Pemerolehan bahasa pertama pertama anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa sehari-hari (tinjauan psikolinguistik).

(1)

ABSTRAK

Trinowismanto, Yosep. 2016. Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia 0 s.d 3 Tahun dalam Bahasa Sehari-hari (Suatu Tinjauan Psikolinguistik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas tentang pemerolehan bahasa pertama anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang tahap-tahap perkembangan bahasa anak dan mendeskripsikan proses pemerolehan bahasa dalam aspek fonologi, morfologi, sintaksis dan diksi. Subjek penelitian ini adalah anak-anak yang berusia 0 sampai 3 tahun yang berada dalam lingkugan peneliti.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, karena penelitian ini berisi gambaran mengenai tahap pemerolehan bahasa anak. penelitian ini juga memaparkan proses pemerolehan bahasa anak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap. Metode pertama yang digunakan oleh peneliti adalah metode simak. Adapun teknik yang digunakan dalam rangka melaksanakan metode simak itu adalah teknik catat dan teknik rekam. Dari catatan dan/atau rekaman pertuturan itulah data diperoleh sebagai bahan jadi penelitian pemerolehan bahasa pertama anak.

Simpulan secara umum Pemerolehan bahasa anak usia 0 s.d 3 tahun dikembangkan melalui beberapa tahap yaitu (1) tahap menangis, (2) tahap mendengkur, (3) tahap meraban pada usia 0-1 tahun, (4) tahap pola intonasi, (5) tahap tuturan satu kata, (6) tahap tuturan dua kata, (7) tahap infleksi dan aglutinatif, dan (8) tahap pola kalimat tanya dan ingkar. Peneliti menemukan bentuk proses pemerolehan bahasa diantaranya adalah pertama pada usia 0-1 tahun pemerolehan fonologi anak berfokus pada bunyi. Pemerolehan morfologi, munculnya bentuk morfem bebas. Pemerolehan sintaksis, anak mampu mengucapkan kata yang membentuk ujaran satu kata. Pemerolehan diksi pada usia 0-1 tahun belum tampak. Kedua pada usia 1-2 tahun pemerolehan fonologi, anak mampu mengeluarkan beragam bentuk bunyi terutama bunyi vokal dan konsonan. Pemerolehan morfologi, anak lebih banyak menggunakan morfem bebas dalam berkomunikasi. Pemerolehan sintaksis, anak mampu menggunakan dua kata, dan bentuk-bentuk kalimat mengandung unsur verba, nomina, dan adjektiva sudah mulai tampak. Pemerolehan diksi anak lebih banyak mengamati mitra tutur berbicara untuk memperbanyak kosakata yang ia miliki. Ketiga pada usia 2-3 tahun pemerolehan fonologi anak sudah sempurna dalam bunyi vokal dan diikuti bunyi konsonan. Pemerolehan morfologi bentuk morfem dan kosakata sudah mencapai beberapa ratus kata. pemerolehan sintaksis anak sudah mampu menggunakan kalimat rangkaian kata dan kalimat konstruksi yang kompleks. Pemerolehan diksi anak mampu menggunakan pilihan kata dalam berkomunikasi.


(2)

ABSTRACT

Trinowismanto, Yosep. 2016. The First Language Acquirement 0-3 Year(s) Old Kid in Daily Language. (A Psycholinguistics). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discussed about the first language acquirement 0-3 year(s) old kid in daily language. The purpose of this research is to describe the process of language acquirement in the aspect of phonology, morphology, syntax, and diction. The subject of this research is 0-3 year(s) old children which is inside of the research environment.

The type of this research is qualitative descriptive, because this research is about the description about the children language acquirement stages. This research also describes about the children language acquirement process. The gathering-data method which is used in this research is observation and conversation method. The first method that is used by the researcher is the observation method. The technique that is used to conduct the observation method is taking-note technique and recording technique. From the notes and/or delivering record is the way data is collected as the research material of children’s first language acquirement.

The general conclusion of 0-3 year(s) old children is developed through some stages which are (1) crying step, (2) snoring step, (3) jabber step in 0-1 year old, (4) intonation pattern step, (5) one word saying step, (6) two words saying steps, (7) agglutinative and inflection step, and (8) rejection and question pattern step. Researcher found out the form of language acquirement process is firstly in 0-1 year old, the focus of children’s phonology acquirement is singing. Morphology acquirement is in the form of free morpheme. Syntax acquirement is in the form of children who can say words which make a meaning. Diction requirement in 0-1 year old is not quietly shown. Secondly in 1-2 year old acquirement of phonology, children are able to produce various kind of sounds especially vocal and consonant sound. The morphology requirement is in the form of children who can use more free morphemes to communicate. The syntax requirement is in the form of children who can use two words, and the form of sentences which contains verbal, nominal, and adjective. The diction acquirement is in the form of more observing their friends talking to get more vocabulary they have. Thridly in 2-3 year old, phonology acquirement of children is perfect in vocal voice, followed by consonant voice. Morphology acquirement is in the form of morpheme form and vocabulary has reached a hundred of words. Syntax acquirement of children is in the form of children who can use more complex sentences. Diction acquirement is in the form of children who can use diction in communicating.


(3)

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA

ANAK USIA 0 s.d 3 TAHUN DALAM BAHASA SEHARI-HARI

(TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh :

Yosep Trinowismanto 101224043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

i

PEMEROLEHAN BAHASA PERTAMA

ANAK USIA 0 s.d 3 TAHUN DALAM BAHASA SEHARI-HARI

(TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh :

Yosep Trinowismanto 101224043

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini, saya persembahkan kepada :

 Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan Santo Yosef.

 Orangtua, Andreas Budiyono dan Valentina Suprihatinah.

 Keempat kakak Aluysius Ari Budi Cahyadi, Elisabeth Natalia Kristiani, Lusia Yuliani, dan Yustinus Ari Setyawan.

 Keponakan, Karolus Inggil.

 Keluarga Besar Joyo Harsono.

 Keluarga Besar Kismo Sudiro.

 Para sahabat PBSI USD 2010.

 Calon pendamping hidup yang akan ku jemput di ruang rindu.


(8)

v

MOTO

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua (Aristoteles).

Terpuruk dalam masalah merupakan peluang hebat untuk kita (Albert Eisntein).

In the end, your success will speak for it self (Patrick Bet David).

Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya (Yesaya 40:29).


(9)

(10)

(11)

viii ABSTRAK

Trinowismanto, Yosep. 2016. Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia 0 s.d 3 Tahun dalam Bahasa Sehari-hari (Suatu Tinjauan Psikolinguistik). Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas tentang pemerolehan bahasa pertama anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang tahap-tahap perkembangan bahasa anak dan mendeskripsikan proses pemerolehan bahasa dalam aspek fonologi, morfologi, sintaksis dan diksi. Subjek penelitian ini adalah anak-anak yang berusia 0 sampai 3 tahun yang berada dalam lingkugan peneliti.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, karena penelitian ini berisi gambaran mengenai tahap pemerolehan bahasa anak. penelitian ini juga memaparkan proses pemerolehan bahasa anak. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap. Metode pertama yang digunakan oleh peneliti adalah metode simak. Adapun teknik yang digunakan dalam rangka melaksanakan metode simak itu adalah teknik catat dan teknik rekam. Dari catatan dan/atau rekaman pertuturan itulah data diperoleh sebagai bahan jadi penelitian pemerolehan bahasa pertama anak.

Simpulan secara umum Pemerolehan bahasa anak usia 0 s.d 3 tahun dikembangkan melalui beberapa tahap yaitu (1) tahap menangis, (2) tahap mendengkur, (3) tahap meraban pada usia 0-1 tahun, (4) tahap pola intonasi, (5) tahap tuturan satu kata, (6) tahap tuturan dua kata, (7) tahap infleksi dan aglutinatif, dan (8) tahap pola kalimat tanya dan ingkar. Peneliti menemukan bentuk proses pemerolehan bahasa diantaranya adalah pertama pada usia 0-1 tahun pemerolehan fonologi anak berfokus pada bunyi. Pemerolehan morfologi, munculnya bentuk morfem bebas. Pemerolehan sintaksis, anak mampu mengucapkan kata yang membentuk ujaran satu kata. Pemerolehan diksi pada usia 0-1 tahun belum tampak. Kedua pada usia 1-2 tahun pemerolehan fonologi, anak mampu mengeluarkan beragam bentuk bunyi terutama bunyi vokal dan konsonan. Pemerolehan morfologi, anak lebih banyak menggunakan morfem bebas dalam berkomunikasi. Pemerolehan sintaksis, anak mampu menggunakan dua kata, dan bentuk-bentuk kalimat mengandung unsur verba, nomina, dan adjektiva sudah mulai tampak. Pemerolehan diksi anak lebih banyak mengamati mitra tutur berbicara untuk memperbanyak kosakata yang ia miliki. Ketiga pada usia 2-3 tahun pemerolehan fonologi anak sudah sempurna dalam bunyi vokal dan diikuti bunyi konsonan. Pemerolehan morfologi bentuk morfem dan kosakata sudah mencapai beberapa ratus kata. pemerolehan sintaksis anak sudah mampu menggunakan kalimat rangkaian kata dan kalimat konstruksi yang kompleks. Pemerolehan diksi anak mampu menggunakan pilihan kata dalam berkomunikasi.


(12)

ix

ABSTRACT

Trinowismanto, Yosep. 2016. The First Language Acquirement 0-3 Year(s) Old Kid in Daily Language. (A Psycholinguistics). Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discussed about the first language acquirement 0-3 year(s) old kid in daily language. The purpose of this research is to describe the process of language acquirement in the aspect of phonology, morphology, syntax, and diction. The subject of this research is 0-3 year(s) old children which is inside of the research environment.

The type of this research is qualitative descriptive, because this research is about the description about the children language acquirement stages. This research also describes about the children language acquirement process. The gathering-data method which is used in this research is observation and conversation method. The first method that is used by the researcher is the observation method. The technique that is used to conduct the observation method is taking-note technique and recording technique. From the notes and/or delivering record is the way data is collected as the research material of children’s first language acquirement.

The general conclusion of 0-3 year(s) old children is developed through some stages which are (1) crying step, (2) snoring step, (3) jabber step in 0-1 year old, (4) intonation pattern step, (5) one word saying step, (6) two words saying steps, (7) agglutinative and inflection step, and (8) rejection and question pattern step. Researcher found out the form of language acquirement process is firstly in 0-1 year old, the focus of children’s phonology acquirement is singing. Morphology acquirement is in the form of free morpheme. Syntax acquirement is in the form of children who can say words which make a meaning. Diction requirement in 0-1 year old is not quietly shown. Secondly in 1-2 year old acquirement of phonology, children are able to produce various kind of sounds especially vocal and consonant sound. The morphology requirement is in the form of children who can use more free morphemes to communicate. The syntax requirement is in the form of children who can use two words, and the form of sentences which contains verbal, nominal, and adjective. The diction acquirement is in the form of more observing their friends talking to get more vocabulary they have. Thridly in 2-3 year old, phonology acquirement of children is perfect in vocal voice, followed by consonant voice. Morphology acquirement is in the form of morpheme form and vocabulary has reached a hundred of words. Syntax acquirement of children is in the form of children who can use more complex sentences. Diction acquirement is in the form of children who can use diction in communicating.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak-anak Usia 0-3 Tahun Dalam Bahasa Sehari-hari Tinjauan Psikolinguistik” dengan baik dan lancar. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu dan memperoleh gelar sarjana pendidikan dalam kurikulum Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Bahasa Dan Seni (JBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan dengan bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rohandi, Ph.D., selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd. selaku ketua Program Studi PBSI,

yang telah banyak memberikan dukungan, pendampingan, nasihat, dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang dengan bijaksana, sabar, memotivasi, memberikan masukan yang sangat berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen Program Studi PBSI, Universitas Sanata Dharma,

Yogyakarta yang penuh dedikasi mendidik, mengarahkan,

membimbing, membagi ilmu pengetahuan, memberi motivasi kepada penulis dari awal perkuliahan sampai selesai.

5. Robertus Marsidiq, selaku karyawan sekretariat PBSI yang dengan sabar memberikan pelayanan administratif kepada penulis dalam menyelesaikan berbagai urusan administratif.


(14)

xi

6. Bapak Jumari, selaku ketua Yayasan Panti Asuhan Sayap Ibu, Sleman,

Yogyakarta yang telah mendukung dalam penelitian skripsi.

7. Staff dan Karyawan Panti Asuhan Sayap Ibu, Sleman, Yogyakarta yang

telah membantu penulis dalam penelitian skripsi.

8. Keluarga Besar Joyo Harsono dan Keluarga Besar Kismosudiro.

9. Kedua Orang tua tercinta, Bapak Andreas Budiyono, dan Ibu Valentina

Suprihatinah yang selalu mendukung, memotivasi, dan membantu secara finansial kepada penulis.

10.Untuk kakak tercinta, Aluysius Ari Budi Cahyadi, Amd., Elisabeth Natalia Kristiani, Amd.Kep., Lusia Yuliani, S.Pd., Yustinus Ari Setyawan, S.T.

11.Karolus Inggil, Wisnu Saputra, Septi Puspitasari, Gisella Putri Cahyaningtyas, dan Ari Wahyudi yang bersedia menjadi subjek penelitian Penulis.

12.Elizabeth Tri Noviyani Nugroho, Amd.Kep. yang telah memberikan pengalaman dan motivasi begitu besar kepada penulis.

13.Andreas Dwi Yunianto, Sebastianus Seno Kurniawan, S.Pd., I Putu Ariyana, S.Pd., Dwi Kristanto Saputro, S.Pd., Deny Pradita Tri Handaru, S.Pd., Wilvridus Yolesa Roosando, S.Pd., Krisantus Roparman, S.Pd., Agustinus Adven Yudanto, Mateus Ananda Merfi Aditya, S.Pd., Vanio Praba Pradipa, Pratama Adi Winata, S.Pd., Eko Prasetyo, S.Pd., Agustina Marshella, Mega Yoshinta, S.Pd., Maria Tri Wijayanti, S.Pd., Caecilia Dhany Anja Reny, S.Pd., Natalia Harsanti, S.Pd., Maulida Reswari, S.Pd., Silviana Yudi Apsari, S.Pd., Anita Sugiyatno, S.Pd., Brigita Familia, S.Pd., Fransiska Budi Fitriana, S.Pd., Devi Pusawati, S.Pd., Natalia Astra, Fransiska Isti Ningsih Puji Rahayu, S.Pd., dan semua sahabat PBSI 2010 yang telah berdinamika bersama selama menjalani perkuliahan di PBSI.

14. Dwi Adi Prasetyo, S.E., Andronikus Kresna Dewantara, S.Pd, Delitiria Nehzra, Alit Pidegso, S.Pd., Zulvi Handoko, Sandy Kurniawan, Yohanes Berchmans, Sigit Prihadi, Hikmah Prianggara, Yanuarius


(15)

(16)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 6

1.4Manfaat Penelitian ... 6

1.5Batasan Istilah ... 7

1.6Sistematika Penyajian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10

2.1Penelitian Terdahulu ... 10

2.2Landasan Teori ... 13

2.2.1 Teori Perkembangan Bahasa Anak ... 16

2.2.2 Perkembangan Akuisisi Bahasa ... 20

2.2.3 Proses Akuisisi Bahasa ... 22


(17)

xiv

2.2.5 Ujaran, Mengerti Ujaran dan Pikiran ... 27

2.2.6 Perkembangan Ujaran ... 29

2.2.7 Perkembangan Sosial dan Komunikasi ... 30

2.2.8 Pemerolehan Dalam Bidang Fonologi ... 33

2.2.9 Pemerolehan Dalam Bidang Morfologi ... 42

2.2.10 Pemerolehan Dalam Bidang Sintaksis ... 48

2.2.11 Pemerolehan Dalam Bidang Diksi ... 52

2.3Kerangka Berpikir ... 62

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 63

3.1.Jenis Penelitian ... 63

3.2.Data dan Sumber Data ... 64

3.3.Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 64

3.4.Instrumen Penelitian ... 65

3.5.Teknik Analisis Data ... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 67

4.1.Deskripsi Data ... 67

4.2.Analisis Data ... 68

4.2.1 Tahap Pemerolehan Bahasa Usia 0 s.d 3 Tahun ... 69

4.2.1.1Usia 0 – 1 Tahun ... 69

4.2.1.2Usia 1 – 2 Tahun ... 75

4.2.1.3Usia 2 – 3 Tahun ... 94

4.2.2 Pemerolehan Bahasa Usia 0 s.d 3 Tahun... 100

4.2.2.1Pemerolehan Fonologi. ... 101

4.2.2.1.1 Usia 0 – 1 Tahun ... 102

4.2.2.1.2 Usia 1 – 2 Tahun ... 104

4.2.2.1.3 Usia 2 – 3 Tahun ... 109

4.2.2.2Pemerolehan Morfologi ... 113

4.2.2.2.1 Usia 0 – 1 Tahun ... 114


(18)

xv

4.2.2.2.3 Usia 2 – 3 Tahun ... 118

4.2.2.3Pemerolehan Sintaksis ... 123

4.2.2.3.1 Usia 0 – 1 Tahun ... 124

4.2.2.3.2 Usia 1 – 2 Tahun ... 125

4.2.2.3.3 Usia 2 – 3 Tahun ... 128

4.2.2.4Pemerolehan Diksi ... 132

4.2.2.4.1 Usia 0 – 1 Tahun ... 132

4.2.2.4.2 Usia 1 – 2 Tahun ... 132

4.2.2.4.3 Usia 2 – 3 Tahun ... 136

4.3.Pembahasan ... 139

BAB V PENUTUP ... 150

5.1Kesimpulan ... 150

5.2Saran ... 152

DAFTAR PUSTAKA ... 154

LAMPIRAN ... 156


(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Komunikasi antara satu orang dengan yang lain itu sangat penting. Hal yang paling penting dalam berkomunikasi yaitu menggunakan bahasa. Maksud dan tujuan berbahasa adalah menyampaikan informasi seluas-luasnya dengan jelas sebagai kebutuhan seseorang dengan yang lainnya. Setiap orang dibekali untuk berbahasa ketika masih dalam kandungan. Secara tidak langsung ketika dalam kandungan seseorang tersebut mendapatkan informasi yang dirangsang oleh ibunya. Orang dewasa selalu terpesona pada perkembangan bahasa yang terjadi pada anak-anak. Meskipun lahir tanpa bahasa, pada saat mereka berusia 3 atau 4 tahun, anak-anak secara khusus telah memperoleh beribu-ribu kosakata, sistem fonologi dan gramatika yang kompleks, dan aturan kompleks yang sama untuk bagaimana cara menggunakan bahasa mereka dengan sewajarnya dalam banyak latar sosial.

Bahasa menurut Kridalaksana (dalam Chaer 2003:32), bahasa adalah sistem lambang yang arbiter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Sedangkan definisi lain bahasa adalah alat komunikasi yang efektif antar manusia dalam berbagai macam situasi. Bahasa dapat digunakan dalam penyampaian gagasan ide dari pembicara ke pendengar atau penulis ke pembaca. Bahasa merupakan alat perantara dalam proses interaksi manusia dengan manusia lain. Meskipun bahasa


(20)

2

tidak pernah lepas dari manusia, namun belum ada angka pasti berapa jumlah bahasa di dunia (Crystal, dalam Chaer, 2003: 33). Bahasa berhubungan dengan kebudayaan manusia, dimana kebudayaan manusia muncul setelah bahasa lahir dan ada pula yang berpendapat bahwa bahasa merupakan pusat dari sebuah kebudayaan. Bahasa dipandang sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa adalah wadah aspirasi sosial, perilaku masyarakat, dan wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu (Sumarsono, 2002: 20). Bahasa dan kebudayaan selalu terealisasi secara bersamaan, maksudnya ketika belajar bahasa asing maka terlebih dahulu mengenal kebudayaannya sehingga terjadi timbal-balik di dalamnya. Apabila tidak ada jalinan antara belajar bahasa dan kebudayaan mengakibatkan proses belajar bahasa atau kebudayaan tidak maksimal.

Psikolinguistik termasuk salah satu cabang linguistik yang kerap perkembangannya pesat karena membuka diri dalam temuan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu untuk menginterpretasikan masalah pemerolehan bahasa (language acguisition) serta komprehensi dan produksi bahasa (speech comprehension and production). Psikolinguistik merupakan salah satu cabang linguistik yang kompleks. Ahli psikolinguistik dituntut untuk dapat melakukan analisis pada semua tataran linguistik (fonologi-morfologi-sintaksis-wacana-semantik-pragmatik) dengan baik karena psikolinguistik berusaha memahami bagaimana bahasa berbahasa di otak manusia. Selain itu, psikolinguistik juga mempertanyakan kembali apakah terdapat bukti biologis bahwa bahasa bersifat


(21)

anugerah kodrati (innate properties) sebagaimana dicetuskan oleh Chomsky. Kajian psikoliguistik akan memberi kajian yang bermanfaat untuk perencanaan bahasa jika penelitian tentang pemerolehan bahasa pertama (child language acquisition) ditingkatkan.

Menurut Pateda (1990: 42) terdapat beberapa teori yang digunakan untuk meneliti perkembangan bahasa pada anak yaitu menurut Nababan (1988), Clara dan W. Stern (1961), Aitchison (1976) dan menurut Lenne Berg (1975). Perkembangan bahasa anak menurut Nababan terdiri dari empat tahap. Tahap I Pengocehan (6 bulan), tahap II Satu Kata, Satu Frase (1 tahun), tahan III Dua kata, Satu Frasa (2 tahun), tahap IV Menyerupai Telegram.

Perkembangan bahasa anak menurut Aitchison (dalam Harras dan Andika, 2009: 50-56) terdiri dari sepuluh tahap. Umur 0,3 (mulai dapat meraban), umur 0,9 (mulai terdengar pola intonasinya), umur 1,0 (dapat membuat kalimat satu kata), umur 1,3 (haus akan kata-kata), umur 1,8 (menguasai kalimat dua kata), umur 2,0 (dapat membuat kalimat empat kata, dapat membuat kalimat negatif, menguasai infleksi, pelafalan vokal telah sempurna), umur 3,6 (pelafalan konsonan mulai sempurna), umur 4,0 (penguasaan kalimat secara tepat, tetapi masih terbatas), umur 5,0 (konstruksi morfologis telah sempurna), umur 10,0 (matang berbicara).

Pemerolehan bahasa oleh anak-anak dapat diketahui dengan mengadakan penelitian mengenai bahasa anak itu sendiri. Penelitian ini penting karena bahasa anak memang manarik untuk diteliti. Selain itu, hasil penelitiannya pun dapat membantu mencari solusi pada aneka ragam masalah serta dari hasil penelitian itu


(22)

4

pula jelaslah bahwa fenomena pemerolehan bahasa relevan bagi perkembangan teori linguistik

Pertumbuhan dan perkembangan berbeda pada setiap anak, tergantung banyak hal, mulai dari masa anak dalam kandungan sampai dengan masa kelahiran hingga masa pertumbuhan dan perkembangan setelah lahir. Faktor gen apakah pria dan wanitanya merupakan orang-orang yang sehat, tidak membawa sifat keturunan yang kurang, sehat, pada saat proses pembuahan dalam keadaan sehat pula. Perawatan dan pemeliharaan selama masa kehamilan tetap terjaga, sehingga janin dalam rahim tidak mengalami gangguan hingga proses persalinannya apakah normal atau tidak. Selanjutnya adalah bagaimana proses perawatan dan pemeliharaan anak oleh orangtuanya dalam masa tumbuh kembang.

Proses pertumbuhan dan perkembangan akan sampai pada interaksi dengan orang lain, umumnya pada lingkungan di sekolah anak dan khususnya lingkungan di rumah terutama interaksi dengan orangtua si anak. Interaksi pada anak umur 4 tahun sudah dapat dilakukan melalui komunikasi dengan berbicara. Bagi orang tua yang tidak terlalu memperhatikan perkembangan anak akan merasa heran apabila pada saat berkomunikasi dengan mereka, si anak akan berbicara sesuatu yang belum pernah di dengar.

Perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak merupakan salah satu aspek dari tahapan perkembangan anak yang seharusnya tidak luput dari perhatian para pendidik pada umumnya dan orang tua pada khususnya. Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan prestasi manusia yang paling


(23)

hebat dan menakjubkan. Oleh sebab itulah masalah ini mendapat perhatian besar. Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif sejak lama. Pada saat itu kita telah mempelajari banyak hal mengenai bagaimana anak-anak berbicara, mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit hal yang kita ketahui mengenai proses aktual perkembangan bahasa. Masa bayi atau balita (di bawah lima tahun) adalah masa yang paling signifikan dalam kehidupan manusia. Seorang bayi dari hari ke hari akan mengalami perkembangan bahasa dan kemampuan bicara, namun tentunya tiap anak tidak sama persis pencapaiannya, ada yang cepat berbicara ada pula yang membutuhkan waktu agak lama. Untuk membantu perkembangannya, ibu dapat membantu memberikan stimulasi yang disesuaikan dengan keunikan masing-masing anak. Sejalan dengan perkembangan kemampuan serta kematangan jasmani terutama yang bertalian dengan proses bicara, komunikasi tersebut makin meningkat dan meluas.

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bermaksud mengakaji pemerolehan bahasa pertama pada anak usia 0 s.d 3 tahun dalam bahasa sehari-hari ditinjau dari segi kajian psikolinguistik.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah utama penelitian adalah Bagaimanakah tahap pemerolehan bahasa anak usia 0-3 tahun? Atas dasar rumusan masalah utama, maka disusun dalam sub rumusan masalah sebagai berikut

1. Bagaimanakah tahap pemerolehan bahasa anak usia 0-1 tahun pada aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi?


(24)

6

2. Bagaimanakah tahap pemerolehan bahasa anak usia 1-2 tahun pada aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi?

3. Bagaimanakah tahap pemerolehan bahasa anak usia 2-3 tahun pada aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan tahap pemerolehan bahasa pada anak usia 0-3 Tahun

dalam bahasa sehari-hari.

2. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa pada anak usia 0-1 Tahun Pada

tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi dalam bahasa sehari-hari.

3. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa pada anak usia 1-2 Tahun Pada

tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi dalam bahasa sehari-hari.

4. Mendeskripsikan pemerolehan bahasa pada anak usia 2-3 Tahun Pada

tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi dalam bahasa sehari-hari.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.


(25)

1) Manfaat Teoritis

Kajian-kajian yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang Pemerolehan Bahasa Pertama Pada Anak-anak Usia 0 s.d 3 Tahun sebagai fenomena psikolinguistik yang baru.

2) Manfaat Praktis

a) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para penutur dalam lingkup keluarga untuk mempertimbangkan pemerolehan bahasa anak pada usia dini agar mengetahui batasan- batasan pemerolehan bahasa pada anak dalam praktik berkomunikasi. b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter

dalam lingkup keluarga yang merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa pada anak usia dini.

1.5Batasan Istilah

1) Pemerolehan bahasa anak.

Proses pengucapan bahasa yang dialami oleh anak. 2) Linguistik.

Ilmu tentang bahasa; telaah bahasa secara ilmiah (depdiknas, 2008: 832)

3) Psikolinguistik.

Ilmu yang mempergunakan bahasa sebagai obyek studi.


(26)

8

Perkembangan bahasa pada pada anak adalah proses pemerolehan bahasa yang dialami kanak-kanak sejak lahir sampai kira-kira menjelang usia sekolah. (Abdul Chaer, 2003: 221)

5) Keluarga.

Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat (Depdiknas, 2008: 659).

1.6Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian.

Bab II berisi landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang akan diteliti, yaitu tentang pemerolehan bahasa pada anak usia 0 s.d 3 tahun. Teori-teori yang dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) penelitian-penelitian yang relevan, (2) psikolinguistik, dan (3) Kajian teori.

Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Dalam bab III akan diuraikan (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian hasil analisis data.


(27)

Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3) pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya berkaitan dengan penelitian pemerolehan bahasa.


(28)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1

Penelitian Terdahulu

Pemerolehan bahasa anak usia dini dalam kajian ilmu psikolinguistik merupakan fenomena baru yang belum dikaji secara mendalam. Oleh karena itu, penelitian psikolinguistik yang mendalami proses pemerolehan bahasa pada usia dini belum banyak ditemukan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang pemerolehan bahasa pertama ditinjau dari ilmu psikolinguistik sebagai penelitian yang relevan. Penelitian-penelitian tentang pemerolehan bahasa pada usia dini yang ditemukan oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Putri Nasution (2009), Endang Rusyani (2008), dan Ana Lestari (2012).

Penelitian tentang perkembangan bahasa anak dilakukan oleh Putri Nasution (2009) dengan judul Kemampuan Berbahasa anak usia 3 sampai 4 tahun (Pra Sekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan kemampuan berbahasa anak usia 3-4 Tahun di play Group Tunas Mekar Medan. Peneliti menggunakan metode kualitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Pada dasarnya, pemerolehan bahasa anak usia 3-4 Tahun dimulai dengan pemerolehan fonologi, sintaksis, dan semantik. Penelitian ini mengamati kemampuan berbahasa di antara anak-anak itu sendiri, baik dengan teman maupun dengan guru mereka. Temuan penelitian ini menunjukan bahwa para responden pada dasarnya


(29)

anak-anak usia 3-4 Tahun mampu berbahasa baik dari pemerolehan fonologi, sintaksis, dan semantik. Walaupun anak mampu namun dalam pemerolehan fonologi anak mengalami pergantian sebuah bunyi yang disuarakan dengan bunyi yang tidak

disuarakan, yaitu pada pelafalan kata “mau” menjadi “mo” yang merupakan

pelepasan vokal [a] dan pengubahan vokal [u] menjadi [o], naka juga melakukan pelepasan konsonan yang lemah yaitu konsonan [l] dalam kata yang memiliki dua buah suku kata, anak melakukan proses reduplikasi, kemudian melakukan reduksi atau penyederhanaan kelompok kata. Pada pemerolehan sintaksis, anak mampu menggunakan kalimat-kalimat yang gramatikal dan pada pemerolehannya semantik anak lebih cenderung menggunakan makna denotatif. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa anak dilahirkan dengan potensi mampu memperoleh bahasa apa saja termasuk bahasa Indonesia. Kemampuan itu membawa anak seorang anak mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap dari sederhana sampai bentuk yang kompleks.

Penelitian yang mengkaji tentang perkembangan bahasa anak juga dilakukan oleh Endang Rusyani (2008) dengan judul Pemerolehan Bahasa Anak 2,5 Tahun. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini mendeskripsikan tentang pemerolehan bahasa anak pada usia 2,5 Tahun. Pemerolehan data tidak melalui perlakuan (eksperimen). Subjek penelitian sebagai sumber data dibiarkan bercakap-cakap secara alamiah. Percakapan alamiah itu diharapkan memunculkan data yang bersifat alamiah. Data alamiah menjadi ciri khas penelitian ini. Dalam penelitian sederhana ini diperoleh melalui


(30)

12

teknik perekamar, dan pencatatan. Perekaman dilakukan pada saat terjadi komunikasi antar keluarga.

Temuan penelitain ini menunjukan bahwa anak telah mampu menguasai pemerolehan bahasa dari segi fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Pada umur 2,5 tahun, seorang anak yang normal sudah dapat mengucapkan fonem-fonem, dan kata yang terbatas sesuai dengan lingkungannya dan benda-benda yang ada disekitarnya. Di samping itu, kata-kata yang keluar adalah masih terpotong-potong dan ucapannya masih terpeleset. Pada umur 2,3 sampai 2,5 tahun, kata-kata yang diproduksinya sudah mulai bertambah dan mulai dari kata-kata-kata-kata benda dan kata kerja. Perkernbangan perbendaharaan bahasanya sudah mulai dengan kata-kata benda yang abstrak. Sementara kata-kata benda dan kata kerja juga bertambah diakibatkan oleh repetisi dari pemerolehan baik dari lingkungan dan keluarganya secara sadar maupun tidak sadar. Pada umur 2,5 tahun anak dapat merangkai kata-kata secara sederhana, mulai dari satu, dua sampai tiga kata, dan akhirnya membentuk kalimat. Kalimat sederhana yang dikemukakannya masih berkisar pada urutan sederhana dan belum teratur. Namun makna kalimat itu sudah dapat ditangkap baik dalam kalimat berita, kalimat imperatif ataupun kalimat tanya yang diperoleyh sekitar umur 2,5 tahun.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Ana Lestari (2012) dengan judul Pemerolehan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Usia 3-6 Tahun Pada Pendidikan Anak Usia Dini Bina Harapan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Subjek penelitian adalah anak usia 3-6 Tahun pada PAUD Bina Harapan. Pada penelitian ini, peneliti menemukan bahwa anak usia 3-6 tahun pada


(31)

PAUD Bina Harapan memperoleh kosakata dasar pada kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata yang berhubungan dengan kekerabatan, dan kata depan. Anak usia 3-6 tahun telah memperoleh kosakata turunan pada imbuhan prefiks, imbuhan sufiks, imbuhan infiks, dan imbuhan konfiks dan anak usia 3-6 tahun juga telah memperoleh kosakata ulang.

Ketiga penelitian di atas merupakan penelitaian yang mengkaji tentang pemerolehan bahasa, khususnya pemerolehan bahasa pada aspek fonologi, sintaksis, dan semantik. Ketiga penelitian di atas menemukan tiga hal penting dalam pemerolehan bahasa yakni tentang pemerolehan fonologi, sintaksis, dan semantik. Dengan mengacu dari ketiga penelitian tersebut, peneliti akan mengkaji lebih dalam tentang pemerolehan bahasa anak, secara khusus tahap-tahap pemerolehan bahasa anak dan pemerolehan bahasa anak pada aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan diksi.

2.2Landasan Teori

Secara etimologi bahwa kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya saja objek materialnya berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda.

Meskipun cara dan tujuannya berbeda, tetapi banyak juga bagian-bagian objeknya yang dikaji dengan cara yang sama dan dengan tujuan yang sama, tetapi


(32)

14

dengan teori yang berlainan. Hasil kajian kedua disiplin ini pun banyak yang sama, meskipun tidak sedikit yang berlainan oleh karena itulah, telah lama dirasakan perlu adanya kerja sama kedua disiplin itu diharapkan akan diperoleh hasil kajian yang lebih baik dan lebih bermanfaat.

Pada awal kerja sama antara kedua disiplin itu disebut linguistic psychology dan ada juga yang menyebutnya psychology of language. Kemudian sebagai hasil kerja sama yang lebih baik, lebih terarah dan lebih sistematis diantara kedua ilmu itu, lahirlah satu disiplin baru yang disebut psikolinguistik, sebagai ilmu antar disiplin antara psikologi dan linguistik. Istilah psikolinguistik itu sendiri baru lahir tahun 1954, yakni tahun terbitnya buku Psycholinguistics : A Survey of Theory and Research Problems yang disunting oleh Charles E. Osgood dan thomas A. Sebeok, di Bloomington, Amerika Serikat.

Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Maka secara teoritis tujuan utama psikolinguistik adalah mencari suatu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya (Chaer, 2009: 5-6).

Hartley (dalam Pateda, 1990: 11) mengakatan Psikolinguistik membahas hubungan bahasa dengan otak dalam memori dan menghasilkan ujaran-ujaran dalam akuisisi bahasa. Yang penting dalam bahasa ini adalah bagaimana memori dapat dan menghasilkan ujaran-ujaran dan bagaimana akuisisi bahasa itu berlangsung. Proses bahasa hingga menghasilkan ujaran-ujaran merupakan


(33)

pekerjaan otak. Tidak diketahui dengan pasti, ialah bagaimana proses pengolahan bahasa sehingga berwujud satuan-satuan yang bermakna dan bagaimana proses pengolahan satuan ujaran yang dikirim oleh pembicara sehingga dimengerti oleh pendengar. Segala sesuatu berada dalam batas-batas kesadaran, baik pada pembicara maupun pra pendengar.

Selanjutnya Robert Lado (dalam Tarigan, 1985: 3) mengatakan psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah atau sendiri-sendiri. Menurut Lado, psikolinguistik hanya merupakan pendekatan. Pendekatan untuk menelaah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan aspek-aspek ini. Disini jelas bahwa objek psikolinguistik adalah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa, perubahan bahasa, dan hala-hal lain yang ada hubungannya dengan aspek-aspek ini.

Langacker (dalam Pateda, 1990: 12) mengatakan psikolinguistik merupakan telaah akuisisi bahasa dan tingkah laku linguistik terutama mekanisme psikologis yang bertanggung jawab atas kedua aspek itu. Batasan ini menekankan akuisisi bahasa dan tingkah laku linguistik. Akuisisi bahasa bersangkut-paut dengan pemerolehan bahasa, sedangkan tingkah laku linguistik mengacu kepada proses kompetensi dan performansi bahasa. Proses-proses tetap berada di dalam otak (mind). Dengan kata lain mekanisme psikologi sangat berperan.


(34)

16

Dari beberapa definisi diatas dapat dikatakan bahwa bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang membahas hubungan bahasa dengan otak, dan juga sebagai pendekatan studi bahasa. Selain itu psikolinguisik juga membicarakan tentang akuisisi bahasa, kedwibahasaan dan perubahan bahasa. Ilmu psikolingistik juga membahas linguistik dan hubungan proses linguistis dengan persepsi dan kognisi. 2.2.1 Teori Perkembangan Bahasa Anak

Penelitian yang digunakan untuk meneliti perkembangan bahasa anak tentunya tidak terlepas dari pandangan, hipotesis, atau teori psikologi yang dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa anak. Dua pandangan yang kontroversial itu dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan nativisme yang berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak bersifat alamiah (nature), dan pandangan behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada anak-anak bersifat suapan (nurture). Pandangan ketiga muncul di Eropa dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa adalah kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif, sehingga pandangannya pun disebut sebagai kognitivisme (Chaer, 2009: 221).

a) Pandangan Nativisme atau Mentalisme

Nativisme atau mentalisme berpendapat bahwa selama proses

pemerolehan bahasa pertama, anak-anak sedikit demi sedikit membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan. Pandangan ini tidak menganggap lingungkannya memiliki pengaruh dalam pemerolehan bahasa, melainkan menganggap bahwa bahasa merupakan pemberian biologis, sejalan


(35)

dengan yang disebut hipotesis pemberian alam. Kaum nativis berpendapat bahwa bahasa sangat kompleks dan rumit, sehingga mustahil dapat dipelajari dalam waktu singkat melalui metode seperti peniruan. Jadi pasti ada beberapa aspek penting mengenai sistem bahasa yang sudah ada pada manusia secara alamiah (Chaer, 2009: 222).

Chomsky (1965,1975) melihat bahasa itu bukan hanya kompleks, tetapi juga penuh dengan kesalahan dan penyimpangan kaidah pada pengucapan atau pelaksanaan bahasa. Manusia tidaklah mungkin belajar bahasa pertama dari orang lain. Selama belajar meraka menggunakan prinsip-prinsip yang membimbingnya menyusun tata bahasa.

Menurut Chomsky (1965) bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Binatang tidak mungkin menguasai bahasa manusia. Pendapat ini landasi pada tiga asumsi. Pertama, perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunakan (genetik), pola perkembangan bahasa adalah sama pada semacam bahasa dan budaya, dan lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu singkat, anak berusia empat tahun sudah dapat berbicara mirip dengan orang dewasa. Ketiga, lingkungan bahasa si anak tidak dapat menyediakan data secukupnya bagi penguasaan bahasa yang rumit dari orang dewasa.

Menurut Chomsky anak dilahirkan dengan dibekali “alat pemerolehan

bahasa” Language Acquistion Device (LAD). Alat ini merupakan pemberian

biologis yang sudah diprogramkan untuk merinci butir-butir yang mungkin dari suatu bahasa. LAD dianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus


(36)

18

untuk memproses bahasa, tidak punya kaitan dengan kemampuan kognitif lainnya.

b) Pandangan Behaviorisme

Kaum behavioris menekankan bahwa proses pemerolehan bahasa pertama dikendalikan dari luar si anak, yaitu oleh rangsangan yang diberikan melalui lingkungan. Istilah bahasa bagi kaum behavioris menganggap kurang tepat karena istilah bahasa itu menyiratkan suatu wujud, suatu yang dimiliki atau digunakan, dan bukan sesuatu yang dilakukan. Padahal bahasa itu merupakan suatu perilaku, diantara perilaku-perilaku manusia lainnya. Oleh karena itu, mereka lebih suka menggunakan istilah perilaku verbal (verbal behavior), agar tampak lebih mirip dengan perilaku lain harus dipelajari.

Menurut Skinner (1969) kaidah gramtikal atau kaidah bahasa adalah perilaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu. Namun, kalau demikian anak dapat berbicara, bukan karena penguasan kaidah sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya.

Kaum behavioris tidak mengakui pandangan bahwa anak menguasai kaidah bahasa dan memiliki kemampuan untuk mengabstrakan ciri-ciri penting dari bahasa di lingkungannya. Mereka berpendapat rangsangan dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka dipandang sebagai suatu kemajuan dari pengungkapan verbal yang berlaku secara acak sampai ke kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S – R (stimulus-respon) dan proses peniruan-peniruan.


(37)

c) Pandangan Kognitivisme

Ahli psikologi yang pertama kali membicarakan pandangan kognitivisme adalah Slobin (1971). Slobin mengatakan bahwa seoarn anak itu lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan Chomsky LAD. Slobin mengatakan bahwa yang dibwa lahir bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti yang dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan bahasa yang dibawa lahir itulah yang memungkinkan seorang untuk mengolah data linguistik. Menurut Slobin, perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah faktor penentu perolehan bahasa. Seorang anak belajar atau memperoleh bahasa pertama dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa, secara aktif ia burusaha untuk mengembangkan batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan keterampilan bahasanya menurut strategi persepsi yang dimilikinya. Menurut Slobin perolehan bahasa anak sudah diselesaikan pada usia kira-kira pada usia 3-4 tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.

Jean Piaget (1954) menyatakan bahwa bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu daiatara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar; maka perkembangan bahasa harus berlandas pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi, jadi urutannya perkembangan kognitif menentukan perkembangan bahasa.


(38)

20

2.2.2 Perkembangan Akuisisi Bahasa

Perkembangan akuisisi bahasa berhubungan dengan kematangan neoromuskularnya yang kemudian dipengaruhi oleh stimulus yang diperolehnya setiap hari. Pada tahap awal tidak ada kontrol terhadap pola tingkah lakunya termasuk tingkah lau berbahasa. Vokal anak dan otot-otot bicaranya bergerak refleks. Pada bulan-bulan pertama otaknya berkembang dan mengatur mekanisme syaraf sehingga dengan demikian gerakan refleks tadi sudah dapat dikontrol. Refleks itu berhubungan dengan gerakan lidah, atau mulut. Misalnya anak akan mengedipkan mata kalau cahaya berubah-ubah atau bibirnya akan bergerak-gerak apabila sesuatu yang disentuhkan pada bibirnya (Pateda, 1990: 53).

Dalam memikirkan perkembangan akuisisi bahasa ada baiknya membedakan kematangan anak berbicara dan kematangan untuk mendengar pembicaraan orang lain. Kematangan mendengarkan disebut dengan kematangan menerima (receptive language skills), dan kematangan mengeluarkan bunyi bahasa (expressive language skills) adalah kematangan untuk berbicara. Kematangan menerima lebih dahulu daripada kematangan berbicara meskipun dalam perkembangan selanjutnya kedua kematangan ini saling berhubungan (Pateda, 1990: 54).

Pada awal kelahirannya, anak belum dapat membahas stimulus yang berasal dari manusia. Ia belum dapat membahas dengan kata-kata. Ia hanya membalas dengan tertawa yang tentu saja diikuti oleh gerakan anggota tubuhnya, misalnya tangan dan kaki. Pada usia 9 bulan ia mulai mereaksi dengan kata-kata sederhana, kata-kata yang pernah ia dengar, kata-kata yang memiliki frekuensi


(39)

tinggi dalam awal kehidupan sebagai manusia. Selama 3 bulan berikutnya ia belajar mengerti hubungan kata-kata barangkali yang ia dengar dan pada usia setahun ia sudah dapat mereaksi terhadap kata yang mengandung makna komando. Berbicara mengenai akuisisi bahasa, tentu tidak terlepas dai perkembangan fisik. Perkembangan fisik dimaksud adalah perkembangan fisik yang normal, karena perkembangan fisik yang tidak normal merupakan gangguan dalam kematangan fisiknya. Perkembangan fisik berhubungan dengan perkembangan motorik. Perkembangan motorik ini berupa :

a) Pada bagian kepala:

 Koordiansi mata, lebih dahulu yang horizontal, lalu yang

verikaldan sesudah itu sirkuler.

 Reaksimata terhadap objek bergerak.

 Reaksi senyum.

 Refleks pejam mata.

 Kecakapan mengangkat kepala.

b) Pada lengan:

 Posisi jari yang memungkinkan anak dapat memegang sesuatu.

 Koordinasi mata-tangan yang memungkinkan pencapaian pegangan

yang tepat,

 Kecakapan makan.

 Kecakapan menggunakan satu tangan.

c) Pada tubuh :


(40)

22

 Duduk sendiri yang akan tampak pada usia 9 atau 10 bulan.

 Gerakan dari tegak sikap duduk yang akan tampak pada usia satu tahun.

d) Pada kaki :

 Kecakapan berjalan yang dimulai dari kecakapan menginjak dan kemudian diikuti oleh kecakapan menjaga keseimbangan.

 Kecakapan merayap, berpindah tanpa pertolongan kaki atau tangan.

 Berjingkrak, gerakan berpindah karena bantuan kaki dan tangan.

 Berdiri.

 Berjalan, mulai dengan pertolongan.

Kecakapan diatas berlangsung samapi anak usia berumur 1,5 tahun. Umur 1,5-6 tahun kecakapan itu akan tampak, misalnya berlari, melompat, memanjat (Pateda, 1990: 54-55).

2.2.3 Proses Akuisisi Bahasa

Telah ada keyakinan diantara sesama ahli psikolinguistik bahwa akuisisi bahasa bersifat dinamis. Artinya bahwa akuisisi bahasa berlangsung dari tahap ke tahap yang lain. Di dalam tahap perkembangan akuisisi ini terjadi, Pertama, perubahan-perubahan, teuratama yang berhubungan dengan struktur bahasa. Kedua, perkembangan ini ditentukan oleh interaksi personal, berfungsinya saraf secara baik, dan proses kognitif. Ketiga, bahwa dalam akuisisi terjadi poroses pemilihan kata-kata dan stuktur yang tidak dianalisis oleh anak. Keempat bahwa teori yang digunakan bersifat umum. Lain dari kata itu telah disepakati pula bahwa akuisisi bahasa dipengaruhi oleh penggunaan bahasa sekitar. Dengan kata


(41)

lain akuisisi bahasa bergantung pada lingkungan bahasa anak (Lowenthal, Et-al, 1982:303).

Akuisisi bahasa merupakan proses yang berkelanjutan dari satu fase ke fase berikutnya. Konstruksi linguistik yang muncul merupakan rangkaian konstruksi yang telah dikuasai sebelumnya, dan banyak diantaranya belum dapat dijelaskan secara ilmiah. Saporta (dalam Pateda, 1990 ) menyatakan bahwa anak tidak memiliki insting bawaan untuk meniru. Bayi belajar dengan jalan meniru yang kemudian hasil tiruannya itu menjadi kebiasaan. Apa yang ditiru diulang berkali-kali pada kesempatan yang berbeda. Setiap kali anak mengulanginya karena kebutuhan, lingkungan anak menguatkannya. Miller dan Dollaerd menyatakan bahwa kemampuan meniru menolong anak untuk merangkai kata-kata yang dibutuhkannya.

Mowrer (Saporta, Ed., 1961: 333) menyatakan bahwa dalam tahapan menggumam (cooing) dan meraban (babbling), anak selalu mengulanginya karena bunyi-bunyi itu mirip denagn bunyi yang ia dengar dari ibunya. Mowrer juga berpendapat bahwa anak membentuk kata dan kalimat yang dibutuhkannya karena ada stimulus. Jadi, dalam proses akuisisi bahasa anak belajar kata atau kalimat yang dibutuhkan dan gerakan mana yang diperlukan apabila sesuatu diinginkan atau tidak diinginkan. Bersamaan dengan itu, anak mulai mengenal makna dan berkemaknaan apa yang dikatakan dan didengarnya.

Stimulus yang diterimanya tentu bersifat global pada tahap awal. Stimulus global itu lama-lama memperlihatkan perbedaan dalam urutan pengalamannya. Ia mencoba dan mencoba lagi. Hal seperti ini mengingatkan kita pada proses trial


(42)

24

dan error. Staats (Palermo, 1978: 18) menyatakan bahwa anak memperluas bahasanya dengan jalam menambahkan kata yang dikuasainya pada kata atau gabungan kata yang diucapkannya.

2.2.4 Tahap-tahap Perkembangan Bahasa

Menurut Aitchison (dalam Harras dan Andika, 2009: 50-56), tahap kemampuan bahasa anak sebagai berikut.

Tahap Prkembangan Bahasa Usia

Menangis Lahir

Mendekur 6 minggu

Meraban 6 bulan

Pola intonasi 8 bulan

Tuturan Satu Kata 1 tahun

Tuturan dua kata 18 bulan

Infleksi kata 2 tahun

Kalimat Tanya dan Ingkar 2,5 tahun

Konstruksi yang jarang dan kompleks 5 tahun

Tuturan yang matang 10 tahun

a) Menangis

Menangis pada bayi mempunyai beberapa makna, seperti tangisan untuk minta minum, minta makan, tangisan karena kesakitan, dan sebagainya.

b) Mendekur

Mendekur sebenarnya sulit dideskpripsikan, karena bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal, tapi hasil bunyi itu tidak sama dengan


(43)

bunyi vokal yang dihasilkan orang dewasa. Tampaknya dengan mendengkur si bayi melatih peranti alat ucapnya.

c) Meraban

Secara bertahap, bunyi konsonan akan muncul pada waktu anak itu mendekur dan ketika anak mendekati enam bulan, ia masuk pada tahap meraban. Secara impresif anak menghasilkan vokal dan konsonan secara serentak.

d) Pola intonasi

Pada usia delapan atau sembilan bulan, anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Hasil tuturan anak mirip dengan yang dikatakan oleh ibunya. Anak tampaknya mencoba menirukan percakapan dan hasilnya adalah tuturan yang kadang-kadang tidak dipahami oleh orangtuanya atau orang dewasa yang lain.

e) Tuturan satu kata (Holofrases)

Antara umur satu tahun dan delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Jumlah kata yang diperoleh bervariasi tergantung masing-masing anak. Biasanya variasi berupa kata mama, papa, meong.

f) Tuturan dua kata

Pada tahap ini tuturan bersifat telegrafis, yaitu mengucapkan kata-kata yang mengandung arti paling penting. Tuturan yang awalnya Ani susu berubah menjadi Ani mau minum susu.


(44)

26

g) Infleksi kata

Secara gradual, kata-kata yang dianggap remeh atau tidak penting mulai digunakan. Infleksi kata juga mulai digunakan. Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi itu mulai merayap di antara kata benda dan kata kerja yang digunakan oleh anak.

h) Kalimat tanya dan ingkar

Pada tahap ini anak sudah mulai memperoleh struktur kalimat yang lebih rumit. Dalam bahasa Indonesia, anak mulai memperoleh kalimat tanya seperti apa, siapa, dan kapan. Misalnya kalimat berbunyi apa ini?, siapa orang itu?, dan kapan Ayah pulang? Sedangkan dalam kalimat ingkar biasanya berupa kalimat kakak tidak nakal, ga mau makan, ini bukan punya adik.

i) Konstruksi yang jarang dan kompleks

Pada usia lima tahun, anak secara mengesankan memperoleh bahasa. Kemampuan bahasa terus berlanjut meskipun agak lamban. Tata bahasa anak berusia lima tahun berbeda dengan tata bahasa orang dewasa. Tetapi lazimnya mereka tidak menyadari kekurangan mereka dalam hal itu.

j) Tuturan yang matang

Perbedaan tuturan anak dengan tuturan orang dewasa secara pelan-pelan akan berkurang ketika usia anak itu semakin bertambah. Ketika usianya mencapai sebelas tahun, anak mampu menghasilkan kalimat perintah yang setara dengan kalimat perintah orang dewasa.


(45)

2.2.5 Ujaran, Mengerti Ujaran dan Pikiran

Ketika seseorang ingin menguasai bahasa, ia belum mengerti lebih dahulu apa yang akan dikataknnya sebelum ia menghasilkan ujarannya. Bagi seorang anak tentu ia lebih banyak dan memperhatikan orang lain yang sedang berbicara. Anak kecil tadi kemudian mengasosiasikan ujaran yang ia dengar dengan apa yang terjadi setelah pembicara mengujarkan sesuatu. Misalnya seorang ibu berkata kepada seorang anakyang sedang mengganggunya sementara ibu sedang

memasak. “Tunggu ya, ibu memasak dulu”. Anak akan memperhatikan perilaku ibunya. Ia melihat setelah mengatakan “ Tunggu ya, ibu memasak dulu”, ibunya

bergegas menuangkan air kedalam periuk, lalu periuk diangkat dan disimpan atas kompor. Setelah itu anak akan mengerti bahwa memasak adalah kegiatan menuangkan air kedalam periuk dan disimpan diatas kompor.

Disini anak memperoleh kesempatan untuk lebih dahulu mendengarkan ujaran orang lain. Ia mengasosiasikannya dengan kegiatan yang berhubungan denfgan ujaran tersebut. Ia lebih banyak mendegarkan ujaran norang lain. Orang yang ada disekitarnya banyak memberikan informasi tentang berbagai hal. Ia selalu menghubungkan ujaran orang lain dengan kenyataan atau kejadian yang berhubungan dengan ujaran itu. Baginya tiap bunyi yang berwujud ujaran

mempunyai makna. “Tanpa asosiasi dengan makna, ujaran tidak ada artinya atau

tidak mempunyai makna komunikatif baginya” (Steinberg, dalam Pateda 1990:

62)

Pada waktu anak belajar berbahasa, ia harus mendengarkan lebih dahulu kata-kata atau kalimat yang didengar. Kata-kata dan kalimat yang diucapkan


(46)

28

orang lain dihubungkannya dengan proses, kegiatan, benda dan situasi yang ia saksikan. Ini berarti bahwa anak menghubungkan apa yang ia dengar melalui proses pikirannya. Dengan kata lain proses berpikir menjadi dasar untuk mengerti ujaran. Bagi anak, benda, proses, peristiwa harus berfungsi baginya, bahkan ia merasa senang ketika makan pisang. Disini tampak bahwa pengertian pisang, bendanya dan makna pisang melewati pengertian fungsi.

Namun demikian Eve Clarck (dalam Dato, 1975: 86) menyatakan bahwa ada tiga kesulitan yang berkaitan dengan peranan fungsi itu dalam akuisisi makna. Kesulitan itu adalah pertama, banyak contoh dimana fungsi dihubungkan dengan bentuk. Kedua, pengetahuan tentang fungsi kadang-kadang diperoleh terlambat dalam beberapa hal. Ketiga, banyak benda yang ternyata belum fungsi bagi anak, misalnya kuda, lantai, langit. Kata-kata pisang, bubur, air, segera dipahami makna karena kata-kata ini berfungsi bagi anak. Eve Clark (dalam Dato, 1975:91) berpendapat bahwa ada tiga tahap akuisisi bahasa yang berhubungan dengan makna yakni, (i) tidak ada kontras antara disni dan disana, (ii) hanya sebagian yang kontras, misalnya hanya dalam stu konteks, dan (iii) kontras penuh, misalnya bodoh dengan pandai, tebal dengan tipis.

Steinberg (dalam Pateda, 1990: 64) berpendapat bahwa perkembangan bahasa tidak tergantung pada kematangan otak secara biologis, tetapi apa yang dirasakan anak untuk mengujarkan apa yang dipikirkannya. Memang ada dua pendapat yang bertentangan, yakni pandangan mekanis dan pandangan mentalis. Pandangan mekanis mengatakan bahwa anak lahir tidak membawa apa-apa yang berhubungan dengan bahasa, sedangkan pandangan mentalis berpendapat bahwa


(47)

anak lahir telah membawa potensi atau kapasitas bahasa yang akan berkembang kalau kematangannya telah tiba.

2.2.6 Perkembangan Ujaran

Banyak bunyi yang dikeluarkan oleh bayi tetapi tidak semuanya mempunyai wujud di dunia sekelilingnya. Tentu saja dalam ujaran bayi yang mula-mula muncul yakni vokal, oleh karena vokal yang mudah diujarkan. Dengan kata lain bunyi bahasa yang diujarkan bergantung pada tingkat kesulitan bunyi bahasa itu. Itu sebabnya konsonan /th/ dalam kata thought, thing, thin jarang segera terdengar jika dibandingkan dengan konsonan /m/ atau /n/.

Nakazima (dalam Steinberg, 1982: 148) melaporkan bahwa pada usia 6 bulan, anak-anak sudah dapat mengujarkan kata-kata dan kata-kata yang bertekanan. Kenyataan ini telah mengarahkan kepada hal yang dipelajari melewati pendengaran. Kadang-kadang meraban yang dapat ditafsirkan sebagai kata-kata, baru muncul ketika bayi telah berumur setahun. Dalam pengujaran konsonan, biasanya konsonan depan yang mengawali pengujaran konsonan belakang. Jadi konsonan /m, b, t, d/ akan mendahului konsonan /k, g, x/, sedangkan pengujaran vokal cenderung dari belakang kedepan. Jadi, vokal /o,u/ mendahului pengujaran /i, e, a/.

Steinberg (1982: 149) berpendapat bahwa dalam pengujaran konsonan, dapat kita bagi atas konsonan yang segera terlihat artikulasinya dengan konsonan yang mudah diartikulasikan. Itu sebabnuya anak dahulu mengujarkan konsonan / m, b, p/ karena konsonan-konsonan itu mudah dilihat alat berbicara yang menghasilkannya. Sebaliknya konsonan stop, misalnya / k,g/ dan frikatif,


(48)

30

misalnya /f, s/ tidak segera dapat diujarkan karena alat bicara yang mengahsilkannya tidak kelihatan. Hal ini dapat dihubungkan dengan kenyataan yang menyatakan bahwa anak belajar melaui proses meniru. Hal yang ditiru tentu harus dapat dilihat. Dipandang dari segi kemudahan mengujarkan, maka vokal /a/ lebih mudah diujarkan. Itu sebabya menurut steinberg vokal /a/ yang dahulu dapat diujarkan jika dibandingkan dengan vokal yang lain, misalnya / i, e, o, u/.

2.2.7 Perkembangan Sosial dan Komunikasi

Ada pendapat bahwa sejak lahir bayi usia sekitar setahun dianggap belum punya bahasa atau belum berbahasa (Poerwo, 1989). Kiranya anggapan ini belum mencerminkan perilaku bayi yang sesungguhnya, sebab meskipun dikatakan belum mempunyai bahasa, tetapi sebenarnya bayi itu sudah berkomunikasi. Menangis merupakan salah satu cara pertama untuk berkomunikasi dengan dunia sekitarnya.

Sesungguhnya semenjak lahir bayi sudah disetel secara biologis untuk berkomunikasi, dia akan tanggap terhadap kejadian yang ditimbulkan oleh orang sekitarnya (terutama ibunya). Daya lihat bayi yang paling baik berada pada jarak kira-kira 20 cm, yakni jarak yang terjadi pada waktu interaksi rutin antara bayi dan ibu, yaitu pada saat bayi menyusu pada ibunya, dalam jarak 20 cm itu. Oleh karena itu, bayi akan membahas tatapan ibunya denagn melihat mata sang ibu yang menarik perhatiannya. Kemudian bayi juga belajar bahwa sewaktu terjadi saling tatap mata berarti ada komunikasi, antara dia dan ibunya.

Bayi memang sudah terlibat aktif dalam proses interaktif dengan ibunya tak lama setelah dilahirkan. Dia menanggapi suara dan gerak-gerik ibunya, serta


(49)

mengamati wajah ibunya. Pada minggu pertama kehidupannya dia sudah mulai menirukan kegiatan menggerakan tangan, menjulurkan lidah, dan membuka mulut. Menjelang usia satu bulan dia mulai menirukan tinggi rendah dan panjang pendek suara ibunya.

Pada usia dua minggu bayi sudah dapat membedakan wajah ibunya dari wajah orang lain. Dia sangat tanggap terhadap terhadap setiap orang yang mendekatinya dan terutama tertarik untuk mengamati mata dan mulut; dan dia akan bereaksi dengan senyum. Pada usia sekitar tiga minggu senyum bayi sudah

dapat disebut sebagai “senyum sosial”, sebab senyum itu diberikan sebagai reaksi

sosial terhadap rangsangan (berupa wajah atau suara ibu) dari luar.

Pada bulan kedua bayi semakin sering berkedut (cooing), bunyi seperti bunyi burung merpati. Bayi berkedut jika berada dalam keadaan senang, misalnya karena ada yang menemani, mengajak berbicara, mengajak bermain, dan sebagainya. Menjelang usia tiga bulan kemampuan kognitif bayi sudah meningkat, dia tidak tertarik pada wajah yang diam saja; dia mengaharapkan lebih dari itu agar tetap berminat untuk berinteraksi. Dalam hal ini sang ibu pun tampak menyesuaikan diri dengan sikap dan ekspresi wajahnya., berbicara lebih banyak, dan dengan variasi suara yang dilebih-lebihkan. Terhadap sikap ibu yang baru ini bayi merasa tertarik lagi, dan mau menanggapinya. Maka terjadilah kemajuan setapak lagi dalam perkembangan kemampuan bayi untuk berkomunikasi.

Setapak demi setapak kemajuan interaksi dan komunikasi bayi semakin bertambah. Ibu selalu menyesuaikan diri dengan tahap baru perkembangan bayi. Dialog keduanya semakin meningkat, dan peran bayi dalam kegiatan semakin


(50)

32

meningkat. Pada saat menjelang usia 12 minggu bayi mulai mengeluarkan suara balasan jika ibu memberikan tanggapan terhadap suaranya. Hal ini berlangsung terus sampai menjelang bayi berumur enam bulan.

Pada tahap berikutnya bayi mulai memahami pola gilir (turn talking) di dalam berkomunikasi. Maksudnya adalah, dia mulai mengerti kapan dia harus bereaksi terhadap rangsangan dari ibunya, dan kapan pula dia harus diam.

Permainan “ci-luk-ba” atau semacamnya semakin mempertajam kemampuan bayi

untuk memahami pola gilir di dalam komunikasi. Melaui permaina “ci-luk-ba”

itu bayi juga belajar mengakhiri suatu komunikasi. Dia mengerti, misalnya, kalau ibu mengalihkan padangan ke arah lain, berarti permainan berhenti.

Menjelang usia lima bulan, bayi mulai menirukan suara dan gerak-gerik orang dewasa secara sengaja, sehingga semakin meningkatlah perbendaharaan ekspresi wajahnya. Lalu, pada usia lima bulan dia dapat bersuara dengan sikap yang menunjukan rasa senang, rasa tidak senang, dan rasa ingin tahu.

Menjelang usia enam bulan miant bayi pada mainan dan benda-benda semakin meningkat; tadinya minatnya lebih terarah pada manusia. Dia akan tertarik dengan benda-benda yang digerakan atau yang berbunyi. Pada usia enam bulan terjadi pergeseran minat, dia lebih tertarik pada enda daripada manusia. Maka sejak itu, interaksi menjadi tiga serangkai yakni bayi, ibu, dan benda-benda.

Antara usia tujuh samapai dua belas bulan anak mulai lebih memegang kendali didalam interaksi dengan ibunya. Anak belajar menyatakan keinginan atau kehendak secara lebih jelas dan lebih efektif. Cara yang digunakan untuk menyampaikan kehendak ini terutama dilakukan dengan gerak-geriknya, terutama


(51)

gerakan tangan. Pada mulanya gerakan tangan yang menyatakan keinginan itu tanpa disertai suara, tetapi kemudian secara bertahap suara muncul menyertainya. Von Reffler Engel mencatat bahwa anak laki-laki menyuarakan “e-e-e” untuk

meminta sesuatu, dan menyuarakan “u-u-u” jika tidak menyetujui sesuatu.

Sedangkan Dore (dalam Purwo, 1989) melaporkan telah mendengar empat anak

manusia sebelas bulan secara konsisten menyuarakan “a-a-a” untuk menyatakan

rasa senang, dan bunyi “e-e-e” untuk menyatakan protes.

2.2.8 Pemerolehan Dalam Bidang Fonologi

Pada saat dilahirkan, anak hanya memiliki sekitar 20% dari otak dewasanya. Pada umur 6 minggu, anak mulai mengeluarkan bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Bunyi –bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Proses mengeluarkan bunyi-bunyi seperti ini dinamakan cooing, yang telah diterjemahkan menjadi dekutan (Dardjowidjojo, 2000: 63). Anak mendekutkan bunyi-bunyi yang beragam dan belum jelas identitasnya.

Pada sekitar 6 bulan, anak mulai mencampurkan konsonan dengan vokal sehingga membentuk apa yang dalam bahasa inggris disebut babbling, yang telah diterjemahkan menjadi celotehan (Dardjowidjojo, 2000: 63). Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti oleh sebuah vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. Dengan demikian, strukturnya adalah CV. Ciri lain dari celotehan adalah bahwa CV ini kemudian diulang sehingga muncul struktur seperti berikut.


(52)

34

Orang tua akan mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang di benak anak tidaklah kita ketahui dan tidak bisa dipungkiri bahwa celotehan itu hanya sekedar latihan artikulasi belaka. Konsonan dan vokalnya secara bertahap berubah sehingga muncul seperti kata dadi, dida, tita, dita, mama, mami, dan sebagainya. Konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak yang tidak diucapkan sehingga kata mobil diucapkan /bi/. Sampai sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan kelompok konsonan sehingga kata Eyang Putri akan disapanya dengan eyang /ti/.

a) Teori Struktural Universal

Teori Struktural dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson (dalam Chaer, 2009: 185-189), pada intinya teori ini mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi. Dalam penelitiannya Jakobson mengamati pengeluaran bunyi-bunyi oleh bayi-bayi pada tahap membabel (bablling) dan menemukan bahwa bayi yang normal mengeluarkan berbabagi ragam bunyi dan vokalisasinya baik bunyi vokal maupun bunyi bunyi konsonan. Namun, ketika bayi mulai memperolah “kata” pertamanya pada usia satu tahun, maka kebanyakan bunyi-bunyi itu baru muncul kembalai beberapa tahun kemudian. Dari pengamatannya, Jakobson menyimpulkan adanya dua tahap pemerolehan fonologi, yaitu (1) tahap membabel prabahasa dan (2) tahap pemerolehan bahasa murni.-

Pada tahap prabahasa bunyi-bunyi yang dihasilkan bayi tidak menunjukan suatu urutan perkembangan tertentu, dan sama sekali tidak mempunyai hubungan


(53)

dengan masa pemerolehan bahasa berikutnya. Jadi, pada tahap membabel ini bayi hanya melatih alat-alat vokal dengan cara mengeluarkan bunyi-bunyi tanpa tujuan tertentu, atau bukan untuk berkomunikasi. Sebaliknya, pada tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya bayi mengikuti suatu pemerolehan bunyi yang realtif universal dan tidak berubah.

Jika tahap pemerolehan bahasa yang sebenarnya dimulai, maka akan terdapat urutan peringkat perkembangan yang teratur dan tidak berubah, meskipun taraf kemajuan tiap individu tidak sama. Perkembangan peringkat ini ditentukan oleh hukum-hukum yang besrsifat universal yang oleh Jakobson disebut “the laws of

irreversible solidarty”.Perkembangan itu bergerak dari bentuk yang sederhana kepada bentuk yang kompleks dan rumit. Kerumitan suatu bunyi ditentukan oleh jumlah fitur (oposisi) yang dimiliki oleh bunyi itu dalam satu sistem. Jadi, sebenarnya yang diperoleh oleh bayi bukanlah bunyi satu demi satu, melaikan berupa oposisi-oposisi tau kontras fonemik, atau fitur yang berkontras.

Bunyi-bunyi bahasa-bahasa yang ada di dunia ini berbeda-beda, namun hubungan-hubungan tertentu yang ada pada bunyi-bunyi ini sifatnya tetap. Umpamanya, apabila suatu bahasa memiliki bunyi hambat velar seperti [g] maka bahasa itu pasti mempunyai bunyi hambat alveolar seperti [t], dan juga hambat bilabial seperti [b]. Jika suatu bahasa mempunyai bunyi hambat alveolar [t] dan [d], maka bahasa itu juga pasti mempunyai bunyi hambat bilabial [b] dan [p]; tetapi belum tentu bahasa itu memiliki bunyi velar [g] dan [k]. Begitu juga apabila suatu bahasa mempunyai konsonan frikatif [v] dan [s], maka bahasa itu pasti mempunyai konsonan hambat seperti [t] dan [b].


(54)

36

Berdasarkan keterangan di atas Jakobson memprediksikan bahwa bayi-bayi akan memperoleh kontras atau oposisi antara hambat bilabial dengan hambat dental atau hambat alveolar lebih dahulu daripada kontras-kontras diantara bilabial dan velar atau di antara dental dengan velar.konsonan hambat akan dahulu diperoleh daripada frikatif dan afrikat. Yang terakhir diperoleh adalah bunyi-bunyi likuida seperti [l] dan [r]; dan bunyi-bunyi luncuran glide [y] dan [w].

Jakobson (dalam Chaer, 2009: 185-189), menyatakan bahwa pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial), sedangkan pemerolehan bunyi vokal dimulai dengan satu vokal lebar, biasanya bunyi [a]. Jadi, pada waktu yang akan sama konsonan bilabial, biasanya [p], dan vokal lebar, biasanya [a] membentuk satu model silabel yang universal yaitu KV (Konsonan + Vokal) yang

memcerminkan apa yang disebut “konsonan optimal +vokal optimal”.

Berdasarkan pola inilah nanti akan muncul satuan-satuan bermakna dalam ucapan anak-anak yang biasanya terjadi dalam bentuk reduplikasi , misalnya (pa + pa).

Urutan pemerolehan kontras fonemik bersifat universal. Artinya, bisa terjadi dalam bahasa apapun dan oleh anak-anak mana pun. Maka setelah konsonan bilabial dan vokal lebar di atas, akan muncul oposisi bunyi oral dan bunyi nasal seperti [papa] [mama]. Kemudian diikuti oleh oposisi bilabial dan dental/aveolar, sperti [papa] – [tata] atau [mama] – [nana]. Jadi Jakobson berpendapat bahwa urutan pemerolehan konsona adalah bilabial-dental (aveolar) – palatal – velar. Ini berarti, apabila seorang anak telah membunyikan konsonan frikatif, berarti dia juga telah mampu membunyikan bunyi-bunyi hambat. Munculnya konsonan belakang dalam ucapan anak-anak menandakan bahwa dia juga menguasai


(55)

konsona depan. Ini disebut hukum-hukum implikasi oleh Jakobson. Kontras vokal pertama yang diperoleh anak adalah kontras vokal lebar [a] dengan vokal [i]. Kemudian, diikuti oleh kontras vokal sempit depan [i] dengan vokal sempit belakang [u]. Sesudah itu baru antara vokal [e] dan vokal [u]; vokal [o] dengan vokal [e].

b) Teori Proses Fonologi Alamiah

Teori ini diperkenalkan oleh David Stampe (dalam Chaer, 2009: 190-191), yakni satu teori yang disusun berdasarkan teori fonologi alamiah yang juga telah diperkenalkan sejak tahun 1965. Menurut Stampe proses fonologi anak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan (supresi), pembatasan, dan pengaturan sesuai dengan penuranian representasi fonemik orang dewasa. Suatu proses fonologi terdiri dari kesatruan-kesatuan yang saling bertentangan. Umpamanya, terdapat satu proses yang menjadikan semua bunyi hambat menjadi tidak bersuara dalam semua konteks, karena halangan oralnya menghalangi arus udara yang diperlukan untuk menghasilkan bunyi-bunyi ini akan menjadi bersuara oleh proses lain dengan cara asimilasi tertentu. Jika kedua proses ini terjadi bersamaan, maka keduanya akan saling menindih, dan saling bertentangan. Sebuah bunyi hambat tidak mungkin secara serentak bersuara dan tidak bersuara pada lingkungan yang sama. Masalah yang bertentangan ini dapat dipecahkan dengan tiga cara sebagai berikut.

i. Menindas salah satu dari dua proses yang bertentangan itu. Umpamanya bila anak-anak telah menguasai bunyi-bunyi hambat bersuara dalam semua konteks, maka berarti dia telah berhasil


(56)

38

menindas proses penghilangan suara yang ditimbulkan oleh halangan oral bunyi itu.

ii. Membatasi jumlah segmen atau jumlah konteks yang terlibat dalam proses itu. Misalnya, proses penghilangan suara dibatasi hanya pada bunyi-bunyi hambat longgar tidak dilibatkan.

iii. Menagtur terjadinya proses penghilangan bunyi suara dan proses pengadaan bunyi secara berurutan. Urutannya boleh dimulai dengan proses penghilangan bunyi suara lalu diikuti oleh proses pengadaan bunyi bersuara. Kedua proses ini tidak mungkin terjadi secara bersamaan.

c) Teori Kontras dan Proses

Teori ini diperkenalkan oleh Ingram, yakni suatu teori yang menggabungkan bagian-bagian penting dan teori Jakobson dengan bagian-bagian penting dari teori

Stampe; kemudian menyelaraskan hasil penggabungan dengan teori

perkembangan dari piaget. Menurut Ingram, anak memperoleh sistem fonologi orang dewasa dengan cara menciptakan struktur sendiri, kemudian mengubah struktur ini jika pengetahuannya mengenai sistem orang dewasa semakin baik. Perkembangan fonologi ini melalui asimilasi dan akomodasi yang terus menerus mengubah struktur untuk menyelaraskan dengan kenyataan. Peristiwa ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Kata orang dewasa → Sistem anak-anak → Kata anak-anak

Umpamanya pada tahap permulaan anak-anak telah menetapkan pola KV sebagai struktur kata-kata barunya. Maka semua kata-kata baru orang dewasa


(1)

Ibu : Telinga septi ada berapa ya? Satu apa dua? Anak : Satu.. Ibu : Kok satu, satu tambah satu jadinya du..

Anak : Duaa..

dialami oleh anak adalah medekati orang tuanya untuk mencari perlindungan. Bahasa tubuh yang sering tampak adalah gerak mata anak ketika melihat atau memperhatikan suatu objek yang menarik. Anak sudah mengerti tentang bagian tubuhnya. Sehingga ketika orang tua

mengatakan kata telinga, respon tangan anak mulai menyentuh

telinganya sendiri. 26. Anak : Mbak asti,

itu apa? Ibu : Ini sayur, septi mau maem? Anak : Sayur apa? Ibu : Sayur bening, sini maem bareng wisnu..

Anak : Itu apa? Ibu : Ini namanya jipang, sini maem pake jipangnya.. Anak : Ga mau...

 Mitra tutur merupakan ibu asuh dari anak.  Tuturan terjadi

saat anak melakukakn kegiatan makan di ruang makan.  Tujuan

komunikasi ini adalah anak ingin mengetahui

tentang objek yang dilihatnya.

 Tanggapan mitra tutur adalah menjawab

 Kalimat Tanya dan ingkar

Pertanyaan apa dan mengapa sangat dominan pada anak untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan anak sering diulang-ulang. Respon orang tua sangat berperan dalam mengartikan maksudnya. Menurut Aitchison (dalam Harras dan Andika 2009: 50-56), pada tahap ini anak sudah mulai memperoleh struktur kalimat yang lebih rumit. Dalam bahasa Indonesia, anak mulai


(2)

ga mau jipang.. Ibu : Wisnu aja seneng lho, sini septi maem juga biar sehat... Anak : Ga mau... ga mau pake itu.. (Ga mau = Tidak mau)

pertanyaan dari anak dengan menjelaskan objek yang dilihat oleh anak, sekaligus membujuk anak dengan kata-kata rayuan.  Perkembangan motorik yang muncul adalah gerakan tangan terutama jari telunjuk sangat aktif untuk menunjukan apa yang dilihatnya. memperoleh kalimat tanya seperti apa, siapa, dan kapan. Misalnya kalimat berbunyi apa ini?, siapa orang itu?, dan kapan Ayah pulang? Sedangkan dalam kalimat ingkar biasanya berupa kalimat kakak tidak nakal, ga mau makan, ini bukan punya adik.

27. Anak : Oom ini ini apa?

Oom : Ini namanya kamera.. adik mau? Anak : Mau

kamera, mbak Asti mau amela? Ibu : Jangan itu punya oom lho.. Anak : Au amela... (mau kamera) Oom : Nanti oom beliin yg mainan ya?

Anak : ainan amela yaa..

 Mitra tutur adalah peneliti sendiri ketika melakukan kegiatan penelitian anak.

 Tuturan tejadi di ruangan makan.  Tujuan

komunikasi pada data ini adalah anak ingin

mengetahui objek yang dilihatnya.  Tanggapan dari

mitra tutur adalah menjawab

pertanyaan anak dengan lembut dan menjelaskan dengan rinci kepada anak.  Perkembangan

motorik yang

 Kalimat Tanya dan ingkar

Sama halnya dengan data 26, Pertanyaan apa dan mengapa sangat dominan pada anak untuk mengajukan pertanyaan. Anak masih sulit mengatakan huruf konsonan /k/, sehingga kata kamera dikatakan amela.

Konsonan /m/ pada kalimat awal samar-samar hilang saat diucapkan anak. Misalnya kata mau diucapkan au, dan mainan diucapkan ainan.


(3)

muncul ketika itu adalah gerakan tangan sangat dominan, misalnya apa yang dilihat oleh anak secara reflek benda yang dilihat langsung disentuh. 28. Ibu : Septi mau

belajar apa? Anak : Tung-itung.. (berhitung) Ibu : Sini mba asti kasih soalnya.. Satu tambah satu sama dengan du..a Anak : Uaa.. (Dua) Ibu : Wisnu sama septi jadi berapa? Anak : Uaa

Ibu : Dua dikurangi satu jadi sa..

Anak : Atu.. Ibu : Sekali lagi, dua dikurangi satu berapa?

Anak : Atu (Satu)

 Mitra tutur merupakan ibu asuh dari anak.  Tuturan terjadi di

ruangan bermain pada saat ibu asuh mengajarkan berhitung pada anak.

 Tujuan

komunikasi ini adalah ibu asuh mengajarkan berhitung apada anak, dan melatih anak agar terbiasa berhitung dan melafalkan kata-kata dengan lancar.  Situasi yang

terjadi pada saat tuturan adalah anak berusaaha mengerti dengan memperhatikan ibu asuh ketika berbicara.  Perkembangan

motorik yang muncul adalah

 Kalimat Tanya dan ingkar

Pada data ini, kalimat tanya jawab sangat dominan. Orang tua sangat berperan dalam aksi tanya jawab, dengan pancingan-pancingan agar anak bisa

menjawab pertanyaannya. Kata pertama masih belum terdengar jelas. Misalnya saja pada kata bilangan satu diucapkan oleh anak menjadi atu, dua menjadi uaa.


(4)

Saat kondisi belajar, tatapan anak sangat tajam terhadap sumber suara. Kontak mata yang selalu memperhatikan. Ketika menjawab pertanyaan hitungan gerak kepala anak naik turun seperti mengangguk. 29. Anak : Ni apa?

Ibu : Ini namanya balon..

Anak : Alon ilu ya? (balon biru ya) Ibu : Iya warnanya biru

Anak : Ilu.. telbang

Ibu : Septi mau terbang naik baloon ga?

Anak : Mau,, yang ede.. (mau yang gede)

 Mitra tutur merupakan ibu asuh dari anak.  Tuturan terjadi pada saat anak bermain diruangan bermain bersama ibu asuh dan anak-anak yang lain.  Tujuan

komunikasi ini adalah anak menanyakan tentang hal yang dilihatnya dan ibu asuh berusaha menjawab agar anak mengerti.

 Kalimat Tanya dan ingkar

Pada data 29, ucapan anak masih ada yang kurang jelas,

misalnya pada awal kalimat, huruf

pertama masih belum terdengar. Kata ini diucapkan ni, kata balon diucapkan alon, biru diucapkan ilu, dan gede,

diucapkan ede. Kalimat tanya apa sering ditanyakan oleh anak.

30. Anak : Mbak, mbak...

Ibu : Apa septi apa? Anak : mbak, mbak.

 Mitra tutur adalah ibu asuh dari anak.  Tuturan terjadi

pada saat anak bersama ibu asuh berada di ruangan

 Kalimat Tanya dan ingkar

Anak masih mengatakan pertanyaan yang diulang-ulang. Kalimat ajakan sudah dibiasakan oleh anak. Pada data ini, anak


(5)

Ibu : Apa sini. Anak : main ke sana?

Ibu : Di luar hujan nanti septi sakit. Anak : A, ke sana mbak.

bermain.  Tujuan

komunikasi ini adalah anak mengajak ibu asuh untuk melihat hujan diluar ruangan.. Cara ibu asuh untuk

melarang anak agar tidak keluar ruangan yaitu dengan cara membujuk dan sedikit menakut-nakuti anak.

mengajak mba asti untuk keluar ruangan.

Ketika anak kecewa karena ajakannya ditolak, ini

menandakan bahwa, anak sudah mengerti makna dan arti. Setelah kecewa anak hanya bisa menangis.

Data dan analisisnya sudah diperiksa dan dinyatakan benar.

Triangulator


(6)

188

BIOGRAFI PENULIS

Yosep Trinowismanto lahir di Sukabumi Jawa Barat pada tanggal 20 Agustus 1992. Ia mengawali pendidikan dasar di SDN Cipanas, Sukabumi, Jawa Barat dan lulus tahun 2004. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Mardi Waluya 2, kota Sukabumi, Jawa Barat dan lulus pada tahun 2007. Pendidikan menengah atas ditempuh di SMA Mardi Yuana, Sukabumi, Jawa Barat dan lulus pada tahun 2010.

Pada tahun 2010, ia tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Bahasa Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Masa studi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta diakhiri dengan menulis skripsi sebagai tugas akhir dengan judul Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Usia 0 s.d 3 Tahun Dalam Bahasa Sehari-hari Suatu Tinjauan Psikolinguistik. Masa pendidkan Strata 1 tersebut berakhir pada tahun 2016.