analisis cakupan program, laporan masyarakat dan hasil observasi atau supervisi di lapangan sebagai bahan penilaian Depkes RI, 2003.
2.1.4 Sistem Informasi di Posyandu Sistem Lima Meja a. Meja I
Layanan meja I merupakan layanan pendaftaran, kader melakukan pendaftaran pada ibu dan Balita yang datang ke Posyandu. Alur pelayanan Posyandu
menjadi terarah dan jelas dengan adanya petunjuk di meja pelayanan. Petunjuk ini memudahkan ibu dan Balita saat datang, sehingga antrian tidak terlalu panjang atau
menumpuk di satu meja.
b. Meja II
Layanan meja II merupakan layanan penimbangan
c. Meja III
Kader melakukan pencatatan pada buku KIA atau KMS setelah ibu dan Balita mendaftar dan ditimbang di meja III. Pencatatan dengan mengisikan berat badan
Balita ke dalam skala yang di sesuaikan dengan umur Balita. Di atas meja terdapat tulisan yang menunjukan pelayanan yang di berikan.
d. Meja IV
Berat badan anak yang naik atau yang tidak naik, ibu hamil dengan resiko tinggi, pasangan usia subur yang belum mengikuti KB, penyuluhan kesehatan,
pelayanan Pemberian Makanan Tambahan PMT, oralit, vitamin A, tablet zat besi dilakukan di meja IV
Universitas Sumatera Utara
e. Meja V
Pemberian imunisasi dan pelayanan kesehatan kepada Balita yang datang ke Posyandu dilayani di meja V, dilakukan oleh bidan desa atau petugas kesehatan
lainnya. Imunisasi yang diberikan di posyandu adalah imunisasi dasar, yaitu: BCG, DPT, Hepatitis, Polio, Campak.
Fungsi manajemen posyandu adalah untuk mengetahui keberhasilan program posyandu, kajian output cakupan masing-masing program yang dibandingkan
dengan targetnya adalah salah satu cara yang dapat dipakai sebagai bahan penilaian cakupan program adalah hasil langsung output kegiatan program posyandu yang
dapat dapat dihitung segera setelah pelaksanaan kegiatan program. Perhitungan cakupan ini dapat dilakukan dengan menggunakan statistik sederhana yaitu jumlah
orang yang mendapatkan pelayanan dibagi dengan jumlah penduduk sasaran setiap program.
2.1.5 Penilaian Keberhasilan Program Posyandu
Jumlah penduduk sasaran dapat dihitung secara langsung oleh staf Puskesmas melalui pencatatan data jumlah penduduk sasaran yang ada di Desa atau dusun.
Penduduk sasaran program Posyandu lebih sering dihitung berdasarkan perkiraan atau estimasi. Estimasinya ditetapkan oleh dinas kesehatan KabupatenKota. Jumlah
penduduk sasaran nyata sering jauh lebih rendah dari jumlah penduduk yang dihitung dengan menggunakan estimasi sehingga hasil analisis cakupan program di Puskesmas
selalu jauh lebih rendah. Atas dasar perbedaan antara jumlah penduduk sasaran yang
Universitas Sumatera Utara
dicari langsung riil dengan yang diperkirakan estimasi, perhitungan cakupan dengan menggunakan kedua jenis penduduk sasaran tersebut sebagai pembaginya
akan memberikan hasil yang berbeda Depkes RI, 2005. Staf Puskesmas dalam hal peningkatan efisiensi dan efektivitas
penatalaksanaan program posyandu perlu dilatih keterampilan dan ditingkatkan kepekaannya mengkaji masalah program dan masalah kesehatan masyarakat yang
berkembang di wilayah binaannya. Keterampilan seperti ini dapat dilatih secara langsung pada saat supervisi dan juga diarahkan untuk mencari upaya pemecahan
masalah sesuai dengan kewenangan yang diberikan dengan melibatkan tokoh dan kelompok masyarakat setempat. Semua kegiatan tersebut diatas adalah bagian dari
proses manajemen program Posyandu Depkes RI, 2005. Manajemen program Posyandu di Puskesmas yang diterapkan dapat diamati
dari pelaksanaan kegiatan di lapangan merupakan cara terbaik untuk mengetahui dan mengevaluasi program posyandu. Hasil dari evaluasi pelaksanaan program Posyandu
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan peningkatan cakupan pelayanan.
2.1.6 Indikator Kegiatan Posyandu
Ada beberapa indikator dalam kegiatan Posyandu antara lain : 1. Liputan Program KS. Merupakan indikator mengenai kemampuan program
untuk menjangkau Balita yang ada di masing-masing wilayah kerja posyandu.
Universitas Sumatera Utara
Diperoleh dengan cara membagi jumlah balita yang ada dan mempunyai Kartu Menuju Sehat KMS dengan jumlah keseluruhan Balita dikalikan 100.
2. Tingkat Kelangsungan Penimbangan KD. Merupakan tingkat kemantapan pengertian dan motivasi orang tua balita untuk menimbang balitanya setiap bulan.
Indikator ini dapat dengan cara membagi jumlah Balita yang ditimbang D dengan jumlah Balita yang terdaftar dan mempunyai KMS K dikalikan 100.
3. Hasil Penimbangan ND. Merupakan indikator keadaan gizi Balita pada suatu waktu bulan di wilayah tertentu. Indikator ini didapat dengan membagi jumlah
Balita yang naik berat badannya N dengan jumlah Balita yang ditimbang bulan ini D.
4. Hasil Pencapaian Program NS. Indikator ini di dapat dengaan cara membagi jumlah Balita yang naik berat badannya N dengan jumlah seluruh Balita
S dikalikan 100. 5. Partisipasi Masyarakat DS. Indikator ini merupakan keberhasilan program
Posyandu, karena menunjukkan sampai sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat dan orang tua Balita pada penimbangan Balita di Posyandu. Indikator
ini di peroleh dengan cara membagi jumlah Balita yang ditimbang D dengan jumlah seluruh Balita yang ada S dikalikan 100. Tinggi rendahnya indikator ini
dipengaruhi oleh aktif tidaknya bayi dan Balita ditimbangkan tiap bulannya. Menurut Depkes RI 2005, Posyandu digolongkan pada empat tingkatan
berdasarkan pada beberapa indikator sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Posyandu Pratama adalah Posyandu yang masih belum mantap. Kegiatannya belum bisa rutin tiap bulan dan kader aktifnya terbatas, yakni kurang dari 5 orang.
b. Posyandu Madya adalah Posyandu yang sudah dapat melaksanakan kegiatan lebih dari delapan kali dalam setahun, dengan rata-rata jumlah kader lima orang atau
lebih. Akan tetapi cakupan program utamanya KIA, KB, Gizi dan menyusui masih rendah yaitu 50. Ini menunjukkan kegiatan Posyandu sudah baik tetapi
cakupan program masih rendah. c. Posyandu Purnama adalah Posyandu yang frekuensinya 8 kali pertahun, rata-rata
jumlah kader adalah lima orang atau lebih dan cakupan program utamanya 50 dan sudah ada program tambahan.
d. Posyandu Mandiri adalah Posyandu yang sudah dapat melakukan kegiatan secara teratur, cakupan program utamanya sudah bagus. Ada program tambahan dan dana
sehat telah menjangkau 50 kepala keluarga. Terselenggaranya pelayanan Posyandu melibatkan banyak pihak, adapun tugas dan tanggungjawab masing-
masing pihak dalam penyelenggaraan Posyandu seperti, Dinas kesehatan berperan dan membantu pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan pengadaan alat
timbang, distribusi KMS, obat-obatan dan vitamin serta dukungan bimbingan tenaga teknis kesehatan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
BKKBN berperan dalam penyuluhan, penggerakan peran serta masyarakat dan sebagainya Depkes RI, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Epidemiologi Gizi dalam Program Posyandu
Fungsi manajemen posyandu yang terkait dengan perencanaan, salah satu adalah aspek epidemiologis. Ruang lingkup epidemiologi dalam program posyandu
lebih ditekankan pada epidemiologi gizi yang terkait dengan masalah kekurangan gizi serta penanganan penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi.
Epidemiologi gizi adalah ilmu yang mempelajari determinan dari suatu masalah atau kelainan gizi dengan : a mempelajari distribusi dan besarnya masalah
gizi pada populasi manusia, b menguraikan penyakit dari masalah gizi dan menentukan hubungan sebab akibat, c memberikan informasi yang dibutuhkan
untuk merencanakan dan melaksanakan program pencegahan, kontrol dan penanggulangan masalah gizi di masyarakat, d menguraikan penyebab dari masalah
gizi dan menentukan hubungan sebab akibat Budiarto, 2002. Menurut Nasry 2008 pendekatan masalah gizi masyarakat melalui
epidemiologi gizi bertujuan untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah gizi masyarakat, baik yang bersifat biologis, dan
terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat. Penanggulangan masalah gizi masyarakat yang disertai dengan surveilans gizi lebih mengarah kepada
penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya masalah tersebut dalam masyarakat dan tidak hanya terbatas pada sasaran individu atau
lingkungan keluarga saja.
Universitas Sumatera Utara
Epidemiologis masalah gizi dihubungkan dengan: faktor dan penyebab masalah gizi agent, faktor yang ada pada pejamu host serta faktor yang ada di
lingkungan pejamu environment. Menguraikan penyebab dari masalah gizi dan menentukan hubungan sebab akibat antara ketiga faktor tersebut yaitu:
a masalah gizi : kekurangan atau kelebihan zat gizi, b agent: asupan makanan dan penyakit yang dapat memengaruhi status gizi serta faktor-faktor yang berkaitan,
c host: karakteristik individu yang ada kaitannya dengan masalah gizi umur, jenis kelamin, suku bangsa, dan lain-lain, d environment: lingkungan rumah, pekerjaan,
pergaulan yang ada kaitannya dengan masalah gizi Nasry, 2008. Masalah gizi yang umum terjadi di Indonesia adalah gizi buruk, yaitu suatu
kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa
berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP Kurang Energi Protein adalah salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai pada balita.
Gizi buruk dapat terjadi jika tidak mampu untuk mendapat manfaat dari makanan yang dikonsumsi oleh balita, contohnya pada penderita diare, nutrisi
berlebih, ataupun karena pola makan yang tidak seimbang sehingga tidak mendapat cukup kalori dan protein untuk pertumbuhan tubuh. Beberapa orang dapat menderita
gizi buruk karena mengalami penyakit atau kondisi tertentu yang menyebabkan tubuh tidak mampu untuk mencerna ataupun menyerap makanan secara sempurna.
Contohnya pada penderita penyakit seliak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan yang dipicu oleh sejenis protein yang banyak terdapat pada tepung yaitu
Universitas Sumatera Utara
gluten. Penyakit seliak ini mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi sehingga terjadi defisiensi. Kemudian ada juga penyakit cystic fibrosis yang
memengaruhi pankreas, yang fungsinya adalah untuk memproduksi enzim yang dibutuhkan untuk mencerna makanan. Demikian juga penderita intoleransi laktosa
yang susah untuk mencerna susu dan produk olahannya Budiarto, 2002. Balita yang menderita gizi buruk yang meningkat akhir-akhir ini adalah salah
satu cerminan lemahnya infrastruktur kesehatan, pangan dan gizi; serta terjadinya kesenjangan, ketidakadilan, kemiskinan, kebijakan ekonomi dan politik sehingga
dengan banyaknya kasus gizi buruk dapat menurunkan citra bangsa Indonesia di mata dunia, dimana kasus gizi buruk yang muncul merupakan fenomena gunung es yang
memerlukan penanganan serius. Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan anak, dapat menyebabkan stunting postur tubuh kecil pendek. Jika gizi buruk terjadi pada masa
golden period perkembangan otak pada usia 0-3 tahun, kondisi ini akan irreversible yaitu sulit untuk dapat pulih kembali. Beberapa penelitian menjelaskan, dampak
jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan
dampak jangka panjang adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangan kognitif, penurunan integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan
penurunan rasa percaya diri dan menurunnya prestasi akademik Budiarto, 2002. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi balita sangat kurus secara
nasional masih cukup tinggi yaitu 6,2. Besarnya masalah kurus pada balita yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat public health problem adalah jika
Universitas Sumatera Utara
prevalensi kurus 5. Masalah kesehatan masyarakat sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,1 - 15,0, dan dianggap kritis bila prevalensi kurus
sudah di atas 15,0. Secara nasional prevalensi kurus pada balita adalah 13,6. Hal ini berarti bahwa masalah kurus di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius. Bahkan, dari 33 provinsi, 18 provinsi di antaranya masuk dalam kategori kategori kritis prevalensi kurus 15, 12 provinsi pada kategori
serius prevalensi kurus antara 10-15. Posyandu sebagai ujung tombak dalam melakukan deteksi dini dan pelayanan
pertama menjadi vital dalam pencegahan kasus gizi buruk saat ini. Dalam pelaksanaan kegiatan Posyandu, hambatan yang sering terjadi adalah lemahnya KIE
yang merupakan salah satu tumpuan dalam program gizi di posyandu. Penyuluhan gizi di Posyandu belum dapat dilaksanakan kader dengan baik, karena kualitas kader
masih rendah, tingkat pendidikan relatif rendah Purwaningsih, 2009. Tingkat keberhasilan Posyandu dalam perbaikan gizi balita sangat tergantung
dari kualitas dan kuantitas pengelolaan Posyandu, serta partisipasi masyarakat. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan gizi perlu diberikan kepada semua
lapisan masyarakat terutama ibu yang memiliki anak balita agar bisa membesarkan anak-anaknya sehingga menjadi anak yang sehat dan cerdas, serta kader posyandu
mereka adalah ujung tombak dalam keberlangsungan program-program yang di laksanakan. Dengan demikian perlu dilakukan pendidikan gizi bagi ibu balita dan
kader posyandu untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan serta status gizi balita Purwaningsih, 2009.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Perilaku Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan