Analisa Aspergillus fumigatus dengan Menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur Pada Sputum Penderita Batuk Kronis

(1)

ANALISAAspergillusfumigatus DENGAN MENGGUNAKAN

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DAN KULTUR

PADA SPUTUM PENDERITA BATUK KRONIS

TESIS

Oleh

ISRA THRISTY

097008004/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISAAspergillusfumigatus DENGAN MENGGUNAKAN

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DAN KULTUR

PADA SPUTUM PENDERITA BATUK KRONIS

TESIS

DiajukanSebagai Salah Satu Syarat

MemperolehGelar Magister Biomedik

dalam Program Studi Magister IlmuBiomedik

padaFakultasKedokteranUniversitas Sumatera Utara

Oleh

ISRA THRISTY

097008004/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : ANALISAAspergillusfumigatus DENGAN MENGGUNAKAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DAN KULTUR PADA SPUTUM PENDERITA BATUK KRONIS

Nama : ISRA THRISTY

Nomor Induk mahasiswa : 097008004

Program Studi :ILMU BIOMEDIK

Menyetujui, Komisi Pembimbing

( dr. YahwardiyahSiregar, Phd ) (

Ketua Anggota

dr. WidiRahardjo, Sp.P(K))

Ketua ProgramStudiBiomedik Dekan

(dr.Yahwardiyah Siregar, Phd) (Prof.Dr. Gontar A Siregar, Sp.PD,KGEH NIP. 19550807 198503 2 001 NIP. 19540220 198011 1 001

)


(4)

Telah diuji pada tanggal : 04 April 2013

_________________________________________________________________

Panitia Penguji Tesis

Ketua : dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D

Anggota : 1. dr. Widi Rahardjo S, Sp.P (K)

2. Prof. Dr. dr. Hadyanto Lim, M.Kes, FESC, FIBA 3. dr. Pandiaman Pandia, Sp.P (K)


(5)

ABSTRAK

Batuk karena iritasi pada mukosa bronkus dapat disebabkan oleh peradangan, baik oleh bakteri, virus, dan jamur disertai dengan mukus yang banyak. Batuk akibat infeksi jamur pada paru selama ini masih merupakan penyakit yang relatif jarang dibicarakan. Bertambahnya kecepatan tumbuh jamur adalah sebagai akibat penggunaan antibiotik berspektrum luas, kombinasi dari berbagai antibiotik, serta penggunaan kortikosteroid, obat imunosuppressif lainnya dan penggunaan sitostatika, penggunaan alat-alat kesehatan invasif, juga terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik yang berat termasuk penyakit keganasan. Diketahui ada beberapa spesies jamur sistemik yang dapat

menginfeksi manusia namun penyebab infeksi paru-paru 90% adalah Aspergilus

fumigatus. Penggunaan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi

DNA jamur merupakan diagnostik yang optimal karena memiliki potensial lebih sensitif dari metode kultur pada berbagai spesimen. Tujuan penelitian ini adalah

untuk menganalisa Aspergillus fumigatus dengan menggunakan PCR dan kultur

pada sputum penderita batuk kronis.

Penelitian ini menggunakan 51 sampel sputum penderita batuk kronis yang berasal dari Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, diteliti dengan metode

deskriptif cross-sectional. Sputum diperiksa dengan menggunakan metode PCR

dan dilakukan kultur sebagai gold standard pemeriksaan jamur.

Hasil penelitian dari 51 sampel, didapati pemeriksaan PCR positif 34 sampel (66,67%), pemeriksaan PCR negatif 17 sampel (33,33%). Pada hasil kultur dijumpai kultur positif 29 sampel (56,86%), dan kultur negatif 22 sampel (43,14%). Semua hasil PCR positif memberikan kultur positif juga.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini lebih banyak ditemukan DNA

Aspergillus fumigatus pada penderita batuk kronis dengan menggunakan PCR

daripada kultur, maka penyakit jamur tidak bisa dianggap remeh. Pemeriksaan PCR dapat dipergunakan sebagai salah satu pemeriksaan jamur yang cepat, karena tidak perlu menunggu hasil kultur yang lebih lama.


(6)

ABSTRACT

Cough due to irritation of the bronchial mucosa could caused by inflammation, either by bacteria, viruses, and fungi along with a lot of mucus. Cough caused by fungal infection to the lungs is rare discussed. Fungal growth could be faster as a result of the use of broad-spectrum antibiotic or combination of antibiotics, corticosteroids or other imunosuppressif drugs, sitostatika, and the use of invasive medical devices, also the presence of predisposing factors like severe chronic diseases, and malignancy diseases. There are some fungal species that can infect humans but causes of the lung infections 90% are Aspergilus fumigatus. Using Polymerase chain Reaction (PCR) to detect fungal DNA was optimal diagnostic because it has potentially more sensitive than culture methods on a variety of specimens. The purpose of this study was to analize the presence of Aspergillus fumigatus using the PCR and culture method in sputum of the chronic cough’s patients.

Samples of this study was 51 patients from Haji Adam Malik Hospital in Medan were examined cross-sectional descriptive method. Sputum examined using PCR and cultures as well taken as a gold standard fungal intention.

The results were 34 were found positive PCR samples (66.67%), negative PCR 17 samples (33.33%). In cultures found positive culture results 29 samples (56.86%), and negative cultures 22 samples (43.14%). All positive PCR results provide a positive culture as well.

The conclusions of this research are found much more Aspergillus fumigatus DNA in patients sputum with chronic cough using the PCR method rather than culture, so the fungal disease can not be underestimated. PCR can be used as a fast, because they do not need to wait for culture results that much more longer.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul,”Analisa Aspergillus fumigatus dengan Menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur Pada Sputum Penderita Batuk Kronis”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Ilmu Biomedik, di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dengan selesainya tesis ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), dan seluruh jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister ilmu Biomedik, di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof.dr. Gontar A.Siregar, Sp.PD,KGEH dan Ketua Program Studi Biomedik, dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Rasa terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D dan dr. Widi Rahardjo, Sp.P(K) sebagai komisi pembimbing, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada Penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh Staf Pengajar Ilmu Biomedik khususnya bidang ilmu Biokimia yang telah membimbing penulis selama mengikuti program studi ini.

Kepada Dekan FK-UISU, beserta jajarannya yang telah memberikan dana kepada penulis untuk kelangsungan pendidikan program studi pascasarjana ini.

Persembahan terima kasih yang tulus dan rasa hormat penulis yang sebesarnya kepada Ayahanda tercinta H. Syafruddin,SE dan Ibunda Hj. Risnu


(8)

Rama Siregar yang telah membesarkan dan memberikan kasih sayang, do’a serta semangat dan dorongan kepada penulis dalam menjalani program studi ini.

Tesis ini khusus penulis persembahkan kepada suami tercinta Fakhrul Agung, SE, yang memberikan dorongan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan program studi ini. Kepada putra tercinta Nizam Raffa Al-Rasyid dan Bima Faiz Alfarizqi, terima kasih atas senyuman dan tawa yang membuat semangat dalam menyelesaikan pendidikan ini, dan mohon ma’af kepada ananda atas waktu kebersamaan yang hilang.

Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kakanda tersayang Sari Agustien, SE dan Vinny Dwi Astuty, SE (Ak) serta adinda Putri Anggraini, Ak dan keponakan-keponakan yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih juga kepada seluruh rekan-rekan yang telah memberikan semangat, bantuan dalam menyelesaikan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu mendapat koreksi dan masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis berharap adanya kritik serta saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Medan, April 2013


(9)

DAFTAR ISI ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN i ii iii v viii ix x xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikosis Paru... 9

2.1.1 Mikosis Oportunistik... 10

2.1.2 Patogenesis... 11

2.1.3 Diagnosa Mikosis Paru... 13

2.1.4 Tekhnik Pengambilan Bahan Pemeriksaan... 16

2.2 Aspergillosis... 18

2.2.1 Morfologi dan Identifikasi... 19

2.2.2 Patogenesis... 20

2.2.3 Mikotoksin... 21

2.2.4 Gambaran Klinis... 22

2.2.5 Uji Diagnostik Laboratorium... 26

2.2.6 Pengobatan... 30


(10)

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR) ……… 31

2.4 Elektroforesis……… 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian... 35

3.2 Tempat dan Waktu... 35

3.3 Populasi dan Sampel... 35

3.3.1 Populasi Penelitian... 35

3.3.2 Sampel Penelitian... 35

3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi... 36

3.4.1 Kriteria inklusi... 36

3.4.2 Kriteria eksklusi... 36

3.5 Keraangka Konsep... 37

3.6 Variabel Penelitian... 37

3.7 Defenisi Operasional... 38

3.8 Alat dan Bahan... 39

3.9 Prosedur Penelitian ... 40

3.9.1 Pengambilan Sampel... 40

3.9.2 isolasi Sampel ... 41

3.9.3 Isolasi DNA... 41

3.9.4 PCR... 42

3.9.5 Elektroforesis... 44

3.9.6 Visualisasi DNA... 44

3.9.7 Kultur Sampel... 45

3.10 Tekhnik Analisa Data... 46

3.11 Kerangka Kerja... 46

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 47


(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 56 5.2 Saran ... 57


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Spektrum Aspergillosis pada saluran pernapasan bawah 30

4.1 Distribusi Hasil PCR Pada Pemeriksaan Sputum 47


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Gambaran mikroskopis

Aspergillus fumigatus. 20

2.2

Gambaran Aspergilloma pada paru 24

2.3 Spektrum klinis yang dihasilkan akibat terhirupnya spora

aspergillus

26

3.1 Kerangka Konsep 37

3.2

Lokasi Pasangan Primer hasil amplifikasi PCR 43

3.3 Kerangka Kerja Penelitian 46

4.1 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus

menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A1-A5)

48

4.2 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus

menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A5-A16)

49

4.3 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus

menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A17-A29)

49

4.4 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus

menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A30-A42)

50

4.5 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus

menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A43-A51)

50

4.6 Hasil Kultur Positif mengandung Jamur Aspergillus

fumigatus

51

4.7 Hasil Kultur Negatif tidak mengandung Jamur Aspergillus

fumigatus


(14)

DAFTAR SINGKATAN

ABPA : Allergic BronchopulmonaryAaspergillosis

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome

BAL : Broncho Alveolar Lavage

BMT : Bone Marrow Transplantation

CDC : Centers for Disease Control

CMV : Citomegalo Virus

CNA : Chronic Necrotising Aspergillosis

CT : Computerized Tomography

DM : Diabetes Melitus

DNA : Deoxyribonucleotide Acid

ELISA : Enzyme-linked immunosorbent Assay

HIV : Human immunodeficiency virus

ID : Immunodiffusion

IPA : invasive pulmonary aspergillosis

KOH : Potassium Hydroxida

PAS : Periodic Acid Schiff

PCR : Polymerase Chain Reaction

PPOM : Penyakit Paru Obstruktif Menahun (Kronik)

RNA : Ribonucleotide Acid

RS : Rumah Sakit

RSHAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Daftar Riwayat Hidup 62

2 Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian 63

3 Lembar persetujuan setelah penjelasan (PSP) 65

4 Ethical clearence 66

5 Surat izin penelitian di RS H.Adam Malik Medan 67


(16)

ABSTRAK

Batuk karena iritasi pada mukosa bronkus dapat disebabkan oleh peradangan, baik oleh bakteri, virus, dan jamur disertai dengan mukus yang banyak. Batuk akibat infeksi jamur pada paru selama ini masih merupakan penyakit yang relatif jarang dibicarakan. Bertambahnya kecepatan tumbuh jamur adalah sebagai akibat penggunaan antibiotik berspektrum luas, kombinasi dari berbagai antibiotik, serta penggunaan kortikosteroid, obat imunosuppressif lainnya dan penggunaan sitostatika, penggunaan alat-alat kesehatan invasif, juga terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik yang berat termasuk penyakit keganasan. Diketahui ada beberapa spesies jamur sistemik yang dapat

menginfeksi manusia namun penyebab infeksi paru-paru 90% adalah Aspergilus

fumigatus. Penggunaan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi

DNA jamur merupakan diagnostik yang optimal karena memiliki potensial lebih sensitif dari metode kultur pada berbagai spesimen. Tujuan penelitian ini adalah

untuk menganalisa Aspergillus fumigatus dengan menggunakan PCR dan kultur

pada sputum penderita batuk kronis.

Penelitian ini menggunakan 51 sampel sputum penderita batuk kronis yang berasal dari Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, diteliti dengan metode

deskriptif cross-sectional. Sputum diperiksa dengan menggunakan metode PCR

dan dilakukan kultur sebagai gold standard pemeriksaan jamur.

Hasil penelitian dari 51 sampel, didapati pemeriksaan PCR positif 34 sampel (66,67%), pemeriksaan PCR negatif 17 sampel (33,33%). Pada hasil kultur dijumpai kultur positif 29 sampel (56,86%), dan kultur negatif 22 sampel (43,14%). Semua hasil PCR positif memberikan kultur positif juga.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini lebih banyak ditemukan DNA

Aspergillus fumigatus pada penderita batuk kronis dengan menggunakan PCR

daripada kultur, maka penyakit jamur tidak bisa dianggap remeh. Pemeriksaan PCR dapat dipergunakan sebagai salah satu pemeriksaan jamur yang cepat, karena tidak perlu menunggu hasil kultur yang lebih lama.


(17)

ABSTRACT

Cough due to irritation of the bronchial mucosa could caused by inflammation, either by bacteria, viruses, and fungi along with a lot of mucus. Cough caused by fungal infection to the lungs is rare discussed. Fungal growth could be faster as a result of the use of broad-spectrum antibiotic or combination of antibiotics, corticosteroids or other imunosuppressif drugs, sitostatika, and the use of invasive medical devices, also the presence of predisposing factors like severe chronic diseases, and malignancy diseases. There are some fungal species that can infect humans but causes of the lung infections 90% are Aspergilus fumigatus. Using Polymerase chain Reaction (PCR) to detect fungal DNA was optimal diagnostic because it has potentially more sensitive than culture methods on a variety of specimens. The purpose of this study was to analize the presence of Aspergillus fumigatus using the PCR and culture method in sputum of the chronic cough’s patients.

Samples of this study was 51 patients from Haji Adam Malik Hospital in Medan were examined cross-sectional descriptive method. Sputum examined using PCR and cultures as well taken as a gold standard fungal intention.

The results were 34 were found positive PCR samples (66.67%), negative PCR 17 samples (33.33%). In cultures found positive culture results 29 samples (56.86%), and negative cultures 22 samples (43.14%). All positive PCR results provide a positive culture as well.

The conclusions of this research are found much more Aspergillus fumigatus DNA in patients sputum with chronic cough using the PCR method rather than culture, so the fungal disease can not be underestimated. PCR can be used as a fast, because they do not need to wait for culture results that much more longer.


(18)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Batuk merupakan salah satu keluhan utama pada kelainan saluran pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga jalan napas tetap terbuka dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk, gumpalan darah dan benda asing pada jalan napas, selain itu batuk juga dapat disebabkan karena iritasi jalan napas. (Djojodibroto, 2009)

Batuk karena iritasi pada mukosa bronkus disebabkan oleh peradangan, baik oleh bakteri, virus, dan jamur disertai dengan mucus yang banyak. Selain itu batuk juga dapat disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, tumor, dan bahan iritan lainnya (rokok, debu, gas, bahan-bahan kimia). Terdapat 3 gejala batuk yang menunjukkan adanya kelainan dari paru-paru yaitu: batuk yang menetap, nyeri di dada bila batuk, produksi sputum yang banyak atau berdarah. Batuk dari saluran napas atas tidak sehebat batuk dari saluran napas bawah. (Rab, 2010)

Batuk akibat infeksi jamur pada paru atau yang disebut dengan mikosis paru selama ini masih merupakan penyakit yang relatif jarang dibicarakan. Akan tetapi akhir-akhir ini perhatian terhadap penyakit ini semakin meningkat dan

kejadian infeksi jamur paru semakin sering dilaporkan. Hal ini mungkin akibat

dari meningkatnya kesadaran dan usaha penemuan infeksi jamur dengan berbagai cara menggunakan teknik yang tepat, bertambahnya kecepatan tumbuh jamur sebagai akibat cara pengobatan modern, terutama penggunaan antibiotik berspektrum luas atau kombinasi dari berbagai antibiotik, penggunaan


(19)

kortikosteroid dan obat imunosuppressif lainnya serta penggunaan sitostatika, terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik yang berat termasuk penyakit kegananasan, dengan meningkatnya umur harapan hidup akan meningkatkan insiden penyakit jamur paru, mobilitas dari manusia tinggi sehingga kemungkinan memasuki daerah endemis fungi patogen semakin tinggi (Sukamto, 2004)

Angka kekerapan mikosis paru di dunia dan di Indonesia belum diketahui secara pasti. Walaupun masih relatif jarang bila dibandingkan dengan infeksi bakterial atau virus, infeksi jamur paru penting karena dapat diobati dan keterlambatan pengobatan dapat berakibat fatal. Walaupun infeksi jamur lokal seperti pada mulut, esofagus, usus dan vagina cukup sering, namun yang bersifat sistemik termasuk di paru tidak sebanyak itu. Masalah lain adalah karena sulitnya mendiagnosis mikosis paru. Permasalahannya ialah bahwa baik gambaran klinik maupun radiologik penderita mikosis paru tidak khas. Sediaan apus sputum, biakan jamur, pemeriksaan histologik paru dan uji serologik pun kadang hasilnya membingungkan. Sehingga pengobatan terhadap infeksi jamur paru sering terlambat diberikan. Pasien baru tertegakkan diagnosanya sebagai penderita jamur paru dalam keadaan sudah lanjut atau terlambat, sehingga pengobatan sering tidak berhasil. (Sukamto, 2004)

Mikosis dapat diklasifikasikan menjadi mikosis superficial, kutan, subkutan, sistemik, dan oportunistik. Sebagian besar pasien mengalami infeksi

jamur oportunistik. Jamur oportunistik yang sering menginfeksi adalah candida

albicans dan candida sp, Cryptococcus neoformans, Aspergillus sp, Rhizopus sp, Absidia sp, Mukor sp, Zygomycetes sp, dan Penicillium marneffei. (Mitchell,


(20)

2007) Namun jamur oportunistik yang paling sering menyebabkan infeksi jamur invasive adalah Candida albicans, Candida spp. dan Aspergillus spp. (Klingspor dan Jalal, 2006)

Infeksi jamur paru dapat sebagai infeksi primer maupun sekunder. Timbulnya infeksi sekunder pada paru disebabkan terdapatnya kelainan atau kerusakan jaringan paru seperti pada TB paru berupa kavitas, bronkiektasis, destroyed lung dan sebagainya. (Sukamto, 2004)

Suryatenggara dan kawan-kawan (1995) telah melakukan penelitian retrospektif di bagian paru RS. Persahabatan Jakarta pada 28 penderita penyakit paru yang dicurigai kemungkinan menderita infeksi jamur paru. Diteliti kebelakang mulai tahun 1993 sampai Januari 1994, penderita yang dilakukan pemeriksaan jamur baik pemeriksaan sputum, bilasan bronkus, biopsi, hasil reseksi maupun pemeriksaan serologis darah dll, didapatkan hasil 23 penderita (82,1 %) positif jamur. Kebanyakan yang positif adalah penderita dengan TB paru, (67,8 %) baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif lagi. Hal ini disebabkan adanya kerusakan jaringan paru atau saluran nafas akibat penyakit tuberkulosisnya hingga memudahkan terjadinya infeksi sekunder dengan jamur.

Suryatenggara dan kawan-kawan (1995) melaporkan hasil penelitian pemeriksaan jamur pada bilasan bronkus di Bagian Paru RS Husada Jakarta tahun 1994/1995 mendapatkan 30 penderita (45%) dengan jamur positif dari 66 penderita yang diperiksa ke arah penyakit jamur. Dari 30 penderita yang positip jamur terdiri dari Candida sp 27, Aspergillus fumigatus 2 dan Aspergillus sp 1 penderita.


(21)

Sukamto (2004) melakukan penelitian terhadap bilasan bronkus pada penderita tuberculosis paru yang telah sembuh di RS. Haji Adam Malik Medan, dan didapatkan 11 kasus (21,5%) jamur paru dari 40 penderita yang terdiri dari Candida sp. 7 penderita (63,6%), Aspergillus fumigatus 3 penderita (27,3%), dan Aspergillus niger 1 penderita (9,1%). Dari penelitian ini, gejala klinis yang paling sering terjadi pada kasus infeksi jamur positif adalah batuk kronis yang berdahak dan batuk darah.

Menurut penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2002 sampai 2003 dengan kultur sputum pasien yang positif tuberculosis paru kronis dan telah mendapatkan pengobatan, didapatkan bahwa dari 500 pasien dijumpai 200 pasien yang menderita infeksi jamur (46%). Dimana jenis jamur yang terbanyak adalah

Aspergillus fumigatus, Aspergillus niger, Histoplasma capsulatum, dan

Cryptococcus neoforman. Dari 50 pasien yang mempunyai gejala seperti

tuberculosis, terdapat 23 pasien yang positif terinfeksi jamur tersebut. (Bansod dan Rai, 2008)

Spesies jamur yang paling sering dijumpai pada penderita immunokompromi yaitu infeksi kandida. Jamur kandida merupakan flora mikrobial normal rongga mulut, saluran pencernaan dan vagina, bersifat

invasif/patogen bila daya tahan host (pejamu) terganggu. Infeksi jamur ini

umumnya terjadi di daerah mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organ- organ lain di dalam tubuh seperti esofagus, ginjal, hati, jantung, mata, otak dan paru. Walaupun kasus infeksi nosokomial oleh jamur semakin banyak, tetapi laporan mengenai infeksi jamur di paru baik primer maupun sekunder masih jarang ditemui. Pada kandidiasis paru sekunder, di Indonesia, penyakit primer


(22)

yang terpenting ialah tuberkulosis paru dan keganasan paru. (Hamdi, 1997) Sangat sulit menegakkan diagnosis kandidiasis paru karena penyakit ini dapat menyerupai segala macam penyakit paru lain dengan gejala klinis yang tidak khas, kurangnya karakteristik pada gambaran radiografik.(Shahid dan Bhargava, 2001) Diagnosis pasti kandidiasis paru yaitu dengan melakukan biopsi dan kultur jaringan dari tempat lesi. Didapatinya jamur kandida di dalam sputum bukan diagnostik pasti, karena hal ini dapat terjadi juga pada pasien normal. (Hamdi, 1997)

Aspergilosis primer sangat jarang ditemukan, yang banyak ditemukan adalah Aspergilosis sekunder akibat adanya kelainan pada paru seperti TB paru, bronkiektasis, asma bronkial, PPOM, asbestosis, kanker paru, kelainan sistemik seperti leukemia, anemia aplastik, DM, AIDS, transplantasi organ.

Aspergillus fumigatus merupakan jamur saprotrophik yang menjadi

pathogen dengan alasan biologi yang sederhana, yaitu karena jamur ini terdapat di athmosfir dengan konsentrasi yang tinggi, tumbuh dengan cepat dibandingkan

jamur airborne lainnya pada suhu 40⁰C, dapat menjadi lawan bagi tubuh bukan

karena mekanisme virulensi yang spesifik, namun karena kegagalan respon immune tubuh itu sendiri. (Chamilos et al, 2008)

Diketahui ada beberapa spesies yang dapat menginfeksi manusia namun penyebab infeksi

paru-paru 90% adalah Aspergilus fumigatus.(Shahid dan Bhargava, 2001) Aspergillus

fumigatus telah dilaporkan dijumpai pada sekitar 10% penderita dengan bronkhitis dan pada persentase yang lebih banyak lagi dijumpai pada penderita asma. (Hood, 1994)


(23)

Ada beberapa spesimen yang dapat dijadikan bahan pemeriksaan diagnostik jamur, antara lain dari sputum, bilasan bronkus, darah, urine, cairan spinal, apusan/kerokan lesi superfisial, biopsi jaringan, dan eksudat, namun pengambilan bahan yang paling mudah dari paru adalah dari dahak yang dibatukkan oleh penderita. Dahak yang dikeluarkan melalui rongga mulut kemungkinan besar akan terkontaminasi oleh jamur kandida yang merupakan

flora normal pada rongga mulut. Sehingga biakan jamur candida dari sputum

tidak bernilai. (Mitchell , 2007) Untuk mengurangi kontaminasi terhadap bakteri dan jamur flora normal rongga mulut, maka perlu melakukan kumur-kumur dengan antiseptik atau dengan menyikat gigi terlebih dahulu sebelum pengambilan spesimen. (Kumala, 2006)

Berbeda dengan infeksi lainnya, terdapat keterbatasan alat diagnostik konvensional dengan sensitivity dan reliaibility yang rendah yang tersedia untuk mendeteksi secara cepat dari invasive aspergillosis. Banyak penelitian yang telah

dilaporkan untuk mendeteksi asam nukleat Aspergillus dengan Polymerase Chain

Reaction (PCR) untuk memperbaiki diagnosis dari invasive aspergillosis, baik yang berasal dari cairan BAL, serum darah, dan sputum. (Bansod et al., 2008) Penggunaan PCR menjadi standard dan valid dalam pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa invasive aspergillosis secara cepat. (WHO, 2009) PCR dengan menggunakan cairan BAL memiliki sensitivity 67 – 100% dan specificity 55 – 95% untuk invasiv pulmonary Aspergillosis. Dan pada sampel serum memiliki sensitivity 100% dan specificity 65 – 92%. (Zmeili dan Soubani, 2007, Raad et al, 2002) Penggunaan PCR untuk mendeteksi asam nukleat jamur mungkin merupakan diagnostik yang optimal karena memiliki potensial lebih


(24)

sensitif dari metode kultur pada berbagai specimen. (Bansod et al., 2008) Deteksi

A. fumigatus dengan menggunakan PCR dari hasil kultur murni lebih cepat

dengan waktu kurang dari satu hari, dibandingkan dengan analisa kultur yang memakan waktu berhari-hari. (Perez et al., 2001) Selain itu, diagnosa melalui kultur, PAS stain, pewarnaan Immunohistokimia sulit dilakukan, dan kultur Aspergillus spp. tidak membuktikan adanya suatu infeksi. (Hanazawa et al, 2000) Metode PCR terbukti lebih sensitiv daripada deteksi antigen jamur Aspergillus. (Stevens et al., 2000)

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis melakukan penelitian terhadap sputum dari penderita batuk kronis mengenai kemungkinan terjadinya

Aspergillosis yang disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus denngan

menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur.

1.2Identifikasi Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat Aspergillus fumigatus pada sputum penderita batuk kronis yang di deteksi dengan PCR dan Kultur?

1.3Tujuan Penelitian Tujuan umum :

Untuk menganalisa adanya Aspergillus fumigatus dengan menggunakan

Polymerase Chain Reaction (PCR) dan kultur pada sputum penderita batuk


(25)

1.4Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi ilmiah kepada para klinisi umum dan klinisi ilmu

penyakit paru mengenai kemungkinan penderita batuk kronis mengalami infeksi jamur paru.

2. Dapat di aplikasikan dan menjadi pilihan metode dalam mendeteksi infeksi

jamur dengan cepat dan tepat bila fasilitas mendukung.

3. Memberikan motivasi untuk peneliti lain untuk meneliti mengenai infeksi

jamur di Indonesia mengingat kawasan Indonesia merupakan daerah tropis.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikosis Paru

Infeksi jamur biasanya disebut dengan mikosis. Sebagian besar jamur pathogen bersifat eksogen dan habitat alaminya adalah air, tanah, dan debris organic. Mikosis yang mempunyai insiden paling tinggi adalah kandidiasis dan dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang merupakan anggota flora mikroba normal atau yang dapat bertahan hidup pada pejamu manusia. (Mitchell, 2007)

Mikosis pada system pernapasan dapat terjadi pada saluran napas atas dan saluran napas bawah. Sinusitis jamur merupakan mikosis sistemik pada saluran napas atas yang paling banyak dilaporkan, sedangkan pada saluran napas bawah adalah mikosis paru. Di Indonesia, angka kejadian jamur pada saluran napas belum diketahui. Mikosis paru ditemukan endemis di daerah tertentu seperti Amerika, Afrika, Meksiko, Canada, dan Australia. Di Indonesia kasus mikosis paru yang telah dilaporkan ialah aspergillosis, kriptokokosis, kandidiasis dan juga histoplasmosis. Di RS. Persahabatan Jakarta, mikosis paru paling banyak ditemukan pada penderita dengan TB paru dan bekas TB paru. (Konsesus FKUI-PMKI, 2001)


(27)

2.1.1 Mikosis oportunistik

Pasien dengan gangguan pertahanan pejamu, rentan terhadap jamur yang terdapat di mana-mana, tetapi orang sehat yang terpajan biasanya resisten. Pada banyak kasus, tipe jamur dan perjalanan penyakit infeksi mikotik ditentukan oleh keadaan predisposisi pejamu. Sebagai anggota flora mikroba normal, kandida dan ragi serumpun merupakan oportunis endogen. Mikosis oportunistik lain disebabkan oleh jamur eksogen yang secara global terdapat di tanah, air dan udara. (Mitchell, 2007)

Sebagian besar pasien yang mengalami infeksi oportunistik menderita penyakit penyebab yang serius dan mempunyai daya tahan tubuh yang terganggu. Akan tetapi, mikosis sistemik primer juga dapat terjadi pada pasien tersebut, dan infeksi oportunistik juga dapat diderita oleh individu imunokompeten. Selama infeksi, kebanyakan pasien menghasilkan respon imun humoral dan selular yang signifikan terhadap antigen jamur. (Mitchell, 2007)

Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi oportunistik adalah: (Mitchell, 2007)

a.Candida albicans dan candida sp lain (Kandidiasis sistemik) b. Cryptococcus neoformans (Kriptokokosis)

c. Aspergillus fumigatus dan aspergilus sp lain (Aspergilosis)

d. Rhizopus sp, Absidia sp, Mukor sp, dan Zygomacetes sp lain

(Mukormikosis / zigomikosis) e. Penicillium marneffei (Penisiliosis)


(28)

2.1.2 Patogenesis

Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada umumnya menimbulkan aneka ragam reaksi peradangan, yang dalam hal ini bisa dijumpai hiperplasia epitel, granuloma histiositik, arteritis trombotik, campuran reaksi radang piogenik dan granulomatous, granuloma pengkejuan, fibrosis dan kalsifikasi. Hampir dapat dikatakan bahwa jamur apapun bila menginfeksi baik di paru atau pada jaringan manapun didalam tubuh menimbulkan gambaran granuloma yang secara patologik sulit dibedakan dengan granuloma yang terjadi pada TBC ataupun sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa diagnosa patologik ditegakkan dengan isolasi organisme jamur dari jaringan yang terlibat, namun ini masih

mempunyai problem yaitu bahwa beberapa jamur seperti Histoplasma

Capsulatum, Sporothricum Schenkii, Torulapsis glabrata, Blastomyces dan

Coccidioides mempunyai sel-sel berbentuk mirip ragi (Yeast like cells) yang secara histologik sukar dibedakan satu dengan lainnya. Diagnosa pasti dengan demikian memerlukan pemeriksaan kultur (biakan) dan pemeriksaan serologik. (Sukamto, 2004)

lnfeksi jamur paru ternyata lebih sering disebabkan oleh infeksi jamur oportunistik kandidia dan aspergilus. Sebagai infeksi oportunistik jamur ini terdapat dimana-mana dan sering menginfeksi pada penderita dengan pemakaian obat antibiotik secara luas atau dalam jangka waktu yang cukup lama, kortikosteroid, disamping munculnya faktor predisposisi seperti penyakit kronis dan penyakit keganasan. Timbulnya infeksi sekunder pada jamur paru disebabkan terdapatnya kelainan paru seperti kavitas tuberkulosa, bronkiektasis, krasinoma bronkus yang sering menurunkan daya tahan tubuh.


(29)

Jamur Candida albicans merupakan flora normal dalam rongga mulut, saluran cerna dan vagina pada individu normal dan dapat menginvasi penderita dengan imunokompromi atau keadaan netropenia yang lama. Koloni akan meningkat pada penderita dengan mendapat pengobatan antibiotika secara luas yang menekan flora normal dan penyakit yang menimbulkan perubahan anatomi maupun perubahan imunologi. Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan adalah imun dan non Imun. (Ellis, 1994)

Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon imun humoral dan seluler. Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Bukti-bukti ini didapat dari pengalaman pada kandidiasis mukokutaneus kronik dan infeksi HIV, adanya defek imunitas seluler tersebut menyebabkan kandidiasis superfisialis yang luas, walaupun sistem imunitas humoral normal. Faktor non imun yang berperan antara lain interaksi dengan flora-flora mikrobial lain pada kulit dan mukosa yang merupakan efek protektif terhadap pertumbuhan patogen jamur oportunistik, sekresi saliva dan keringat merupakan anti fungal alamiah. (Sukamto, 2004)

Pada penderita Tb Paru dengan defek anatomi paru disertai pemberian obat anti tuberkulosa dalam waktu lama yang akan menekan flora normal sehingga pertumbuhan jamur oportunistik tidak terhambat. Penyakit granulomatous kronik juga merupakan predisposisi terhadap aspergilosis invasif paru. Terinhalasi spora jamur aspergilus dalam jumlah banyak dapat menimbulkan pneumonitis akut, difus dan dapat sembuh dengan sendirinya. (Bennet, 2010)


(30)

Aspergilus dapat membentuk kolonisasi pada bronkus dan kavitas paru dengan latar belakang penyakit TB Paru. Bola jamur bisa terdapat pada rongga kista atau kavitas yang disebut aspergiloma, biasanya terdapat pada lobus atas paru dengan diameter beberapa sentimeter dan dapat terlihat pada foto dada.

Pada orang normal, spora jamur oportunistik sulit menginvasi mukosa saluran napas. Pada penderita dengan kormobid atau fakor predisposisi, spora yang terinhalasi mengalami kolonisasi dan akan menginvasi mukosa serta berkembang, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan dan menimbulkan manifestasi klinis. Selanjutnya jamur dapat masuk ke dalam peredaran darah dan akan menyebar secara hematogen ke organ lain sehingga menimbulkan kelainan di organ tersebut, dan secara limfogen ke kelenjar hilus dan mediastinum. (Konsesus FKUI-PMKI, 2001)

2.1.3 Diagnosa Mikosis Paru

Sangat sulit untuk menentukan infeksi jamur di paru oleh karena sebagian besar gejalanya mula-mula tidak mencolok dan seringkali seperti gejala flu biasa atau infeksi paru oleh sebab lain. Gejala jamur sistemik tidak khas atau tidak spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain juga susah untuk membedakan antara infeksi bakteri dan infeksi jamur sehingga menambah kesulitan untuk mengenali infeksi jamur sistemik. Kesadaran akan kemungkinan penyakit jamur, terutama bila terdapat faktor presdiposisi, ditindak lanjuti dengan pemeriksaan bahan klinik yang tepat akan membawa diagnosa yang pasti. Kendala lain ialah meskipun banyak terdapat laboratorium klinik, jarang yang melakukan pemeriksaan untuk mikosis sistemik, Mungkin ini disebabkan oleh tidak terdapatnya tenaga


(31)

pemeriksaan terdidik atau peralatan antigen tidak terdapat di laboratorium tersebut. (Jeffery dan Edman, 1996)

Permasalahan lain dalam mendiagnosa infeksi oleh jamur paru yaitu kita harus dapat menentukan apakah jamur hanya bersifat koloni atau telah terjadi infeksi/patogen. Hal ini perlu dapat dipastikan oleh karena pengobatan dengan anti jamur dapat menimbulkan efek toksis, sehingga sedapat mungkin dibuat sediaan biopsi jaringan, jamur dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan hifa. (Ellis, 1994)

Menurut Jan Susilo diagnosa infeksi jamur dapat tercapai bila kemungkinan infeksi jamur difikirkan, pengambilan bahan klinik tepat, cara pengiriman bahan klinik tepat, bahan klinik sampai dilaboratorium dalam keadaan baik dan perlakuan bahan klinik tersebut dilaboratorium dilakukan dengan baik dan tepat. (Susilo, 1995)

Pada pasien dengan immunokompromise sangat penting untuk dapat menegakkan diagnostik sistemik fungal infeksi secara dini. Keberhasilan diagnosis dan terapi dari infeksi jamur pada pasien-pasien dengan keadaan umum

yang lemah sangat tergantung pada kerjasama dari team work antara lain ahli

mikrobiologi, onkologis, histopatologis, ahli penyakit infeksi dan staff laboratorium.

Penyakit jamur dikatakan positif apabila dapat dibuktikan adanya fungi penyebabnya, baik melalui pemeriksaan secara langsung maupun melalui biakan. Disamping itu dapat pula dilakukan uji serologi, uji fiksasi komplemen, uji hewan percobaan dan uji fermentasi. (Sukamto, 2004)


(32)

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnostik jamur paru dapat pula dilakukan dengan pemeriksaan spesimen dahak. Dahak dikeluarkan oleh penderita setelah sebelumnya berkumur-kumur dengan air bersih berkali-kali untuk

menyingkirkan kontaminan Candida, Actinomyces israeli yang hidup komensal

dimulut dan rongga pipi. Tanpa pengawet dahak dikirim secepatnya untuk pemeriksaan .Dengan pemeriksaan langsung dibawah mikroskop biasanya dapat dikenali dan nampak spora,hipa dan blastospore. Pengenalan akan lebih mudah dan jelas bila dilakukan penetesan sediaan dengan KOH 20%, ataupun dibuat sediaan apus dengan pewarnaan Giemsa. (Susilo, 1995)

Seperti telah dikemukakan infeksi jamur pada paru tidak memberikan gejala/gambaran klinis dan radiologik yang khas. Untuk menegakkan diagnosa klinis jamur paru dalam anamnesa perlu ditanyakan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan faktor predisposisi terjadinya infeksi jamur pada paru seperti adakah riwayat menderita DM, riwayat penyakit paru kronis, riwayat pemakaian obat-obat antibiotika, steroid atau radiomimetik (antineoplastik) jangka panjang. Juga ditanyakan mengenai hobi pasien, apakah hobi memelihara unggas, hobi bertualang memasuki gua-gua. (Jeffrey dan Edman, 1996)

Pada pemeriksaan jasmani juga tidak dijumpai gambaran yang khas, pasien bisa anemis, demam, pembesaran kelenjar limfe, hepatosplenomegali, ulkus dimulut, laring dan sebagainya. Pada pemeriksaan foto dada yang perlu diperhatikan ialah adanya fungus ball yang bisa dijumpai pada aspergilosis paru, sedangkan pada kriptokokosis bisa dijumpai bayangan seperti tumor. Bayangan infiltrat, efusi pleura dan kalsifikasi bisa saja dijumpai pada berbagai infeksi jamur paru. (Sukamto, 2004)


(33)

Spesimen lain selain dahak dapat juga bilasan atau cucian bronkus dari pemeriksaan bronkoskopi. Pemeriksaan bronkoskopi disamping untuk melihat langsung keadaan saluran nafas juga dapat dilakukan pengambilan spesimen secara biopsi atau bilasan bronkus.

Secara umum diagnosis jamur paru ditegakkan melalui: (Sukamto, 2004) 1. Kecurigaan yang tinggi terhadap kemungkinan infeksi jamur di paru. 2. Pemeriksaan diagnostik yang lazim terhadap penyakit paru:

a. Foto toraks PA dan lateral, CT Scan toraks.

b. Sputum: mikroskopis jamur dan kultur.

c. Bronkoskopi: sekret bronkus, bilasan bronkus, transbronkial lung

biopsi.

d. Aspirasi paru dengan jarum.

3. Pemeriksaan laboratorium darah a. Kultur darah.

b. Pemeriksaan serologi.

2.1.4 Tehnik pengambilan bahan untuk pemeriksaan jamur. A. Pemeriksaan Sputum

Sputum merupakan bahan yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologik karena cara pengambilan yang mudah dan non invasif. Namun sayang sekali beberapa penelitian membuktikan sputum kurang mencerminkan jenis kuman yang sesungguhnya terdapat disaluran napas bagian bawah. Terkontaminasi terhadap jamur kandida yang merupakan flora normal dimulut sangat tinggi.


(34)

Sputum pagi merupakan yang terbaik untuk melakukan kultur maupun pemeriksaan mikroskopi. Pengumpulan sputum selama 24 jam tidak diperbolehkan untuk dilakukan pemeriksaan. Kuantitas sputum yang adekuat bila jumlah volume berkisar antara 5 – 10 ml. Kualitas sputum yang baik bila tidak tercampur dengan saliva. Jamur dalam sputum dapat bertahan hidup

dalam waktu 2 minggu bila disimpan pada suhu 4⁰C. (Kumala W, 2006)

B. Aspirasi transtrakeal.

Merupakan tehnik yang invasif dalam usaha mendapatkan bahan pemeriksaan penyebab infeksi saluran napas bawah yang bebas kontaminasi flora kuman yang hidup di orofaring. Meskipun cara ini lebih handal dari pemeriksaan sputum, namun kontaminasi masih mungkin terjadi

C. Aspirasi transtorakal dengan jarum.

Aspirat diambil langsung dari lesi menggunakan jarum. Lokasi dari lesi ditentukan melalui foto dada, insersi jarum dengan tuntunan CT dan fluoroskopi dibutuhkan untuk lesi yang kecil. Sensitifitas dan spesifitas cukup tinggi, namun mempunyai resiko komplikasi pneumotoraks dan batuk darah D. Biopsi paru terbuka.

Dengan cara ini dapat diperoleh bahan pemeriksaan lebih banyak sehingga negatif palsu kemungkinannya lebih kecil, namun dapat menimbulkan resiko yang tidak ringan berupa pneumotoraks dan perdarahan.

E. Bilasan bronkus

Cara ini sudah digunakan sejak lebih 40 tahun yang lalu, dengan melakukan aspirasi sekret bronkus didaerah lesi melalui bronkoskopi. Dengan cara ini meskipun kuman penyebab infeksi saluran nafas bawah mungkin diperoleh,


(35)

namun cara ini belum mampu menghindari kontaminasi kuman dari orofaring.

F. Sikatan bronkus.

Bilasan bronkoalveolar terbukti sangat bermanfaat dalam mendiagnosa paru oportunistik pada pasien-pasien imunocompromised host.

Tehnik ini merupakan pengembangan dari cara bilasan bronkus yang tujuannya untuk menghindari semaksimal mungkin kontaminasi kuman daerah orofaring terhadap bahan aspirat. Jenis sikatan bronkus yang terunggul dalam arti kata mampu mendapatkan bahan aspirat yang bebas sama sekali darii kontaminasi kuman orofaring adalah sikatan bronkus dengan karakter ganda terlindung polietilen glikol.

2.2 Aspergillosis

Aspergillosis merupakan infeksi yang disebabkan moulds saprofit dari

genus aspergilus. Aspergilus Sp. Adalah saprofit yang terdapat di tanah, air dan tumbuhan yang mengalami pembusukan dan aspergilosis terdapat diseluruh dunia. Lebih dari 200 spesies Aspergilus telah di identifikasi dan A. fumigatus adalah pathogen manusia tersering dimana > 90% menyebabkan invasif dan non-invasif aspergilosis. Namun, spesies lainnya termasuk A.flavus, A. niger, dan A. terreus, juga dapat menyebabkan penyakit. Kapang ini menghasilkan banyak konidia kecil yang mudah di aerosol. Setelah menghirup konidia tersebut, orang yang atopik sering mengalami reaksi alergi hebat terhadadap antigen konidia. Pada pasien imunokompromais terutama penderita leukemia, transplantasi sumsum tulang, dan orang yang mendapat kortikosteroid, konidia dapat bergerminasi untuk


(36)

menghasilkan hifa yang dapat menginvasi paru dan jaringan lain. (Dumasari, 2008, Mitchell 2007)

2.2.1 Morfologi dan identifikasi

Aspergillus adalah jamur yang distribusinya tersebar luas di atmosfir dan memegang peranan dalam mendaur ulang karbon dan nitrogen. Jamur ini memiliki siklus biologikal yang sederhana dengan karakteristik sporulasi yang tinggi, yaitu dapat menghasilkan konidia dengan konsentrasi yang tinggi (1 – 100 konidia / m3

Aspergilus Sp. Tumbuh secara cepat, menghasilkan hifa aerial dengan ciri struktur konidia yang khas: konidiofora panjang dengan vesikel terminal yang fialidnya menghasilkan rantai konidia yang bertumbuh secara basipetal. Spesies diidentifikasi berdasarkan perbedaan morfologi struktur, termasuk ukuran, bentuk, tekstur, dan warna konidia. (Mitchell, 2007)

) di udara. Diameter konidia Aspergillus cukup kecil (2-3µm) untuk mencapai alveoli paru. (Chamilos dan Kontoyiannis, 2008)

Terdapat 19 spesies aspergillus yang dapat menyebabkan penyakit, yaitu Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus, Aspergillus amstelodami, Aspergillus avenaceus, Aspergillus candidus, Aspergillus carneus, Aspergillus caesiellus, Aspergillus clavatus, Aspergillus glaucus, Aspergillus granulosus, Aspergillus nidulans, Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Aspergillus quadrilineatus, Aspergillus restrictus, Aspergillus sydowi, Aspergillus terreus, Aspergillus ustus, and Aspergillus versicolor. Yang paling sering menyebabkan penyakit adalah Aspergillus fumigatus.(Stevens et al, 2000, Thompson dan Patterson, 2008)


(37)

Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis Aspergillus fumigatus. (Tomas et al, 2001)

2.2.2 Pathogenesis

Kecil kemungkinan untuk menderita penyakit invasif kecuali jika jumlah fagosit pada tubuh berkurang. Pada paru, makrofag alveolar mampu menelan dan menghancurkan konidia. Makrofag dapat memfagosit dan menghancurkan conidia aspergilus sedangkan polymorphonuclear (PMN) leukosit dan monosit (MNC) dapat merusak hypha aspergillus melalui mekanisme oxidative dan non-oxidatif. Makrofag dan neutrofil merupakan pertahanan tetap pada paru dalam melawan spesies Aspergillus. Keratin dan barrier epidermal kulit bertindak sebagai tambahan pertahanan pertama secara mekanik. Konidia spesies Aspergillus yang lebih kecil, 3-5 µm lebih mudah mencapai alveolar, dimana tidak terdapat pertahanan mekanis. (Chander, 2002)

Makrofag dari hewan yang diobati kortikosteroid atau pasien imunokompromais mengalami penurunan kemampuan untuk mengandung inokulum. Dalam paru, konidia membesar dan bergerminasi menghasilkan hifa


(38)

yang cenderung menginvasi kavitas yang sudah ada (aspergiloma atau bola fungi) atau pembuluh darah. (Dumasari, 2008, Mitchell,2007)

Faktor resiko terjadinya infeksi aspergillosis termasuk hingga menjadi invasiv aspergillosis antara lain adalah keganasan hematologi, penggunaan steroid, agranulocytosis (intensitas dan durasi), penyakit CMV, penyakit paru (termasuk PPOK, penyakit paru interstitial, dan riwayat operasi thoraks) dan tergantung status imun selama pengobatan dengan corticosteroid, alkoholisme,

penyakit vascular kolagen atau Chronic granulomatous disease, dan penyakit

yang menimbulkan kavitas. Pasien yang mengalami BMT atau transplantasi organ, neutropenia setelah kemoterapi pada keganasan hematologi atau limfoma, pasien dengan HIV stadium terakhir. Resiko timbulnya invasif aspergillosis juga berhubungan dengan derajat terpapar spora aspergillus. (Garbino, 2004)

2.2.3 Mikotoksin

Aspergillus fumigatus menghasilkan metabolit sekunder yang disebut

dengan mikotoksin. Metabolit sekunder yang paling sering ditemukan antara lain adalah Fumagillin, fumitoxin, fumigaclavines, fumigatin, fumitremorgins, gliotoxin, monotrypacidin, tryptoquivaline, helvolic acid, dan dua metabolit chromophore families uncharacterized chemically (FUA dan FUB). (Latge, 1999) Spesies Aspergillus pada umumnya memproduksi toksin / mikotoksin yang dapat berperan pada manifestasi klinis. (Dumasari, 2008) Mikotoksin yang dihasilkan dapat menimbulkan berbagai gejala dan tanda, tergantung pada organ yang terkena, dosis dan jenis mikotoksin yang dihasilkan. Gejalanya dapat berupa


(39)

kematian akut, immunosupressi, lesi kulit dan tanda-tanda hepatotoxic, nephrotoxic, neurotoxic, atau genotoxic. (Soyler, 2004)

Gliotoxins merupakan mikotoksin yang paling sering dipelajari karena senyawa ini secara akut bersifat toxic. (Latge, 1999) Gliotoxin dapat menurunkan fungsi makrofag dan neutrophil. (Dumasari, 2008) Gliotoxins memiliki aktivitas biologi sebagai antibakteri dan antivirus. Gliotoxins juga merangsang apoptosis sel mati pada beberapa jenis sel dan toxin ini diduga memiliki peranan penting terhadap pathogenesis terjadinya invasif aspergillosis. (Soyler, 2004) Selain itu toxin ini juga dapat menghambat aktivasi sel B dan sel T dan menghambat generasi sel cytotoxic.(Latge, 1999) Produksi catalase, superoxide dismutase dan

mannitol oleh Aspergillus dapat melindungi jamur tersebut dari kerusakan

oxidative yang di induksi oleh sel fagositik. Selain itu, pigmen melanin dan membran protein kakunya terdiri dari vesikel rodlet di permukaan konidia Aspergillus yang juga dapat membuat pertahanan diri dari fagositosis. (Chamilos, 2008)

2.2.4 Gambaran klinis

Sejak diketahui bahwa inhalasi merupakan cara masuknya spora aspergilus ke dalam saluran pernafasan manusia, maka istilah aspergilosis sescara umum meliputi kelompok penyakit yang gambaran klinisnya melibatkan paru-paru.

1. Non-invasif aspergilosis

a. Bentuk alergi (allergic bronchopulmonary aspergillosis / ABPA)

Pada beberapa individu yang atopic, pembentukan antibody IgE terhadap antigen permukaan konidia aspergilus menghasilkan reaksi asmatik segera pada


(40)

pajanan berikutnya. Pada individu lain, konidia bergerminasi dan hifa mengolonisasi pohon bronkus tanpa menginvasi parenkim paru. Fenomena tersebut merupakan cirri khas aspergilosis bronkopulmonal alergi, yang secara klinis ditandai dengan asma, infiltrate dada rekuren, eosinifilia, dan hipersensitivitas uji kulit tipe I (cepat) dan tipe III (Arthus) terhadap antigen aspergillus. Banyak pasien menghasilkan sputum akibat aspergilus dan presipitin serum. Mereka mengalami kesulitan bernapas dan timbul parut yang permanen di paru. Pejamu normal yang terpajan konidia dalam jumlah yang sangat banyak dapat mengalami alveolitis alergi ekstrinsik. (Mitchell, 2007)

Allergic bronchopulmonary aspergillosis dilaporkan dijumpai pada asma yang tergantung dengan steroid sekitar 14% dan pada pasien dengan kolonisasi aspergilus seperti cystic fibrosis dijumpai sebanyak 7%. Gambaran klinis yang sering dijumpai yaitu demam, asma dengan perbaikan klinis yang lambat, batuk yang produktif, malaise dan berat badan menurun. (Dumasari, 2008) Kriteria

minimal untuk menegakkan diagnosa ABPA adalah 1) asthma; 2) immediate

cutaneous reactivity terhadap A. fumigatus; 3) total serum immunoglobulin (Ig)E 1,000 ng/ml; 4) peningkatan specific IgE-Af/IgG-Af; dan 5) central bronchiectasis tanpa disertai distal bronchiectasis. (Shah, 2010) Selain itu criteria lainnya adalah

dijumpai adanya A. fumigatus pada biakan sputum, batuk dengan dahak berwarna

coklat atau flek, dan reaksi arthus terhadap antigen Aspergillus. (Chamilos, 2008)

b. Aspergiloma dan kolonisasi ekstrapulmonal

Aspergiloma (fungus ball) adalah berupa massa yang padat tidak

berbentuk dari mycelium jamur. Aspergiloma terjadi ketika konidia yang terhirup masuk ke dalam kavitas yang sudah terbentuk, bergerminasi, dan menghasilkan


(41)

banyak hifa dalam ruang paru abnormal. Pasien yang menderita penyakit kavitas sebelumnya (misal tuberculosis, sarkoidosis, emfisema) berisiko terkena penyakit ini. Fungus ball sering dijumpai pada lokasi bagian atas lobus paru. Terjadinya lisis yang spontan pernah dilaporkan sekitar 10% dari kasus. (Dumasari, 2008, Mitchell, 2007, Thompson dan Patterson, 2008)

Beberapa pasien asimtomatik, yang lain mengalami batuk, dispnea, penurunan berat badan, lelah, dan hemoptisis. Haemoptisis merupakan gejala klinis yang sering dijumpai sekitar 50 – 80% dari kasus dan jarang bersifat fatal. Kasus aspergiloma jarang bersifat invasive. Infeksi local noninvasive (kolonisasi) oleh spesies aspergilus dapat mengenai sinus nasalis, saluran telinga, kornea, atau kuku. (Mitchell, 2007, Thompson, 2008)

Gambar 2.2 Gambaran Aspergilloma pada paru (A.D.A.M, 2010)

2. Aspergilosis invasive

Setelah terhirup dan terjadi germinasi konidia, penyakit invasif berkembang menjadi proses pneumonia akut dengan atau tanpa penyebaran. Pasien yang beresiko adalah mereka yang menderita leukemia mielogenosa atau


(42)

limfositik dan limfoma, penerima transplantasi sumsum tulang, dan terutama mereka yang minum kortikosteroid. Gejala antara lain demam, batuk, dispnea, dan hemoptisis. Hifa menginvasi lumen dan dinding pembuluh darah, menyebabkan thrombosis, infark, dan nekrosis. Dari paru penyakit ini dapat menyebar ke saluran cerna, ginjal, hati, otak dan organ lain, menimbulkan abses dan lesi nekrotik. Tanpa pengobatan yang cepat, prognosis untuk pasien yang menderita aspergilosis invasive sangat buruk. Individu dengan penyakit dasar yang tidak terlalu mengganggu dapat mengalami aspergilosis pulmonal nekrotikans kronik, yang merupkan penyakit yang lebih ringan. (Mitchell, 2007)

Faktor resiko terjadinya Aspergillosis paru invasive adalah pada pasien immunocompromised yang disebabkan terutama oleh keadaan neutropenia, haematopoietic stem-cell dan transplantasi organ padat, penggunaan obat kortikosteroid yang lama dan dengan dosis tinggi, keganasan haematologi, terapi cytotoxic, AIDS, dan chronic granulomatous disease (CGD).(Zmeili dan Soubani, 2007)

3. Semi-Invasive/Chronic Necrotising Aspergillosis (CNA)

Spektrum penyakit ini diantara kolonisasi saprofit pada aspergilloma dan invasive aspergillosis. (Panda, 2004) Penyakit ini merupakan indolent, kavitas, dan merupakan sekunder infeksi parenkim paru terhadap invasi local jamur aspergillus. Berbeda dengan IPA, CNA memiliki progresivitas yang lambat lebih dari beberapa minggu hingga bulan dan invasi vascular atau disseminasi organ lain tidak terjadi. Sindroma penyakit ini jarang terjadi. (Zmeili dan Soubani, 2007)


(43)

Gambar 2.3 Spektrum klinis yang dihasilkan akibat terhirupnya spora aspergillus. ICH, immunocompromised host; IPA, invasive pulmonary aspergillosis; ABPA, allergic bronchopulmonary aspergillosis. (Zmeili dan Soubani, 2007)

2.2.5 Uji diagnostic laboratorium

a. Spesimen

Sputum, spesimen saluran pernapasan lain, dan biopsy jaringan paru merupakan specimen yang baik. Sampel darah jarang positif. (Mitchell, 2007) kontaminasi material dapat terjadi pada semua level, sehingga kontaminasi harus dihindari sebisa mungkin. Kontaminasi oleh konidia yang berada di udara dapat terjadi pada sampel. Resiko ini rendah pada sampel darah, meningkat pada sampel saluran pernafasan, sputum, dan sekresi endotracheal, begitu juga dengan sampel yang berasal dari BAL, namun resikonya lebih rendah. (Bolehovska et al, 2006)

b. Pemeriksaan Mikroskopik

Bahan yang dapat digunakan yaitu sputum, bilasan bronchial, aspirasi tracheal dari pasien dengan penyakit paru dan biopsy jaringan dari pasien


(44)

disseminated. Sebelum pemeriksaan sputum, bronchial washing dan aspirasi tracheal dilakukan, specimen tersebut diberi KOH 10% dan tinta parker kemudian selanjutnya diberi pewarnaan gram, sedangkan specimen yang berasal dari biopsy jaringan diberi pewarnaan khusus untuk jamur yaitu Gomori methenamine silver atau Periodic acid-Schiff. (Dumasari, 2008) Dari Hasil pemeriksaan dijumpai adanya cabang dichotomous and hypa bersepta yang mempunyai lebar yang sama (sekitar 4 µm). (Mitchell, 2007)

c. Biakan

Aspergilus Sp. Tumbuh dalam beberapa hari pada sebagian besar medium

pada suhu ruangan. Spesies diidentifikasi berdasarkan morfologi struktur konidia. (Mitchell, 2007)

d. Pemeriksaan Kultur

Specimen kultur berasal dari sputum, bilasan bronchial dan aspirasi tracheal di inokulasi pada agar Sabouroud dextrose dengan antibiotic dan tanpa

cycloheximide pada temperature 25⁰C dan 37⁰C. Subkultur isolate dapat

dilakukan pada agar czapk Dox dan agar 2% ekstrak malt dengan inkubasi pada

25⁰C. agar Potato dextrose sangat berguna untuk menginduksi sporulasi sehingga

identifikassi isolate menjadi lebih mudah.(Chander, 2002)

Pertumbuhan koloni cepat dan dapat berwarna putih, kuning, kuning kecoklatan, coklat kehitaman atau hijau. Hasil yang positif dari pemeriksaan kultur tersebut hanya dijumpai 10% - 30%. Hal ini dapat dijumpainya kontaminan lain pada kultur sehingga menimbulkan kesulitan melakukan isolasi dan akibatnya organism yang di isolasi jumlahnya relatif sedikit. Kesulitan yang lain yaitu spesies Aspergillus sering merupakan kontaminan laboratorium. Hasil


(45)

pemeriksaan kultur darah biasanya negatif tetapi apabila hasilnya positif dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.(Dumasari, 2008)

e. Tes Kulit

Tes kulit dengan menggunakan antigen aspergillus hanya berhasil untuk mendiagnosis allergic aspergillosis. Penderita dengan asma tanpa komplikasi yang disebabkan aspergillus menimbulkan reaksi immediate tipe I. Pada pasien allergic bronchopulmonary aspergillosis menimbulkan reaksi immediate tipe I dan juga 70% memberikan reaksi delayed tipe III.(Dumasari, 2008)

f. Serologi

Pemeriksaan antibody Aspergillus sering membantu untuk mendiagnosis bentuk lain dari aspergillosis yang dijumpai pada penderita non-compromise. Pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan yaitu immunodiffusion (ID), indirect

haemagglutination dan enzyme-linked immunosorbeny assay (ELISA).

Pemeriksaan immunodiffusioan mudah dilaksanakan dan pengendapaan dapat dideteksi lebih dari 70% penderita dengan allergic bronchopulmonary aspergillosis dan lebih dari 90% pada penderita pulmonary aspergilloma atau kronik necrotizing pulmonary aspergillosis. Pemeriksaan immunodiffusion juga berguna untuk mendeteksi infeksi Aspergillus bentuk invasive.

Pemeriksaan untuk mendeteksi antigen Aspergillus di dalam darah dan cairan tubuh yang lain dapat lebih cepat untuk mendiagnosis aspergillosis pada penderita immunocompromise. Pada pasien invasive aspergillosis, ditemukan titer yang tinggi dari antigen galactomannan (galactomannan merupakan komponen utama dari dinding sel Aspergillus). Ada dua jenis pemeriksaan untuk mendeteksi Aspergillus galactomannan yaituLatex particle agglutination tetapi pemeriksaan


(46)

ini kurang sensitive dan Sandwich ELISA (Enzyme-linked immunosorbent Assay) dimana sensitivitinya 90-93% dan spesivitinya 94-98%. (Dumasari, 2008)

Uji ID untuk presipitin terhadap A. fumigates positif pada lebih dari 80% penderita aspergiloma atau aspergilosis bentuk alergi, tetapi uji antibody tidak membantu dalam diagnosis aspergilosis invasive. Namun, uji serologi untuk galaktomanan dinding sel yang bersirkulasi bersifat diagnostic. (Mitchell, 2007)

g. Diagnostik Molekuler

Metode pemeriksaan PCR telah mengalami perkembangan, digunakan untuk mendeteksi DNA Aspergillus di dalam darah, serum dan cairan

bronchoalveolar lavage. Metode pemeriksaan Nucleic acid sequence-based

amplification assay (NASBA) juga telah mengalami perkembangan, digunakan

untuk mendeteksi dan mengidentifikasi genus Aspergillus dengan RNA sequences yang spesifik dari specimen darah. (Dumasari, 2008)

Penelitian mengenai deteksi asam nukleat Aspergillus dengan PCR telah banyak dilaporkan untuk memperbaiki diagnosis dari invasive aspergillosis, baik yang berasal dari cairan BAL, serum darah, dan sputum. (Bansod et al., 2008) Penggunaan PCR menjadi standard dan valid dalam pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa invasive aspergillosis secara cepat. (WHO, 2009) Metode PCR terbukti lebih sensitiv daripada deteksi antigen jamur Aspergillus. (Stevens et al., 2000) PCR dengan menggunakan cairan BAL memiliki sensitivity 67 – 100% dan specificity 55 – 95% untuk invasiv pulmonary Aspergillosis. Dan pada sampel serum memiliki sensitivity 100% dan specificity 65 – 92%. (Zmeili dan Soubani, 2007, Raad et al, 2002) DNA target yang biasa digunakan adalah 18S rRNA atau 28S rRNA. (Jun et al, 2001)


(47)

2.2.6 Pengobatan

Aspergiloma diobati dengan itrakonazol atau amfoterisin B dan pembedahan. Aspergilosis invasive memerlukan pemberian cepat formula alami atau lipid amfoterisin B atau voriconazol, sering ditambahkan imunoterapi sitokin. Penyakit paru nekrotikan kronik yang lebih ringan dapat diobati dengan vorikonazol atau itrakonazol. (Mitchell, 2007) Aspergilosis bentuk alergi diobati dengan kortikosteroid dan itraconazole. (Garbino, 2004)

Prognosis pasien dengan invasive aspergillosis mengalami perbaikan dengan penggunaan klinis terapi anti jamur golongan azole, terutama voriconazole. Meskipun demikian, pertahanan hidup pasien dapat terancam dengan adanya keadaan resistensi aspergillus terhadap golongan azole. Resistensi

ini biasanya disebabkan oleh point mutasi pada gen cyp51A, yang merupakan

target terapi golongan azole. (Jan et al, 2010)

Tabel 2.1 Spektrum Aspergillosis pada saluran pernapasan bawah (Thompson dan Patterson, 2008)


(48)

2.2.7 Epidemiologi dan Pengendalian

Jamur Aspergillus tersebar diseluruh dunia. Konidianya dapat hidup di tanah dan di udara. Di dalam lingungan rumah sakit jamur Aspergillusspp. dapat ditemukan di udara, penampungan air, tanaman di pot. Sehingga spora jamur ini selalu dapat terhirup oleh manusia. Terjadinya infeksi aspergillus pada manusia lebih berperan pada factor daya imunitas penderita dibandingkan virulensi jamurnya sendiri. Saluran napas atas merupakan organ yang paling sering terkena infeksi jamur Aspergillus. (Kumala, 2006) Pada dekade terakhir, insidens infeksi jamur meningkat. Aspergillosis invasive merupakan infeksi jamur kedua yang paling sering pada pasien kanker, setelah kadidiasis. (Garbino, 2004)

Untuk individu yang beresiko menderita penyakit alergi atau aspergilosis invasive, usaha yang harus dilakukan adalah menghindari pajanan terhadap konidia spesies aspergilus. Kebanyakan unit transplantasi sumsum tulang menggunakan system pendingin berfilter, mengawasi kontaminan melalui udara pada ruangan pasien, mengurangi kunjungan, dan beberapa tindakan lain untuk mengisolasi pasien dan meminimalkan resiko pasien terpajan konidia aspergilus dan kapang lain. Beberapa pasien yang beresiko untuk aspergilosis invasive diberikan profilaksis amfoterisin B atau itrakonazol dalam dosis rendah. (Mitchell, 2007)

2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1985, merupakan suatu prosedur yang efektif untuk pelipatgandaan (amplifikasi) DNA. Proses ini mirip dengan proses replikasi DNA dalam sel. Amplifikasi ini menghasilkan


(49)

lebih dari sejuta kali DNA asli. Hasil pelipatgandaan segmen DNA ini menyebabkan segmen DNA yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi karena konsentrasinya tinggi. Pendeteksian dilakukan dengan metode pemisahan molekul berdasarkan bobot molekulnya, yang disebut elektroforesis menggunakan gel agarosa (Sudjadi, 2008).

Proses pelipatgandaan DNA oleh PCR ini meliputi tiga tahapan proses utama, yaitu:

Proses pertama melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA melalui proses denaturasi. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara

menaikkan suhu sampai 95o

Proses kedua adalah annealing atau pemasangan 2 rantai primer pada kedua rantai DNA tersebut. Primer berfungsi sebagai pancingan awal dalam pelipatgandaan segmen DNA. Primer terdiri dari 18 - 24 deret basa nukleotida pengode DNA [adenin(A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T)] yang disintesis secara artifisial dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan dideteksi ini membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer tersebut. Biasanya dengan cara menurunkan suhu antara 37

C. Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali dengan proses denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah sempurna menjadi rantai tunggal.

oC-60o

Proses ketiga disebut ekstension atau perpanjangan. Pada proses ini deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan dalam pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18 sampai 24 deret basa nukleotida akan memperoleh tambahan basa nukleotida yang terdapat di


(50)

dNTP dan kemudian menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu. Proses ini dibantu oleh adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja

optimum pada suhu 72o

Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan segmen DNA sesuai dengan kebutuhan (Sopian, 2006; Sudjadi, 2008).

C. dNTP merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida (A,G,C, dan T) yang terikat pada 3 gugus fosfat dan masing-masing berdiri bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer.

Setelah siklus PCR berakhir, proses final extension dilakukan selama 5-15

menit pada suhu yang sama dengan proses ekstensi untuk menjamin semua rantai tunggal DNA telah penuh terbentuk.

2.4 Elektroforesis

Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul dalam suatu campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul yang terlarut dalam medan listrik akan bergerak dengan kecepatan tertentu.

Elektroforesis melalui gel agarosa merupakan metode standar untuk pemisahan, identifikasi dan pemurnian fragmen DNA. Agarosa disarikan dari ganggang laut dengan dasar stuktur D-galaktosa dan 3,6-anhidroL –galaktosa. Gel agarosa dibuat dengan melelehkan agarosa dalam bufer dengan pemanasan dan kemudian dituangkan pada cetakan serta didiamkan sampai dingin. Setelah mengeras, diberikan medan listrik pada kedua ujungnya, maka DNA yang bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak ke anoda. Molekul DNA yang lebih besar akan bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan lebih besar. Untuk mendeteksi adanya DNA , sebelum dimasukkan dalan gel agarosa, terlebih


(51)

dahulu diwarnai dan kemudian dapat dilihat adanya pita molekul pada gel agarosa jika diletakkan di atas cahaya ultraviolet. Pita molekul ini menandakan adanya segmen DNA (Sudjadi, 2006).


(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah deskriptif cross sectional. Penelitian

dilakukan dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dan

kultur.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran USU Medan dan laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UISU.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah penderita batuk kronis yang datang berobat ke poliklinik paru Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampelnya adalah sputum dari penderita batuk kronis. Perkiraan besarnya sampel penelitian berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus (Sastroasmoro S, 1995) :

n = ZA2 d .P.(1-P)

2

Keterangan :


(53)

n = jumlah sampel

Z = tingkat kepercayaan (95%  1,96) P = proporsi (80-90%)

d = ketepatan (0,1) Hasil Perhitungan :

n =

(0,1) 1.96 x 0.9 (0.1)

2

= 34,57  minimal 35 orang

3.4 kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi

1. penderita batuk yang lebih dari tiga minggu 2. penderita batuk yang disertai dahak

3. penderita yang berusia 17 tahun ke atas

4. penderita batuk kronis yang telah mendapatkan pengobatan anti mikroba

maupun yang belum.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Penderita yang telah terdiagnosa menderita penyakit jamur dengan

pemeriksaan kultur.

2. Penderita batuk kronis yang mendapatkan pengobatan anti jamur sistemik


(54)

3.5 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep 3.6 Variabel Penelitian

Yang menjadi variabel pada penelitian ini adalah:

1. Aspergillus fumigatus

2. Sputum penderita batuk kronis

3. Polymerase Chain Reaction

4. Kultur

Batuk Kronis

Deteksi Aspergillus fumigatus

Kultur Serologis PCR

Spesimen Sputum Bilasan Bronkus Aspirasi Tracheal Darah Biopsi Jaringan Mikroskopik (KOH)

Tes Kulit Mikroskopik

(KOH) Tes Kulit

Hasil

Positif Negatif

Aspergillosis Batuk Kronis

Deteksi Aspergillus fumigatus

Kultur Serologis PCR

Spesimen Sputum Bilasan Bronkus Aspirasi Tracheal Darah Biopsi Jaringan


(55)

3.7 Defenisi operasional

1. Aspergillus fumigatus adalah jenis jamur eksogen yang banyak terdapat di

lingkungan yang dapat menginfeksi manusia bila terhirup konidianya sehingga menyebabkan penyakit aspergillosis pada paru.

2. Sputum penderita batuk kronis adalah sekret kental yang berasal dari

saluran pernapasan bagian bawah dari pasien yang menderita batuk terus-menerus selama lebih dari tiga minggu. Sputum didapatkan dengan cara di batukkan dengan kuat dan dalam dan dimasukkan kedalam cawan plastik yang steril.

3. Polymerase chain reaction adalah suatu alat ukur untuk dapat mendeteksi

jamur Aspergillus fumigatus. Cara mengukurnya adalah dengan

melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu

dengan cara in vitro menggunakan metode enzimatis, dilakukan dengan

tiga tahap yaitu denaturasi, annealing dan extension. Kemudian hasil PCR dapat divisualissasi dengan metode elektroforesis. Pita DNA akan terlihat pada 236bp dengan menggunakan UV transluminator. Hasil pengukuran adalah ditemukan atau tidak ditemukan jamur Aspergillus fumigatus. Skala pengukuran menggunakan skala ordinal yaitu positif atau negatif.

4. Kultur adalah suatu metode untuk menlihat pertumbuhan jamur

Aspergillus fumigatus dengan menggunakan media miring Sabaroud

Dextrose Agar dan di inkubasi pada suhu 26°C - 28°C selama ± 10 hari. Lalu dibaca dibawah mikroskop dengan pembesaran 10X. Hasilnya positif

terdapat jamur Aspergillus fumigatus bila dijumpai hifa bersepta


(56)

fumigatus. Skala pengukuran menggunakan skala ordinal yaitu positif atau negatif.

3.8 Alat dan Bahan

Bahan penelitian adalah sputum pagi hari penderita batuk kronis yang datang ke poliklinik Penyakit Paru Rumah Sakit Haji Adam Malik Kota Medan, Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah :

Alat penelitian:

• Cawan plastik penampung sputum

• Incubator

• vortex

• alat-alat gelas laboratorium (seperti beaker glass dan sebagainya)

• pipet tetes dan mikropipet

• mikrocentrifuge

• spektrofotometer

• tabung eppendorf

• alat PCR

• freezer

• Gel-Doc instrument

Bahan penelitian:

• Aquabidest

• Kit Isolasi DNA (Promega)


(57)

• Nuclei Lysis Solution

• Protein Precipitation Cell

• DNA Rehydration Solution

• Isopropanol

• Ethanol 70%

• 50-150 ng DNA template

• 0.5 U Taq DNA Polymerase

• 6.25 nmol deoxynucleosida triphosphat

• 10 pmol primer

• 2% agarose gel

• Ethidium bromide

• Primer :

Primer DNA sequence (5’-3’) Location

AFU5S AFU5AS AFU7S AFU7AS

AGG GCC AGC GAG TAC ATC ACC TTG

GG G (AG)GT CGT TGC CAA C(CT)C (CT)CC TGA CGG CCC TTA AAT AGC CCG

GA CCG GGT TTG ACC AAC TTT

1436-1459 1648-1771 1296-1313 1681-1700

3.9 Prosedur Penelitian

3.9.1 Pengambilan sampel (Capital Health, 2011, Beattie, 2005, MDH, 2004) Sputum diambil pada pagi hari sebelum makan dan minum. Bila menggunakan gigi palsu maka terlebih dahulu gigi palsunya dilepaskan.


(58)

tanpa menggunakan mouthwash. Tarik nafas dalam dan keluarkan dari hidung sebanyak 3 kali. Tarik nafas dalam dan tahan ± 5 detik, kemudian buang secara perlahan. Tarik nafas dalam lagi dan batukkan dengan kuat hingga sputum keluar. Batukkan sputum dengan kuat dan dalam atau dapat dibantu dengan menepuk dada sebelum di batukkan agar sputum lepas dari paru. Sputum dimasukkan ke dalam tempat yang steril. Sputum yang baik tidak bercampur dengan air liur atau post nasal drainage. Sputum dikumpulkan hingga ± 5 ml atau sekitar 1 sendok teh. jika tidak bisa membatukkan sputum, dapat dibantu dengan menghirup uap panas dari air yang dimasak.

3.9.2 Isolasi Sampel

Sekitar 2-4 ml sputum sampel di masukkan / diletakkan di dalam tempat yang steril. Spesimen yang tidak langsung dikerjakan disimpan di lemari es 4°C.

3.9.3 Isolasi DNA

Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan bahan yang berasal dari

pabrik Promega. 900µl Cell Lysis Solution dimasukkan kedalam tabung

1,5 ml dan ditambahkan 300µl sampel sputum. Tabung dibalikkan 5-6 kali agar larutan tercampur. Tabung diinkubasi selama 10 menit pada temperatur ruangan (selama inkubasi balikkan tabung 2-3 kali) lalu di sentrifugasi dengan kecepatan 13.000-16.000 rpm selama 20 detik pada temperatur ruangan. Supernatannya dibuang, dan divortex selama 10 – 15


(59)

detik. Setelah itu, kedalam tabung ditambahkan 300µl Nuclei Lysis Solution, dan larutannya di pipet 5-6 kali untuk memecahkan dinding

jamur. Kemudian ditambahkan 100µl Protein Precipitation Solution, dan

divortex selama 10-20 detik. Supernatannya dipindahkan ke tabung 1,5ml steril yang baru, yang sebelumnya telah diisi dengan isopropanol 300µ l. Tabung disentrifuge dengan kecepatan 13.000-16.000 rpm selama 3 menit pada temperatur ruangan. Larutannya diaduk dengan membalikkan tabung hingga terlihat benang-benang putih halus DNA. Tabung disentrifuge dengan kecepatan 13.000-16.000 rpm selama 3 menit pada temperatur ruangan, hingga terlihat pellet pada dasar tabung. Supernatannya dibuang, dan ditambahkan 300µl ethanol 70%. Tabung di balik agar pellet dan larutan tercampur lalu disentrifuse dengan kecepatan 13.000-16.000 rpm selama 3 menit pada temperatur ruangan. Secara perlahan ethanol dibuang dengan pippet. Tabung dibalikkan diatas kertas absorben dan pellet

dikeringkan selama 10-15 menit. Tterakhir ditambahkan 50µl DNA

Rehydration Solution kedalam tabung. DNA disimpan selama semalam

pada suhu 4ᵒC. Lalu DNA disimpan pada suhu 2-8°C. Konsetrasi DNA

dibaca dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 260 dan 280nm.

3.9.4 Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR dilakukan dua tahap dengan menggunakan dua pasang primer yang berbeda, karena fragmen yang diharapkan cukup pendek. Tahapan PCR


(60)

pertama dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah DNA cetakan pada PCR tahap kedua.

Proses PCR tahap pertama menggunakan pasangan primer AFU7S dan AFU7AS mengamplifikasi region 18S rRNA. Dengan ukuran fragmen 405 bp, dan target PCR kedua dengan menggunakan pasangan primer AFU5S dan AFU5AS yang akan menghasilkan produk DNA dengan ukuran fragmen internal 236 bp

.Gambar 3.2 Lokasi pasangan primer AFU5S-AFU5AS (236 bp) dan AFU7S-AFU7AS (405 bp) yang di hasilkan menggunakan PCR dua tahap dalam mendeteksi DNA Aspergillus fumigatus. (Bansod, 2008)

Setiap 25 µl campuran PCR, sekitar 50 – 150 ng total DNA digunakan sebagai template. Campuran standar PCR terdiri dari 0.5 U Taq DNA Polymerase, 6.25 nmol deoxynucleosida triphosphat, 10 pmol primer (langkah pertama menggunakan primer AFU7S-AFU7AS, langkah kedua menggunakan primer AFU5S-AFU5AS). PCR menggunakan metode Thermal Cycler (Perkin-Elmer Catus), dengan urutan: PCR pertama,

prosesnya 2 menit pada suhu 94⁰C kemudian dilakukan sebanyak 35 siklus

selama 40 detik pada suhu 94⁰C, 1 menit pada 60⁰C, dan 1 menit pada


(61)

disimpan pada suhu 4⁰C. PCR kedua, dengan menggunakan produk hasil

dari PCR pertama sebanyak 10 µl. Prosesnya 2 menit pada suhu 94⁰C dan

kemudian 45 siklus selama 40 detik pada suhu 94⁰C, 1 menit pada suhu

60⁰C, dan 1 menit pada suhu 72⁰C, dan langkah terakhir 5 menit pada

72⁰C dan kemudian hasilnya disimpan pada suhu 4⁰C.

3.9.5 Elektroforesis

Hasil PCR di pisahkan dengan menggunakan 2% agarose gel electrophoresis, diwarnai dengan ethidium bromide. Gel dimasak dan

didinginkan pada suhu 50-60⁰C. setelah penambahan ethidium bromide

dengan konsentrasi 0.5 µg/ml, gel dibiarkan mengeras lebih kurang selama 15 menit. Kemudian di letakkan pada tank electrophoresis dengan 1x TAE buffer. Electrophoresis dijalankan pada tegangan 70V selama 1 jam. (SÖyler, 2004)

3.9.6 Visualisasi DNA

DNA hasil amplifikasi yang telah dielektroforesis divisualisasi dengan

menggunakan Gel Documentation. Pita DNA akan terlihat dan dapat

diketahui ukurannya berdasarkan penanda ukuran molekul yang dinyatakan dengan base pair.

Interpretasi hasil :

• Negatif : Tidak terbentuk band atau terbentuk pita berukuran diatas

atau dibawah 236 bp •


(62)

3.9.7 Kultur Sampel (Brooks, 2004, Olds, 1975) Alat dan Bahan :

• Tabung Reaksi

• Sengkelit

• Mikropippet

• Inkubator

• Mikroskop

• Deck glass

• Sabauroud Dextrose Agar

• Larutan Lactophenol cotton-blue

Koloni jamur dipelajari dengan mengamati pertumbuhannya pada media miring Sabouraud dextrose agar. Ambil 10µl sputum dengan menggunakan sengkelit. Arsir pada pemukaaan media miring Sabouroud dextrose agar. Eramkan pada suhu kamar (26°C - 28°C) selama 10 hari. Interpretasi hasil koloni Aspergillus fumigatus jika pada permukaan media dijumpai pertumbuhan filament putih yang kemudian memproduksi spora seperti beledru dengan warna putih keabu-abuan.

Mikroskopis:

Rendam inokulum (mounting) dalam larutan Lactophenol cotton-blue lalu

ditutup dengan sebuah gelas penutup (deck glass). Periksa dibawah

mikroskop pembesaran 10.

Interpretasi hasil : Positif Jamur Aspergillus fumigatus bila dijumpai hifa bersepta (konidiopora) dan membentuk konidia (spora).


(63)

3.10 Tekhnik Analisa Data

Untuk menganalisa data hasil yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi.

3.11 Kerangka Kerja

Gambar 3.3 Kerangka Kerja Penelitian Pengumpulan Sputum Penderita Batuk Kronis

Isolasi Sampel

Isolasi DNA

PCR

Elektroforesis

Visualisasi

Hasil (-) Hasil (+)

Kultur Sampel

Mikroskopik

Terdapat pita berukuran 236bp

Tidak ada pita Terdapat pita

yang bukan berukuran 236bp Terdapat

konidiaspora/spora Aspergillus fumigatus

Tidak Terdapat konidiaspora/spora Aspergillus fumigatus


(64)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Hasil Penelitian

Pengumpulan sampel dilakukan di poli paru Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. Jumlah keseluruhan sampel sebanyak 51 orang penderita batuk kronis. Data sampel penelitian dilakukan analisis seperti diuraikan di bawah ini.

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian berjumlah 51 orang dan didapatkan pasien laki – laki 29 orang (57%) dan sisanya perempuan 22 orang (43%). Pada penelitian ini pasien yang paling muda berumur 17 tahun sedangkan yang paling tua beumur 70 tahun.

4.1.2 Hasil Pemeriksaan Sputum Menggunakan Tekhnik PCR

Dari hasil pemeriksaan sputum menggunakan tekhnik PCR, didapatkan bahwa penderita batuk kronis yang datang berobat ke poli paru Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan ternyata sebagian sputumnya mengandung DNA jamur Aspergillus fumigatus (tabel 4.1).

Tabel 4.1 Distribusi Hasil PCR pada pemeriksaan sputum

Hasil PCR Jumlah (orang) Persentase (%)

Positif 35 68,62

Negatif 16 31,37


(65)

4.1.3 Hasil PCR yang di analisa dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa

Seluruh sampel yang diperiksa dengan menggunakan tekhnik two step PCR untuk mendeteksi adanya DNA jamur Aspergillus fumigatus. Hasil produk PCR dianalisa dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa 2%. Pada setiap gel diberikan marker, kontrol positif dan kontrol negatif. Dengan menggunakan pasangan primer AFU7S – AFU7AS dan primer AFU5S dan AFU5AS didapatkan hasil positif bila terlihat pita pada 236 bp.

Gambar 4.1 Analisis DNA produk PCR Aspergillus fumigatus menggunakan

elektroforesis gel agarosa. Lajur 1: Marker, Lajur 2: Kontrol negatif, Lajur 3: Kontrol Positif, Lajur 4-8: sampel A1 – A5.

Pada gambar 4.1 tampak bahwa dari 5 sampel yang dijalankan di gel agarosa, ada 3 sampel yang hasilnya positif yaitu A2, A3dan A5. Sedangkan yang hasilnya negatif ada 2 sampel yaitu A1 dan A4. Sedangkan pada sampel A4 ditemukan pita yang samar tetapi tidak di 236bp.


(66)

Gambar 4.2 Analisis DNA produk PCR Aspergillus fumigatus menggunakan elektroforesis gel agarosa. Lajur 1: Marker, Lajur 2: Kontrol negatif, Lajur 3: Kontrol Positif, Lajur 4-15: sampel A5 – A16.

Pada gambar 4.2 tampak bahwa dari 12 sampel yang dijalankan di gel agarosa, ada 9 sampel yang hasilnya positif adalah sampel A5, A6, A7, A9, A11, A12, A14, A15 dan A16. Sedangkan yang hasilnya negatif ada 3 sampel yaitu A8, A10, dan A13. Pada sampel A10 ditemukan pita yang bukan di urutan 236bp.

Gambar 4.3 Analisis DNA produk PCR Aspergillus fumigatus menggunakan

elektroforesis gel agarosa. Lajur 1: Marker, Lajur 2: Kontrol negatif, Lajur 3: Kontrol Positif, Lajur 4-16: sampel A17 – A29.

Pada gambar 4.3 tampak bahwa dari 13 sampel yang dijalankan di gel agarosa, ada 10 sampel yang hasilnya positif yaitu A17, A18, A19, A20, A21, A23, A24, A25, A26 dan A27. Sedangkan yang hasilnya negatif ada 3 sampel yaitu A22, A28, dan A29.


(67)

Gambar 4.4 Analisis DNA produk PCR Aspergillus fumigatus menggunakan elektroforesis gel agarosa. Lajur 1: Marker, Lajur 2: Kontrol negatif, Lajur 3: Kontrol Positif, Lajur 4-16: sampel A30 – A42.

Pada gambar 4.4 tampak bahwa dari 13 sampel yang dijalankan di gel agarosa, ada 8 sampel yang hasilnya positif yaitu A30, A32, A33, A34, A35, A36, A37, dan A40. Sedangkan yang hasilnya negatif ada 5 sampel yaitu A31, A38, A39, A41 dan A42. Pada Sampel A32 ditemukan pita selain di 236bp.

Gambar 4.5 Analisis DNA produk PCR Aspergillus fumigatus menggunakan

elektroforesis gel agarosa. Lajur 1: Marker, Lajur 2: Kontrol negatif, Lajur 3: Kontrol Positif, Lajur 4-9: sampel A43 – A51.

Pada gambar 4.5 tampak bahwa dari 9 sampel yang dijalankan di gel agarosa, ada 6 sampel sampel yang hasilnya positif yaitu A43, A44, A45, A46, A47, A59. Sedangkan yang hasilnya negatif ada 3 sampel yaitu A48, A50 dan A51.


(68)

4.1.4 Hasil pemeriksaan Sputum dengan menggunakan kultur

Pada penelitian ini, dilakukan juga kultur pada semua sampel sebagai gold standard pemeriksaan jamur. Kultur dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara dengan menggunakan media Sabaroud Dextrose Agar selama ± 2 minggu. Dari hasil pemeriksaan kultur ini didapatkan 29 sampel positif mengandung Aspergillus fumigatus (tabel 4.2). Tabel 4.2 Distribusi hasil kultur pada pemeriksaan sputum

Hasil Kultur Jumlah (orang) Persentase (%)

Positif

29 56,86

Negatif 22 43,14

Jumlah

51 100

a. b. c. d. e.

Gambar 4.6 Hasil kultur positif mengandung jamur Aspergillus fumigatus. (a) sampel A23, (b) sampel A49, (c) sampel A37, (d) sampel A2, (e) sampel A36.


(69)

a. b. c d. e.

Gambar 4.7 Hasil kultur negatif tidak mengandung jamur Aspergillus fumigatus.

(a) sampel A41, (b) sampel A51, (c) sampel A1, (d) sampel A13, (e) sampel A29.

4.2 Pembahasan

Pada penelitian ini, dari 51 penderita batuk kronis ternyata didapatkan sebanyak 35 sampel (68,62%) hasil PCR positif dan pada pemeriksaan kultur didapatkan hasil positif sebanyak 29 sampel (56,86%) mengandung jamur Aspergillus fumigatus. Suryatenggara dan kawan-kawan (1995) telah melakukan penelitian retrospektif di bagian Paru RS. Persahabatan Jakarta pada 28 penderita penyakit paru yang dicurigai kemungkinan menderita infeksi jamur paru. Penderita yang dilakukan pemeriksaan jamur denngan kultur baik pemeriksaan sputum, bilasan bronkus, biopsi, hasil reseksi maupun pemeriksaan serologis darah, didapatkan hasil 23 penderita (82,1 %) positif jamur. Sukamto (2004) menemukan dari 40 penderita bekas tb.paru yang dicurigai terinfeksi jamur paru, diperoleh 11 penderita (27,5%) dengan hasil kultur bilasan bronkus positif jamur.

Dengan 3 diantaranya positif jamur Aspergillus fumigatus. Hasil penelitian

Suryatenggara dkk (1995) yang dilakukan di Bagian Paru RS Husada Jakarta, dimana dari 66 penderita yang dicurigai terinfeksi jamur dilakukan pemeriksaan jamur dengan kultur pada bilasan bronkusnya diperoleh 30 penderita (45%) positif


(1)

(2)

(3)

(4)

Gambar 1. Alat Laminar Flow Gambar 2. Wadah penampung sputum

Gambar 3. Reagensia yang digunakan untuk Gambar 4. Sampel saat dilakukan isolasi DNA


(5)

Gambar 7. Alat Elektroforesis Gambar 8. Mengoperasikan Alat PCR

Gambar 9. Sampel di dalam alat PCR Gambar 10. Bekerja di dalam

Laboratorium Terpadu


(6)

Gambar 13. Alat Sterilisator Gambar 14. Tips mikropipiet setelah disterilkan