrenia meliputi jenis kelamin, umur, agama, status perkawinan, suku bangsa, pendidikan, urutan anak dalam keluarga dan pengeluaran pasien tiap bulannya. Hasil penelitian berdasarkan karakteristik menunjukkan bahwa pasien paling banyak berjenis kelamin laki-laki ada 60 orang (69%) dan jenis kelamin perempuan ada 27 orang (31%). Umur pasien paling banyak berumur 25-35 tahun ada sebanyak 37 orang (42,6%) dan paling sedikit berumur di bawah 25 tahun ada 19 orang (21,8%). Pasien paling banyak beragama Islam ada 58 orang (66,7%), dan paling sedikit beragama Katolik ada 1 orang (1,1%). Status perkawinan pasien paling banyak dengan status kawin ada 50 orang (57,5%) dan status tidak kawin ada 37 orang (42,5%). Pasien paling banyak suku Batak ada 26 orang (29,1%) dan paling sedikit pasien dengan suku Nias ada 2 orang (2,3%). Pasien paling banyak berpendidikan SLTP ada 32 orang (36,8%), dan paling sedikit berpendidikan S1 ada 6 orang (6,9%). Pasien paling banyak tidak bekerja ada 76 orang (87,4%), dan paling sedikit bekerja ada 11 orang (12,6%). Dalam urutan keluarga paling banyak pasien anak ke 4 ada 24 orang (27,6%), dan paling sedikit anak ke 1 dan ke 7 masing-masing ada 5 orang (5,7%). Pengeluaran pasien tiap bulannya paling banyak berkisar antara Rp.250.000,- s/d Rp. 500.000,- ada 39 orang (44,8%) dan paling sedikit berkisar antara Rp.100.000,- s/d 250.000,- ada 19 orang (21,8%). Karakteristik pasien tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :


(66)

Tabel 4.3. Distribusi Karakteristik Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Tahun 2009

No Karakteristik Pasien n Persentase

(%)

1. Jenis Kelamin

Laki-laki 60 69,0

Perempuan 27 31,0

Jumlah 87 100,0

2 Umur

<25 Tahun 19 21,8

25 – 35 tahun 37 42,6

>35 tahun 31 35,6

Jumlah 87 100,0

3 Agama

Islam 58 66,7

Protestan 26 29,9

Katolik 1 1,1

Budha 2 2,3

Jumlah 87 100,0

4. Status Perkawinan

Kawin 50 57,5

Tidak kawin 37 42,5

Jumlah 87 100,0

5. Suku Bangsa

Melayu 7 8,0

Mandailing 23 26,4

Jawa 12 13,8

Batak 26 29,9

China 3 3,4

Aceh 5 5,7

Nias 2 2,3

Karo 9 10,3

Jumlah 87 100,0

6. Pendidikan

SD 11 12,6

SLTP 32 36,8

SLTA 29 33,3

Akademi 9 10,3

S1 6 6,9

Jumlah 87 100,0

7. Pekerjaan

Tidak Bekerja 76 87,4

Bekerja 11 12,6


(67)

No Karakteristik Pasien n Persentase (%)

8. Anak ke

1 5 5,7

2 6 6,9

3 15 17,2

4 24 27,6

5 22 25,3

6 10 11,5

7 5 5,7

Jumlah 87 100,0

9. Pengeluaran Pasien (Bulan)

> Rp. 500.000,- 29 33,3

Rp. 250.000,- s/d Rp. 500.000,- 39 44,8

Rp. 100.000,- s/d Rp. 250.000,- 19 21,8

Rp. 50.000,- s/d Rp. 100.000,- 0 0

Jumlah 87 100,0

4.2.3. Kondisi Pasien Selama Perawatan

Kondisi pasien selama mendapatkan perawatan pasien yang meliputi lama menderita sakit, usia pada saat menderita pertama kali, jumlah rawatan inap dalam dua tahun terakhir, lama perawatan yang terakhir, dan keadaan ketika pulang dari perawatan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh pasien yang menderita skizofrenia paling banyak diatas 2 tahun ada 59 orang (67,9%), paling sedikit kurang dari 2 tahun ada 28 orang (32,1%). Usia pada saat menderita pertama kali paling banyak antara 25-29 tahun ada 27 orang (31%), dan paling sedikit berusia 16 – 19 tahun ada 11 orang (12,6%). Usia pasien pada saat pertama kali di rawat paling banyak berusia 25 – 29 tahun ada 26 orang (29,9%), dan paling sedikit saat pertama kali dirawat pada usia 16 – 19 tahun ada 10 orang (11,5%). Pasien yang di rawat inap dalam dua tahun terakhir paling banyak 3-4 kali ada 42 orang (48,3,%) dan paling sedikit kurang dari 2 kali ada 15 orang (17,2%). Perawatan yang dilakukan terakhir kali pada pasien


(1)

Stigma Dalam Keluarga

stigma1

8 9.2 9.2 9.2

10 11.5 11.5 20.7

23 26.4 26.4 47.1

46 52.9 52.9 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma2

8 9.2 9.2 9.2

9 10.3 10.3 19.5

27 31.0 31.0 50.6

43 49.4 49.4 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma3

11 12.6 12.6 12.6

8 9.2 9.2 21.8

18 20.7 20.7 42.5

50 57.5 57.5 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma4

11 12.6 12.6 12.6

27 31.0 31.0 43.7

12 13.8 13.8 57.5

37 42.5 42.5 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(2)

stigma5

9 10.3 10.3 10.3

10 11.5 11.5 21.8

24 27.6 27.6 49.4

44 50.6 50.6 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma6

7 8.0 8.0 8.0

9 10.3 10.3 18.4

37 42.5 42.5 60.9

34 39.1 39.1 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma7

12 13.8 13.8 13.8

32 36.8 36.8 50.6

18 20.7 20.7 71.3

25 28.7 28.7 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma8

13 14.9 14.9 14.9

31 35.6 35.6 50.6

17 19.5 19.5 70.1

26 29.9 29.9 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(3)

stigma9

7 8.0 8.0 8.0

12 13.8 13.8 21.8

33 37.9 37.9 59.8

35 40.2 40.2 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma10

7 8.0 8.0 8.0

13 14.9 14.9 23.0

32 36.8 36.8 59.8

35 40.2 40.2 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma11

16 18.4 18.4 18.4

29 33.3 33.3 51.7

21 24.1 24.1 75.9

21 24.1 24.1 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma12

13 14.9 14.9 14.9

32 36.8 36.8 51.7

18 20.7 20.7 72.4

24 27.6 27.6 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(4)

stigma13

6 6.9 6.9 6.9

13 14.9 14.9 21.8

28 32.2 32.2 54.0

40 46.0 46.0 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

stigma14

12 13.8 13.8 13.8

32 36.8 36.8 50.6

27 31.0 31.0 81.6

16 18.4 18.4 100.0

87 100.0 100.0

Tidak sama sekali Kadang-kadang Sering

Sangat sering Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Ketidakpatuhan * Frekuensi Rawat Inap

Crosstab

0 59 59

16.3 42.7 59.0

.0% 100.0% 100.0%

24 4 28

7.7 20.3 28.0

85.7% 14.3% 100.0%

24 63 87

24.0 63.0 87.0

27.6% 72.4% 100.0%

Count

Expected Count % within Ketidakpatuhan Count

Expected Count % within Ketidakpatuhan Count

Expected Count % within Ketidakpatuhan Tidak Patuh

Patuh Ketidakpatuhan

Total

< 2 kali > 2 kali Frekuensi Rawat Inap


(5)

Chi-Square Tests

69.837b 1 .000

65.612 1 .000

79.520 1 .000

.000 .000

69.034 1 .000

87 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7. 72.

b.

Bivariat

Crosstabs

Stigma Keluarga * Frekuensi Rawat Inap

Crosstab

0 47 47

13.0 34.0 47.0

.0% 100.0% 100.0%

5 2 7

1.9 5.1 7.0

71.4% 28.6% 100.0%

19 14 33

9.1 23.9 33.0

57.6% 42.4% 100.0%

24 63 87

24.0 63.0 87.0

27.6% 72.4% 100.0% Count

Expected Count

% within Stigma Keluarga Count

Expected Count

% within Stigma Keluarga Count

Expected Count

% within Stigma Keluarga Count

Expected Count

% within Stigma Keluarga Berat

Sedang

Ringan Stigma

Keluarga

Total

< 2 kali > 2 kali Frekuensi Rawat Inap


(6)

Chi-Square Tests

39.498a 2 .000

49.123 2 .000

33.267 1 .000

87 Pearson Chi-Square

Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

1 cells (16.7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.93.