PAUD Bina Harapan memperoleh kosakata dasar pada kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata yang berhubungan dengan kekerabatan,
dan kata depan. Anak usia 3-6 tahun telah memperoleh kosakata turunan pada imbuhan prefiks, imbuhan sufiks, imbuhan infiks, dan imbuhan konfiks dan anak
usia 3-6 tahun juga telah memperoleh kosakata ulang. Ketiga penelitian di atas merupakan penelitaian yang mengkaji tentang
pemerolehan bahasa, khususnya pemerolehan bahasa pada aspek fonologi, sintaksis, dan semantik. Ketiga penelitian di atas menemukan tiga hal penting
dalam pemerolehan bahasa yakni tentang pemerolehan fonologi, sintaksis, dan semantik. Dengan mengacu dari ketiga penelitian tersebut, peneliti akan mengkaji
lebih dalam tentang pemerolehan bahasa anak, secara khusus tahap-tahap pemerolehan bahasa anak dan pemerolehan bahasa anak pada aspek fonologi,
morfologi, sintaksis, dan diksi.
2.2 Landasan Teori
Secara etimologi bahwa kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri
sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama- sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya saja objek materialnya
berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya
juga berbeda.
Meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak juga bagian-bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi
dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan oleh karena itulah, telah lama
dirasakan perlu adanya kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.
Pada awal kerja sama antara kedua disiplin itu disebut linguistic psychology dan ada juga yang menyebutnya psychology of language. Kemudian
sebagai hasil kerja sama yang lebih baik, lebih terarah dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin baru yang disebut psikolinguistik,
sebagai ilmu antar disiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik itu sendiri baru lahir tahun 1954, yakni tahun terbitnya buku Psycholinguistics : A
Survey of Theory and Research Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan thomas A. Sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.
Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada
waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Maka secara teoritis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari suatu
teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya Chaer, 2009: 5-6.
Hartley dalam Pateda, 1990: 11 mengakatan Psikolinguistik membahas hubungan bahasa dengan otak dalam memori dan menghasilkan ujaran-ujaran
dalam akuisisi bahasa. Yang penting dalam bahasa ini adalah bagaimana memori dapat dan menghasilkan ujaran-ujaran dan bagaimana akuisisi bahasa itu
berlangsung. Proses bahasa hingga menghasilkan ujaran-ujaran merupakan
pekerjaan otak. Tidak diketahui dengan pasti, ialah bagaimana proses pengolahan bahasa sehingga berwujud satuan-satuan yang bermakna dan bagaimana proses
pengolahan satuan ujaran yang dikirim oleh pembicara sehingga dimengerti oleh pendengar. Segala sesuatu berada dalam batas-batas kesadaran, baik pada
pembicara maupun pra pendengar. Selanjutnya Robert Lado dalam Tarigan, 1985: 3 mengatakan
psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan
bahasa, dan hal-hal yang ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah
atau sendiri-sendiri. Menurut Lado, psikolinguistik hanya merupakan pendekatan. Pendekatan untuk menelaah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, dan hal-hal
lain yang ada kaitannya dengan aspek-aspek ini. Disini jelas bahwa objek psikolinguistik adalah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, perubahan bahasa,
dan hala-hal lain yang ada hubungannya dengan aspek-aspek ini. Langacker dalam Pateda, 1990: 12 mengatakan psikolinguistik
merupakan telaah akuisisi bahasa dan tingkah laku linguistik terutama mekanisme psikologis yang bertanggung jawab atas kedua aspek itu. Batasan ini menekankan
akuisisi bahasa dan tingkah laku linguistik. Akuisisi bahasa bersangkut-paut dengan pemerolehan bahasa, sedangkan tingkah laku linguistik mengacu kepada
proses kompetensi dan performansi bahasa. Proses-proses tetap berada di dalam otak mind. Dengan kata lain mekanisme psikologi sangat berperan.
Dari beberapa definisi diatas dapat dikatakan bahwa bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang membahas hubungan bahasa dengan otak, dan juga sebagai
pendekatan studi bahasa. Selain itu psikolinguisik juga membicarakan tentang akuisisi bahasa, kedwibahasaan dan perubahan bahasa. Ilmu psikolingistik juga
membahas linguistik dan hubungan proses linguistis dengan persepsi dan kognisi.
2.2.1 Teori Perkembangan Bahasa Anak
Penelitian yang digunakan untuk meneliti perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotesis, atau teori psikologi yang
dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa anak. Dua pandangan yang kontroversial itu
dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan nativisme yang berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak bersifat alamiah nature, dan
pandangan behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada anak- anak bersifat suapan nurture. Pandangan ketiga muncul di Eropa dan Jean
Piaget yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa adalah kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif, sehingga pandangannya pun disebut sebagai
kognitivisme Chaer, 2009: 221. a
Pandangan Nativisme atau Mentalisme Nativisme atau mentalisme berpendapat
bahwa selama proses pemerolehan bahasa pertama, anak-anak sedikit demi sedikit membuka
kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini tidak menganggap lingungkannya memiliki pengaruh dalam pemerolehan bahasa,
melainkan menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis, sejalan
dengan yang disebut hipotesis pemberian alam. Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa sangat kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam
waktu singkat melalui metode seperti peniruan. Jadi pasti ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah
Chaer, 2009: 222. Chomsky 1965,1975 melihat bahasa itu bukan hanya kompleks, tetapi
juga penuh dengan kesalahan dan penyimpangan kaidah pada pengucapan atau pelaksanaan bahasa. Manusia tidaklah mungkin belajar bahasa pertama dari orang
lain. Selama belajar meraka menggunakan prinsip-prinsip yang membimbingnya menyusun tata bahasa.
Menurut Chomsky 1965 bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Binatang tidak mungkin menguasai bahasa manusia. Pendapat ini landasi pada
tiga asumsi. Pertama, perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunakan genetik, pola perkembangan bahasa adalah sama pada semacam bahasa dan budaya, dan
lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat, anak berusia empat tahun sudah dapat
berbicara mirip dengan orang dewasa. Ketiga, lingkungan bahasa si anak tidak dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan bahasa yang rumit dari
orang dewasa. Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan dibekali “alat pemerolehan
bahasa” Language Acquistion Device LAD. Alat ini merupakan pemberian biologis yang sudah diprogramkan untuk merinci butir-butir yang mungkin dari
suatu bahasa. LAD dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus
untuk memproses bahasa, tidak punya kaitan dengan kemampuan kognitif lainnya.
b Pandangan Behaviorisme
Kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui
lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris menganggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, suatu yang dimiliki atau digunakan,
dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan suatu perilaku, diantara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka
menggunakan istilah perilaku verbal verbal behavior, agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain harus dipelajari.
Menurut Skinner 1969 kaidah gramtikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan
sesuatu. Namun, kalau demikian anak dapat berbicara, bukan karena penguasan kaidah sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan
dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya. Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak menguasai
kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkungannya. Mereka berpendapat rangsangan dari lingkungan
tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka dipandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara
acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S
– R stimulus-respon dan proses peniruan-peniruan.
c Pandangan Kognitivisme
Ahli psikologi yang pertama kali membicarakan pandangan kognitivisme adalah Slobin 1971. Slobin mengatakan bahwa seoarn anak itu lahir dengan
seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan Chomsky LAD. Slobin mengatakan bahwa yang dibwa lahir bukanlah pengetahuan seperangkat kategori
linguistik yang semesta, seperti yang dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan bahasa yang dibawa lahir itulah yang memungkinkan seorang
untuk mengolah data linguistik. Menurut Slobin, perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah faktor penentu perolehan bahasa. Seorang anak belajar
atau memperoleh bahasa pertama dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa, secara aktif ia burusaha untuk mengembangkan batas-
batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan
keterampilan bahasanya menurut strategi persepsi yang dimilikinya. Menurut Slobin perolehan bahasa anak sudah diselesaikan pada usia kira-kira pada usia 3-4
tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.
Jean Piaget 1954 menyatakan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu daiatara beberapa kemampuan yang berasal
dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar; maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di
dalam kognisi, jadi urutannya perkembangan kognitif menentukan perkembangan bahasa.
2.2.2 Perkembangan Akuisisi Bahasa
Perkembangan akuisisi bahasa berhubungan dengan kematangan neoromuskularnya yang kemudian dipengaruhi oleh stimulus yang diperolehnya
setiap hari. Pada tahap awal tidak ada kontrol terhadap pola tingkah lakunya termasuk tingkah lau berbahasa. Vokal anak dan otot-otot bicaranya bergerak
refleks. Pada bulan-bulan pertama otaknya berkembang dan mengatur mekanisme syaraf sehingga dengan demikian gerakan refleks tadi sudah dapat dikontrol.
Refleks itu berhubungan dengan gerakan lidah, atau mulut. Misalnya anak akan mengedipkan mata kalau cahaya berubah-ubah atau bibirnya akan bergerak-gerak
apabila sesuatu yang disentuhkan pada bibirnya Pateda, 1990: 53. Dalam memikirkan perkembangan akuisisi bahasa ada baiknya
membedakan kematangan anak berbicara dan kematangan untuk mendengar pembicaraan orang lain. Kematangan mendengarkan disebut dengan kematangan
menerima receptive language skills, dan kematangan mengeluarkan bunyi bahasa expressive language skills adalah kematangan untuk berbicara.
Kematangan menerima lebih dahulu daripada kematangan berbicara meskipun dalam perkembangan selanjutnya kedua kematangan ini saling berhubungan
Pateda, 1990: 54. Pada awal kelahirannya, anak belum dapat membahas stimulus yang
berasal dari manusia. Ia belum dapat membahas dengan kata-kata. Ia hanya membalas dengan tertawa yang tentu saja diikuti oleh gerakan anggota tubuhnya,
misalnya tangan dan kaki. Pada usia 9 bulan ia mulai mereaksi dengan kata-kata sederhana, kata-kata yang pernah ia dengar, kata-kata yang memiliki frekuensi
tinggi dalam awal kehidupan sebagai manusia. Selama 3 bulan berikutnya ia belajar mengerti hubungan kata-kata barangkali yang ia dengar dan pada usia
setahun ia sudah dapat mereaksi terhadap kata yang mengandung makna komando. Berbicara mengenai akuisisi bahasa, tentu tidak terlepas dai
perkembangan fisik. Perkembangan fisik dimaksud adalah perkembangan fisik yang normal, karena perkembangan fisik yang tidak normal merupakan gangguan
dalam kematangan fisiknya. Perkembangan fisik berhubungan dengan perkembangan motorik. Perkembangan motorik ini berupa :
a Pada bagian kepala:
Koordiansi mata, lebih dahulu yang horizontal, lalu yang verikaldan sesudah itu sirkuler.
Reaksimata terhadap objek bergerak. Reaksi senyum.
Refleks pejam mata. Kecakapan mengangkat kepala.
b Pada lengan:
Posisi jari yang memungkinkan anak dapat memegang sesuatu. Koordinasi mata-tangan yang memungkinkan pencapaian pegangan
yang tepat, Kecakapan makan.
Kecakapan menggunakan satu tangan. c
Pada tubuh : Kecakapan membalik tubuh yang mulai pada usia 2 bulan.
Duduk sendiri yang akan tampak pada usia 9 atau 10 bulan. Gerakan dari tegak sikap duduk yang akan tampak pada usia satu
tahun. d
Pada kaki : Kecakapan berjalan yang dimulai dari kecakapan menginjak dan
kemudian diikuti oleh kecakapan menjaga keseimbangan. Kecakapan merayap, berpindah tanpa pertolongan kaki atau tangan.
Berjingkrak, gerakan berpindah karena bantuan kaki dan tangan. Berdiri.
Berjalan, mulai dengan pertolongan. Kecakapan diatas berlangsung samapi anak usia berumur 1,5 tahun. Umur
1,5-6 tahun kecakapan itu akan tampak, misalnya berlari, melompat, memanjat Pateda, 1990: 54-55.
2.2.3 Proses Akuisisi Bahasa
Telah ada keyakinan diantara sesama ahli psikolinguistik bahwa akuisisi bahasa bersifat dinamis. Artinya bahwa akuisisi bahasa berlangsung dari tahap ke
tahap yang lain. Di dalam tahap perkembangan akuisisi ini terjadi, Pertama, perubahan-perubahan, teuratama yang berhubungan dengan struktur bahasa.
Kedua, perkembangan ini ditentukan oleh interaksi personal, berfungsinya saraf secara baik, dan proses kognitif. Ketiga, bahwa dalam akuisisi terjadi poroses
pemilihan kata-kata dan stuktur yang tidak dianalisis oleh anak. Keempat bahwa teori yang digunakan bersifat umum. Lain dari kata itu telah disepakati pula
bahwa akuisisi bahasa dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sekitar. Dengan kata
lain akuisisi bahasa bergantung pada lingkungan bahasa anak Lowenthal, Et-al, 1982:303.
Akuisisi bahasa merupakan proses yang berkelanjutan dari satu fase ke fase berikutnya. Konstruksi linguistik yang muncul merupakan rangkaian
konstruksi yang telah dikuasai sebelumnya, dan banyak diantaranya belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Saporta dalam Pateda, 1990 menyatakan bahwa anak
tidak memiliki insting bawaan untuk meniru. Bayi belajar dengan jalan meniru yang kemudian hasil tiruannya itu menjadi kebiasaan. Apa yang ditiru diulang
berkali-kali pada kesempatan yang berbeda. Setiap kali anak mengulanginya karena kebutuhan, lingkungan anak menguatkannya. Miller dan Dollaerd
menyatakan bahwa kemampuan meniru menolong anak untuk merangkai kata- kata yang dibutuhkannya.
Mowrer Saporta, Ed., 1961: 333 menyatakan bahwa dalam tahapan menggumam cooing dan meraban babbling, anak selalu mengulanginya karena
bunyi-bunyi itu mirip denagn bunyi yang ia dengar dari ibunya. Mowrer juga berpendapat bahwa anak membentuk kata dan kalimat yang dibutuhkannya karena
ada stimulus. Jadi, dalam proses akuisisi bahasa anak belajar kata atau kalimat yang dibutuhkan dan gerakan mana yang diperlukan apabila sesuatu diinginkan
atau tidak diinginkan. Bersamaan dengan itu, anak mulai mengenal makna dan berkemaknaan apa yang dikatakan dan didengarnya.
Stimulus yang diterimanya tentu bersifat global pada tahap awal. Stimulus global itu lama-lama memperlihatkan perbedaan dalam urutan pengalamannya. Ia
mencoba dan mencoba lagi. Hal seperti ini mengingatkan kita pada proses trial
dan error. Staats Palermo, 1978: 18 menyatakan bahwa anak memperluas bahasanya dengan jalam menambahkan kata yang dikuasainya pada kata atau
gabungan kata yang diucapkannya.
2.2.4 Tahap-tahap Perkembangan Bahasa
Menurut Aitchison dalam Harras dan Andika, 2009: 50-56, tahap kemampuan bahasa anak sebagai berikut.
Tahap Prkembangan Bahasa Usia
Menangis Lahir
Mendekur 6 minggu
Meraban 6 bulan
Pola intonasi 8 bulan
Tuturan Satu Kata 1 tahun
Tuturan dua kata 18 bulan
Infleksi kata 2 tahun
Kalimat Tanya dan Ingkar 2,5 tahun
Konstruksi yang jarang dan kompleks 5 tahun
Tuturan yang matang 10 tahun
a Menangis
Menangis pada bayi mempunyai beberapa makna, seperti tangisan untuk minta minum, minta makan, tangisan karena kesakitan, dan
sebagainya. b
Mendekur Mendekur sebenarnya sulit dideskpripsikan, karena bunyi yang
dihasilkan mirip dengan vokal, tapi hasil bunyi itu tidak sama dengan
bunyi vokal yang dihasilkan orang dewasa. Tampaknya dengan mendengkur si bayi melatih peranti alat ucapnya.
c Meraban
Secara bertahap, bunyi konsonan akan muncul pada waktu anak itu mendekur dan ketika anak mendekati enam bulan, ia masuk pada tahap
meraban. Secara impresif anak menghasilkan vokal dan konsonan secara serentak.
d Pola intonasi
Pada usia delapan atau sembilan bulan, anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Hasil tuturan anak mirip dengan yang dikatakan oleh ibunya.
Anak tampaknya mencoba menirukan percakapan dan hasilnya adalah tuturan yang kadang-kadang tidak dipahami oleh orangtuanya atau
orang dewasa yang lain. e
Tuturan satu kata Holofrases Antara umur satu tahun dan delapan belas bulan anak mulai
mengucapkan tuturan satu kata. Jumlah kata yang diperoleh bervariasi tergantung masing-masing anak. Biasanya variasi berupa kata mama,
papa, meong. f
Tuturan dua kata Pada tahap ini tuturan bersifat telegrafis, yaitu mengucapkan kata-kata
yang mengandung arti paling penting. Tuturan yang awalnya Ani susu berubah menjadi Ani mau minum susu.
g Infleksi kata
Secara gradual, kata-kata yang dianggap remeh atau tidak penting mulai digunakan. Infleksi kata juga mulai digunakan. Kata-kata yang
dianggap remeh dan infleksi itu mulai merayap di antara kata benda dan kata kerja yang digunakan oleh anak.
h Kalimat tanya dan ingkar
Pada tahap ini anak sudah mulai memperoleh struktur kalimat yang lebih rumit. Dalam bahasa Indonesia, anak mulai memperoleh kalimat
tanya seperti apa, siapa, dan kapan. Misalnya kalimat berbunyi apa ini?, siapa orang itu?, dan kapan Ayah pulang? Sedangkan dalam
kalimat ingkar biasanya berupa kalimat kakak tidak nakal, ga mau makan, ini bukan punya adik.
i Konstruksi yang jarang dan kompleks
Pada usia lima tahun, anak secara mengesankan memperoleh bahasa. Kemampuan bahasa terus berlanjut meskipun agak lamban. Tata bahasa
anak berusia lima tahun berbeda dengan tata bahasa orang dewasa. Tetapi lazimnya mereka tidak menyadari kekurangan mereka dalam hal
itu. j
Tuturan yang matang Perbedaan tuturan anak dengan tuturan orang dewasa secara pelan-
pelan akan berkurang ketika usia anak itu semakin bertambah. Ketika usianya mencapai sebelas tahun, anak mampu menghasilkan kalimat
perintah yang setara dengan kalimat perintah orang dewasa.
2.2.5 Ujaran, Mengerti Ujaran dan Pikiran
Ketika seseorang ingin menguasai bahasa, ia belum mengerti lebih dahulu apa yang akan dikataknnya sebelum ia menghasilkan ujarannya. Bagi seorang
anak tentu ia lebih banyak dan memperhatikan orang lain yang sedang berbicara. Anak kecil tadi kemudian mengasosiasikan ujaran yang ia dengar dengan apa
yang terjadi setelah pembicara mengujarkan sesuatu. Misalnya seorang ibu berkata kepada seorang anakyang sedang mengganggunya sementara ibu sedang
memasak. “Tunggu ya, ibu memasak dulu”. Anak akan memperhatikan perilaku ibunya. Ia melihat setelah mengatakan “ Tunggu ya, ibu memasak dulu”, ibunya
bergegas menuangkan air kedalam periuk, lalu periuk diangkat dan disimpan atas kompor. Setelah itu anak akan mengerti bahwa memasak adalah kegiatan
menuangkan air kedalam periuk dan disimpan diatas kompor. Disini anak memperoleh kesempatan untuk lebih dahulu mendengarkan
ujaran orang lain. Ia mengasosiasikannya dengan kegiatan yang berhubungan denfgan ujaran tersebut. Ia lebih banyak mendegarkan ujaran norang lain. Orang
yang ada disekitarnya banyak memberikan informasi tentang berbagai hal. Ia selalu menghubungkan ujaran orang lain dengan kenyataan atau kejadian yang
berhubungan dengan ujaran itu. Baginya tiap bunyi yang berwujud ujaran mempunyai makna. “Tanpa asosiasi dengan makna, ujaran tidak ada artinya atau
tidak mempunyai makna komunikatif baginya” Steinberg, dalam Pateda 1990: 62
Pada waktu anak belajar berbahasa, ia harus mendengarkan lebih dahulu kata-kata atau kalimat yang didengar. Kata-kata dan kalimat yang diucapkan
orang lain dihubungkannya dengan proses, kegiatan, benda dan situasi yang ia saksikan. Ini berarti bahwa anak menghubungkan apa yang ia dengar melalui
proses pikirannya. Dengan kata lain proses berpikir menjadi dasar untuk mengerti ujaran. Bagi anak, benda, proses, peristiwa harus berfungsi baginya, bahkan ia
merasa senang ketika makan pisang. Disini tampak bahwa pengertian pisang, bendanya dan makna pisang melewati pengertian fungsi.
Namun demikian Eve Clarck dalam Dato, 1975: 86 menyatakan bahwa ada tiga kesulitan yang berkaitan dengan peranan fungsi itu dalam akuisisi makna.
Kesulitan itu adalah pertama, banyak contoh dimana fungsi dihubungkan dengan bentuk. Kedua, pengetahuan tentang fungsi kadang-kadang diperoleh terlambat
dalam beberapa hal. Ketiga, banyak benda yang ternyata belum fungsi bagi anak, misalnya kuda, lantai, langit. Kata-kata pisang, bubur, air, segera dipahami makna
karena kata-kata ini berfungsi bagi anak. Eve Clark dalam Dato, 1975:91 berpendapat bahwa ada tiga tahap akuisisi bahasa yang berhubungan dengan
makna yakni, i tidak ada kontras antara disni dan disana, ii hanya sebagian yang kontras, misalnya hanya dalam stu konteks, dan iii kontras penuh, misalnya
bodoh dengan pandai, tebal dengan tipis. Steinberg dalam Pateda, 1990: 64 berpendapat bahwa perkembangan
bahasa tidak tergantung pada kematangan otak secara biologis, tetapi apa yang dirasakan anak untuk mengujarkan apa yang dipikirkannya. Memang ada dua
pendapat yang bertentangan, yakni pandangan mekanis dan pandangan mentalis. Pandangan mekanis mengatakan bahwa anak lahir tidak membawa apa-apa yang
berhubungan dengan bahasa, sedangkan pandangan mentalis berpendapat bahwa
anak lahir telah membawa potensi atau kapasitas bahasa yang akan berkembang kalau kematangannya telah tiba.
2.2.6 Perkembangan Ujaran
Banyak bunyi yang dikeluarkan oleh bayi tetapi tidak semuanya mempunyai wujud di dunia sekelilingnya. Tentu saja dalam ujaran bayi yang
mula-mula muncul yakni vokal, oleh karena vokal yang mudah diujarkan. Dengan kata lain bunyi bahasa yang diujarkan bergantung pada tingkat kesulitan bunyi
bahasa itu. Itu sebabnya konsonan th dalam kata thought, thing, thin jarang segera terdengar jika dibandingkan dengan konsonan m atau n.
Nakazima dalam Steinberg, 1982: 148 melaporkan bahwa pada usia 6 bulan, anak-anak sudah dapat mengujarkan kata-kata dan kata-kata yang
bertekanan. Kenyataan ini telah mengarahkan kepada hal yang dipelajari melewati pendengaran. Kadang-kadang meraban yang dapat ditafsirkan sebagai kata-kata,
baru muncul ketika bayi telah berumur setahun. Dalam pengujaran konsonan, biasanya konsonan depan yang mengawali pengujaran konsonan belakang. Jadi
konsonan m, b, t, d akan mendahului konsonan k, g, x, sedangkan pengujaran vokal cenderung dari belakang kedepan. Jadi, vokal o,u mendahului pengujaran
i, e, a. Steinberg 1982: 149 berpendapat bahwa dalam pengujaran konsonan,
dapat kita bagi atas konsonan yang segera terlihat artikulasinya dengan konsonan yang mudah diartikulasikan. Itu sebabnuya anak dahulu mengujarkan konsonan
m, b, p karena konsonan-konsonan itu mudah dilihat alat berbicara yang menghasilkannya. Sebaliknya konsonan stop, misalnya k,g dan frikatif,
misalnya f, s tidak segera dapat diujarkan karena alat bicara yang mengahsilkannya tidak kelihatan. Hal ini dapat dihubungkan dengan kenyataan
yang menyatakan bahwa anak belajar melaui proses meniru. Hal yang ditiru tentu harus dapat dilihat. Dipandang dari segi kemudahan mengujarkan, maka vokal a
lebih mudah diujarkan. Itu sebabya menurut steinberg vokal a yang dahulu dapat diujarkan jika dibandingkan dengan vokal yang lain, misalnya i, e, o, u.
2.2.7 Perkembangan Sosial dan Komunikasi
Ada pendapat bahwa sejak lahir bayi usia sekitar setahun dianggap belum punya bahasa atau belum berbahasa Poerwo, 1989. Kiranya anggapan ini belum
mencerminkan perilaku bayi yang sesungguhnya, sebab meskipun dikatakan belum mempunyai bahasa, tetapi sebenarnya bayi itu sudah berkomunikasi.
Menangis merupakan salah satu cara pertama untuk berkomunikasi dengan dunia sekitarnya.
Sesungguhnya semenjak lahir bayi sudah disetel secara biologis untuk berkomunikasi, dia akan tanggap terhadap kejadian yang ditimbulkan oleh orang
sekitarnya terutama ibunya. Daya lihat bayi yang paling baik berada pada jarak kira-kira 20 cm, yakni jarak yang terjadi pada waktu interaksi rutin antara bayi
dan ibu, yaitu pada saat bayi menyusu pada ibunya, dalam jarak 20 cm itu. Oleh karena itu, bayi akan membahas tatapan ibunya denagn melihat mata sang ibu
yang menarik perhatiannya. Kemudian bayi juga belajar bahwa sewaktu terjadi saling tatap mata berarti ada komunikasi, antara dia dan ibunya.
Bayi memang sudah terlibat aktif dalam proses interaktif dengan ibunya tak lama setelah dilahirkan. Dia menanggapi suara dan gerak-gerik ibunya, serta
mengamati wajah ibunya. Pada minggu pertama kehidupannya dia sudah mulai menirukan kegiatan menggerakan tangan, menjulurkan lidah, dan membuka
mulut. Menjelang usia satu bulan dia mulai menirukan tinggi rendah dan panjang pendek suara ibunya.
Pada usia dua minggu bayi sudah dapat membedakan wajah ibunya dari wajah orang lain. Dia sangat tanggap terhadap terhadap setiap orang yang
mendekatinya dan terutama tertarik untuk mengamati mata dan mulut; dan dia akan bereaksi dengan senyum. Pada usia sekitar tiga minggu senyum bayi sudah
dapat disebut sebagai “senyum sosial”, sebab senyum itu diberikan sebagai reaksi sosial terhadap rangsangan berupa wajah atau suara ibu dari luar.
Pada bulan kedua bayi semakin sering berkedut cooing, bunyi seperti bunyi burung merpati. Bayi berkedut jika berada dalam keadaan senang, misalnya
karena ada yang menemani, mengajak berbicara, mengajak bermain, dan sebagainya. Menjelang usia tiga bulan kemampuan kognitif bayi sudah
meningkat, dia tidak tertarik pada wajah yang diam saja; dia mengaharapkan lebih dari itu agar tetap berminat untuk berinteraksi. Dalam hal ini sang ibu pun tampak
menyesuaikan diri dengan sikap dan ekspresi wajahnya., berbicara lebih banyak, dan dengan variasi suara yang dilebih-lebihkan. Terhadap sikap ibu yang baru ini
bayi merasa tertarik lagi, dan mau menanggapinya. Maka terjadilah kemajuan setapak lagi dalam perkembangan kemampuan bayi untuk berkomunikasi.
Setapak demi setapak kemajuan interaksi dan komunikasi bayi semakin bertambah. Ibu selalu menyesuaikan diri dengan tahap baru perkembangan bayi.
Dialog keduanya semakin meningkat, dan peran bayi dalam kegiatan semakin
meningkat. Pada saat menjelang usia 12 minggu bayi mulai mengeluarkan suara balasan jika ibu memberikan tanggapan terhadap suaranya. Hal ini berlangsung
terus sampai menjelang bayi berumur enam bulan. Pada tahap berikutnya bayi mulai memahami pola gilir turn talking di
dalam berkomunikasi. Maksudnya adalah, dia mulai mengerti kapan dia harus bereaksi terhadap rangsangan dari ibunya, dan kapan pula dia harus diam.
Permainan “ci-luk-ba” atau semacamnya semakin mempertajam kemampuan bayi untuk memahami pola gilir di dalam komunikasi. Melaui permaina “ci-luk-ba”
itu bayi juga belajar mengakhiri suatu komunikasi. Dia mengerti, misalnya, kalau ibu mengalihkan padangan ke arah lain, berarti permainan berhenti.
Menjelang usia lima bulan, bayi mulai menirukan suara dan gerak-gerik orang dewasa secara sengaja, sehingga semakin meningkatlah perbendaharaan
ekspresi wajahnya. Lalu, pada usia lima bulan dia dapat bersuara dengan sikap yang menunjukan rasa senang, rasa tidak senang, dan rasa ingin tahu.
Menjelang usia enam bulan miant bayi pada mainan dan benda-benda semakin meningkat; tadinya minatnya lebih terarah pada manusia. Dia akan
tertarik dengan benda-benda yang digerakan atau yang berbunyi. Pada usia enam bulan terjadi pergeseran minat, dia lebih tertarik pada enda daripada manusia.
Maka sejak itu, interaksi menjadi tiga serangkai yakni bayi, ibu, dan benda-benda. Antara usia tujuh samapai dua belas bulan anak mulai lebih memegang
kendali didalam interaksi dengan ibunya. Anak belajar menyatakan keinginan atau kehendak secara lebih jelas dan lebih efektif. Cara yang digunakan untuk
menyampaikan kehendak ini terutama dilakukan dengan gerak-geriknya, terutama
gerakan tangan. Pada mulanya gerakan tangan yang menyatakan keinginan itu tanpa disertai suara, tetapi kemudian secara bertahap suara muncul menyertainya.
Von Reffler Engel mencatat bahwa anak laki- laki menyuarakan “e-e-e” untuk
meminta sesuatu, dan menyuarakan “u-u-u” jika tidak menyetujui sesuatu. Sedangkan Dore dalam Purwo, 1989 melaporkan telah mendengar empat anak
manusia sebelas bulan secara konsisten menyuarakan “a-a-a” untuk menyatakan rasa senang, dan bunyi “e-e-e” untuk menyatakan protes.
2.2.8 Pemerolehan Dalam Bidang Fonologi
Pada saat dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20 dari otak dewasanya. Pada umur 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan
bunyi konsonan atau vokal. Bunyi –bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya
karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan
Dardjowidjojo, 2000: 63. Anak mendekutkan bunyi-bunyi yang beragam dan belum jelas identitasnya.
Pada sekitar 6 bulan, anak mulai mencampurkan konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa inggris disebut babbling, yang telah
diterjemahkan menjadi celotehan Dardjowidjojo, 2000: 63. Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama
adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah a. Dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini
kemudian diulang sehingga muncul struktur seperti berikut. C
1
V
1
C
1
V
1
C
1
V
1
.......... → papapa mamama bababa
Orang tua akan mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang di benak anak tidaklah kita ketahui dan tidak bisa dipungkiri
bahwa celotehan itu hanya sekedar latihan artikulasi belaka. Konsonan dan vokalnya secara bertahap berubah sehingga muncul seperti kata dadi, dida, tita,
dita, mama, mami, dan sebagainya. Konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak yang tidak diucapkan sehingga kata mobil diucapkan bi.
Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan kelompok konsonan sehingga kata Eyang Putri akan disapanya dengan eyang ti.
a Teori Struktural Universal
Teori Struktural dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson dalam Chaer, 2009: 185-189, pada intinya teori ini mencoba menjelaskan pemerolehan
fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi. Dalam penelitiannya Jakobson
mengamati pengeluaran bunyi-bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel bablling dan menemukan bahwa bayi yang normal mengeluarkan berbabagi
ragam bunyi dan vokalisasinya baik bunyi vokal maupun bunyi bunyi konsonan. Namun, ketika bayi mulai
memperolah “kata” pertamanya pada usia satu tahun, maka kebanyakan bunyi-bunyi itu baru muncul kembalai beberapa tahun
kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menyimpulkan adanya dua tahap pemerolehan fonologi, yaitu 1 tahap membabel prabahasa dan 2 tahap
pemerolehan bahasa murni.- Pada tahap prabahasa bunyi-bunyi yang dihasilkan bayi tidak menunjukan
suatu urutan perkembangan tertentu, dan sama sekali tidak mempunyai hubungan
dengan masa pemerolehan bahasa berikutnya. Jadi, pada tahap membabel ini bayi hanya melatih alat-alat vokal dengan cara mengeluarkan bunyi-bunyi tanpa tujuan
tertentu, atau bukan untuk berkomunikasi. Sebaliknya, pada tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya bayi mengikuti suatu pemerolehan bunyi yang realtif
universal dan tidak berubah. Jika tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya dimulai, maka akan terdapat
urutan peringkat perkembangan yang teratur dan tidak berubah, meskipun taraf kemajuan tiap individu tidak sama. Perkembangan peringkat ini ditentukan oleh
hukum-hukum yang besrsifat universal yang oleh Jakobson disebut “the laws of
irreversible solidarty”.Perkembangan itu bergerak dari bentuk yang sederhana kepada bentuk yang kompleks dan rumit. Kerumitan suatu bunyi ditentukan oleh
jumlah fitur oposisi yang dimiliki oleh bunyi itu dalam satu sistem. Jadi, sebenarnya yang diperoleh oleh bayi bukanlah bunyi satu demi satu, melaikan
berupa oposisi-oposisi tau kontras fonemik, atau fitur yang berkontras. Bunyi-bunyi bahasa-bahasa yang ada di dunia ini berbeda-beda, namun
hubungan-hubungan tertentu yang ada pada bunyi-bunyi ini sifatnya tetap. Umpamanya, apabila suatu bahasa memiliki bunyi hambat velar seperti [g] maka
bahasa itu pasti mempunyai bunyi hambat alveolar seperti [t], dan juga hambat bilabial seperti [b]. Jika suatu bahasa mempunyai bunyi hambat alveolar [t] dan
[d], maka bahasa itu juga pasti mempunyai bunyi hambat bilabial [b] dan [p]; tetapi belum tentu bahasa itu memiliki bunyi velar [g] dan [k]. Begitu juga apabila
suatu bahasa mempunyai konsonan frikatif [v] dan [s], maka bahasa itu pasti mempunyai konsonan hambat seperti [t] dan [b].
Berdasarkan keterangan di atas Jakobson memprediksikan bahwa bayi-bayi akan memperoleh kontras atau oposisi antara hambat bilabial dengan hambat
dental atau hambat alveolar lebih dahulu daripada kontras-kontras diantara bilabial dan velar atau di antara dental dengan velar.konsonan hambat akan dahulu
diperoleh daripada frikatif dan afrikat. Yang terakhir diperoleh adalah bunyi- bunyi likuida seperti [l] dan [r]; dan bunyi luncuran glide [y] dan [w].
Jakobson dalam Chaer, 2009: 185-189, menyatakan bahwa pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir bilabial, sedangkan pemerolehan bunyi
vokal dimulai dengan satu vokal lebar, biasanya bunyi [a]. Jadi, pada waktu yang akan sama konsonan bilabial, biasanya [p], dan vokal lebar, biasanya [a]
membentuk satu model silabel yang universal yaitu KV Konsonan + Vokal yang memcerminkan apa yang disebut “konsonan optimal +vokal optimal”.
Berdasarkan pola inilah nanti akan muncul satuan-satuan bermakna dalam ucapan anak-anak yang biasanya terjadi dalam bentuk reduplikasi , misalnya pa + pa.
Urutan pemerolehan kontras fonemik bersifat universal. Artinya, bisa terjadi dalam bahasa apapun dan oleh anak-anak mana pun. Maka setelah konsonan
bilabial dan vokal lebar di atas, akan muncul oposisi bunyi oral dan bunyi nasal seperti [papa] [mama]. Kemudian diikuti oleh oposisi bilabial dan dentalaveolar,
sperti [papa] – [tata] atau [mama] – [nana]. Jadi Jakobson berpendapat bahwa
urutan pemerolehan konsona adalah bilabial-dental aveolar – palatal – velar. Ini
berarti, apabila seorang anak telah membunyikan konsonan frikatif, berarti dia juga telah mampu membunyikan bunyi-bunyi hambat. Munculnya konsonan
belakang dalam ucapan anak-anak menandakan bahwa dia juga menguasai
konsona depan. Ini disebut hukum-hukum implikasi oleh Jakobson. Kontras vokal pertama yang diperoleh anak adalah kontras vokal lebar [a] dengan vokal
[i]. Kemudian, diikuti oleh kontras vokal sempit depan [i] dengan vokal sempit belakang [u]. Sesudah itu baru antara vokal [e] dan vokal [u]; vokal [o] dengan
vokal [e]. b
Teori Proses Fonologi Alamiah Teori ini diperkenalkan oleh David Stampe dalam Chaer, 2009: 190-191,
yakni satu teori yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah yang juga telah diperkenalkan sejak tahun 1965. Menurut Stampe proses fonologi anak bersifat
nurani yang harus mengalami penindasan supresi, pembatasan, dan pengaturan sesuai dengan penuranian representasi fonemik orang dewasa. Suatu proses
fonologi terdiri dari kesatruan-kesatuan yang saling bertentangan. Umpamanya, terdapat satu proses yang menjadikan semua bunyi hambat menjadi tidak bersuara
dalam semua konteks, karena halangan oralnya menghalangi arus udara yang diperlukan untuk menghasilkan bunyi-bunyi ini akan menjadi bersuara oleh
proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika kedua proses ini terjadi bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dan saling bertentangan. Sebuah bunyi
hambat tidak mungkin secara serentak bersuara dan tidak bersuara pada lingkungan yang sama. Masalah yang bertentangan ini dapat dipecahkan dengan
tiga cara sebagai berikut. i.
Menindas salah satu dari dua proses yang bertentangan itu. Umpamanya bila anak-anak telah menguasai bunyi-bunyi hambat
bersuara dalam semua konteks, maka berarti dia telah berhasil
menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh halangan oral bunyi itu.
ii. Membatasi jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam
proses itu. Misalnya, proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.
iii. Menagtur terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses
pengadaan bunyi secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi suara lalu diikuti oleh proses pengadaan
bunyi bersuara. Kedua proses ini tidak mungkin terjadi secara bersamaan.
c Teori Kontras dan Proses
Teori ini diperkenalkan oleh Ingram, yakni suatu teori yang menggabungkan bagian-bagian penting dan teori Jakobson dengan bagian-bagian penting dari teori
Stampe; kemudian
menyelaraskan hasil
penggabungan dengan
teori perkembangan dari piaget. Menurut Ingram, anak memperoleh sistem fonologi
orang dewasa dengan cara menciptakan struktur sendiri, kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya mengenai sistem orang dewasa semakin baik.
Perkembangan fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus menerus mengubah struktur untuk menyelaraskan dengan kenyataan. Peristiwa ini dapat
digambarkan sebagai berikut. Kata orang dewasa
→ Sistem anak-anak → Kata anak-anak Umpamanya pada tahap permulaan anak-anak telah menetapkan pola KV
sebagai struktur kata-kata barunya. Maka semua kata-kata baru orang dewasa
akan diasimilasikan dengan pola itu. Setelah mempelajari lebih banyak kata-kata orang dewasa, maka struktur sistem yang telah diciptakannya akan diubah dan
disesuaikan untuk dapat menanpung kata-kata orang dewasa dengan menciptakan satu pola baru yaitu KVK Chaer, 2009: 192-195.
Ingram dalam Chaer, 2009: 192-195 menemukan konsonan pertama yang muncul bukan hanya konsonan bilabial, melainkan juga ditemukan konsonan
dental dan konsonan frikatif. Namun, konsonan bilabial lebih banyak begitu juga dengan bunyi vokal. Selain bunyi vokal [a] yang utama, muncul juga vokal [u]
dan [i] sebagai vokal pertama. Oleh karena itu, menurut ingram kata-kata yang didengar anak-anak sebagai masukan menentukan bunyi-bunyi pertama yang
diperoleh anak-anak itu. Pemerolehan setiap bunyi tidak terjadi secara tiba-tiba dengan sendiri-
sendiri, melainkan secara perlahan dan berangsur-angsur. Ucapan anak-anak selalu berubah antara ucapan yang benar dan tidak benar. Secara progresif sampai
ucapan seperti orang dewasa tercapai. Pemerolehan fonologi anak-anak terjadi melalui beberapa proses penyederhanaan umum yang melibatkan semua kelas
bunyi. Proses-proses itu adalah : a.
Proses Subtitusi : penukaran satu segmen oleh segmen lain. Proses ini terdiri dari sebagai berikut.
1 Penghentian : bunyi frikatif ditukar dengan bunyi hambat.
sea [ti : ]
sing [ti]
2 Pengedepanan : yaitu bunyi velar dan palatal dengan bunyi aveolar.
shoe [zu’]
shop [za’p]
3 Peluncuran : yaitu likuida [l], [r] ditukar dengan bunyi luncuran
glide [w] dan [y]. leg
[yek] ready
[wedi] 4
Vokalisasi : satu suku kata konsonan ditukar dengan satu suku kata vokal.
apple [apo]
bottle [babu]
5 Naturalisasi vokal : bunyi vokal berubah menjadi vokal tengah.
back [bat]
bug [had]
b. Proses Asimilasi, yaitu kecenderungan untuk mengasimilasikan satu
segmen kepada segmen lain dalam satu kata. Proses ini terdiri dari : 1
Penyuaraan, yakni bunyi –bunyi konsonan cenderung disuarakan jika muncul di depan sebuah vokal, dan tidak disuarakan bila
muncul pada akhir suku kata. paper
[be : ba] tiny
[daini] bird
[bit] 2
Keharmonisan konsonan, yakni bunyi konsonan cenderung berasimilasi satu sama lain. Pola-pola yang sering muncul adalah
konsonan apikal cenderung berasimilasi dengan konsonan velar yang berdekatan. Contohnya adalah duck
[gak], tongue [gan]. Konsonan apikal cenderung berasimilasi dengan konsonan
bilabial yang berdekatan. Contohnya tub [bab], tape
[beip]. 3
Asimilasi vokal progresif, yakni sebuah vokal yang tidak mendapat tekanan diasimilasikan pada vokal yang mendapat tekanan suara
yang muncul di depan atau di belakangnya. bacoa
[bu : du] hammer
[ha : ma] c.
Proses Struktur suku kata, yaitu kecenderungan anak-anak menyederhanakan struktur suku kata. Pada umumnya penyederhanaan
suku kata ini berlaku ke arah suku kata KV. Proses ini terdiri dari: 1
Reduksi klaster : satu klaster konsonan direduksikan menjadi satu konsonan saja.
clown [kaun]
play [pe]
2 Penggunaan konsonan akhir : suku kata KVK dipendekan
menjadi KV dengan menggugurkan konsonan akhir. bike
[bai] out
[au]
3 Pengguguran satu kata yang tidak dapat mendapat tekanan suara :
suku kata yang tidak mendapat tekanan digugurkan jika satu kata mendahului satu kata yang mendapat tekanan suara.
banana [naena]
potato [pedo]
4 Reduplikasi : dalam kata panjang suku kata KV diulang
cookie [gege]
TV [didi]
2.2.9 Pemerolehan Dalam Bidang Morfologi
Pemerolehan morfologi pada anak adalah pemerolehan bentuk morfem pada anak, baik morfem bebas dalam bentuk kata, maupun dalam bentuk morfem
terkait. Namun pemerolehan tersebut sering berupa morfem bebas berupa bentuk dasar. Beberapa ahli menyatakan pendapatnya mengenai hal tersebut.
a Bloom dan Tardif Dardjowijojo, 2005: 259 mengatakan kelas kata kerja
diperoleh lebih awal dari pada kelas kata lainnya, dan frekuensi penggunaannya juga lebih tinggi.
b Gentner Dardjowijojo, 2005: 568 mengatakan bahwa kata benda
diperoleh lebih awal daripada kata kerja dan frekuensinya lebih tinggi. c
Dardjowijojo 2005 mengatakan pendapatnya berdasarkan penelitiannya, bahwa selama lima tahun pemerolehan leksikon anak didominasi oleh kata
benda, diikuti kata kerja pada urutan kedua, kata sifat pada urutan ketiga, serta kata tugas pada urutan berikutnya. Contoh kata benda adalah susu,
mobil, dan baju. Kata kerja seperti makan, beli, baca. Kata sifat seperti enak, cantik, dan jelek. Kata tugas si, yang, di, dan ke.
a. Morfem, Alomorf, dan Kata Dasar
Morfem adalah satuan bahasa terkecil yang mengandung makna. Morfem ada dua macam, yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas
adalah morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti jual, beli, duduk, dan tidur. Morfem jual, beli, duduk, dan tidur merupakan satuan terkecil yang memiliki
makna Arifin dan Junaiyah 2009 : 2. Kata diperjualbelikan dapat dipotong-potong menjadi bagian-bagian
terkecil yang masih mempunyai makna masing-masing menjadi jual beli dan di-+[per-...
—kan]. Gabungan kata jual beli dapat dipecah menjadi jual dan beli yang masing-masing memiliki arti. Jika kata jual dan beli dipotong lagi
menjadi ju-al dan be-li, potongan-potongan tersebut bukan morfem., melaikan suku kata. Kemudian, bentuk di-, per-, dan
–kan juga tergolong morfem karena merupakan satuan terkecil yang mengandung makna, dan
bentuk –bentuk itu tidak bisa dipotong menjadi lebih kecil lagi. Proses
pembentukan kata diperjualbelikan adalah sebagai berikut. Jual beli
Jual belikan Perjualbelikan
Diperjualbelikan Berikut diberikan contoh lain dengan keterangannya.
Membantu Morfem bebas : bantu
Morfem terikat : mem- Mencari
Morfem bebas : cari
Morfem terikat : men- Kedinginan
morfem bebas : dingin
Morfem terikat : ke-an Pembawaan
morfem bebas : bawa
Morfem terikat : pem-an Contoh di atas terdapat bentuk mem- dan men- yang masing-masing
dulekatkan pada kata bantu dan cari. Baik mem- maupun men- sebenarnya mempunyai fungsi dan makna yang sama, yaitu merupakan unsur yang
membentuk verba kata kerja aktif Arifin dan Junaiyah 2009 : 3. Perbedaan wujud imbuhan meng-, mem-, men-, meny-, dan meng- ditentukan
oleh fonem pertama yang mengawali kata dasar. Jika fonem pertama yang mengikutinya berupa fonem b, bentuk yang muncul adalah mem-, tetapi jika
fonem awalnya berupa fonem c, bentuk yang muncul adalah men-. Bentuk mem- dan men- merupakan alomorf dari morfem yang sama, yaitu {meng-}. Jadi,
alomorf adalah anggota satuan morfem yang wujudnya berbeda, tetapi mempunyai fungsi yang sama.
b. Afiks atau imbuhan
Bahasa indonesia memiliki empat jenis imbuhan, yaitu awalan prefiks, sisipan infiks, akhiran sufiks, dan imbuhan terbelah konfiks. Dari keempat
imbuhan itu, tampaknya hanya infiks yang kurang produktif. Untuk itu, perhatikanlah uraian di bawah ini.
Afiks atau imbuhan di dalam bahasa indonesia mempunyai peran yang sangat penting, sebab kehadiran imbuhan pada sebuah dasar kata dapat mengubah
bentuk, fungsi, kategori, dan makna dasar atau kata yang dilekatinya itu. Misalnya kata datang kata dasar berbeda bentuk, fungsi, kategori, dan maknanya dari kata
kedatangan. Perbedaan itu terjadi akibat melekatnya konfiks ke-...-an pada kata kerja datang.
Contoh : -
Bentuk datang
kata dasar Kedatangan
kata jadian -
Kategori datang
verba Kedatangan
nomina -
Fungsi datang
predikat Kedatangan
bisa subjek -
Makna datang
Kedatangan ‘hal datang’
Perhatiakan perbedaan pemakaiannya berikut ini. -
Sampai hari ini ia belum juga datang. -
Kedatangannya memang sangat mengejutkan kami. Kata dasar datang dan kata jadian kedatangannya pada kalimat itu tentu saja
tidak dapat menghasilkan kalimat yang tidak berterima, bahkan tidak masuk akal. Hasil pertukarannya sebagai berikut.
- Sampai hari ini ai belum juga kedatangan.
- Datang memang sangat mengejutkan kami.
Berdasarkan kenyataan itu, seharusnya para pemakai bahasa indonesia mengetahui dengan baik bagaimana bentuk dan apa makna imbuhan yang
digunakannya ketika ia berbahasa indonesia Arifin dan Junaiyah, 2009 : 4. c.
Prefiks atau awalan Awalan atau prefiks adalah imbuhan yang dilekatkan di depan dasar
mungkin kata dasar dan pula kata jadian. Di dalam bahasa indonesia terdapat delapan awalan, yaitu ber- dan per-; meng-, dan di-; ter-, ke-, dan se-. Contohnya
adalah dilipat dan ditiru, dilihat, dan tertawa. Kedua dan keempat. Sedasa dan setempat Arifin dan Junaiyah, 2009 : 4.
d. Infiks atau sisipan
Sisipan adalah imbuhan yang dilekatkan di tengah dasar. Bahasa indonesia memiliki empat buah, yaitu
–el, -em, -er, dan –in seperti getar menjadi geletar dan gemetar. Kerja menjadi kinerja. Kelut menjadi kemelut Arifin dan Junaiyah 2009
: 4. e.
Sufiks atau Akhiran Akhiran adalah imbuhan yang dilekatkan pada akhir dasar. Bahasa indonesia
memiliki akhiran –i, -kan, -an, -man, -wan, -wati, -wi, dan –nya. Contonya adalah
seni menjadi seniman. Warta menjadi wartawan dan wartawati. Dunia menjadi duniawi. Turun menjadi turunnya Arifin dan Junaiyah, 2009 : 4.
f. Konfiks atau imbuhan terbelah
Konfiks, lazim juga disebut imbuhan terbelah merupakan imbuhan yang dilekatkan pada awal dan akhir dasar. Konfiks harus diletakan sekaligus pada
dasar, karena konfiks merupakan imbuhan tunggal. Contoh dari konfiks adalah
konfiks ke-..-an pada keuangan, kematian, dan keahlian. Konfiks ber-...-an pada berhamburan, bertabrakan, dan berciuman. Konfiks peng-....-an pada
pengalaman, dan pengambilan. Konfiks per-...-an pada perjuangan, pergaulan, dan pertemuan. Konfiks se-...-nya pada sebaik-baiknya, dan seharusnya Arifin
dan Junaiyah 2009 : 5. g.
Simulfiks atau imbuhan gabung Simulfiks adalah dua imbuhan atau lebih yang ditambahkan pada kata dasar
tidak sekaligus tetapi bertahap. Contoh simulfiks adalah imbuhan member-kan yang melekat pada kata memberlakukan dan memberdayakan. Afiks yang pertama
kali melekat pada kata dasar laku dan daya adalah prefiks ber- menjadi berlaku dan berdaya, setelah itu sufiks
–kan menjadi berlakuan dan berdayakan. Akhirnya baru prefiks meng- dilekatkan pada kata tersebut menjadi
memberlakukan dan memberdayakan Arifin dan Junaiyah, 2009 : 7 .
2.2.10 Pemerolehan Dalam Bidang Sintaksis
Dalam bidang sintaksis, anak memulai berbahasa dengan mengucapkan satu kata. Kata ini, bagi anak sebenarnya adalah kalimat penuh, tetapi karena dia
belum dapat mengatakan lebih dari satu kata, dia hanya mengambil satu kata dari seluruh kalimat itu. Yang menjadi pertanyaannya adalah kata yang mana dia
pilih? Seandainya anak tersebut bernama Dodi, dan pesan yang disampaikannya adalah Dodi mau bubuk, dia akan memilih di untuk dodi, mau untuk mau, buk
untuk bubuk? Kita pasti akan menerka bahwa dia akan memilih buk. Mengapa? Dalam pola pikir yang masih sederhana pun tampaknya anak sudah mempunyai
pengetahuan tetntang informasi lama dengan informasi baru kepada
pendengarnya. Kalimat yang diucapkan untuk memberikan informasi baru kepada pendengarnya. Pada tiga kata pada kalimat Dodi mau bubuk, yang baru adalah
kata bubuk. Karena itulah anak memilih kata buk, dan bukan di, atau mau. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dalam ujaran yang dinamakan Ujaran Satu Kata
USK, anak tidak sembarangan memilih kata yang dia akan katakan sebagai informasi baru.
Dalam bentuk sintaksisnya, USK sangat sederhana karena memang hanya terdiri dari satu kata saja, bahkan untuk bahasa seperti bahasa indonesia hanya
sebagian saja dri kata yang diucapkan. Namun dalam segi semantik, USK adalah kompleks karena satu kata ini bisa memiliki lebih dari satu makna. Anak yang
mengatakan bi untuk mobil bisa bermakusd mengatakan: a
Ma, itu mobil b
Ma, ayo kita ke mobil c
Aku minta mainan mobil Ujaran satu kata yang mempunyai berbagai makna ini dinamakan ujaran
holofrastik. Ciri lain dari USK adalah bahwa kata-kata yang dipakai hanyalah kata-kata dari kategori sintaktik utama content word, yakni, nomina, verba,
adjektiva, dan mungkin juga ada verbia. Tidak ada fungsi form, to, dari atau ke. Disamping itu, kata-katanya selalu kategori sini dan kini.
Sekitar umur 2;0 anak mulai mengeluarkan Ujaran Dua Kata UDK. Anak mulai dengan dua kata yang diselingi jeda sehingga seolah-olah dua kata itu
terpisah. Untuk mengatakan lampu menyala, anak bukan mengatakan lampunala “Lampu nyala” tetapi lampu nala “Lampu nyala” dengan jeda di antara lampu
dan nyala. Jeda ini makin lama makin pendek sehingga menjadi ujaran yang normal.
Dengan adanya dua kata dalam UDK maka orang dewasa dapat lebih bisa menerka apa yang dimaksud oleh anak karena cakupan makna lebih terbatas.
Kalau kita mendengar anak mengatakan lampunala seperti contoh diatas, kita akan mendengar lampu atau nala saja. Jadi, berbeda dengan USK, UDK
sintaksisnya lebih kompleks karena adanya dua kata tetapi semantiknya makin lebih jelas.ciri lain UDK adalah bahwa kedua kata ini adalah kata-kata dari
kategori utama: nomina, verba, adjektiva, atau bahkan adverbia. Belum ada kata fungsi seperti di, yang, dan, dsb. Karena wujud ujaran yang seperti bahasa tilgram
ini maka UDK sering juga disebut ujaran telegrafik. Pada UDK ini juga belum ditemukan afiks macam apapun. Untuk bahasa
Inggris, misalnya, belum ada infleksi –s untuk jamak atau kala kini : belum ada –
ing untuk kala progresif, dsb. Untuk bahasa Indonesia, anak belum memakai prefiks meN- atau surfisk
–kan, -i, atau –an. Berikut adalah beberapa cotoh ujaran dua kata yang dikeluarkan anak umur
1;8 Dardjowidjojo, 2000:146. a
liat tuputupu “Ayo lihat kupu-kupu”
b etsa nani
“Echa mau nyanyi” c
eyang tsini “Eyang, ke sini”
Contoh-contoh diatas telah tampak bahwa dalam UDK anak ternyata sudah menguasai hubungan kasus. Pada contoh a, misalnya anak telah
menguasai hubungan kasus antara perbuatan dengan objek. Pada b kita temukan hubungan kasus pelaku-perbuatan, dan seterusnya.
Hal seperti ini merupakan gejala yang universal. Pada sekitar umur 2;0 anak telah menguasai hubungan kasus-kasus dan operasi-operasi berikut
Brown 1973 dalam Aitchison 1998:20 Pelaku-perbuatan
: Echa nyanyi. Pelaku-objek
: Echa Roti. Perbuatan-objek
: Maem krupuk. Perbuatan-lokasi
: Pergi kamar. Pemilik-dimiliki
: Sarung Eyang Objek-lokasi
: Mama Kursi Meskipun pada UDK semantiknya semakin jelas, makna yang dimaksud
anak masih harus diterka sesuai dengan konteksnya. Kalimat Echa roti belum tentu berarti Echa meminta roti. Bisa juga yang dimaksud adalah lain,
misalnya, Echa mau mengambil roti. Pada tahap ini anak juga sudah dapat menyatakan bentuk negatif. Pada
anak anak indonesia, proses mentalnya agak lebih rumit karena dalam bahasa indonesia terdapat bentuk negatif : bukan, belum, dan tidak. Pemerolehan
bentuk negatif bukan secara dini mungkin dipengaruhi oleh konsep sini dan kini yang membuat nomina lebih dominan daripada kategori yang lain
sehingga kata bukan merupakan negasi antara dua nomina. Munculnya bentuk negasi ini mula-mula sebagai respon terhadap pertanyaan. Perhatikan
percakapan anatara Echa dan Eyang Kakungnya :
EK : Ini ikan, ya, Cha? EC : Utan.
Kemudian muncul negasi belum yang tampaknya juga berkaitan dengan konsep sini dan kini karena verba adalah kategori kedua setelah nomina. Kata
negatif ndak atau enggak juga muncul hampir bersamaan dengan belum karena alasan yang sama.
Setelah UDK tidak ada ujaran tiga yang merupakan tahap khusus. Pada umumnya, pada saat anak mulai memakai UDK, dia juga memakai USK,
setelah beberapa lama memakai UDK dia juga mulai mengeluarkan ujaran yang tiga kata atau bahkan lebih. Jadi, antara satu jumlah kata dengan jumlah
lkata lain bukan merupakn tahap yang terputus.
2.2.11 Pemerolehan Bidang Diksi
Diksi atau pilihan kata adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan
kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa diksi merupakan pilihan kata yang digunakan oleh penulis, sebagai ungkapan akan daya cipta atau penyampaian makna agar lebih mudah diterima
pembaca. Jenis diksi sangat beragam, tiap jenis diksi berperan untuk menyampaikan idea atau gagasan seseorang. Pemilihan diksi yang tepat akan
mempermudah penyampaian ide atau gagasan itu sendiri Keraf, 1984: 22-23.
a. Makna kata
Kata sebagai satuan dari pembendaharaan kata sebuah bahasa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi
makna. Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan panca indra, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi atau
makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi. Pada waktu orang berteriak
“maling” timbul reaksi dalam pikiran kita bahwa ada sesorang telah berusaha mencuri barang milik orang lain. Jadi bentuk ekspresinya adalah
kata maling yang diucapkan oleh orang tadi., sedangkan makna atau isi adalah reaksi yang timbul pada orang yang mendengar Keraf, 1984: 25-26.
Reaksi yang timbul itu dapat terwujud “pengertian” atau “tindakan” atau
keduanya. Karena dalam berkomunikasi kita tidak hanya berhadapan dengan kata, tetapi dengan rangkaian kata yang mendukung suatu amanat, maka ada
beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran kita yaitu pengertian, perasaan, nada, dan tujuan. Pengertian merupakan landasan dasar untuk menyampaikan
hal-hal tertentu kepada pendengar atau pembaca dengan mengharapkan reaksi tertentu. Perasaan lebih mengarah kepada sikap pembicara terhadap apa yang
dikatakannya, bertalian dengan nilai rasa terhadap apa yang dikatakan pembicara atau penulis. Nada mencakup sikap pembicara atau penulis kepada
pendengar atau pembacanya,. Pembaca atau pendengar yang berlainan akan mempengaruhi pula pilihan kata dengan cara menyampaikan amanat itu.
Relasi antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca akan
melahirkan nada suatu ujaran. Sedangkan tujuan adalah efek yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis. Memahami semua itu dalam seluruh
konteks adalah bagian dari seluruh usaha untuk memahami makna dalam komunikasi.
b. Macam-macam makna
Masalah bentuk kata lazim dibicarakan dalam tata bahasa setiap bahasa. Bagaimana bentuk sebuah kata dasar, bagaimana menurunkan kata baru dari
bentuk dasar atau gabungan dari bentuk-bentuk dasar biasanya dibicarakan secara terperinci dalam tata bahasa. Masalah ketepatan pilihan kata atau
kesesuaian pilihan kata tergantung pula pada makna yang didukung oleh bermacam-macam bentuk itu. Sebab itu, dalam bagian ini masalah makna
kata perlu diperhatikan secara khusus Keraf , 1984: 27-30. Pada umumnya makna kata pertama-tama dibedakaan atas makna yang
bersifat denotatif dan konotatif. Untuk menjelaskan kedua jenis makna ini, perhatikan contoh kalimat berikut.
Toko itu dilayani gadis-gadis manis. denotatif
Toko itu dilayani dara-dara manis. konotatif
Toko itu dilayani perawan-perawan manis. konotatif
Ketiga kata yang dicetak miring di atas memiliki makna yang sama, ketiganya memiliki referensi yang sama untuk referen yang sama, yaitu
wanita yang masih muda. Namun, kata gadis boleh dikatakan mengandung asosiasi yang paling umum, yang menunjuk wanita yang masih muda, jugaa
mengandung sesuatu yang lain yaitu rasa indah dan puitis.
a Makna Denotatif
Makna denotatif adalah Konsep dasar yang didukung oleh suatu kata makna itu menunjuk pada konsep referenide. Makna yang
sebenarnya atau lawan dari makna konotasi yang mengacu pada makna kias atau makna bukan sebenarnya. Makna denotatif dapat
dibedakan atas dua macam relasi, pertama adalah relasi antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya, dan kedua adalah
relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya Keraf 1984 : 28. Berikut ini contoh
penggunaan denotasi. “Adul duwe motor anyar”
“Adul punya sepeda motor baru” Kata
motor „sepeda motor’ pada contoh diatas merupakan contoh denotasi atau makna sebenarnya. Motor
‘sepeda motor’ merupakan jenis kendaraan roda dua yang dipakai sebagai alat transportasi, motor
termasuk denotasi karena mempunyai makna yang sebenarnya yaitu jenis kendaraan roda dua .
b Makna Konotatif
Konotasi merupakan makna kata yang mengandung arti tambahan, imajinasi atau nilai rasa tertentu . Konotasi mengacu pada makna kias
atau makna tidak sebenarnya. Konotasi adalah masalah yang jauh lebih berat bila dibandingkan dengan memilih denotasi. Konotasi pada
dasarnya timbul karena masalah hubungan sosial atau hubungan
intrapersonal, yang mempertalikan kita dengan orang lain Keraf, 1984: 29. Berikut contoh dari konotasi.
“Aja dolan karo bocah sing dawa tangane, sengsara”.
“Jangan bermain dengan anak yang panjang tangan, sengsara” Berdasarkan kutipan diatas dapat dilihat yang termasuk contoh
konotasi yaitu dawa tangane “panjang tangan”. Pada contoh diatas
termasuk konotasi karena dawa tangane ’panjang tangan’ memiliki
makna yang tidak sebenarnya yaitu bermakna orang yang suka mencuri bukan bermakna tangan yang ukuranya panjang. Orang yang
panjang tangan dibaratkan sebagai orang yang suka mengambil barang milik orang lain.
c. Kata Khusus
Kata khusus mengacu pada pengarahan-pengarahan yang khusus dan konkrit. Sebuah kata khusus akan lebih detail dan jelas maknanya. Makna
dari kata itu akan lebih spesifik karena lebih khusus yang membuat itu semakin rinci. Menurut Akhadiah 1988: 88 yang termasuk kata khusus
adalah nama diri, nama geografi, dan kata-kata indriaindera yang sering digunakan untuk menggambarkan tanggapan panca indra akan rangsangan
dari luar. Kata indera dibagi menjadi kata untuk indera penglihatan, peraba, pendengaran, penglihatan serta penciuman. Berikut ini merupakan contoh
penggunaan kata khusus.
a. “Ibu wau enjing mundhut duren, salak lan nanas wonten ing Peken”.